Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Dirancang dan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Pemerintah pada beberapa waktu lalu memberikan beberapa pengaruh pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya adalah sektor tata ruang. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai amanat dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengubah sebagian muatan dalam UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Kelautan. Sehingga dengan kata lain, UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan penataan ruang secara nasional.

Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berikut merupakan beberapa perubahan terkait penataan ruang yang terdapat di dalam UU tersebut.

Pokok Perubahan dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja

Sumber: Paparan Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang oleh Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota ITB

UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 dinilai oleh pemerintah sebagai salah satu langkah strategis dalam mengatasi permasalahan investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang salah satunya diakibatkan oleh tumpang tindih pengaturan penataan ruang. Peraturan ini juga dikeluarkan guna memberikan kemudahan investasi melalui perwujudan pemanfaatan ruang yang strategis. Selama ini proses penataan ruang dianggap rumit dan berbelit-belit sehingga dengan dikeluarkannya peraturan perundangan ini dapat memutus permasalahan yang ada dan memberikan kemudahan dalam konteks iklim investasi. Hal ini sesuai dengan aspirasi Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo, yang dilansir dari hukumonline, bahwa sektor penataan ruang sangatlah penting untuk dimaksimalkan agar dapat mendukung kegiatan ekonomi, khususnya tentang kesesuaian kegiatan pemanfataan ruang dalam perizinan berusaha.

Dampak Perubahan Dikeluarkannya UU CK dan PP Nomor 21 Tahun 2021

Sumber: Bahan Paparan Sosialiasi Kebijakan Penataan Ruang oleh Kementerian ATR BPN

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Dilansir dari kontan, Direktur Jenderal Tata Ruang, Abdul Kamarzuki, menyatakan bahwa tata ruang menjadi prasyarat dasar pedoman usaha maupun perusahaan yang akan berdiri. Dalam UU Cipta Kerja, persyaratan dasar perizinan investasi dan usaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan.

Kini pemerintah tengah gencar mensosialisasikan PP Nomor 21 Tahun 2021 secara luas agar masyarakat dapat memahami dan menyesuaikan hal-hal yang berkaitan dengan penataan ruang. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2021 adalah dengan mengubah susunan muatan substansi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun dokumen RTRW kini mengintegrasikan tata ruang laut, darat, udara, dan dalam bumi ke dalam satu kesatuan dokumen. Adapun muatan yang terkandung dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang secara garis besar mengatur berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penataan ruang, seperti:

  • Perencanaan tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
  • Pemanfaatan ruang yang mengatur ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
  • Pengendalian pemanfaatan ruang, yang mengatur penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian perwuiudan rencana tata ruang, pemberian insentif dan disinsentif, pengenaan sanksi, dan penyelesaian sengketa penataan ruang.
  • Pengawasan penataan ruang, yang meliputi pemantauan evaluasi, dan pelaporan, yang merupakan upaya untuk menjaga kesesuaian penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pembinaan penataan ruang yang diselenggarakan secara sinergis oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang juga mencakup pengaturan mengenai pengembangan profesi perencana tata ruang untuk mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan penataan ruang.
  • Kelembagaan penataan ruang yang mengatur mengenai bentuk, tugas, keanggotaan, dan tata kerja forum penataan ruang.

Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Indrajati, RM Petrus Natalivan. 2020. “Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang”. Diperoleh 23 April 2021 dari http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2020/12/20201211-Implikasi-UU-CK-terhadap-Penyelenggaraan-Penataan-Ruang.pdf
  • Rizki, Januar Mochamad. 2020. “Ini Pokok Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja Soal Tata Ruang, Industri dan Perdagangan Peraturan”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang–industri-dan-perdagangan/
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Pengurusan Perubahan Pajak Bumi dan Bangunan

Galuh Shita

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pungutan atas tanah dan bangunan yang memiliki nilai sosial dan ekonomi yang dibebankan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki hak atau memperoleh hak di atasnya. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan, dengan kata lain besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek pajak tersebut yaitu bumi, tanah, dan bangunan, sedangkan keadaan subyeknya tidak ikut menentukan besarnya barang. Seperti diketahui, Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pembangunan daerah maupun nasional guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, objek PBB-P2 dibagi menjadi 2, yakni objek pajak umum dan objek pajak khusus. Objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Sedangkan objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memilki arti yang khusus, seperti jalan tol, galangan kapal, dermaga, lapangan golf, pabrik semen/pupuk, tempat rekreasi, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, stasiun pengisian bahan bakar, dan menara.

Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan kewenangan dalam pemungutan pajak di sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penentuan pajak dilakukan berdasarkan NJOP yang juga berdasarkan pada luasan persil tanah atau bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi persil sendiri berarti sebidang tanah dengan ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kewenangan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk ke dalam persyaratan dan tata caranya.

Pembaharuan terhadap informasi pemetaan dan pendataan data persil obyek PBB-P2 merupakan salah satu cara untuk meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dari tahun ketahun untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan public. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat kelompok masyarakat yang melakukan perubahan terhadap persil PBB yang dimilikinya sehingga pembaharuan data obyek PBB menjadi sangat penting.

Berikut merupakan persyaratan serta langkah yang harus ditempuh dalam melakukan pengurusan perubahan PBB.

 (Kab. Gunung Kidul)  
Syarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2 (secara peseorangan)
(Karanganyar)
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung dan Kesalahan Penerapan Ketentuan PBB
(Kabupaten Kutai Barat)  
1. Pendaftaran Data Baru PBB 2. Mutasi Objek, Subjek Pajak 3. Pemecahan 4. Pembetulan,lt,lb & nama Wajib Pajak 5. Keberatan NJOP 6. Keterangan NJOP 7. Duplikat SPPT PBB
Persyaratan– Mengajukan Surat Permohonan
– Mengisi formulir SPOP (Surat Permohonan Objek Pajak)
– Mengisi formulir LSPOP (Lampiran SPOP)
– Melampirkan Fotokopi KTP
– Melampirkan fotokopi bukti kepemilikan tanah (akta/sertifikat/letter C/Model D/Surat Ukur)
– Melampirkan print out pelunasan PBB P2 tahun sebelumnya
– Surat permohonan Wajib Pajak yang telah diisi lengkap
– Fotokopi SPPT PBB tahun pajak sebelumnya
– Fotokopi bukti pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya
– Pengisian SPOP/LSPOP
– Formulir permohonan
– FC KTP /KK pemohonSertifikat, PPAT
– Akta jual beli/hibah/warisSurat keterangan kepala Kampung /lurah
– Foto copy surat bangunan antara lain, IMB, IPB, HGU
– Dokumen lainnya dari wajib pajak
Sistem, Mekanisme, Prosedur– Pengguna Layanan mengambil nomor antrian
– Pengguna Layanan mengisi formulir dan menyerahkan berkas persyaratan
– Petugas Layanan memeriksa dan meneliti kelengkapan dan kelengkapan berkas persyaratan
– Petugas me- register permohonan
– Pengguna Layanan menerima bukti pengajuan permohonan
– Pengguna Layanan menunggu proses pelayanan (catatan: pengguna layanan memberikan nomor yang bisa dihubungi untuk klarifikasi dan atau untuk memberitahukan selesainya permohonan sebelum batas waktu yang ditentukan)
– Wajib Pajak mendatangi langsung Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan mengambil nomor antrian
– Petugas TPT memanggil nomor antrian
– Wajib Pajak mendatangi Loket TPT dan menyerahkan Formulir pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kesalahan penerapan ketentuan PBB Sektor Lainnya
– Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen
– Dalam hal berkas permohonan belum lengkap, petugas mengembalikan berkas permohonan Wajib Pajak dan menginformasikan apa saja yang masih harus dilengkapi
– Dalam hal berkas permohonan telah lengkap, petugas TPT menerbitkan Bukti Penerimaan Surat dan disampaikan kepada Wajib Pajak
– Dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah tanggal BPS, Pelaksana Layanan mencetak SPPT PBB pembetulan dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui pos dengan bukti pengiriman surat
– Wajib Pajak mengurus pendaftaran objek pajak pada Badan Pendapatan Daerah
– Pendaftaran objek pajak meliputi: – Identifikasi objek pajak – Verifikasi data objek pajak; dan – Pengukuran bidang objek pajak
– Pendaftaran objek pajak dituangkan dalam formulir SPOP dan/atau LSPOPSPOP dan/atau LSPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Badan Pendapatan Daerah atau tempat-tempat lain yang ditunjuk dan diisi dengan jelas, benar,lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak dan dikembalikan ke Badan Pendapatan Daerah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP dan/atau LSPOP oleh subjek pajak atau kuasanya dengan melengkapi persyaratan pendaftaran PBB
– Pendataan objek pajak di lakukan oleh Badan Pendapatan daerah dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP dan/atau LSPOP berdasarkan hasil pendataan terhadap objek pajak di berikan NOP.Penilaian objek pajak dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat atas nama Bupati menerbitkan SPPT/SKPD/SKPDNSPPT dicetak/diterbitkan berdasarkan data yang telah tersedia pada basis data Pemerintah Daerah dan/atau berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak
– SPPT/SKPD/SKPDN dapat diterbitkan melalui; – Pencetakan missal; – Pencetakan biasa dalam rangka; 1. Pembuatan salinan SPPT/SKPD 2. Penerbitan SPPT/SKPD/SKPDN sebagai tindak lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan; 3. Tindak lanjut pendaftaran objek pajak baru; dan 4. Mutasi objek dan/atau subjek pajak
Waktu Penyelesaian1 Minggu5 hari kerja10 Hari kerja (sejak permohonan diterima PPID dapat memperpanjang waktu paling lama 7 hari kerja)
Biaya/TarifTidak dipungut biayaTidak dipungut biayaTidak dipungut biaya
Produk PelayananSyarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan BangunanSPPT PBB

Sumber: sipp.menpan.go.id


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/di-yogyakarta/kabupaten-gunung-kidul/syarat-perubahanpembetulan-data-sppt-pbb-p2-secara-peseorangan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kementerian-keuangan/direktorat-jenderal-pajak/kantor-wilayah-direktorat-jenderal-pajak-jawa-tengah-ii/upp-kpp-pratama-karanganyar/pembetulan-kesalahan-tulis-kesalahan-hitung-dan-kesalahan-penerapan-ketentuan-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-timur/kabupaten-kutai-barat/1pendaftaran-data-baru-pbb–2mutasi-objeksubjek-pajak–3pemecahan–4pembetulanltlb–nama-wajib-pajak–5keberatan-njop–6keterangan-njop—7duplikat-sppt-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-selatan/kota-banjar-baru/pembuatan-pbb

ASSESSING THE USEFULNESS OF UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) FOR MONITORING SPATIAL PLAN: LEGAL AND USER PERSPECTIVE OF BOGOR REGENCY, INDONESIA

D. Maria, F. Hamdani, J. Pratomo, M. A. Pratama, G. S. A Bidari, S. Sherida


ABSTRACT

Monitoring is a critical process in managing the land use plan. However, the current approach to collecting data related to the land use has a shortcoming. First, field survey has limitation due to the high number of resources needed, i.e., people, funds, time. Second, the participatory approach has limitation due to the lack of involvement of the citizens. Unmanned Aerial Vehicle (UAV) has developed in recent years and it has been used in the various field, i.e., urban dynamics, asset monitoring, and so on. The usage of UAV to monitor urban changes has some advantages. First, it can cover a large area and used fewer resources compared with the field survey, in term of man hour, funds and time. Second, it may provide data with a high spatial resolution, which gives a broad possibility for analyzing urban features. This research aimed to assess the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan of Bogor Regency, Indonesia. We developed indicator according to the legal and user perspective. Our research has shown that UAV may reduce the time and resources needed to monitor the spatial plan. However, the UAV has limitation since it is difficult to indicate the changes of the land use. Therefore, we suggest incorporating with the field survey


INTRODUCTION

Monitoring is a critical process in managing the spatial plan to ensure the compliance of the implementation process (Government of The Republic of Indonesia, 2007). In Indonesia, the monitoring process is divided into two categories, i.e., technical and specific monitoring (Government of The Republic of Indonesia, 2010). Technical monitoring consists of procedures, output, functions and benefits, and monitoring the achievement of standards of minimum service. Meanwhile, the specific monitoring includes data and information and technical study on specific problems.

Although monitoring process is crucial, current approach for data collection regarding spatial planning has limitations. First, field survey has limitation due to the high number of resources needed, i.e., people, funds, time. Second, the participatory approach has limitation due to the lack of involvement of the citizens. Another method, which is satellite based imagery also has limitation due to the impact of atmospheric conditions.

Unmanned Aerial Vehicle (UAV) has developed in recent years and it has been used in the various field, i.e., urban dynamics and asset monitoring. According to Kršák et al. (2016) UAV can be used to create new opportunities for documentation since it can measure the surface in detail, create orthophoto maps of the entire area and documents the difficult areas. Furthermore, the usage of UAV may cover a large area and used fewer resources compared with the field survey, in term of man hour, funds and time. UAV also may provide data with a high spatial resolution, which gives a broad possibility for various applications. Several studies have demonstrated the usage of UAV in an urban area. For instance, research from Salvo et al. (2014)has shown the usage of UAV for urban traffic analysis. Another research from Chen et al.(2016)developed a robust method for detecting building change from UAV image.

As the buffer city of Jakarta, Bogor Regency experienced a rapid urbanization, which led to an increased demand for land. Three factors have contributed to the land demands, i.e., population growth, structural change of the society and the economic developments (Fajarini, 2014). The impact of the rapid urbanization results in various forms of environmental degradation and the probability of violation in the spatial plan. Therefore, the local government is required to monitor the spatial plan regularly to prevent violations.

However, to monitor the implementation of spatial planning also have an issue. According to the Indonesian National Law Number 26/2007, the General Spatial Plan (RTRW) cannot be used for monitoring due to the lack detailed information (Purba, 2015). However, local governments rarely have the detailed spatial plan (RDTR), which may be used for monitoring the spatial plan. Often, they develop their procedure for this purpose. Therefore, it is necessary to indicate the requirement for monitoring from the legal and the user perspective.

Currently, the government of Bogor Regency used field survey for data acquisition. Although the size of Bogor Regency is large, which is 2.664 square kilometer, the number of people-in-charge for monitoring process is limited. The Government of Bogor Regency itself has set the target for monitoring land use for more than 1,000 land parcels per year. However, they can accommodate only 200 cases per year. This research aimed to assess the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan of Bogor Regency, Indonesia according to the legal and user perspective.

DATA AND METHODS

To evaluate the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan, we developed a set of indicators from the two sources. First, we conducted a literature review related to the legal requirement for monitoring the spatial plan. Second, we conducted an interview, to understand the needs and requirement of the user. According to these two sources, we developed a set of indicators. The qualitative evaluation was done by comparing the requirement of the monitoring process by the UAV’s feature. To elaborate the capability of UAV to fulfil the requirement, we conducted a literature review. By the end, we came out with a matrix that indicates the usefulness of the UAV for monitoring the spatial plan, particularly in Bogor Regency. The methods used in this research can be seen in figure 1.

Figure 1 – Research Methods

RESULTS AND DISCUSSIONS

Legal and Requirement

Two components are needed to be considered in monitoring the spatial plan, which is structure and pattern (Ministry of Public Works and Public Housing, 2015). Regarding monitoring the structure, some information needs to be collected. First, the change of urban center. Second, the change of the main infrastructure. Last, the change of utility. Meanwhile, monitoring pattern consists of three measurements. First, changes in the environmental protected area. Second, changes of open green space. Third, changes in the built-up area.

Acquisition of the data mentioned above is needed to indicate and prevent the violation of spatial plan. Several patterns can be classified as a violation of the spatial plan. First, conversion of the land use. Second, permit does not comply with the spatial plan. Third, a spatial plan does not matches with the actual conditions. Fourth, development without a license. Fifth, inaccuracy of data. Sixth, administrative violations during the licensing process. The last is construction of particular parcels affecting the accessibility of public facilities.

User Requirement

The monitoring process of the spatial plan in Bogor Regency is carried out by the Department of Spatial Planning and Land Management (DTRP). DTRP developed a Standard Operating Procedure (SOP) regarding the monitoring of the spatial plan. To conduct the monitoring process, DTRP also needs to cooperate with other working units, e.g. Board of Investment and Integrated Permit (BPTSP) and Civil Service Police (Satpol PP). DTRP Bogor serves as the first substation in monitoring activities as the issuance of the construction permit. Further intensive of monitoring activities are escorted by a unit of the Department of Building Management and Housing (DTBP) to minimise the infringement.

