APLIKASI UAV LIDAR DALAM PENGEMBANGAN PANAS BUMI

Revanza Anwar, ST, M.Si
Tike Aprillia, ST

Energi Panas Bumi (Geothermal Energy)

Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Itali sejak tahun 1913 dan di New Zealand sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor non‐listrik (direct use) telah berlangsung di Iceland sekitar 70 tahun. Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979, telah memacu negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. Saat ini energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di 24 Negara, termasuk Indonesia. Disamping itu fluida panas bumi juga dimanfaatkan untuk sektor non-listrik di 72 negara, antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas, dll.

Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panas bumi pertama kali dilakukan di daerah Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu sumur KMJ‐3 masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan eksplorasi di daerah tersebut. Kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia baru dilakukan secara luas pada tahun 1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New Zealand melakukan survei pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia. Dari hasil survei dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panas bumi, yaitu di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera, terus ke Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survei yang dilakukan selanjutnya telah berhasil menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya meningkat menjadi 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek di Sulawesi, 21 prospek di Nusatenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku dan 5 prospek di Kalimantan. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrotermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225 oC), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225 oC).

Berdasarkan data Direktorat Panas Bumi EBTKE, potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia sangatlah besar yaitu sekitar 23,9 GW, pemanfaatan panas bumi secara nasional baru 8% atau sekitar 2.130,7 MW. Pemanfaatan panas bumi pada saat ini setara dengan pemakaian BBM domestik sebesar 32.000* BOE per hari (= 92.000 BOE per hari minyak mentah) atau sekitar 81.200 BOE* per hari BBM domestik pada tahun 2025 jika target RUPTL sebesar 6.310 MW tercapai. Perhitungan ini dengan asumsi 1 MWh PLTP = 0,613 SBM (HESSI, KESDM 2018). Pemerintah menargetkan pengembangan panas bumi hingga satu dasawarsa kedepan (tahun 2020-2030) mencapai 8.007,7 MW. Ini artinya, dengan kapasitas terpasang saat ini yaitu 2.130,7 MW, masih diperlukan sekitar 177 proyek pengembangan panas bumi dengan kapasitas total sekitar 5.877 MW hingga tahun 2030. Pemerintah Indonesia juga mencanangkan bauran energi baru terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan naik lagi 31 persen pada 2050. Sebaliknya, bauran energi dari minyak bumi pada 2050 diturunkan separuhnya dari saat ini 40%. Di sisi lain, pengembangan panas bumi masih memerlukan insentif tambahan untuk mencapai kelayakan proyeknya ditengah tingginya resiko eksplorasi dan keterbatasan akses infrastruktur ke lokasi pengembangan.

Risiko Eksplorasi, Eksploitasi, dan Pengembangan Lapangan Panas Bumi

Proyek panas bumi memiliki resiko yang tinggi dan memerlukan dana yang besar, oleh karena itu sebelum suatu lapangan panas bumi dikembangkan perlu dilakukan pengkajian yang hati-hati untuk menilai apakah sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah tersebut menarik untuk diproduksikan. Penilaian kelayakan meliputi beberapa aspek, yang utama adalah: aspek teknis, pasar dan pemasaran, finansial, legal, serta sosial ekonomi.

Dari segi aspek teknis, hal‐hal yang harus dipertimbangkan adalah:

  1. Sumber daya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar sehingga mampu memproduksikan uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 25‐30 tahun.
  2. Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km.
  3. Sumber daya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai.
  4. Sumber daya panas bumi memproduksikan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala relatif rendah.
  5. Sumber daya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal relatif rendah. Diproduksikannya fluida panas bumi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.
  6. Hasil kajian dampak lingkungan.