Regarding the procedure, DTRP started by conducting a field survey for every permitted that submitted to BPTSP. If violations are found, DTRP will issue a warning letter. If the offender does not settle the issue after the third warning, then the government has any right to dismantle or revoke the landowner permits. However, due to the limited resources, DTRP needs to create a priority, which developed according to the preliminary information obtained from district authorities, also information from the citizens. Regarding the time that consumed is depends on the area and the parcels that surveyed. For the parcels sized one hectare in the industrial area, it can be done by one day. Meanwhile, for the parcels in a densely populated residential, it required up to four days.

Development of Indicators

As discussed in introductions, we developed a set of indicators according to the legal and user perspective. From the legal point of view, we noticed that three activities need to monitors, which are monitoring urban structure, urban patterns and avoiding violations. Meanwhile, from the user perspective, we noticed that the user requires methods that may reduce the resources needed and increasing the collaboration among stakeholders. Therefore, we can summarise the indicators that can be used for evaluations, which can be seen in Table 1.

Table 1. Indicators of Evaluations

Evaluations

Regarding change monitoring of urban center, it requires data that periodically collected. The change of urban center might be observed by the change of the built-up area. For this requirement, the usage of UAV has an advantage due to its ability to be deployed in the particular area and various time. Several studies have shown the usefulness of UAV to acquire spatiotemporal data. For instance, Kim et al. (2016) employed multitemporal SAR data obtained from UAV for detecting durable and permanent changes in urban areas. Another study from Rosnell et al.(2011) tested the performance of image acquired from UAV in different seasons (winter, spring, summer, autumn) and conditions (sunny, cloudy, various solar elevations).

For the second and third indicator, which are infrastructure and utilities, the usage of UAV has advantages due to the high spatial resolutions. Current UAV camera may produce an image with 6 centimetres on the spatial resolution. The usage of very high resolution (VHR) may assist the detection of the small object. Regarding the application of UAV for monitoring infrastructure and utility has demonstrated in some research. For instance, Salvo et al. (2014)used the UAV for monitoring the traffic. Another research from Sankarasrinivasan et al. (2015)used the UAV to monitor the condition of the building structure.

Similar with the advantage of the UAV in monitoring urban center, infrastructure and utility, monitoring urban pattern also require methods that may acquire multi-temporal data with appropriate spatial resolutions. However, apart from these two requirements, monitoring urban pattern also needs a platform that can cover a large area. Current development of the UAV technology has created a platform with outstanding coverage and endurance, e.g., Orion Medium-Altitude Long Endurance UAV (Figure 2) have a flight radius of 4,000 miles and can fly for 120 hours.

Figure 2. Orion UAV

Although the usage of UAV has demonstrated its usefulness in the first to the sixth indicator, apparently it has a limitation in monitoring land use conversion. Similar to different image acquisition methods, i.e., satellite imagery, not every land use class can easily detect from the image. For instance, office and the commercial area often have similar characteristics. Also, it is hard to distinguish between the public park and the vacant land. Hence, observing the land use from the ground is the most obvious approach. Although, some land use may be observed from the image, e.g., rice field and water body.

Since it is hard to monitor the land use from the UAV, it is also difficult to monitor the difference between a permit and spatial plan (indicator number eight) as well as the difference between spatial plan and actual conditions (indicator number nine). UAV also have limited use to solve the problems related to the accuracy of the land use data (indicator number 11). However, the UAV might be used to monitor development without a permit(indicator number ten), by comparing acquired image with the GIS data of building permit. We will indicate the violation if we find any changes in the particular area that do not have a building permit.

UAV have a limited use for detecting construction site that blocked access to public space. In this case, we need to define the relationship between construction sites, public facilities and the access to the public facilities. Furthermore, often the access itself is hard to define from the image. For instance, a vacant land has used as access to a public park. Hence, this case only can be detected by the local knowledge. Regarding the administrative process, UAV is of course not possible to detect this violations.

Regarding the user perception, the UAV is useful in term of reducing the time and manpower needed for data collections. Therefore, it can impact on the availability of up-to-date data that also can be used to increase the collaboration among stakeholders.

According to the above discussion, we summaries the usefulness of the UAV in Table 2.

Table 2. Summary of Evaluations

CONCLUSION

Our research has demonstrated the usage of UAV for monitoring the spatial plan. The combination of the legal and user perspective also gives a better understanding for assessing the usage of the UAV. However, UAV also has a limited usage in monitoring land use, which also similar with different image acquisition methods, i.e., satellite imagery. Since only particular land use that can be detected, incorporating with the field data is needed. In term of user perspective, UAV gives a better opportunity compared with the field survey in term of reducing the time and manpower needed.

ACKNOWLEDGEMENT

Funding for this research is obtained from Lokalaras Indonesia Institute. We also grateful by the support from the Government of Bogor Regency.

REFERENCES

  • Chen, B., Chen, Z., Deng, L., Duan, Y., &Zhou, J. (2016). Building change detection with RGB-D map generated from UAV images. Neurocomputing, 1–15.
  • Fajarini, R. (2014). The Dynamics of Land Use Change and the Spatial Plan of Bogor Regency (in bahasa). Bogor Agriculture Institute. Retrieved from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/73120?show=full).
  • Government of The Republic of Indonesia. National Law of Spatial Planning (in bahasa), Pub. L. No. 26/2007 (2007). Indonesia.
  • Government of The Republic of Indonesia. Implementation of Spatial Planning (in bahasa), Pub. L. No. 15/2010 (2010). Indonesia.
  • Kim, D. J., Hensley, S., Yun, S. H., & Neumann, M. (2016). Detection of Durable and Permanent Changes in Urban Areas Using Multitemporal Polarimetric UAVSAR Data. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 13(2), 267–271.
  • Kršák, B., Blišťan, P., Pauliková, A., Puškárová, P., Kovanič, Ľ., Palková, J., & Zelizňaková, V. (2016). Use of low-cost UAV photogrammetry to analyse the accuracy of a digital elevation model in a case study. Measurement.
  • Ministry of Public Works and Public Housing. (2015). Draft of Technical Documents on Monitoring and Evaluation of Spatial Planning (in bahasa)
  • Purba, T. P. (2015). Audit of Spatial Plan in Indonesia: expectation and implementation (in bahasa). Retrieved from https://www.academia.edu/12785507/Audit_Tata_Ruang_di_Indonesia_Harapan_dan_Tindak_Lanjut
  • Rosnell, T., Honkavaara, E., & Nurminen, K. (2011). On Geometric Processing of Multi-Temporal Image Data Collected By Light UAV Systems. ISPRS -International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXVIII-1/, 63–68.
  • Salvo, G., Caruso, L., & Scordo, A. (2014). Urban Traffic Analysis through an UAV. Procedia -Social and Behavioral Sciences, 111, 1083–1091.
  • Sankarasrinivasan, S., Balasubramanian, E., Karthik, K., Chandrasekar, U., & Gupta, R. (2015). Health Monitoring of Civil Structures with Integrated UAV and Image Processing System. Procedia Computer Science, 54, 508–515

Zona Nilai Tanah, Definisi dan Pengaruhnya

Galuh Shita

Tanah merupakan elemen dasar dari bumi yang sangat dibutuhkan oleh berbagai makhluk hidup. Dalam lingkungan perkotaan, keberadaan tanah sangatlah krusial. Selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, tanah juga berfungsi sebagai dasar untuk bertempat tinggal serta tempat mencari nafkah. Dewasa ini, keberadaan tanah menjadi hal yang sangat diimpikan. Nilainya yang terus melonjak tinggi dari tahun ke tahun membuatnya menjadi sebuah primadona yang kerap kali diinginkan oleh berbagai pihak. Hal ini menyebabkan permintaan akan tanah juga terus meningkat, yang juga turut menyebabkan permasalahan keterbatasan ketersediaan tanah, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum. Di samping itu, tanah memiliki nilainya tersendiri yang perlu untuk diseragamkan guna menghindari terjadinya konflik di masyarakat. Tanpa adanya standarisasi perhitungan nilai tanah, maka harga dasar tanah dapat menjadi tidak terkontrol.

Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai tanah. Lokasi merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi besaran harga nilai tanah, semakin strategis lokasi tanah tersebut, maka semakin baik pula nilai tanah tersebut. Strategis dapat diartikan sebagai dekatnya lokasi tanah dengan berbagai fasilitas penting yang terdapat di sekitarnya, seperti keberadaan fasilitas komersil, fasilitas transportasi, pemerintahan, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah kondisi internal dari tanah itu sendiri, seperti jenis tanah, kondisi tanah, keterjangkauan terhadap fasilitas telekomunikasi/internet, ketersediaan air tanah, dan sebagainya.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengeluarkan sebuah kebijakan untuk dapat menyediakan peta zona nilai tanah. Hal ini berkaitan dengan keberadaan tanah yang juga termasuk ke dalam objek pajak. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Hasil dari kajian terhadap ZNT dalam menentukan NJOP akan digunakan sebagai dasar pembaruan data nilai tanah dan sebagai media informasi nilai tanah bagi pelaksanaan transaksi peralihan kepemilikan tanah serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi instansi pemerintah dalam menentukan penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui NJOP.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa NJOP merupakan dasar pengenaan pajak PBB-P2 yang ditetapkan besarannya oleh Kepala Daerah setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayahnya. NJOP merupakan nilai yang diperoleh dari harga rata-rata transaksi jual beli. Namun dalam prakteknya, sebagian besar Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan NJOP dan masih menggunakan NJOP yang belum dimutakhirkan, sehingga NJOP di daerah belum mencerminkan harga transaksi atas objek Bumi dan Bangunan di daerah tersebut. Untuk membantu Pemerintah Daerah dalam rangka menetapkan nilai harga tanah berdasarkan zonasi, maka perlu untuk ditentukan Zona Nilai Tanah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, definisi dari Zona Nilai Tanah sendiri adalah zona geografis yang terdiri atas satu atau lebih objek pajak yang mempunyai satu NIR (Nilai Indeks Rata-Rata) yang sama, dan dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satuan wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan tanpa terikat pada batas blok. Dengan kata lain, ZNT merupakan kumpulan area yang terdiri dari beberapa bidang tanah dengan nilai tanah yang relatif sama pada batasan area yang telah ditentukan. Setiap area ZNT mempunyai nilai yang berbeda berdasarkan analisis terhadap nilai tanah yang dilakukan.

ZNT dapat dimanfaatkan untuk penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan, referensi masyarakat dalam transaksi, penentuan ganti rugi, inventarisasi nilai aset publik maupun aset masyarakat, memonitor nilai tanah dan pasar tanah, dan referensi penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), agar lebih adil dan transparan bagi masyarakat. NJOP merupakan acuan penarikan PBB yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup penting. Sehingga keberadaan peta ZNT sangat krusial sebagai dasar dari penyelenggaraan pembangunan di suatu daerah.

Contoh Peta Zona Nilai Tanah di Kota Semarang

Sumber: https://www.arcgis.com/apps/webappviewer/index.html?id=54252459a7f541988b4fdaf756dd5ac9

Dilansir dari kompas, saat ini pemerintah berencana untuk memperbaharui peta ZNT agar informasi yang disajikan kepada masyarakat dapat lebih akurat. Pemerintah berharap dengan adanya pembaruan ini maka informasi yang tersedia di dalam Peta ZNT dapat mencerminkan harga yang wajar dan dapat mencegah lonjakan harga yang dapat mempengaruhi ekonomi secara makro.


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Kemenkeu. 2019. “Penggunaan Zona Nilai Tanah sebagai Dasar Pemilihan Data Pembanding Untuk Penilaian Tanah dengan Pendekatan Perbandingan Data Pasar”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12937/Penggunaan-Zona-Nilai-Tanah-Sebagai-Dasar-Pemilihan-Data-Pembanding-Untuk-Penilaian-Tanah-Dengan-Pendekatan-Perbandingan-Data-Pasar.html#:~:text=Zona%20Nilai%20Tanah%20(ZNT)%20yang,nyata%20sesuai%20dengan%20penggunaan%20tanah
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Mengenal Rencana Detail Tata Ruang

Galuh Shita

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari rencana rinci tata ruang. Di Indonesia, terdapat dua jenis perencanaan utama yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang (RTR) yang menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan dalam jangka waktu dan lingkup tertentu. Rencana tata ruang terbagi menjadi 2, yakni rencana umum yang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rinci yang terdiri dari RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional dan RDTR Kabupaten dan Kota).

Kedudukan RDTR dalam Sistem Perencanaan Ruang

Penyusunan RDTR sendiri telah diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang serta diatur lebih jauh di dalam peraturan menteri yang diterbitkan pada tahun 2011 dan diperbaharui pada tahun 2018. Pada peraturan tersebut diatur mengenai hal-hal serta muatan substansi yang harus dipenuhi dalam menyusun dokumen RDTR, yang terdiri dari dokumen RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ). Adapun yang menjadi muatan substansi dari RDTR adalah tujuan penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP); rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; dan ketentuan pemanfaatan ruang.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menggantikan peraturan sebelumnya yang berkaitan dengan penyusunan substansi RDTR. Pada peraturan baru, terdapat perubahan susunan materi substansi dari dokumen RDTR. Pada peraturan yang baru, dokumen RDTR secara keseluruhan terdiri dari 7 bab, yang juga mengubah sub bab ketentuan khusus dan standar teknis menjadi materi wajib yang harus ada di dalam dokumen RDTR. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Perbedaan PERMEN ATR Nomor 20 Tahun 2011 dengan PERMEN ATR Nomor 16 Tahun 2018 tentang tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

Di dalam peraturan yang mengatur mengenai RDTR, secara umum penyusunan RDTR memiliki fungsi sebagai berikut:

  1. kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW;
  2. acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW;
  3. acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang;
  4. acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan
  5. acuan dalam penyusunan RTBL.

Sedangkan manfaat dari diselenggarakannya RDTR adalah:

  1. penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan permukiman dengan karakteristik tertentu;
  2. alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat;
  3. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan
  4. ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada tingkat BWP atau Sub BWP.

RDTR juga berfungsi untuk menentukan kesesuaian dokumen perencanaan dengan implementasi pembangunan di lapangan. RDTR merupakan dasar acuan dari diterbitkannya dokumen perizinan terkait bangunan. Tanpa adanya dokumen RDTR maka dokumen tersebut tidak dapat dikeluarkan. Jika sebelumnya untuk mendirikan bangunan diperlukan IMB, maka kini telah berganti menjadi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Meskipun telah berganti istilah, namun tetap memiliki fungsi yang sama.

Dokumen RDTR belum seluruhnya tersedia pada setiap kabupaten/kota di Indonesia. Dilansir dari harian kompas, ketersediaan dokumen RDTR baru tersedia sejumlah 55 RDTR saja dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dokumen RDTR umumnya disusun apabila dokumen RTRW yang telah ada tidak memiliki substansi yang mampu mencakup informasi detail. Keberadaan dokumen RTRW juga belum sepenuhnya tersedia, meskipun jumlahnya tidak lebih sedikit dari kekurangan dokumen RDTR. Jika ketersediaan dokumen RTRW di Indonesia sudah mencapai 95% maka ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia bahkan tidak mencapai lebih dari 5%. Hal ini tentu sangat disayangkan dan sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Terdapat beberapa faktor yang juga menjadi penyebab dari kontrasnya ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan peta dasar dengan skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR. Peta dasar yang disediakan haruslah mendapat persetujuan substansi dari Badan Informasi Geospasial. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Di samping itu, dibutuhkan pula validasi mengenai kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk mempercepat proses ini guna menyediakan dokumen RDTR di seluruh Indonesia, maka pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN tengah menggenjot program penyusunan RDTR melalui RDTR Bimbingan Teknis, RDTR Bantuan Teknis Reguler, dan RDTR Online Single Submission (OSS). Diharapkan dengan adanya program ini maka ketersediaan dokumen RDTR dapat segera terpenuhi di seluruh Indonesia.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Kompas. 2020. “Indonesia Baru Punya 55 RDTR yang Telah Jadi Perda”. Diperoleh 6 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2020/03/11/100000421/indonesia-baru-punya-55-rdtr-yang-telah-jadi-perda
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Pratama, M. Arszandi, dkk. 2015. Menata Kota melalui Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Perumahan/Permukiman Kumuh serta Upaya Penanganannya

Galuh Shita A.B.