Dari aspek pasar dan pemasaran, hal‐hal yang harus dipertimbangkan adalah kebutuhan konsumen dan ketersediaan jaringan distribusi. Dari aspek finansial, perlu dilakukan pengkajian terhadap dana yang diperlukan, sumber dana, proyeksi arus kas, indikator ekonomi, seperti NPV, IRR, PI dll, serta perlu juga dipertimbangkan pengaruh perubahan ekonomi makro. Dari aspek sosial ekonomi, perlu dipertimbangkan pengaruh proyek terhadap penerimaan negara, kontribusi proyek terhadap penerimaan pajak, jasa‐jasa umum yang dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan kontribusi proyek terhadap kesempatan kerja, alih teknologi dan pemberdayaan usaha kecil

Light Detection and Ranging (LiDAR)

LiDAR atau juga dikenal sebagai LADAR adalah akronim untuk light detection and ranging. LiDAR adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat. Jarak didapatkan dengan menghitung waktu antara ditembakkannya sinar laser dari sensor sampai diterima kembali oleh sensor.

LiDAR dapat dengan cepat mengukur permukaan bumi dengan laju pengambilan sampel data lebih besar dari 150 kilohertz (150.000 pulsa per detik)[1]. LiDAR menghasilkan produk berupa kumpulan titik awan (points cloud) yang tergeoreferensi, sehingga menghasilkan representasi tiga dimensi (3D) dari permukaan bumi dan objek-objek diatasnya. Sistem LiDAR pada umumnya banyak beroperasi dengan menggunakan gelombang near infrared (NIR). Namun beberapa sensor pun ada yang menggunakan spektrum gelombang hijau untuk menembus air dan mendeteksi keadaan di dasar air.

LiDAR dapat memperoleh data di bawah kanopi pohon. Hal ini lah yang menjadi keunggulan LiDAR dibandingkan dengan fotogrametri dan pemetaan menggunakan citra satelit. Meskipun tidak semua data di bawah kanopi pohon dapat diperoleh, tetapi data tersebut dapat dijadikan sampel titik permukaan tanah di daerah yang berpohon tersebut. Hal ini karena LiDAR menggunakan sinar laser, sehingga selama masih ada celah cahaya yang bisa menembus ke bawah kanopi pohon, maka data LiDAR dapat diperoleh.

Teknologi UAV LiDAR dalam Pengembangan Panas Bumi

Teknologi light detection and ranging (LiDAR) saat ini telah banyak dikembangkan. Output LiDAR berupa data tiga dimensi (3D) dengan akurasi yang cukup tinggi dan pengambilan data yang lebih cepat menjadikan teknologi ini mulai banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Sehingga, teknologi ini dapat digunakan sebagai alternatif dari teknologi pemetaan secara konvensional (pemetaan terestris). Pada area pengukuran yang luas, LiDAR akan sangat efisien digunakan dibandingkan dengan metode pemetaan konvensional. Hal ini karena waktu pengambilan dan pemrosesan data dapat dilakukan lebih cepat. Selain itu output LiDAR sudah dalam bentuk digital, sehingga tidak perlu dilakukan proses digitalisasi. Pada perkembangan awalnya, LiDAR dibawa oleh wahana pesawat udara atau disebut dengan Airborne LiDAR. Namun karena biaya sewa pesawat cukup mahal, maka dikembangkanlah wahana pesawat tanpa awak yang dapat membawa sensor LiDAR. Pesawat tanpa awak ini dikenal juga sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV).

Secara garis besar di bidang panas bumi, teknologi LiDAR bisa membantu mulai dari perencanaan pembuatan infrastruktur sampai dengan monitoring seluruh lokasi pada tahap eksploitasi. Selanjutnya akan dibahas secara detail aplikasi UAV LiDAR pada pengembangan panas bumi.