Dalam setiap kota besar yang ada di Indonesia, permasalahan permukiman kumuh menjadi momok yang sering ditemui dan tak ayal menjadi sebuah gangguan visual yang harus diatasi. Tak hanya berupa gangguan visual, namun juga menjadi permasalahan sosial yang harus cepat ditangani guna menciptakan masyarakat perkotaan yang makmur dan sejahtera. Permukiman kumuh sendiri dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya dapat terjadi karena pengaruh arus urbanisasi yang tidak terkontrol. Tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan masyarakat mengokupansi lokasi hunian, baik legal ataupun illegal, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya kekumuhan di perkotaan.

Suatu lingkungan hunian dapat dikatakan kumuh apabila memiliki karakteristik seperti berikut, yaitu: kualitas bangunan tidak permanen, memiliki kepadatan tinggi dan tidak teratur, berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peraturan peruntukkan ruang, memiliki ukuran unit rumah yang relatif kecil, ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung permukiman yang sangat terbatas (kondisi jalan, drainase, persampahan, dan lainnya), rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, tingkat kesejahteraan penduduknya yang tergolong menengah ke bawah, dan sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, definisi dari permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Peningkatan kualitas terhadap perumahan dan permukiman kumuh dilakukan dengan meningkatkan kualitas bangunan, serta prasarana, sarana, dan utilitas umum. Kriteria perumahan dan permukiman kumuh ditinjau dari bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan proteksi kebakaran.

Kriteria KumuhKondisi
Bangunan Gedung– Ketidakteraturan bangunan
– Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang
– Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat
Jalan Lingkungan– Jaringan jalan lingkungan tidak melayani seluruh lingkungan perumahan atau permukiman
– Kualitas permukaan jalan lingkungan buruk
Penyediaan Air Minum– Akses aman air minum tidak tersedia
– Kebutuhan air minum setiap individu tidak terpenuhi
Drainase Lingkungan– Drainase lingkungan tidak tersedia
– Drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan
– Kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk
Pengelolaan Air Limbah– Sistem pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
– Prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
Pengelolaan Persampahan– Prasarana dan sarana persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
– Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
Proteksi Kebakaran– Prasarana proteksi kebakaran tidak tersedia
– Sarana proteksi kebakaran tidak tersedia
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Untuk dapat mengentaskan permasalahan ini, Pemerintah kemudian melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) meluncurkan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh dan mendukung Gerakan 100-0-100, yaitu 100% akses air minum layak, 0% permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Tujuan dari diselenggarakannya program ini adalah untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru dalam rangka untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Diharapkan, sebaran perumahan atau permukiman kumuh yang terdapat di kota-kota besar dapat teratasi dengan adanya program ini.

Tahapan Implementasi Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Suatu perumahan atau permukiman perlu untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan untuk dapat dikategorikan kumuh. Setiap tahapan upaya penanganan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat (LKM/BKM), pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lainnya (stakeholder). Penetapan lokasi perumahan atau permukiman kumuh dilakukan melalui proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, yang meliputi identifikasi lokasi dan penilaian lokasi, yang juga mencakup kondisi kekumuhan serta legalitas tanah. Setelah dilakukan ketetapan terhadap perumahan atau permukiman kumuh, maka tahapan selanjutnya adalah perencanaan penanganan yang dilakukan melalui tahap persiapan, survei, analisis, penyusunan data dan fakta, analisis, penyusunan konsep pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta penyusunan rencana pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh. Hasil penilaian yang dilakukan terhadap lokasi perumahan atau permukiman kumuh akan melahirkan penetapan pola penanganan yang sesuai terhadap perumahan atau permukiman kumuh, yaitu apakah akan ditempuh melalui pemugaran, peremajaan, atau pemukiman kembali.

PemugaranPeremajaanPemukiman Kembali
lokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah illegallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah ilegal
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Pelaksanaan kegiatan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Keterlibatan masyarakat juga dapat menjadi salah satu kunci penting dalam tahapan pelaksanaan. Tahap Keberlanjutan bertujuan untuk melakukan kegiatan perawatan dan pemeliharaan atas apa yang telah dikerjakan melalui Program Kotaku. Hal ini dilakukan agar kegiatan penanganan yang dilakukan dapat terpelihara dengan baik.

Dilansir dari laman kotaku, sumber pembiayaan Program Kotaku berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan lainya (stakeholder) serta dari lembaga mitra pembangunan pemerintah. Program KOTAKU tahun 2021 yang tergabung ke dalam kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat di Bidang Sanitasi meliputi Sanitasi Berbasis Masyarakat Regular, Tempat Pengolahan Sampah Dengan Prinsip 3R, Sanitasi Perdesaan, Sanimas Citarum Harum, dan TPS 3R Citarum Harum, diselenggarakan di seluruh provinsi yang terdapat di Indonesia dengan lokasi terbesar berada pada kategori peningkatan Sanitasi Perdesaan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyar Nomor 117 tahun 2021 tentang Penetapan Lokasi dan Besaran Bantuan Kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat Tahun Anggaran 2021
  • Website kotaku.pu.go.id

Mengenal Fungsi dan Peran RTRW

Galuh Shita

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu dari rangkaian pedoman bagi para stakeholder perencana kota untuk membangun kotanya sesuai dengan amanat serta ketentuan yang telah ditetapkan. RTRW merupakan bagian dari rencana umum dan merupakan turunan serta merujuk dari peraturan yang lebih tinggi, yakni rencana pembangunan, baik lingkup nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Secara umum, dokumen RTRW juga merupakan dasar perumusan kebijakan pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Berbagai kebijakan tersebut termasuk dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan, kawasan lindung dan budidaya serta kawasan strategis.

Kedudukan RTRW dalam Sistem Perencanaan Ruang

Menilik lebih awal, keseluruhan amanat penyediaan produk penataan ruang bermula dari terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa pengadaan RTRW perlu dilakukan sebagai landasan pembangunan dan pengembangan wilayah. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam rangka perwujudan ruang wilayah nasional tersebut, maka penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Selain itu, dalam penyusunannnya juga perlu memperhatikan beberapa hal seperti Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Dalam UU Penataan Ruang, juga disebutkan bahwa penyusunan dokumen RTRW akan menjadi pedoman bagi beberapa dokumen perencanaan lainnya, seperti: rencana pembangunan jangka panjang; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, serta keserasian antar sektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; penataan ruang kawasan strategis; dan penataan ruang wilayah dokumen di bawahnya.

Dokumen RTRW berlaku selama 20 tahun dan perlu untuk dilakukan peninjauan ulang setiap minimal 5 tahun sekali. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, maka rencana tata ruang wilayah dapat ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam kurun waktu 5 tahun.

Adapun muatan dari RTRW baik dalam lingkup nasional, provinsi, ataupun kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

  • Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
  • Rencana struktur ruang, yang meliputi sistem perkotaan yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
  • Rencana pola ruang, yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis wilayah
  • Penetapan kawasan strategis
  • Arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan
  • Arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi

Penyusunan rencana tata ruang mencakup berbagai aspek, seperti rencana spasial serta rencana pembangunan daerah, yang tidak terlepas dari aspek keuangan daerah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan perencanaan ruang yang berfungsi sebagai dokumen acuan bagi pembangunan daerah. Dalam hal ini, tidak hanya berfokus pada tata cara implementasinya namun juga pada seberapa besar investasi yang dibutuhkan serta seberapa besar pendapatan yang dapat dihasilkan dari produk perencanaan ruang tersebut. Sehingga peran produk perencanaan ruang, dalam hal ini RTRW akan menjadi krusial dalam rangka upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah serta bagaimana untuk mencapai tujuan dari pembangunan tersebut.

RTRW merupakan landasan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah. Selain itu juga sebagai landasan dalam mencapai keserasian antarsektor di daerah. Dalam hal ini, RTRW memiliki peran sebagai solusi dari konflik pemanfaatan ruang yang harus mampu mensinergikan berbagai kepentingan dalam ruang yang sifatnya terbatas. Keberadaan RTRW juga perlu ditindaklanjuti dengan adanya rencana detail sebagai dasar bagi pemerintah daerah dalam memberikan izin-izin pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan, dalam hal ini dituangkan ke dalam produk dokumen RDTR (Rencana Detil Tata Ruang).

Keberadaan produk penataan ruang belum seluruhnya dimiliki oleh seluruh provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dilansir dari harian kompas pada tahun 2019, disebutkan bahwa sebanyak 475 kabupaten/kota sudah memiliki dokumen RTRW, yang berarti sudah mencapai hampir 95% dari keseluruhan wilayah di Indonesia. Lalu pada tahun 2020, dilansir dari website milik ATR/BPN disebutkan bahwa pada bulan November di tahun tersebut Direktorat Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah I telah menyerahkan Surat Persetujuan Substansi (Persub) beserta dokumen kelengkapan administrasinya di Wilayah Jawa dan Bali, yang mencakup RTRW Kabupaten Wonogiri Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Pekalongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Lamongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Tuban Tahun 2020-2039, RTRW Kabupaten Cilacap Tahun 2010-2031, RTRW Kota PekalonganTahun 2009-2029, RTRW Kota Tegal Tahun 2011-2031, RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031, dan RDTR Kawasan Perkotaan Singaraja, Kabupaten Buleleng Tahun 2020-2024. Hal ini menunjukkan bahwa proses penglengkapan dokumen perencanaan ruang di Indonesia kian menunjukkan proses yang positif, serta menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan dokumen perencanaan ruang yang berkualitas.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • ATRBPN. 2009. “Peran RTRW dalam Mendorong Percepatan Pembangunan Daerah”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/1681
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pengembangan Desa Wisata

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang luas memiliki potensi wisata yang sangat beragam yang tersebar di berbagai wilayah. Desa merupakan wilayah administrasi terkecil yang diakui oleh negara. Keberadaan lokasi wisata di dalam desa merupakan hal yang lumrah, namun keberadaan desa wisata masih belum banyak ditemui di Indonesia. Beberapa desa wisata yang terdapat di Indonesia diantaranya berada di Bali, Yogyakarta, NTT, dan lainnya.

Wisata di desa dengan desa wisata memiliki definisi yang berbeda. Terdapat beragam definisi yang berkaitan dengan desa wisata. Dalam sebuah jurnal pariwisata, Priasukmana dan Mulyadin mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan dari suasana yang mencerminkan keaslian dari pedesaan itu sendiri mulai dari sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas dan dari kehidupan sosial ekonomi atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan. Pendapat lain mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan atau wilayah pedesaan yang dapat dimanfaatkan atas dasar kemampuan beberapa unsur yang memiliki atribut produk wisata secara terpadu, dimana desa tersebut menawarkan keseluruhan suasana dari pedesaan yang memiliki tema keaslian pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat istiadat yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang desa menjadi suatu rangkaian kegiatan dan aktivitas pariwisata.

Kementerian Pariwisata mendenifisikan desa wisata sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Penyelenggaraan desa wisata memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya berasal dari penyelenggara pariwisata itu sendiri. Seperti yang sebelumnya telah disampaikan bahwa desa wisata berbeda dengan objek wisata yang berada di desa. Penyelenggaraan desa wisata memiliki arti untuk membuat suatu desa memiliki seluruh aspek yang mendukung kegiatan penunjang pariwisata, tidak hanya dari segi ketersediaan aspek 3A (aksesbilitas, amenitas, atraksi) namun juga keterlibatan lapisan masyarakat yang ada di dalamnya. Penyelenggaraan desa wisata secara umum tidak merubah yang sudah ada, namun lebih melengkapi dan mengembangkan terhadap kebutuhan desa wisata tersebut. Pengembangan desa wisata perlu didukung oleh berbagai faktor, yaitu:

  • Wilayah pedesaan yang telah memiliki potensi alam atau budaya yang menjadi ciri khas atau lebih otentik dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Terlebih apabila masyarakat pedesaan masih menjalankan tradisi atau ritual budaya dan topografi yang serasi
  • Wilayah pedesaan memiliki lingkungan fisik yang asri dan belum banyak tercemar oleh beragam jenis polusi dibandingkan dengan kawasan perkotaan
  •  Wilayah pedesaan memiliki perkembangan ekonomi yang relative lambat sehingga dapat menjadi suatu alasan kuat untuk dikembangkan menjadi sebuah desa wisata melalui pengembangan pemanfaatan potensi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat

Secara keseluruhan, faktor-faktor penting untuk dapat mewujudkan pengembangan desa wisata adalah: tersedianya paket pariwisata yang ditawarkan secara lengkap; kepemimpinan masyarakat yang baik; dukungan dan partisipasi pemerintah daerah; dana yang cukup untuk pengembangan pariwisata; perencanaan strategis; koordinasi dan kerja sama antar stakeholder (pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lainnya); koordinasi dan kerja sama antar pengusaha pariwisata pedesaan; informasi dan bantuan teknis untuk pengembangan promosi pariwisata; Lembaga pariwisata dan biro perjalanan wisata; dan besarnya dukungan masyarakat lokal untuk pariwisata.

Pengembangan desa wisata perlu memperhatikan keseimbangan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya serta pengalokasian ruang di dalam desa itu sendiri. Tidak seluruh lokasi yang ada di dalam desa harus menjadi daya tarik wisata, meskipun berada pada wilayah pariwisata. Kolaborasi dengan seluruh perangkat masyarakat desa juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pengembangan desa wisata. Mengembangkan desa wisata bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih pada wilayah desa yang memiliki karakteristik lingkungan alam dan budaya yang pekat.

Keberadaan desa wisata mendatangkan banyak manfaat, salah satunya adalah menekan laju urbanisasi. Dengan berkembangnya desa wisata, hal tersebut akan menekan tingkat perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa pengembangan desa wisata juga akan diiringi oleh peningkatan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata, seperti sarana dan prasarana serta kelengkapannya. Sehingga keberadaan desa wisata secara langsung akan memajukan kualitas desa tersebut.

Selain untuk mengembangkan sektor pariwisata dengan lebih luas, pengembangan desa wisata dapat mendorong peningkatan peran masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata, serta dapat bersinergi dan bermitra dengan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat di desa wisata umumnya telah memiliki keunikan tradisi dan budaya yang telah melekat sehingga pelibatan masyarakat desa dapat menjadi motor utama penggerak kegiatan di desa wisata. Hal yang harus dihindari adalah membiarkan dan mengabaikan keberadaan masyarakat sehingga tingkat partisipasi tidak tercipta dengan maksimal.

Pemerintah sendiri pernah mencoba meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dengan mengkolaborasikannya dengan sektor pariwisata. Hal ini didukung penuh dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata. Tujuan utama PNPM Mandiri Pariwisata adalah untuk meningkatkan kemampuan, menciptakan lapangan kerja dan usaha masyarakat di sektor pariwisata. PNPM Mandiri Pariwisata difokuskan pada pemberdayaan masyarakat desa wisata yang menjadi bagian dari gugusan (cluster) pariwisata tertentu. Kini pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemendesPDTT) tengah menargetkan sebanyak 244 desa wisata agar tersertifikasi menjadi desa wisata mandiri hingga 2024, sesuai dengan amanat RPJMN 2022-2024.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata
  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 18 Tahun 2011 tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata
  • Nuryanti, Wiendu. 1993. “Concept, Perspective and Challenges”, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press.Page
  • Wiwin, I Wayan. 2019. “Faktor Sukses dalam Pengembangan Wisata Pedesaan”. Jurnal Pariwisata Budaya Volume 4.
  • Kabarkota. 2018. “Desa Wisata: Antara Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://www.kabarkota.com/desa-wisata-antara-pemberdayaan-masyarakat-dan-pengentasan-kemiskinan/
  • Detik. 2018. “Jadilah Desa Wisata, Agar Tidak Ada Urbanisasi ke Kota”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://travel.detik.com/travel-news/d-4169939/jadilah-desa-wisata-agar-tidak-ada-urbanisasi-ke-kota
  • Bisnis. 2021. “Kemenparekraf Gaet Kemendes PDTT Sinergikan Program Desa Wisata”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210120/12/1345316/kemenparekraf-gaet-kemendes-pdtt-sinergikan-program-desa-wisata

Mengenal Nomadic Tourism

Oleh Galuh Shita

Istilah nomadic tourism mungkin masih terdengar asing bagi kalangan masyarakat. Istilah nomadic tourism mengambil inspirasi dari kebiasaan masyarakat Mongolia yang berpindah-pindah tempat tinggal. Dilansir dari KBBI Kemendikbud, istilah nomad memiliki arti kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu. Secara umum, istilah nomadic tourism merupakan gaya pariwisata baru dimana wisatawan dapat menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang mudah dipindahkan (portable) dan berpindah-pindah.

Dilansir dari UNWTO (The World Tourism Organization) umumnya terdapat beberapa karakteristik wisatawan dari jenis pariwisata ini, seperti masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan hingga kuliah, berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan menengah dan umumnya tidak memiliki anak di bawah 12 tahun. Secara tidak sadar, sebagian masyarakat mungkin sudah menjadi bagian dari pelaku wisata nomad. Karakteristik wisatawan yang menjadi pelaku wisata nomad mirip dengan pelaku wisata backpack yang cenderung berpindah-pindah. Yang membedakan adalah kecenderungan wisatawan untuk menghabiskan biaya dengan jumlah yang lebih besar dan tempat tinggal yang lebih nyaman. Para pelaku nomad umumnya tetap mengutamakan kenyamanan dan rela menghabiskan uang untuk menghemat waktu dalam berpindah tempat, tidak seperti backpacker yang cenderung menghemat biaya atau bahkan memilih untuk tidak mengeluarkan uang sama sekali, misalnya menumpang kendaraan ataupun penginapan.

Menurut Kemenpar, terdapat 3 jenis tipe wisatawan nomad, yaitu:

  • Glampacker, sering disebut pula sebagai millennial nomad, merupakan kelompok wisatawan yang memiliki preferensi wisata untuk menghabiskan waktu mereka pada destinasi wisata yang mewah. Kelompok wisatawan ini cenderung untuk tidak mengorbankan kenyamanan dan mencoba untuk melihat dunia dari zona nyaman mereka. Mereka tidak akan ragu untuk menghabiskan uang mereka pada hal-hal yang mampu menawarkan kemewahan, baik pada penginapan, barang ataupun pengalaman.
  • Luxpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan luxurious nomad, merupakan kelompok wisatawan yang melakukan perjalanan mengembara untuk melupakan daerah asal mereka dengan menggunakan fasilitas media daring.
  • Flashpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan digital nomad, merupakan kelompok wisatawan yang mirip dengan tipe wisatawan backpacker namun lebih memilih untuk menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman. Apabila backpacker lebih mementingkan harga yang murah meskipun memakan waktu yang lama dalam perjalanan ataupun tinggal di tempat yang nyaman, maka flashpacker merupakn tipe wisatawan yang akan rela membayar lebih untuk dapat menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman meskipun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Identifikasi Karakteristik Pelaku Wisata Digital Nomad

Judul dan PenulisDefinisiHasil
Judul Nomadic Tourism, Wisata Pendidikan, Digitalisasi dan Wisata Event dalam Pengembangan Destinasi  
Penulis Dr. Ni Made Eka Mahadewi., M.Par., CHE  
Lokasi Bali (2018)
Nomadic Tourism adalah kegiatan wisata yang dilakukan secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dilakukan oleh wisatawan usia produktif berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan dan mengandalkan informasi terkini.
Flashpacker, atau disebut sebagai wisatawan Digital Nomad yang menetap sementara pada suatu tempat, sembari bekerja darimana saja. Terdapat 5 juta wisatawan dengan kategori flashpacker yang memiliki afinitas terhadap Indonesia dan tertarik dengan dunia digital nomad.
Nomadic Tourism:
– wisata berpindah-pindah
– usia produktif 35-55
– punya penghasilan
– update informasi terkini

Flashpacker/digital nomad:
– menetap sementara waktu sembari bekerja dimana saja
Judul Become Nomad  
Penulis Eli David
Lokasi Israel (2014)
Digital nomad adalah orang yang terus bergerak dan menjelajahi destinasi baru, akan tetapi masih bergantung pada teknologi untuk terus bekerja. Seorang digital nomad akan mengandalkan teknologi untuk komunikasi sehingga mereka dapat tetap berhubungan dengan klien mereka. Biasanya, ini berarti bahwa ada minggu kerja reguler kemudian perjalanan wisata dilakukan pada akhir pekan. Kemudian itu juga bisa berarti bahwa bepergian dilakukan saat ada pekerjaan dan ketika seseorang harus terus-menerus tinggal di berbagai negara untuk tujuan kerja.Digital Nomad:
– Orang yang terus bergerak menjelajahi destinasi baru
– Sangat bergantung pada teknologi untuk terhubung kepada klien/pekerjaan
– Berwisata di akhir pekan
– Harus selalu siap berpindah ke berbagai negara untuk tujuan pekerjaan
Judul Digital Nomads: Employment In The Online Gig Economy  
Penulis Beverly Yuen Thompson
Lokasi New York (2018)
Pengembara digital adalah pekerja yang pekerjaan utamanya dilakukan di internet. Mereka tidak diharuskan datang sendiri untuk melakukan pekerjaan mereka, sehingga mereka “independen”. Tetapi hanya sebagian kecil dari pekerjaan yang benar-benar dapat dilakukan secara online seperti pemasaran digital, desain web, rekayasa perangkat lunak, atau pemrograman komputer, tutor bahasa video online. Untuk sebagian besar adalah pekerja dari jarak jauh, biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota dan bekerja dari rumah atau beberapa di tempat-tempat lokal.Digital Nomad:
– Pekerjaan utamanya selalu berhubungan dengan internet
– Independen/freelancer
– Contoh pekerjaan yang dilakukan digital nomad adalah digital marketing, web design, design software, pemrograman computer, tutor bahasa video online.
– Biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota
– Bekerja dari rumah
Judul The New Global Nomads: Youth Travel In A Globalizing World
Penulis Greg Richards  
Lokasi Belanda (2015)
Nomad digital atau flashpacker adalah traveler yang paling terhubung dengan dunia digital, sering menggunakan media sosial dan juga lebih cenderung susah membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berlibur. Digital nomad juga memiliki kontak jauh lebih sedikit dengan ‘masyarakat lokal’.Digital nomad:
– Sangat terhubung dengan dunia digital
– Sering menggunakan media sosial
– Sulit membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berwisata
– Kurang melakukan kontak dengan masyarakat lokal
Judul Digital Nomadism  
Penulis Georgios Mouratidis
Lokasi Swedia (2015)
Laptop, smartphone, dan tablet adalah media yang menghubungkan virtual dengan medan fisik, mengatur semua jenis media lain yang terlibat dalam produksi tanda-tanda digital nomaden. “Media seluler” dan “smart devices” memungkinkan peredaran data tanpa koneksi fisik, memberikan kesempatan kepada para penggunanya untuk bekerja dari mana saja, sebagian besar di kafe yang menawarkan WiFi gratis dan ruang kerja bersama yang biasanya juga menyediakan ruang meja individual dan fasilitas kantor.Alat teknologi yang digunakan digital nomad:
– Laptop, smartphone, smart device
– membutuhkan Wi-Fi
– membutuhkan co-working space

Sumber: Studi Digital Nomad

Pada tahun 2018, Kementerian Pariwisata di bawah kepemimpinan Menteri Arief Yahya, telah mencanangkan program wisata nomad secara digital sebagai upaya untuk mendatangkan banyak wisatawan. Hal ini dikarenakan jenis wisata ini memiliki karakter bisnis yang murah, operasional tergolong cepat, dan tingkat pengembalian modal cenderung cepat dikarenakan karakter pasar potensial yang disasar sebagian besar adalah wisatawan dengan kelas menengah-atas. Adapun yang tergolong ke dalam aspek 3A dalam jenis pengembangan destinasi wisata nomad, yaitu:

Nomadic tourism attraction

Merupakan bentuk atraksi wisata yang memberikan hiburan ataupun event kepada wisatawan nomad. Atraksi hiburan yang dapat disajikan dalam jenis wisata ini dapat berupa atraksi wisata alam hingga buatan, ataupun event kegiatan.

Nomadic tourism amenities

Merupakan ragam fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti salah satunya adalah ketersediaan akomodasi. Adapun jenis ketersediaan akomodasi yang umumnya disediakan untuk jenis wisata nomad adalah:

  • Karavan, yang dapat diprogram untuk berpindah harian, mingguan, ataupun pada waktu tertentu dan dapat diberhentikan di lokasi tertentu.
  • Glamping, merupakan fasilitas penginapan berupa tenda mewah yang dilengkapi dengan fasilitas hotel berbintang. Jenis akomodasi ini sudah banyak ditemui di beberapa lokasi wisata di Indonesia.
  • Home-pod, merupakan fasilitas penginapan yang berbentuk rumah telur, yang dapat dipindahkan dalam waktu yang lebih panjang dari glamping.

Nomadic tourism access

Merupakan kemudahan akses untuk menuju destinasi wisata. Bentuk kemudahan akses dalam jenis wisata nomad dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan seaplane, helicity, ataupun penginapan di dalam kapal pesiar.

Ekosistem Wisata Nomad

Sumber: Kementerian Pariwisata, 2018

Penyelenggaraan wisata nomad memerlukan ekosistem yang terintegrasi. Target market dari jenis wisata nomad tak hanya berasal dari wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara dengan kelas menengah hingga menengah atas. Hal ini dikarenakan fasilitas yang ditawarkan dalam jenis wisata ini umumnya memakan biaya yang cukup besar, seperti penyewaan karavan, penginapan glamping, dan sebagainya. Selain itu, wisata nomad pada umumnya memang ditujukan kepada lokasi wisata yang belum memiliki banyak kelengkapan amenitas. Penerapan program wisata nomad dinilai cocok dikarenakan wisata alam di Indonesia banyak digemari oleh kaum milenial. Konsep wisata ini juga dinilai cocok dan mampu untuk menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah kepulauan dengan akses yang sulit dijangkau.


Bahan Bacaan

  • Phinemo. 2018. “Kemenpar Gencarkan Nomadic Tourism, Ada yang Tahu Apa Nomadic Tourism Itu?”. Diperoleh 16 Maret 2021 dari https://phinemo.com/kemenpar-gencarkan-nomadic-tourism-ada-yang-tahu-apa-nomadic-tourism/
  • Deviesthe, Michelle Yohanne. 2019. Studi Digital Nomad di Kota Bandung. Bandung: STP Bandung.
  • Liputan6. 2019. “Nomadic Tourism, Konsep Kamping Mewah yang Diminati Investor China”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://www.liputan6.com/news/read/3984545/nomadic-tourism-konsep-kamping-mewah-yang-diminati-investor-china
  • Kompas. 2018. “”Nomadic Tourism” Sasar Wisatawan Mancanegara”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://travel.kompas.com/read/2018/03/27/173000627/-nomadic-tourism-sasar-wisatawan-mancanegara
  • Dokumen Nomadic Tourism oleh Asisten Deputi Manajemen Strategis, Kementerian Pariwisata 2018.

Potensi Kopi sebagai Agrowisata Utama di Indonesia

Galuh Shita A.B.

Indonesia memiliki potensi kopi yang cukup besar. Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terbaik kedua di dunia setelah Brazil. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kopi pun tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah dan sebaran kedai kopi yang meningkat drastis di berbagai kota. Menurut Speciality Coffee Association of Indonesia (SCAI), pertumbuhan kedai kopi di Indonesia pada tahun 2020 mencapai hingga 20%. Hal ini membuktikan bahwa antusiasme masyarakat terhadap kopi sangatlah tinggi.

Fenomena ini juga menginspirasi pemerintah melalui Kemenparekraf untuk mendorong para produsen kopi agar mampu menciptakan produk kopi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pada periode kepemimpinan Wishnutama sebagai Kepala Kemenparekraf, penyediaan wisata kopi sebagai salah satu travel pattern di Indonesia sempat digaungkan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kopi dapat menjadi sector unggulan bagi pariwisata, khususnya pariwisata berbasis pertanian atau agrowisata.

Sebenarnya, seberapa besarkah potensi kopi yang ada di Indonesia?

Sebaran Perkebunan Kopi

Perkebunan kopi di Indonesia tersebar hampir di seluruh provinsi, kecuali wilayah provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data yang didapat dari BPS pada tahun 2018*, tercatat bahwa luas perkebunan kopi di Indonesia secara keseluruhan mencapai sebesar 1,2 juta Ha yang terbagi ke dalam 3 status perusahaan, yakni Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR).

Gambar 1           Sebaran Perkebunan Kopi di Indonesia

Perkebunan Rakyat mendominasi lebih dari 90% luasan perkebunan kopi yang ada di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan perkebunan kopi yang terluas di Indonesia yaitu 251 ribu hektar pada tahun 2019 atau 20,65 % dari total luas areal kopi di Indonesia. Provinsi Lampung menempati posisi kedua dengan total luas perkebunan sebesar 157 ribu hektar. Dari keseluruhan perkebunan kopi di Indonesia, provinsi dengan luasan areal kopi terkecil berada di Kepulauan Riau dengan luas hanya sebesar 2 hektar.

Produktivitas Perkebunan Kopi

Hasil produksi kopi di Indonesia didistribusikan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Jumlah penjualan ke luar negeri pun tidak main-main dan mampu mencapai angka yang fantastis. Adapun negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah:

  1. Amerika Serikat, dengan volume ekspor mencapai 58,67 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 253,87 juta
  2. Malaysia, dengan volume ekspor sebesar 36,9 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 62,94 juta
  3. Italia, dengan volume ekspor sebesar 35,45 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 60,35 juta
  4. Mesir, dengan volume ekspor sebesar 34,29 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 59,06 juta
  5. Jepang, dengan volume ekspor sebesar 25,59 ribu ton dan nilai ekspor US$ 68,57 juta

Pada tahun 2019 tercatat total jumlah penjualan ekspor mencapai sekitar 359 ribu ton sementara total jumlah pembelian impor ke dalam negeri hanya sebesar 32 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa peminat kopi Indonesia di luar negeri tidaklah main-main dan masyarakat Indonesia pun lebih banyak menyukai dan menikmati kopi lokal.

Berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2018 produksi kopi Indonesia mencapai 756 ribu ton, sedangkan pada tahun 2019 diperkirakan mencapai hampir 742 ribu ton. Rata-rata hasil pertanian yang mampu dihasilkan adalah sebesar 794 kg per hektarnya. Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki areal perkebunan kopi terluas di Indonesia memiliki jumlah produksi yang terbanyak yakni sebesar 196 ribu ton.

Syarat Lokasi Perkebunan Kopi

Nyatanya, untuk menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi diperlukan beberapa kondisi khusus terhadap pemilihan perkebunan kopi. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan baik atau tidaknya pertumbuhan dan produksi tanaman kopi, seperti ketinggian lahan, suhu udara, serta curah hujan. Umumnya lokasi perkebunan kopi berada pada ketinggian antara 600 hingga 1.700 mdpl, namun hal tersebut dapat bervariasi dan disesuaikan dengan jenis kopi yang akan ditanam seperti kopi robusta, arabika, atau liberika. Kondisi ketinggian lahan tersebut memiliki kondisi curah hujan dan suhu udara yang berbeda pula. Dilansir dari publikasi Kementerian Pertanian, kondisi curah hujan yang dibutuhkan kopi Robusta dan Arabika sama yaitu berkisar 1.250 – 2.500 mm/tahun sedangkan untuk kopi Liberika nilainya lebih tinggi yaitu berkisar 1.250 – 3.500 mm/tahun.

Kriteria Teknis Kesesuaian Lahan Perkebunan Kopi

Sumber: Ditjenbun, 2014 dalam balittri.litbang.pertanian.go.id

Kelas kesesuaian lahan pada suatu wilayah ditentukan berdasarkan tipe penggunaan lahan, yaitu:

Kelas S1/Sangat Sesuai

Lahan dengan klasifikasi ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang dibutuhkan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas lahan serta tidak akan meningkatkan keperluan masukan yang telah biasa diberikan.

Kelas S2/Sesuai

Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Faktor pembatas yang ada akan mengurangi produktivitas lahan serta mengurangi tingkat keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas S3/Sesuai Marginal

Lahan mempunyai pembatas-pembatas serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Tingkat masukan yang diperlukan melebihi kebutuhan yang diperlukan oleh lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian S2, meskipun masih dalam Batas-batas kebutuhan yang normal.

Kelas N/Tidak Sesuai

Lahan dengan faktor pembatas yang permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan pengembangan lahan untuk penggunaan tertentu.  Faktor pembatas ini tidak dapat dikoreksi dengan tingkat masukan yang normal.