Aplikasi UAV LiDAR

Teknologi LiDAR yang menghasilkan output dengan akurasi data yang akurat, menjadikan teknologi ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan Geotermal dimana lokasi panas bumi yang pada umumnya berada di kawasan hutan dengan topografi berbukit:

  1. Pemetaan Kawasan Hutan

Sinar laser yang dipancarkan oleh LiDAR dapat menembus celah-celah kecil pada kanopi pohon. Hal ini menjadikan LiDAR dapat merekam data di bawah kanopi pohon. Sehingga, dengan menggunakan LiDAR dapat dihasilkan Data Elevation Model (DEM) pada kawasan hutan. DEM dalam pemetaan kawasan hutan digunakan untuk menentukan rencana pembuatan infrastruktur lokasi pemboran panas bumi.

Gambar 1. Point cloud LiDAR bisa langsung memberikan gambaran profil dalam hutan.

(Hasil Olahan PT. Kreasi Handal Selaras, 2020)

  • Perencanaan Infrastruktur

Data LiDAR memudahkan perencanaan dan pengembangan infrastruktur panas bumi (desain lokasi kluster pemboran, akses jalan, dan fasilitas pendukung lainnya). Selain itu juga digunakan dalam penyiapan data perizinan dan pembebasan lahan. Perencanaan dan pengembangan infrastruktur dapat lebih spesifik, karena UAV LiDAR bisa terbang rendah.

Gambar 2. Point cloud LiDAR mengenai semua obyek di atas permukaan tanah.

(Hasil Olahan PT. Kreasi Handal Selaras, 2020)

  • Mitigasi dan Pemantauan Tanah Longsor

Pada pemantauan tanah longsor, pengambilan data LiDAR dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu. Pergerakan tanah dapat dipantau dari perubahan data yang didapatkan. Pemantauan tanah longsor menggunakan LiDAR akan menghasilkan model tiga dimensi dari lereng yang diamati.

Gambar 3. Digital Elevation Model (DEM) tanah longsor.

(Hasil Olahan Data PT. Kreasi Handal Selaras)

Data LiDAR dalam Pemetaan Geohazard

Data berupa LiDAR, foto udara, peta geologi, dan peta tata guna lahan dikumpulkan untuk diolah menjadi zonasi rawan longsor yang kemudian digunakan sebagai Peta Rekomendasi Lahan. Peta ini digunakan sebagai acuan awal dalam penentuan lokasi yang baik berdasarkan kajian geoteknik. Kajian geoteknik ini merupakan upaya pengidentifikasian titik/daerah yang berpotensi menjadi geohazard secara local maupun regional. Persiapan berikutnya adalah membuat Peta Tata Guna Lahan dan Peta Kemiringan Lereng berdasarkan data LiDAR dan foto udara. Kemudian, Peta Tata Guna Lahan, Peta Kemiringan Lereng, dan Peta Geologi dibagi berdasarkan kelas tertentu dan pemberian bobot pada masing-masing kelas dilakukan.

            Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan, Peta Kemiringan Lereng, Peta Geologi

Ketiga peta tersebut digabungkan dengan metode Weighted Overlay. Pemberian bobot juga dilakukan untuk masing-masing peta berdasarkan pengaruh terhadap potensi pergerakan tanah. Kemudian, Peta Rekomendasi Lokasi terbentuk sesuai dengan zonasi potensi longsor yang terbagi menjadi 5 kelas, yaitu Sangat Aman, Aman, Layak, Rawan, dan Sangat Rawan. Berdasarkan Peta Rekomendasi Lahan dan Peta Daerah Tangkapan Air yang didapatkan dari hasil pengolahan data LiDAR, lokasi yang berpotensi mengalami pergerakan tanah dapat diinterpretasi arah pergerakannya. Arah pergerakan dari potensi pergerakan tanah tersebut juga telah didasarkan pada kondisi lapangan.

Gambar 5. Potensi Pergerakan Tanah

Referensi :

[1] Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications. Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center.