Memproduksi kopi membutuhkan banyak factor penentu agar dapat menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi. Indonesia memiliki dataran yang luas serta kondisi tanah yang cukup baik untuk ditanami kopi sehingga tak heran bila produksi kopi yang dihasilkan sangatlah berlimpah. Melihat potensi ini, tentu saja sektor agrowisata kopi sangatlah berpotensi untuk dikembangkan agar masyarakat dapat mengetahui dan mempelajari proses pembuatannya dari hulu ke hilir.

———-

*belum tersedia data terbaru pada saat artikel ini dibuat

Bahan Bacaan

  • Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Kementerian Pertanian). 2017. “Persiapan dan Kesesuaian Lahan Tanaman Kopi”. Diperoleh 8 Maret 2021 dari http://balittri.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/474-persiapan-dan-kesesuai-lahan-tanaman-kopi
  • Investor Daily. 2021. “SYL: 2021, Kopi Indonesia Harus Jadi Ikon di Pasar Internasional”. Diperoleh 5 Maret 2021 dari https://investor.id/business/syl-2021-kopi-indonesia-harus-jadi-ikon-di-pasar-internasional
  • Statistik Kopi Indonesia 2019, Badan Pusat Statistik
  • Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020, Kementerian Pertanian

Agrowisata dan Potensinya

Galuh Shita A.B.

Indonesia diketahui merupakan negara agraris yang memiliki dataran yang luas dan sangat lekat dikenal dengan kondisi alamnya yang indah, termasuk di dalamnya adalah area pertanian. Hal ini tentu menjadi sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Terlebih, kondisi pariwisata di Indonesia juga sangat baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia, baik lokal maupun internasional. Pengembangan wisata berbasis agro tentu akan dapat memaksimalkan 2 hal, ketersediaan bahan pangan yang terjamin serta meningkatnya berbagai hal yang berkaitan dengan pariwisata.

Definisi dari agrowisata sendiri adalah rangkaian kegiatan wisata yang memanfaatkan sektor pertanian atau perkebunan sebagai objek utamanya, sehingga tentu saja pemandangan alam yang khas dengan kawasan pertanian serta beragam aktivitas terkait akan menjadi objek utama yang ditonjolkan. Adanya kegiatan agrowisata juga diharapkan akan dapat memperluas wawasan serta pengalaman wisata yang berbeda bagi para pengunjungnya.

Pengelolaan kawasan agrowisata perlu dilakukan dengan baik dan matang. Hal ini ditujukan agar pengembangan kawasan agrowisata dapat memberikan manfaat yang maksimal. Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari pengembangan agrowisata adalah:

  1. Meningkatkan konservasi lingkungan
  2. Meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam
  3. Memberikan nilai rekreasi
  4. Meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan
  5. Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar

Di negara lain, agrowisata bahkan dapat menjadi salah satu faktor dalam mempromosikan negaranya, seperti salah satunya adalah New Zealand yang dikenal memiliki hasil pertanian seperti buah apel, kiwi, pear, dan lainnya. Lalu contoh lainnya adalah Thailand yang cukup terkenal dengan buah durian, jeruk, apel, dan lainnya. Di Indonesia sendiri telah berkembang banyak sekali kawasan agrowisata yang tersebar di berbagai provinsi dengan berbagai keunikannya yang menjadi ciri khas bagi setiap destinasi wisata. Salah satu contohnya, Indonesia kini tengah menggarap konsep agrowisata yang dapat berpotensi memiliki daya saing tinggi, seperti pengembangan agrowisata kopi. Dilansir dari Kumparan, Kemenparekraf saat ini tengah menyusun travel pattern untuk pengembangan coffee yard di Indonesia. Hal ini diupayakan untuk dapat mendukung Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia dan diharapkan akan dapat menjadi ikon utama yang menjadi ciri khas Indonesia.

Keberadaan agrowisata lantas memiliki peran yang penting bagi sebuah negara. Lantas, aspek dan faktor apa saja yang dapat mendukung agrowisata untuk dapat menjadi lebih berkembang?

  • Kualitas sumber daya manusia tentu menjadi faktor utama dalam perkembangan agrowisata. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan SDM yang baik untuk dapat menciptakan, mengelola, mengemas, dan menyajikan kawasan agrowisata yang unik dan tepat sasaran akan dapat membawa agrowisata ke arah yang lebih baik. Tak hanya pengelola, namun peran stakeholder pendukung seperti investor, pemasaran, pemandu wisata, hingga tenaga petani juga dinilai sangat penting. Untuk dapat mendukung hal ini, maka pemerintah perlu menyediakan beragam tempat pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata, terutama wisata agro. Sehingga diharapkan ke depannya akan dapat berkembang kawasan agrowisata yang memiliki daya saing tinggi.
  • Kedua, peran kelembagaan. Peran kelembagaan yang dimaksud adalah pemerintah, pihak swasta, lembaga terkait (perjalanan wisata, perhotelan, lainnya), perguruan tinggi, serta masyarakat. Seperti diketahui bahwa pemerintah memiliki beragam wewenang yang dapat mendukung berkembangnya suatu kawasan wisata, salah satunya adalah wewenang dalam hal regulasi, sehingga hal ini diharapkan akan dapat menciptakan perkembangan agrowisata yang berkualitas serta kompetitif. Selain itu, dukungan kerja sama yang baik dengan dengan stakeholder lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan kawasan agrowisata juga turut menjadi sebuah faktor penting.
  • Dukungan aspek 3A (atraksi, aksesbilitas, akomodasi) yang merupakan elemen dasar dari ketersediaan destinasi wisata tentu perlu menjadi perhatian khusus. Ketersediaan kualitas dan kuantitas dari aspek 3A beserta elemen pendukungnya akan menjadi kunci bagi tingkat kenyamanan yang mampu ditawarkan oleh destinasi wisata terhadap para pengunjungnya.
  • Selanjutnya adalah hospitality atau keramah-tamahan. Keseluruhan industri pariwisata sebagian besar berkecimpung pada bidang jasa, sehingga faktor ini juga termasuk ke dalam salah satu kunci keberhasilan berkembangnya suatu kawasan pariwisata.
  • Tingkat keunikan yang mampu ditawarkan. Pengunjung lokasi wisata cenderung menyenangi hal-hal yang bersifat unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Keunikan yang ditawarkan oleh kawasan agrowisata dapat berupa berbagai hal, seperti budaya, tradisi, teknologi, ataupun kelangkaan tanaman yang disediakan. Keunikan suatu kawasan agrowisata akan menjadi nilai tambah bagi kawasan tersebut dan dapat menjadi daya saing yang tinggi.

Berbicara pengembangan pariwisata tentunya dapat meluas kepada berbagai aspek, hal ini dikarenakan perkembangan wisata sangat dinamis sehingga diperlukan berbagai upaya untuk dapat bertahan dan beradaptasi di tengah tren yang terus menerus berganti. Di lain sisi, pengembangan pariwisata, khususnya agrowisata juga perlu untuk diperhatikan dampaknya. Hal utama perlu ditekankan adalah, pengembangan agrowisata mengutamakan pertanian sebagai objek utamanya, hal ini tentu perlu disertai dengan tujuan agar dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat lokal seperti petani atau peternak, memperluas lapangan kerja, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Pengembangan pariwisata juga perlu menjaga keterpaduan, keselarasan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan kawasan agrowisata masih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga penyediaan agrowisata juga diharapkan dapat menunjang daya saing produk wisata di bidang pertanian dan menjaga stabilitas ketersediaan pangan.

Bahan Bacaan

  • Kumparan. 2020. “Menilik Potensi Agrowisata di Indonesia”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://kumparan.com/kumparantravel/menilik-potensi-agrowisata-di-indonesia-1uhesNwda6u/full
  • Utama, Rai. 2011. “Agrowisata sebagai Pariwisata Alternatif”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.researchgate.net/publication/277074027_AGROWISATA_SEBAGAI_PARIWISATA_ALTERNATIF
  • Astuti, Marhanani Tri. 2014. “Potensi Agrowisata dalam Meningkatkan Pengembangan Pariwisata”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.kemenparekraf.go.id/asset_admin/assets/uploads/media/old_all/JDP%20Vol_1%20No_1%202014%20Potensi%20Agrowisata%20Dalam%20Meningkatan%20Pengembangan%20Pariwisata.pdf

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan, Seperti Apa?

Galuh Shita A.B.

Pariwisata merupakan salah satu sektor primadona bagi Indonesia. Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki beragam kekayaan eksostisme alam dan budaya yang luar biasa yang tersebar hampir di seluruh penjuru nusantara. Hal ini mengundang banyak wisatawan baik lokal maupun internasional untuk berwisata mengunjungi beragam keunikan yang ditawarkan oleh Indonesia. Pengembangan pariwisata perlu untuk memikirkan dampak dalam jangka panjang. Terlebih masih banyak potensi wisata di Indonesia yang masih tersembunyi, sehingga perlu diperhatikan agar dalam pengembangannya tidak merusak alam dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Hal ini dapat dimaknai bahwa rencana pembangunan kepariwisataan juga dapat menganut kebijakan destinasi pariwisata berkelanjutan yang mampu mewujudkan pembangunan pariwisata nasional yang layak menurut budaya setempat, dapat diterima secara sosial, memprioritaskan masyarakat setempat, tidak diskriminatif, dan ramah lingkungan.

Pariwisata berkelanjutan merupakan hal yang kompleks dan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Konsep keberlanjutan sendiri tidak dapat diartikan sebatas pada lingkup isu lingkungan, seperti perlindungan terhadap alam, namun keberlanjutan dapat memiliki makna yang lebih dari hal tersebut. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa pariwisata berkelanjutan akan berdampak luas pada berbagai aspek. Adapun dampak yang ditimbulkan dapat mencakup berbagai aspek seperti ekonomi, bisnis lokal, pelibatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, investasi, dan sebagainya. Pada dasarnya, prinsip berkelanjutan adalah memperhatikan kesejahteraan pada masa saat ini tanpa mengurangi kesejahteraan untuk masa yang akan datang.

Sumber: tourismnotes.com

Secara garis besar, pariwisata memiliki 3 dampak besar yang dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Dampak yang dihasilkan pada aspek ekonomi umumnya berujung positif, sedangkan dampak lingkungan umumnya bersifat negatif dan dampak sosial umumnya merupakan kombinasi dari keduanya. Pariwisata berkelanjutan adalah tentang memaksimalkan dampak yang positif dan meminimalkan dampak negatif.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, pemerintah mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. Definisi ini melengkapi definisi yang dijabarkan oleh UNWTO (The World Tourism Organization) yaitu pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungannya saat ini dan di masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat tuan rumah.

Mengapa kemudian pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi penting? Hal ini ditujukan agar pengembangan pariwisata tidak mengeksploitasi sumber daya lingkungan secara masif, melainkan dapat terus berkesinambungan hingga ke generasi-generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan pengembangan pariwisata dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan juga sosial masyarakat, sehingga perkembangannya perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan dampak yang negatif.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan telah menetapkan empat kategori untuk destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia, yaitu:

  • Pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, yang mencakup kriteria perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan evaluasi.
  • Pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, yang mencakup kriteria pemantauan ekonomi, peluang kerja untuk masyarakat lokal, partisipasi masyarakat, opini masyarakat lokal, akses bagi masyarakat lokal, fungsi edukasi sadar wisata, pencegahan eksploitasi, dukungan untuk masyarakat, dan mendukung usaha lokal dan perdagangan yang adil.
  • Pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, yang mencakup kriteria perlindungan atraksi wisata, pengelolaan pengunjung, perilaku pengunjung, perlindungan warisan budaya, interpretasi tapak, dan perlindungan kekayaan intelektual.
  • Pelestarian lingkungan, yang mencakup kriteria risiko lingkungan, perlindungan lingkungan sensitif, perlindungan alam liar (flora dan fauna), emisi gas rumah kaca, konservasi energi, pengelolaan air, keamanan air, kualitas air, limbah cair, mengurangi limbah padat, polusi cahaya dan suara, dan transportasi ramah lingkungan.

Suatu daerah disebut telah menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan apabila dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut:

  • Mengoptimalkan sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, menjaga proses ekologi penting dan membantu melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati.
  • Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat, melestarikan bangunan dan warisan budaya serta nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi pada pemahaman serta toleransi antar budaya.
  • Memastikan keberjalanan ekonomi jangka panjang yang memberikan manfaat sosio-ekonomi bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk peluang terhadap lapangan kerja serta layanan sosial bagi masyarakat dan dapat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa pariwisata merupakan sektor yang memiliki perkembangan sangat pesat. Sektor pariwisata tidak seharusnya menimbulkan dampak yang negatif sehingga upaya-upaya perencanaannya perlu dilakukan secara matang. Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan seharusnya dapat menjadi proritas utama pengembangan, hal ini dikarenakan dengan adanya perencanaan yang baik maka diharapkan akan dapat melindungi sumber-sumber aset penting yang terkait dengan pariwisata untuk kepentingan kesejahteraan di masa yang akan datang.

Bahan Bacaan

  • Greentourism. “Sustainable Tourism”. Diperoleh 18 Desember 2020 dari http://www.greentourism.eu/en/Post/Name/SustainableTourism#_ftn1
  • Permen Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia Pada Masa Covid 19

Galuh Shita A.B.

Pandemi covid-19 masih melanda dunia. Penyebaran virus ini telah meluluhlantakkan hampir sebagian besar negara-negara di dunia dari segi ekonomi. Hampir seluruh sektor penunjang ekonomi terkena dampaknya. Pembatasan kegiatan baik di lingkup dalam dan luar negeri menyebabkan berkurangnya jumlah perjalanan sehingga sejumlah aktivitas lintas sektor, seperti ekspor impor, menjadi terganggu. Pada awal 2020 sejumlah pembatasan kegiatan di hampir setiap sektor, termasuk penerbangan, juga turut menyebabkan anjloknya jumlah pengunjung, baik untuk urusan bisnis maupun berwisata. Bagi negara-negara yang menggantungkan nilai ekonominya di sektor pariwisata, tentu hal ini menyebabkan kerugian yang teramat besar. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor penunjang ekonomi yang memiliki porsi penting bagi pemasukan negara.

Tantangan

Berdasarkan data dari UNWTO (The World Tourism Organization), sejak Januari hingga Juni 2020 pariwisata di seluruh dunia kehilangan sekitar 440 juta turis. Dilansir dari detik.com, Kemenparekraf mencatat pada masa sebelum pandemi terdapat sekitar 18 juta wisatawan yang mengunjungi Indonesia, namun rata-rata wisatawan yang datang pada tahun 2020 hanya mencapai 2 juta hingga 4 juta wisatawan. Beberapa daerah di Indonesia dengan pemasukan utama berasal dari sektor pariwisata mengalami kerugian yang besar. Contohnya adalah Bali yang dilaporkan memiliki kerugian hingga 9 Triliun setiap bulannya. Indonesia diperkirakan kehilangan devisa sebesar 14,5-15,8 miliar dolar AS karena adanya penurunan kunjungan wisatawan mancanegara.

Wamenparekraf menyatakan bahwa tantangan dari perkembangan pariwisata di era pandemi adalah adanya perubahan dari market demand yang perlu untuk diantisipasi dan dihadapi, serta kompetisi di tiap destinasi wisata. Era pandemi membuat preferensi berwisata menjadi berubah sehingga hal ini perlu untuk diperhatikan dan diantisipasi. Selain itu, kondisi pelayanan dan fasilitas di destinasi juga masih dirasa perlu untuk ditingkatkan, terlebih lagi pada masa pandemi ini diperlukan kepastian bagi masyarakat untuk dapat berwisata dengan aman dan nyaman.

Tak bisa dipungkiri bahwa alasan pandemi masih menjadi isu utama sehingga penyediaan lokasi wisata dengan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap protokol kesehatan sangat perlu untuk diadakan. Berbagai macam penerapan prosedur terkait higenitas menjadi penting untuk digalakkan bagi seluruh pelaku wisata. Jika hal ini dilakukan, tentu diharapkan akan dapat menambah tingkat kepercayaan wisatawan terhadap destinasi wisata di Indonesia. Terlebih Indonesia memiliki potensi wisata yang tak bisa dipandang sebelah mata oleh dunia.

Peluang

Pemerintah berupaya menyiapkan berbagai program untuk menyelamatkan industri pariwisata di Indonesia. Beberapa upaya seperti program penyediaan dana PEN (Program Pemulihan Ekonomi) yang dapat dimanfaatkan di sektor pariwisata, terutama bagi destinasi wisata prioritas nasional. Dilansir dari laman bisnis.com, Kemenparekraf mengajukan usulan dana PEN sebesar 5,6 Triliun untuk dapat membantu menyelamatkan sektor pariwisata nasional. Keseluruhan total usulan program yang diajukan oleh seluruh kementerian melalui program PEN mencapai hingga 21,5 Triliun.

Pemerintah juga berencana untuk memberikan program diskon pariwisata bagi wisatawan lokal yang akan diluncurkan pada tahun 2021 atau pada saat setelah vaksin covid-19 rampung. Diharapkan pergerakan dalam negeri dapat Kembali meningkat. Hal ini sejalan dengan anjuran dari UNWTO yang menyatakan bahwa di masa pandemi negara-negara perlu fokus terlebih dulu terhadap pengembangan pariwisata untuk wisatawan lokal sehingga ketika situasi sudah sepenuhnya dibuka untuk pasar mancanegara maka negara tersebut sudah menjadi lebih siap. Di samping itu, penyelenggaraan protocol CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment) juga disiapkan oleh pemerintah. Protokol ini akan menjadi acuan serta program sertifikasi bagi seluruh pelaku usaha yang terlibat di sektor pariwisata. Kemenparekraf telah menyiapkan dana sebesar lebih dari 119 Miliar untuk program sertifikasi CHSE yang rencananya akan diberikan secara gratis melalui lembaga independen. Diharapkan dengan adanya sertifikasi CHSE, maka akan memberikan jaminan bagi para wisatawan bahwa mereka dapat berwisata dengan aman dan nyaman di masa pandemi.

Di sisi lain, kondisi pandemi secara tak langsung juga turut mengubah preferensi berwisata bagi sejumlah wisatawan. Jika sebelumnya aktivitas wisata di lokasi yang hits dan ramai menjadi kegiatan yang paling ditunggu, maka terdapat perubahan preferensi aktivitas wisata yang digemari di masa pandemi. Hasil survei yang dilakukan oleh Wego selama periode 21 Mei hingga 5 Juni 2020 menunjukkan tren baru berwisata yang diminati oleh wisatawan Indonesia, yakni staycation dan liburan keluarga. Lokasi wisata yang dituju pun umumnya berupa tempat wisata yang tidak terlalu ramai pengunjung, melainkan tempat yang sepi dan tenang sehingga wisatawan dapat tetap merasa aman selama berwisata.

Sumber: travel.wego.com

Hasil suvei juga mengungkap prioritas wisatawan selama berwisata. Jika sebelumnya wisatawan memprioritaskan biaya, keamanan, dan kenyamanan, di masa pandemi prioritas wisatawan telah berubah menjadi kebersihan, perilaku physical distancing, serta penerapan protokol kesehatan yang dilakukan di ruang publik. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para penyedia jasa wisata yang menunjukkan bahwa masih ada secercah harapan bagi mereka untuk dapat melangsungkan kehidupannya.

Secara keseluruhan, tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti kapan pandemi akan berakhir sehingga berbagai upaya perlu dimaksimalkan untuk dapat meminimalisir dampak dari pandemi tersebut. Peluang yang ada harus dimaksimalkan dan tantangan harus dapat dilewati dan diantisipasi dampak negatifnya. Diperlukan dukungan dan kerja sama dari banyak pihak agar berbagai upaya dan kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk dapat menyelamatkan sektor pariwisata dapat menemui titik terang dan dapat mengembalikan neraca ekonomi negara yang terpuruk.


Bahan Bacaan

  • Bisnis. 2020. “Destinasi Pariwisata Super Prioritas, Ada Rp21 Triliun Lagi untuk PEN”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20201127/12/1323394/destinasi-pariwisata-super-prioritas-ada-rp21-triliun-lagi-untuk-pen
  • Detik. 2020. “Bagaimana Sektor Pariwisata Indonesia Bertahan di Tengah Pandemi Corona”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://news.detik.com/dw/d-5161151/bagaimana-sektor-pariwisata-indonesia-bertahan-di-tengah-pandemi-corona
  • Inews. 2020. “Wamenparekraf: 2021 Akan Ada Diskon Pariwisata untuk Wisatawan Nusantara”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://www.inews.id/travel/destinasi/wamenparekraf-2021-akan-ada-diskon-pariwisata-untuk-wisatawan-nusantara
  • Inews. 2020. “Wamenparekraf Ungkap Tantangan Pariwisata Indonesia Usai Pandemi Covid-19”. Diperoleh 22 Desember 2020 dari https://www.inews.id/travel/destinasi/wamenparekraf-ungkap-tantangan-pariwisata-indonesia-usai-pandemi-covid-19.
  • Liputan6. 2020. “Kerugian Sektor Pariwisata Indonesia Atas Penurunan Wisatawan Mancanegara”. Diperoleh 17 Deesember 2020 dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4384912/kerugian-sektor-pariwisata-indonesia-atas-penurunan-wisatawan-mancanegara
  • Wego. 2020. “Usai Pandemi, Staycation dan Destinasi Liburan Keluarga Akan Banjir Peminat”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://travel.wego.com/berita/tren-wisata-pasca-pandemi/

Mengenal Konsep 3A dalam Pengembangan Pariwisata

Oleh Galuh Shita

Pariwisata merupakan salah satu aspek penting yang dapat memberikan berbagai dampak positif. Bagi individu atau pengguna jasa, tentu saja manfaat kegiatan berwisata adalah sebagai obat pereda stress dan penat. Bagi penyedia jasa, kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak ekonomi bagi mereka. Secara lebih luas, keberadaan kegiatan pariwisata di suatu daerah mampu menggerakkan berbagai aktivitas yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada daerah itu sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009, defisini dari kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Perwujudan Kerjasama multidimensi dan multidisiplin dalam pembentukan atau pengembangan pariwisata dinilai akan mampu menggerakkan berbagai bentuk perkembangan wilayah, seperti peningkatan berbagai kualitas sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan wisata seperti jalan, drainase, halte, dan sebagainya. Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.

Terdapat 3 aspek penting yang menjadi dasar dalam perencanaan pengembangan pariwisata yang disingkat dengan 3A (atraksi, amenitas, aksesbilitas). Aspek 3A merupakan syarat minimal bagi pengembangan sebuah destinasi wisata. Setiap destinasi wisata sudah pasti mempunyai keunikan dan ciri khasnya masing-masing yang membuat banyak orang tertarik untuk mengunjungi lokasi wisata tersebut. Di lain sisi, faktor amenitas dan aksesbilitas akan menjadi kunci bagi keberlangsungan wisatawan dalam menikmati pengalaman berwisata. Ketiga faktor ini memiliki peran penting dalam membangun pengalaman berwisata yang nyaman serta menyenangkan bagi wisatawan.

Atraksi

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, atraksi wisata memiliki definisi yaitu seni, budaya, warisan sejarah, tradisi, kekayaan alam, atau hiburan, yang merupakan daya tarik wisatawan di daerah tujuan wisata. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata memiliki definisi yaitu segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Atraksi wisata sangatlah beragam, tak terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan alam seperti pegunungan atau pantai, namun dapat pula berupa hal-hal yang diciptakan oleh manusia seperti pusat perbelanjaan atau theme park. Atraksi wisata juga tak terbatas pada lokasi atau site attractions seperti tempat-tempat bersejarah, tempat dengan iklim yang baik, pemandangan indah, namun juga termasuk event attractions seperti seperti pagelaran tari, pameran seni lukis, atau peristiwa lainnya). Secara umum, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong wisatawan untuk bersedia pergi mengunjungi lokasi wisata, yaitu:

  • Sesuatu untuk dilihat, umumnya merupakan alasan pertama bagi wisatawan untuk bersedia berkunjung ke lokasi wisata
  • Sesuatu untuk dilakukan, yaitu kegiatan atau fasilitas yang tersedia di lokasi wisata yang dapat membuat membuat wisatawan merasa nyaman untuk melakukan beragam aktivitas di lokasi wisata.
  • Sesuatu untuk dibeli, yaitu suatu lokasi wisata perlu memiliki fasilitas untuk berbelanja souvenir atau hasil kerajinan sebagai oleh-oleh.
  • Sesuatu untuk diketahui, yaitu selain memberikan ketiga hal tersebut di atas, juga dapat memberikan informasi serta edukasi bagi wisatawan.

Amenitas

Amenitas memiliki arti yaitu fasilitas. Ketersediaan amenitas pada lokasi wisata bukan merupakan suatu hal yang akan menarik wisatawan datang berkunjung atau dengan kata lain bukan menjadi tujuan utama wisatawan. Amenitas merupakan pelengkap dari atraksi utama wisata. Ketiadaan atau kurang baiknya kondisi amenitas pada lokasi wisata akan menurunkan minat dari wisatawan sehingga penyediaan amenitas pada lokasi wisata sangat penting untuk diperhatikan keberadaannya. Amenitas tak hanya terbatas pada ketersediaan akomodasi untuk wisatawan bermalam, namun juga ketersediaan restoran untuk kebutuhan pangan, ketersediaan transportasi lokal yang memudahkan wisatawan untuk bepergian, dan lain sebagainya. Selain itu, fasilitas pendukung lain seperti toilet umum, tempat beribadah, area parkir, juga menjadi faktor kelengkapan amenitas yang penting untuk dipenuhi oleh pihak penyedia jasa wisata.

Tak hanya dari segi kuantitas, namun kualitas dari ketersediaan amenitas juga penting untuk diperhatikan serta disesuaikan dengan kebutuhan. Kualitas amenitas yang baik akan berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan wisatawan dalam menikmati pengalaman berwisata sehingga juga akan menaikkan citra dari lokasi wisata tersebut. Tak terbatas dalam bentuk fisik, namun amenitas juga didukung dengan faktor non fisik seperti hospitality atau keramahtamahan serta jasa.

Aksesibilitas

Definisi dari aksesibilitas pariwisata dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke destinasi pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. Pembangunan aksesibilitas pariwisata dapat meliputi:

  • Penyediaan dan pengembangan sarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api;
  • Penyediaan dan pengembangan prasarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api; dan
  • Penyediaan dan pengembangan sistem transportasi angkutan jalan, sungai,danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api

Aksesbilitas juga merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang tingkat kenyamanan berwisata bagi wisatawan. Idealnya, keberadaan sarana dan prasarana aksesbilitas haruslah diletakkan pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi amenitas seperti akomodasi ataupun tempat makan. Selain itu, kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana serta kondisinya yang berkualitas baik juga akan meningkatkan tingkat kenyamanan wisatawan.

Dilansir dari laman kontan, konsep 3A masih menjadi strategi yang dipilih pemerintah untuk mengembangkan destinasi wisata di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya pelaku pariwisata di daerah yang belum benar-benar memahami konsep tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa konsep 3A merupakan aspek minimal atau syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu lokasi wisata.

Namun selain konsep 3A tersebut, terdapat faktor pelengkap lainnya yakni ancilliary, yang berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus destinasi. Kelembagaan atau tourist organization dibutuhkan untuk menyusun kerangka pengembangan pariwisata, mengatur industri pariwisata serta mempromosikan daerah sehingga dapat dikenal oleh lebih banyak orang. Pada akhirnya, diperlukan koordinasi serta strategi yang apik agar seluruh upaya pengembangan pariwisata dapat berjalan dengan optimal. Selain itu, diperlukan pula upaya promosi melalui pemanfaatan media, baik daring maupun luring, yang juga diharapkan akan mendukung peningkatan minat wisatawan dalam berkunjung ke lokasi wisata.


Bahan Bacaan

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Kontan. 2019. “Kemenparekraf masih andalkan rumus 3A untuk kembangkan destinasi wisata”. Diperoleh 16 Desember 2020 dari https://industri.kontan.co.id/news/kemenparekraf-masih-andalkan-rumus-3a-untuk-kembangkan-destinasi-wisata

Drone PPK dan RTK: Apa Bedanya?

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Bagi sebagian orang, istilah-istilah dalam pemetaan dengan utilisasi drone mungkin sedikit membingungkan. Banyak yang terkecoh dengan istilah-istilah seperti PPK dan RTK karena gagal memahami perbedaan di antara keduanya. Memang, pada dasarnya kedua istilah tersebut berada di landasan yang sama dalam dunia pemetaan drone. Baik PPK maupun RTK memiliki fungsi untuk mengoreksi lokasi dari data pemetaan drone dan mengeliminasi fungsi GCP. Keduanya menghasilkan tingkat akurasi yang absolut sampai ke rentang centimeter (cm).

Kendati demikian, memilih satu di antara keduanya kadang memiliki dampak yang signifikan terhadap data yang dihasilkan atau bagaimana keduanya mempengaruhi  kelancaran proses survei. Pada kegiatan survei udara, faktor-faktor seperti hambatan dan kondisi lingkungan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dengan memilih metode koreksi yang tepat tentu akan menghemat proses pekerjaan dan biaya pengeluaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penting rasanya untuk mengulik lebih dalam perbedaan di antara keduanya.

Eliminasi Fungsi GCP

Sebelum melanjutkan perjalanan dan membahas lebih jauh mengenai PPK dan RTK, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu fungsi dari GCP atau Ground Control Points. Pada proses pemetaan menggunakan drone, GCP merupakan titik yang terletak di permukaan bumi yang berfungsi sebagai penanda suatu lokasi. GCP biasanya sengaja dibuat atau merupakan objek eksisting yang koordinatnya sudah diketahui atau mudah diamati. Sebelum dilakukan rektifikasi, atau proses transformasi data dari sebuah sistem grid menggunakan transformasi geometrik mengacu pada sistem koordinat tertentu, GCP digunakan sebagai titik referensi koordinat.

Dalam proses pemetaan digital, persiapan GCP dilakukan sebelum eksekusi pengambilan gambar udara. Tidak ada patokan jumlah GCP yang harus tersedia pada pemetaan dalam luasan tertentu. Banyak pendekatan yang dapat digunakan pada penentuan jumlah dan lokasi GCP, namun yang terpenting adalah GCP dapat terpotret dan dikenali dengan baik pada produk foto maupun video. Pemasangan GCP pada dasarnya akan memakan waktu yang lama, apalagi jika site yang akan diamati memiliki luasan yang besar.

Contoh GCP

Sumber: Internet, 2020

Untuk itu, melalui kecanggihan teknologi masa kini, pemetaan secara digital dengan utilisasi drone dapat menjadi lebih sederhana dan efisien. Salah satunya adalah dengan mentransformasi penggunaan GCP menjadi penggunaan GPS Correction Technology.

GPS Correction Technology meningkatkan kualitas lokasi data dengan memanfaatkan  global position system receivers untuk menghasilkan sebuah data yang akurat. Teknologi ini sudah difungsikan dengan menggunakan beragam alat beberapa tahun belakangan. Hanya saja hal tersebut tergolong baru di dunia pemetaan dengan utilisasi drone. Fungsi dari GCP dan GPS Correction Technology ada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah GPS Correction Technology tidaklah memakan waktu yang lama untuk persiapan. GPS Correction Technology dapat meningkatkan proses pengumpulan data sebesar 75%. Dan dapat menghasilkan alur pekerjaan yang lebih lancar dikarenakan adanya efisiensi waktu. Saat ini terdapat dua teknologi yang mendominasi pembicaraan mengenai GPS Correction Technology, yaitu Post Processing Kinematic (PPK) dan Real Time Kinematic (RTK) yang akan menjadi inti pembahasan artikel ini.

Post Processing Kinematic (PPK)

PPK merupakan teknologi koreksi data lokasi setelah pengambilan data berupa pemotretan selesai dilaksanakan kemudian data tersebut haruslah diunggah ke dalam cloud. Drone PPK akan terbang bersama dengan GNSS PPK receiver  yang berfungsi mengumpulkan data dari satelit dan mencatatnya untuk kebutuhan pengambilan data setelah penerbangan.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi data maksimal sekitar satu meter. Data satelit dari GNSS receiver dikumpulkan pada stasiun pangkalan dan setelah penerbangan berakhir data-data tersebut dikumpulkan dengan data drone untuk mengkoreksi sinyal error satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter.

Dalam teknologi PPK, baik komunikasi data GNSS ke data drone, atau komunikasi data drone ke data koreksi drone sangatlah dibutuhkan. Ketika drone mendarat, proses koreksi harus diaplikasikan pada software yang sesuai. Data dengan akurasi yang absolut selanjutnya tersedia untuk tahap selanjutnya dan menghasilkan hasil survey pemetaan.

Proses PPK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

PPK membutuhkan komunikasi yang konstan untuk mengoreksi lokasi data satelit.

1.    Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS

2.    Garis antara satelit dan drone

Real Time Kinematic (RTK)

RTK merupakan teknologi koreksi data lokasi yang memungkinkan untuk dilakukan secara real time pada saat drone menjalankan fungsi pemotretannya. Drone RTK membawa serta GNSS RTK receiver pada armada drone yang berfungsi untuk mengumpulkan data dari satelit dan stasiun pangkalan untuk secara akurat mengoreksi gambar lokasi bersamaan saat armada drone tersebut terbang.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi maksimal sekitar satu meter. Data dari pangkalan stasiun darat diperhitungkan untuk mengoreksi kesalahan sinyal satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter (cm). Dalam perihal teknologi RTK, lancarnya jaringan komunikasi yang tidak terinterupsi merupakan sebuah persyaratan dari stasiun pangkalan GNSS, melalui stasiun pangkalan drone ke drone itu sendiri. Ketika drone mendarat, jika seluruh sinyal konstan dan stabil, data dengan akurasi yang absolut akan tersedia untuk proses selanjutnya yaitu hasil survey pemetaan.

Pada dasarnya akan sangat menguntungkan jika data dapat dikoreksi secara bersamaan ketika waktu terbang. Kendati demikian, pada kondisi sesungguhnya, terdapat hambatan-hambatan yang dapat mengganggu sinyal dan penerbangan. Hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan utilisasi teknologi RTK pada survei pemetaan. Di waktu lain, ketika koneksi antara stasiun pangkalan dan drone stabil, RTK dapat mencapai tingkat akurasi yang setara dengan PPK.

Proses RTK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

RTK membutuhkan empat garis komunikasi yang konstan untuk mengkoreksi data lokasi satelit.

  1. Garis antara satelit dan drone
  2. Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS
  3. Garis antara pangkalan GNSS atau CORS/VRS dan stasiun drone
  4. Garis antara stasiun drone dan drone  

Perbandingan PPK dan RTK

Setelah mendapatkan gambaran mengenai apa itu PPK dan RTK, maka dapat dilakukan perbandingan di antara keduanya seperti pada tabel yang tertera di bawah ini:

Perbandingan PPK dan RTK

Sumber: heliguy.com, 2019

Setelah mengetahui karakteristik PPK dan RTK serta perbandingannya, maka teknologi mana yang sesuai dengan kebutuhan Anda?

Daftar Referensi

Wingtra. 2020. What’s the Difference Between PPK and RTK Drones, and Which One is Better?. https://wingtra.com/ppk-drones-vs-rtk-drones/?utm_campaign=Facebook%20paid%20ads%202020&utm_source=facebook&utm_medium=paidsocial&utm_content=ppk-vs-rtk&hsa_acc=187616638541841&hsa_cam=23846058559280553&hsa_grp=23846094172900553&hsa_ad=23846094172890553&hsa_src=fb&hsa_net=facebook&hsa_ver=3

Rabkin, B. 2020. GCP Vs. PPK/RTK: Which is Best to Receive Fast and Accurate Data?. https://www.identifiedtech.com/blog/drone-technology/gcps-ppk-rtk-best-receive-fast-accurate-data/

Willoughby, J. 2019. Is RTK The Future of Drone Mapping?. https://www.heliguy.com/blog/2019/01/24/is-rtk-the-future-of-drone-mapping/

Kota Inklusif: Seberapa Ramah Kotamu Terhadap Kelompok Difabel?

Oleh:Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

“Kota yang Inklusif” mungkin menjadi sebuah frasa yang banyak berdengung di telinga masyarakat urban saat ini. Seruan himbauan dan protes kerap dialamatkan kepada para pemangku kebijakan agar sesegera mungkin mewujudkan kota yang berkeadilan dan setara bagi setiap jiwa yang berada di dalamnya. Keterbukaan akses terhadap informasi serta kebebasan berpendapat di ruang publik seakan menjadi pemantik bagi kelompok-kelompok yang peduli untuk menyuarakan ajakan berbagi perhatian bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Hal tersebut seakan menjadi stimulus bagi pihak yang berkuasa untuk perlahan mulai menjadikan ‘kota inklusif’ sebagai visi baru mereka. Belakangan ini, banyak kota yang seolah berkompetisi menjadi wadah tinggal yang lebih baik dengan memiliki citra inklusif di mata publik. Kota inklusif yang ramah difabel merupakan sebuah mimpi besar yang harus diperjuangkan seluruh pihak untuk mewujudkannya. 

Mendefinisikan Inklusif

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita kupas tuntas terlebih dahulu mengenai definisi kota inklusif yang akan menjadi pokok pembahasan dalam bacaan ini. Kata inklusif sendiri memiliki makna sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang terbuka, mengajak dan mengikutsertakan semua orang dengan beragam latar belakang. Dari definisi singkat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sesuatu yang inklusif adalah sesuatu yang merangkul semua pihak tanpa mempertimbangkan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, etnis, budaya sebagai sebuah hambatan.

Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh World Bank, gagasan dari kota inklusif berkaitan dengan sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari faktor-faktor pamungkas yaitu: inklusi spasial, inklusi sosial dan inklusi ekonomi. Inklusi spasial memandang kota yang inklusif sebagai sebuah kota yang menyediakan kebutuhan dasar masyarakat secara terjangkau, seperti kebutuhan akan rumah, air bersih dan sanitasi. Lanjut, sebuah kota dikatakan memiliki ciri inklusi sosial apabila menjamin kesetaraan hak dan partisipasi setiap golongan, tidak terkecuali para pemilik keterbatasan. Untuk inklusi ekonomi, sebuah kota haruslah memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja yang memberikan kesempatan bagi seluruh kelompok untuk menikmati manisnya pertumbuhan ekonomi.

Inklusivitas menjadi hal krusial dan semakin populer sejak disahkannya Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2015, dimana enam dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan menyoal tentang inklusi sosial. Kendati demikian, pokok bahasan ini akan lebih banyak berfokus pada tujuan nomor 11 yaitu “Membangun kota dan permukiman warga yang inklusif, aman, dan kukuh.”  

Inklusif bagi Difabel

Salah satu kelompok yang harus berada di garis terdepan alias mendapatkan perhatian prioritas untuk mewujudkan kota inklusif adalah kawan-kawan dengan disabilitas. Keterbatasan yang mereka miliki seringkali menjadi penghambat untuk berkarya dan menjalankan fungsi lainnya sebagai manusia. Tak jarang pula, keberadaan infrastruktur perkotaan yang seharusnya memudahkan masyarakat, malah membuat mereka semakin tersiksa. Contoh mudah, seperti tidak adanya lift pada bangunan tinggi sehingga para penyandang disabilitas harus mengakses anak tangga secara manual, atau sesederhana adanya pohon besar di tengah jalur pejalan kaki yang tidak dilengkapi dengan guiding block. Lebih dari itu, berdasarkan sebuah jurnal yang ditulis oleh Maftuhin (2017), terdapat lima komponen yang menjadi alasan mengapa kelompok dengan disabilitas merupakan kelompok yang paling mungkin terperangkap dalam kondisi ekslusi sosial. Komponen-komponen tersebut antara lain:

Komponen Ekslusi Kelompok Disabilitas

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Seiring bertambahnya jumlah populasi di dunia, maka akan semakin banyak pula masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Hal tersebut tentu berimplikasi pada semakin banyaknya kelompok dengan disabilitas yang akan tinggal di kota. Berangkat dari situ, strategi pembenahan terkait metode perencanaan dan pengembangan infrastruktur haruslah mengikutsertakan kelompok disabilitas. Apalagi, menurut World Health Organization (WHO), sekitar 15% populasi dunia merupakan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Prosentase yang cukup banyak. Sudah saatnya kebijakan rencana kota mengindahkan kebutuhan dan mengikutsertakan kelompok disabilitas dalam prosesnya. Hal-hal tersebutlah yang harusnya menyita waktu dan pemikiran para pemangku kebijakan serta pembangun fasilitas agar menyeragamkan keistimewaan para difabel menjadi kesetaraan. Setelah mengetahui makna dari inklusi dan urgensi penerapannya, hal selanjutnya yang harus ditilik adalah daftar komponen yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kota yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Masih dari jurnal yang sama, Maftuhin (2017) menyebutkan  bahwa terdapat empat komponen yang harus dipenuhi oleh sebuah kota untuk mewujudkan inklusivitas bagi orang-orang dengan disabilitas. Keempat komponen tersebut antara lain:

Komponen Kota Inklusif

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Melihat keempat komponen di atas, tentu bukanlah hal yang mudah bagi sebuah kota mewujudkan inklusivitas yang menyeluruh terhadap kelompok disabilitas. Pembenahan di segala aspek, baik mental masyarakat maupun pemutakhiran infrastruktur merupakan proses yang harus terus dilakukan secara kontinyu hingga hasil yang diharap bisa dengan mudah dinikmati.

Kota-Kota Ramah Disabilitas

Walaupun sulit untuk diwujudkan, nyatanya ada loh kota-kota inklusif yang ramah dengan penyandang disabilitas. Di mana sajakah kota-kota tersebut?

Berlin, Jerman.

Sejak tahun 2013, Ibukota Negara Jerman tersebut secara luas diketahui sudah menerapkan sebuah kebijakan yang komprehensif terkait dengan keberadaan orang dengan disabilitas. Berlin telah berdedikasi melakukan investasi dalam mewujudkan lingkungan perkotaan yang dapat diakses dan tanpa batasan atau kendala bagi semua pihak. Tujuh tahun yang lalu, Berlin memenangkan penghargaan EU City Access Award karena upayanya dalam menciptakan lingkungan bebas hambatan dan mewujudkan sistem transportasi yang dapat diakses oleh siapa saja. Saat ini, hampir 100% gedung museum dan bioskop di Berlin sudah dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus, sejalan dengan banyaknya restaurant dan bar yang telah dilengkapi sistem panduan jalan dan toilet khusus disabilitas.

Berlin Sebagai Kota Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Denver, Amerika Serikat

Denver menjadi salah satu kota di Amerika Serikat yang dapat diakses dengan mudah oleh para penyandang disabilitas. Walaupun terletak di kawasan pegunungan, topografi Denver cenderung landai dan datar sehingga memudahkan warganya yang harus berpindah dengan menggunakan kursi roda. Kota tersebut juga menawarkan beragam pilihan rekreasi dan aktivitas kebudayaan yang sudah dilengkapi dengan sistem transportasi yang memudahkan pergerakan kelompok disabilitas. Transportasi publik di Denver sudah dilengkapi dengan sistem ‘door to door paratransit system’ . Museum-museum juga sudah aksesibel dan menawarkan tur khusus pagi pengunjung yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Sistem Transportasi Denver yang Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Gydnia, Polandia

Kota Gydnia di Polandia sejatinya dikenal sebagai salah satu kota di dunia yang memperjuangkan sistem transit yang accessible bagi semua kelompok. Hampir semua bus kota yang ada di Gydnia merupakan armada yang dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus. Gydnia juga menyediakan sistem informasi yang unik yang menggunakan braille bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Papan informasi di segala penjuru kota juga dapat dengan mudah dinikmati oleh mereka yang mengutilisasi kursi roda. Hampir semua restaurant dan museum juga dilengkapi dengan parker kendaraan khusus penyandang disabilitas.

Sistem Transportasi Gydnia yang Ramah Disabilitas

Sumber: inyourpocket.com

Dari ulasan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa kota yang inklusif bukanlah hanya sekadar tren bagi kota-kota di dunia, melainkan suatu keharusan yang sesegera mungkin harus diwujudkan. Apakah kota-kota di Indonesia mampu menjadi inklusif dan dapat diakses oleh siapa saja?

Daftar Pustaka

Maftuhin, A. 2017. Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal-Usul Teori dan Indikator. Tata Loka. Universitas Diponegoro.

UNESCO. 2017. Instrumen Penilaian Kota Inklusif Versi 2. Kantor Perwakilan UNESCO, Jakarta.

The World Bank. Understanding Poverty: Inclusive Cities.

Yayasan SATUNAMA. 2016. Menuju Indonseia yang Inklusif. Satunama.org  

Berlin, Germany Wheelchair Accessible Travel Guide. https://wheelchairtravel.org/berlin/#:~:text=Berlin%20is%20home%20to%20one,public%20transit%20systems%20in%20Europe.

6 of the World’s Most Disability-Friendly Travel Destinations. 2016. https://www.goodnet.org/articles/6-most-disabilityfriendly-travel-destinations

Travelling With a Disability in Gdansk. 2020. https://www.inyourpocket.com/gdansk/travelling-with-a-disability-in-gdansk-sopot_77157f

TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS)

Oleh : Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Suatu perairan pasti mengalami perkembangan sedimentasi. Perkembangan sedimentasi dapat dilihat dari material padatan tersuspensi. Total suspended solid (TSS) atau padatan tersuspensi total merupakan residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Material yang termasuk kedalam TSS antara lain bakteri, jamur, ganggang, tanah liat, lumpur, sulfida, dan logam oksida. Material tersebut merupakan tempat berlangsungnya reaksi heterogen yang berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal yang  dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik pada suatu perairan. Besarnya TSS pada suatu perairan menunjukkan kondisi sedimentasi dari perairan tersebut.

Gambar 1 Total Suspended Solid (TSS)

Total  Suspended  Solid  (TSS)  atau  muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 μm. TSS terdiri dari pasir halus, lumpur, dan jasad renik. Penyebab  TSS  di   perairan  yang   utama  adalah kikisan  tanah  atau  erosi  tanah  yang  terbawa  ke badan air. Konsentrasi TSS yang tinggi mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis yang diakibatkan oleh menghambat masuknya cahaya ke dalam air. Pengolahan TSS dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan citra Landsat 8 dengan menerapkan algoritma tertentu.

Berikut garis besar pengolahan TSS dengan menggunakan citra Landsat 8:

  1. Pemotongan citra

Cropping atau pemotongan citra bertujuan untuk menfokuskan daerah yang digunakan dalam penelitian dengan cara pembentukan ROI pada daerah penelitian.

2. Kalibrasi radiometrik

Kalibrasi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan distorsi radiometrik yang menurunkan kualitas citra pada saat satelit merekam bumi. Distorsi radiometrik adalah kesalahan akibat pergeseran nilai atau derajat keabuan elemen gambar (piksel) pada citra. Distorsi yang terjadi diakibatkan karena jarak antara satelit  yang berbeda di  ruang angkasa dengan permukaan bumi yang sangat jauh, sehingga mempengaruhi kemampuan sensor satelit dalam merekam reflektan obyek muka bumi.

3. Koreksi atmosfer

Koreksi atmosfer dilakukan untuk menghilangkan kesalahan radiansi pada citra akibat hamburan atmosfer (path radiance). Salah satu metode koreksi atmosfer yang dapat digunakan yaitu metode Second Simulation of A Satellite Signal in the Solar Spectrum-Vector. Metode koreksi atmosfer ini mengkonversikan nilai reflektan (pTOA) ke koreksi atmosfer (pBOA) dengan rumus:

Y=Xa*(Lλ)-Xb

Acr= y/((1+Xc*y))

Dimana:

Acr                        = atmospheric corrected reflectance

λ                            : dalam radian

Xa, Xb, dan Xc     = parameter koreksi

4. Pemisahan darat dan laut. Pemisahan darat dan laut dilakukan untuk memilih daerah perairan yang akan diamati agar memudahkan pengolahan selanjutnya.

5. Pemilihan algoritma TSS. Algoritma yang dapat digunakan dalam pengolahan TSS dengan menggunakan citra Landsat 8:

a. Algoritma Syarif Budiman. Syarif Budiman melakukan penelitian TSS pada tahun 2004 dengan studi kasus pada wilayah perairan Delta Mahakam, provinsi Kalimantan Timur. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)= 8,1429*(exp (23,70*0,94*(Rrs54,59)) )

b. Algoritma Parwati. Parwati melakukan penelitian TSS pada tahun 2006 dengan studi kasus pada wilayah perairan Berau, provinsi Kalimantan Timur. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)= 3,3238*(exp (34,099*(654,59)) )

c. Algoritma Guzman-Santella. Guzman-Santella melakukan penelitian TSS pada tahun 2009 dengan studi kasus pada wilayah perairan Mayaguez Bay, Puerto Rico. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)=602,63*(0,0007e 47,755*(Rrs(654,65)) )+3,1481

d. Algoritma Nurahida Laili. Nurahida Laila melakukan penelitian TSS pada tahun 2015 dengan studi kasus pada wilayah perairan Pulau Poteran, Kabupaten Sumenep. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)=31,42*log((RRS(482,04))/(log(Rrs(654,59)))-12,719

e. Algoritma Jaelani. Jaelani melakukan penelitian TSS pada tahun 2016 dengan studi kasus pada wilayah perairan Gili Iyang, Kabupaten Sumenep. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

Log(TSS)=1.5212(log(Rrs(482,04))/log10(Rrs561,41)))-0,3698

Total Suspended Solid (TSS) merupakan besarnya materi yang tersuspensi dalam air. Untuk mengetahui besarnya TSS dalam suatu perairan dapat dilakukan dengan beberapa algoritma. TSS memiliki dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi jumlah sinar matahari yang akan masuk ke dalam air dan menujukkan tingkat kekeruhan air yang tinggi yang menyebabkan gangguan pertumbuhan organisme pada suatu perairan. 

SUMBER:

Indeswari, L., Hariyanto, T., & Pribadi, C. B. (2018). Pemetaan Sebaran Total Suspended Solid (TSS) dengan Menggunakan Citra Landsat Multitemporal dan Data In Situ (Studi Kasus: Perairan Muara Sungai Porong, Sidoarjo). Jurnal Teknik ITS, C71-C76.

Jiyah, Sudarsono, B., & Sukmono, A. (2016). Studi Distribusi Total Suspended Solid (TSS) di Perairan Pantai Kabupaten Demak Menggunakan Citra Landsat. Jurnal Teknik Geodesi Undip, 41-47.

Sukmono, A. (2020). Materi Kuliah Pengolahan Citra Digital/Penginderaan Jauh Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.

URBAN HEAT ISLAND (UHI)

Oleh Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Fenomena Urban Heat Island (UHI) merupakan adalah fenomena alam khususnya berkaitan dengan iklim yang ditandai dengan meningkatnya suhu kawasan pusat perkotaan padat. Kawasan pusat kota memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penyangga disekitarnya. Berkurangnya area hijau akibat pembukaan lahan di perkotaan menyebabkan terjadinya efek Urban Heat Island. Menurut Environmental Protection Agency (EPA), efek ini merupakan masalah utama setiap kota berkembang di dunia khususnya terhadap terjadinya pemanasan global. Fenomena ini pertama diselidiki dan dijelaskan oleh Luke Howard pada 1810-an. Penyebab utama terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI) di perkotaan adalah modifikasi permukaan tanah melalui pengembangan kota yang menggunakan material yang menyimpan panas. Panas yang muncul akibat dari penggunaan energi adalah kontributor kedua terbesar dari fenomena UHI.

Gambar 1. Ilustrasi Urban Heat Island (UHI)

Suhu udara kota mengalami peningkatan tajam akibat dominannya material perkerasan yang tidak bisa menyerap sinar UV cahaya matahari dengan baik misalnya bangunan dan jalan. Penggunaan mesin pendingin yang mengeluarkan energi panas juga menjadi penyebab meningkatnya suhu di perkotaan. Bangunan-bangunan yang tinggi menjulang dan pembangunan perumahan real estate telah merubah bentuk bentang alam dan hanya menyisakan sedikit area tanah untuk ruang terbuka hijau sehingga udara panas terlepas begitu saja tanpa adanya upaya penyerapan oleh tumbuhan. Permukaan  kota  yang  terdiri  dari  aspal  dan beton umumnya lebih panas pada siang hari dibandingkan dengan daerah yang bervegetasi. Permukaan buatan manusia ini sangat  efisien untuk menyimpan energi surya, mengubahnya menjadi energi panas, dan  melepaskannya pada malam hari, menciptakan suatu wilayah dengan udara yang panas di   sekitar kota yang dikenal sebagai heat island. Perbedaan suhu udara antara daerah yang terdampak efek dari Urban Heat Island (UHI) dan daerah yang bervegetasi tinggi dapat mencapai 6°C.

Urban Heat Island menimbulkan berbagai macam efek negatif, diantaranya adalah kematian ratusan orang pada musim panas yang diakibatkan oleh gelombang panas, penurunan kualitas air di perkotaan, peningkatan pemakaian listrik sehingga mengakibatkan penambahan penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan timbulnya pemanasan global. Urban Heat Island pada musim kemarau akan mempercepat pebentukan kabut berbahaya, seperti prekusor ozon yaitu nitrous oxides (NOx) dan volatile organic compounds (VOCs) yang bereaksi sara fotokimia menghasilkan ozon di permukaan.

Dalam upaya penanggulangan efek yang diakibatkan oleh fenomena ini, berbagai lembaga pemerhati lingkungan seperti The United Nations Environment Programme (UNEP) memberikan beberapa solusi penyelamatan diantaranya yaitu melalui penggunaan green roof, penggunaan cool roof, penanaman tumbuhan dan vegetasi pada lahan yang disediakan dan cool pavement.

Pendekatan penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengetahui nilai Urban Heat Island (UHI) dengan menggunakan bantuan software penginderaan jauh seperti ENVI dan ArcGIS, akan tetapi bukan UHI atmosfer, melainkan urban heat island permukaan. Data penginderaan jauh yang digunakan unttuk mengetahui nilai UHI adalah citra suhu permukaan yang telah terkoreksi. Kemudian dilakukan pengolahan Land Surface Temperature (LST) terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan pengolahan UHI.

Fenomena Urban Heat Island (UHI) merupakan fenomena meningkatnya suhu udara di daerah perkotaan padat dan menyebabkan berbagai macam masalah terutama pada lingkungan. Penigkatan jumlah penduduk, peningkatan kegiatan pembangunan insfrastuktur beton, penggunaan energi yang berlebihan, serta penggunaan moda transportasi secara besar besaran menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Berbagai upaya perlu dilakukan agar fenomena ini dapat tertangani dengan baik. Beberapa solusi yang ditawarkan oleh lembaga pemerhati lingkungan seperti UNEP adalah penggunaan green roof dan cool roof, penanaman vegetasi dan tumbuhan yang semakin banyak, dan penggunaan cool pavement. Dari upaya – upaya tersebut diharapkan mampu menanggulangi fenomena Urban Heat Island (UHI) yang telah terjadi.

REFERENSI

Al Mukmin, S. A., Wijaya, A. P., & Sukmono, A. (2016). ANALISISPENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN FENOMENA URBAN HEAT ISLAND. Jurnal Geodesi Undip, 224-233.

Hardiyanti, T. (2012, September 5). URBAN HEAT ISLAND DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM. Dipetik Juli 13, 2020, dari I’ENVIROMENTALIS’M: http://tutut-hardiyanti.blogspot.com/2012/09/urban-heat-island-dan-dampaknya.html

MARU, R. (2015). Urban Heat Island dan Upaya Penanganannya. Prosiding Seminar Nasional Mikrobiologi Kesehatan dan Lingkungan, 84-94.

Sukmono, A. (2020). Materi Kuliah Pengolahan Citra Digital. Semarang: Universitas Diponegoro.

Close Range Photogrammetry (CRP)

Oleh : Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Bidang fotogrametri dewasa ini berkembang hingga fotogrametri jarak dekat atau biasa disebut sebagai CRP (Close Range Photogrammetry). Teknologi yang semakin maju memunculkan adanya kamera digital dengan resolusi yang tinggi. CRP merupakan metode untuk mengambil data ukuran dari citra foto untuk dibuat model 3D dari sebuah objek atau untuk kebutuhan pemetaan. Dengan kamera SLR non-metrik, metode CRP dapat menjadi alternatif yang lebih murah dari laser scanner.

Gambar 1 Kondisi Kolinearitas

Pada fotogrametri jarak dekat menggunakan sistem proyeksi sentral dengan kamera sebagai pusat proyeksi, pengukuran terhadap suatu objek dilakukan terhadap hasil perekaman dari kamera. Saat sebuah foto diambil, berkas sinar dari objek akan menjalar menuju pusat lensa kamera hingga mencapai bidang film. Kondisi dimana titik objek, titik pusat kamera dan titik objek pada bidang foto terletak satu garis dalam ruang dinamakan kondisi kesegarisan berkas sinar atau kondisi kolinearitas (colinearity condition). Kondisi ini merupakan syarat fundamental dalam fotogrametri. Pada fotogrametri jarak dekat, jarak antar objek dan kamera tidak lebih dari 100 meter.

Secara garis besar proses pengolahan CRP dilakukan sebagai berikut:

Gambar 2 Proses pengolahan CRP
  1. Kalibrasi kamera

Kalibrasi kamera adalah proses menentukan parameter internal dari sebuah kamera. Parameter internal digunakan untuk merekontruksi ulang berkas sinar saat pemotretan dilakukan dan digunakan untuk mengetahui besarnya kesalahan sistematik dari sebuah kamera. Proses kalibrasi bertujuan untuk mencari parameter intrinsik dan parameter ekstrinsik menggunakan image 2D pada suatu objek, yang dikorespondensikan dengan koordinat 3D objek. Korespondensi tersebut dapat diartikan sebagai transformasi antar sistem koordinat. Beberapa parameter tersebut antara lain, resolusi kamera, rotasi kamera, focal lenght, titik pusat koordinat, dan distorsi lensa. Salah satu software yang dapat digunkan pada tahap kalibrasi kamera digital non metrik adalah software Photomodeler. Metode kalibrasi pada Photomodeler menggunakan prinsip menghitung parameter internal kamera secara analisis terhadap titik target dengan mengunakan self calibration bundle adjustment. Saat proses kalibrasi nilai Average Photo Point Coverage minimal berjumlah 80% dan nilai RMS kurang dari 1. Nilai tersebut bertujuan agar objek yang diamati semakin detail. Jika nilai Average Photo Point Coverage masih kurang dari 80% dan RMS lebih dari 1 maka harus mengkalibrasi ulang.

2. Pengambilan objek

Sebelum melakukan pengambilan objek, perlu diperhatikan agar foto dapat dimodelkan menjadi 3D, syarat tersebut berdasarkan 3 prinsip dasar CRP yaitu kesegarisan, interseksi ruang, dan reseksi ruang. Saat pengambilan objek harus memenuhi beberapa persyaratan seperti objek harus terlihat dari semua sisi (360°), garis orientasinya konsisten dan logis, jarak pemotretan konsisten atau sama, fokus kamera DSLR harus sama dengan fokus saat kalibrasi, terjadi pertampalan antar foto, dan orientasinya sama.

3. Pengolahan model 3D objek

Pemodelan yaitu membentuk suatu benda atau obyek sehingga terlihat seperti hidup. Sesuai dengan obyek dan basisnya, proses pembentukan model 3D objek secara keseluruhan dikerjakan dengan komputerisasi. Keseluruhan obyek bisa diperlihatkan secara 3 dimensi melalui proses dan desain sehingga disebut sebagai pemodelan 3 dimensi (3D modelling). Prinsip dasar dari proses CRP adalah model 3D diperoleh dari pengukuran pertampalan antar foto dengan berbagai sudut pandang dan pengukuran dari orientasi kamera. Model 3D terbentuk dari point clouds yang dihasilkan foto stereo secara otomatis yang kemudian diproses secara komputerisasi. Pemilihan data point clouds berperan penting dalam penentuan kerapatan objek dan keaslian bentuk objek. Pengolahan model 3D objek dapat dilakukan dengan software Photomodeler.

Close range photogrammetry atau fotogrametri jarak dekat dapat menjadi solusi alternatif yang lebih murah untuk pembuatan model 3D dari sebuah objek atau untuk kebutuhan pemetaan. Namun, metode ini memakan waktu yang cukup lama dalam memproses data citra fotonya, selain itu metode ini sangat dibatasi oleh kemampuan hardware dan software dalam mengkalkulasi parameter-parameter yang ada, baik parameter orientasi kamera ataupun koordinat objek yang diukur.

REFERENSI:

Atkinson, K. B. (1996). Close Range Photogrammetry and Machine Vision. Caithness: Whittles Publising.

Prasetyo, Y. (2019). Materi Kuliah Fotogrametri II. Semarang: Universitas Diponegoro.

Soetaat. (1994). Diktat Fotogrametri Analitik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

LAND SURFACE TEMPERATURE (LST)

Oleh Fella Faradiva, Mutia Arifah Rachim, dan Tike Aprillia Hartini

Dewasa ini, perubahan iklim dunia terus menjadi perbincangan di kalangan publik dunia. Perubahan iklim ini berpengaruh terhadap perubahan pola musim dan cuaca, mencairnya es di kutub, dan naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim ini disebabkan karena terjadinya peristiwa pemanasan global, yang berarti bumi mengalami kenaikan suhu dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat dari data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pengingkatan suhu bumi saat ini sekitar 0,6 oC dibandingkan pada tahun 1750.

Suhu permukaan tanah atau Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu unsur iklim yang penting dalam neraca energi. Sehingga apabila terjadi perubahan variasi suhu permukaan maka akan berpotensi mengubah unsur-unsur iklim yang lainnya. Peningkatan suhu permukaan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung akibat kegiatan manusia. Peningkatan jumlah penduduk akan diiringi dengan banyaknya proses pembangunan. Dalam proses pembangunan ini lahan vegetasi akan diubah menjadi lahan non-vegetasi, yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat berkegiatan manusia. Akibat dari semakin sedikitnya lahan non-vegetasi, maka suhu permukaan menjadi meningkat karena tidak ada vegetasi yang menyerap panas. Selain itu, dengan banyaknya pabrik yang dibangun dan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor mengakibatkan kadar CO2 semakin banyak di atmosfer dan suhu permukaan pun menjadi ikut meningkat.

Distribusi LST perlu diketahui pada suatu wilayah, agar dapat diketahui daerah mana saja yang mengalami kenaikan suhu permukaan dan selanjutnya dapat digunakan dalam proses perencanaan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Distribusi LST ini dapat dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan data citra satelit, seperti Landsat, NOAA, dan MODIS.

Land Surface Temperature (LST) adalah suhu pada permukaan bumi yang merupakan hasil pantulan objek yang terekam oleh citra satelit pada waktu tertentu. LST dapat didefinisikan juga sebagai suhu permukaan rata – rata yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Besarnya nilai LST dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap suhu permukaan adalah inframerah thermal. Namun, pada dasarnya setiap panjang gelombang akan sensitif terhadap respon perubahan suhu yang mempengaruhi nilai pantul objek. Untuk dapat mengetahui informasi LST, dilakukan proses identifikasi suhu permukaan tanah dengan memanfaatkan gelombang thermal yang terdapat pada citra satelit.

Data yang diperlukan dalam proses pengidentifikasian LST menggunakan citra satelit Landsat yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), citra Landsat 8 band 10, dan citra Landsat 8 band 11. Proses pengidentifikasian dilakukan dengan mengubah nilai digital ke nilai radian. Kemudian nilai radian yang telah didapatkan diubah menjadi satuan temperatur agar dapat mengetahui besarnya suhu secara pasti. Data LST ini sering kali digunakan sebagai data masukan dalam model perhitungan evapotranspirasi, kelembapan udara, kelengasan tanah, serta neraca energi. Berikut adalah contoh distribusi LST di suatu wilayah:

Suhu Permukaan Tanah yang Diturunkan dari data Landsat Tahun 2005, 2009, 2014, 2016.

(Sumber : Ningrum, Widya dan Narulita, Ida dalam Deteksi Perubahan Suhu Permukaan Menggunakan Data Satelit Landsat Multi-Waktu)

DAFTAR REFERENSI

  • Fahwari, N., Yanuarsyah, I., & Hudjimartsu, S. A. (2019). Hubungan Suhu Permukaan Tanah Dengan Zona Rawan Longsor Menggunakan Land Surface Temperature. SEMNATI 2019, 366-371.
  • Guntara. (2016, Oktober 4). Pengertian Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature). Diambil kembali dari Guntara.com Informasi Berguna Bagi Nusantara: https://www.guntara.com/2016/10/pengertian-suhu-permukaan-lahan-land.html
  • Ningrum, Widya dan Narulita, Ida. 2018. Deteksi Perubahan Suhu Permukaan Menggunakan Data Satelit Landsat Multi-Waktu (Studi Kasus : Cekungan Bandung). Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 19, No.2.
  • Santi, Amri, S. B., Aspin, & Amsyar, S. (2018). Identifikasi Ketersediaan Dan Kebutuhan RTH Serta Pengaruhnya. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL), 26-33.
  • Utomo, Anggoro Wahyu., Suprayogi, Andri., dan Sasmito, Bandi. 2017. Analisis Hubungan Variasi Land Surface Temperature Dengan Kelas Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Satelit Landsat (Studi Kasus : Kabupaten Pati). Jurnal Geodesi Undip, Volume 6, No. 2.