PROYEKSI PETA

Oleh Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Proyeksi peta merupakan model matematis untuk mengkonversi posisi tiga dimensi suatu titik di permukaan bumi ke dalam dua dimensi atau bidang datar. Dalam prosesnya, proyeksi peta menyebabkan distorsi pada aspek-aspek geometri permukaan bumi yaitu distorsi jarak, distorsi arah, distorsi bentuk, dan distorsi skala. Untuk memperoleh peta yang ideal diperlukan:

  1. luas, jarak, arah dan bentuk yang benar
  2. membagi daerah yang dipetakan menjadi daerah yang lebih sempit
  3. menggunakan bidang datar atau bidang yang didatarkan

Proses memproyeksikan peta dibutuhkan model proyeksi, setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apabila satu jenis distorsi diminimalkan maka jenis distorsi lain pasti akan membesar. Distorsi pada proyeksi peta memiliki 4 sifat yaitu:

1. Konform

Konform adalah bentuk yang digambarkan pada proyeksi peta harus sesuai dengan aslinya dan mempertahankan kemiripan dengan bentuk aslinya yang tampak pada bumi.

2. Ekuivalen

Ekuivalen adalah luas yang tergambar pada peta harus sesuai dengan luas yang sama di gambaran aslinya.

3. Ekuidistan

Ekuidistan adalah peta yang digambarkan pada proyeksi peta jaraknya harus sama pada jarak sebenarnya sesudah dikalikan dengan skala yang tercantum pada proyeksi peta.

4. Azimuthal

Azimuthal adalah peta yang digambarkan pada proyeksi peta dengan ketentuan arahnya sama dengan yang sebenarnya.

Berdasarkan Bidang Proyeksi

Berdasarkan bidang proyeksinya, proyeksi peta dibagi menjadi 3 yaitu planar, kerucut dan silinder.

Macam Proyeksi Peta

1. Planar

Proyeksi ini sering juga disebut sebagai proyeksi zenithal atau azimuthal. Proyeksi planar merupakan sebuah proyeksi peta yang memakai sebuah bidang datar untuk digunakan sebagai proyeksinya. Pada proyeksi ini membahas mengenai bola bumi yang mana hanya berpusat pada satu titik. Umumnya digunakan untuk menggambarkan lintang kutub atau daerah yang cakupannya kecil. Proyeksi ini cocok untuk pencitraan daerah kutub. Pada proyeksi ini dapat dibagi kembali menjadi 3 jenis berdasarkan sumber cahaya proyeksi yaitu:

A. Proyeksi Orthografik

Proyeksi orthografik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan sumber titik proyeksi yang tak terhingga.
Seluruh titik proyeksi tersebut kemudian ditarik garis orthogonal kedalam bidang datar.
.

Proyeksi Orthografik
B. Proyeksi Stereografik

Proyeksi stereografik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan satu titik sumber proyeksi.
Satu sumber dari titik proyeksi tersebut kemudian dipancarkan ke segala arah.
.
.

Proyeksi Stereografik
C. Proyeksi Gnomonik

Proyeksi gnomonik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan satu titik sumber proyeksi yang terletak pada pusat bumi. Satu sumber titik proyeksi tersebut kemudian dipancarkan ke segala arah dari pusat bumi ke permukaan bumi.

Proyeksi Gnomonik

2. Kerucut

Proyeksi peta kerucut adalah proyeksi peta menggunakan bentuk kerucut sebagai bidang proyeksi. Proyeksi peta ini digunakan untuk memetakan belahan bumi lintang tengah seperti benua Eropa. Proyeksi peta kerucut tidak dapat digunakan untuk menggambarkan daerah kutub dan juga daerah khatulistiwa.

3. Silinder

Proyeksi peta silinder adalah proyeksi peta menggunakan bentuk silinder sebagai bidang proyeksi. Proyeksi peta ini digunakan untuk memetakan belahan bumi daerah khatulistiwa. Proyeksi peta silinder tidak dapat digunakan untuk memetakan belahan bumi bagian kutub.

Berdasarkan Kedudukan Sumbu Simetri

Berdasarkan kedudukan sumbu simetri, proyeksi peta dibagi menjadi 3, yaitu proyeksi normal, miring, dan transversal.

1. Proyeksi Normal

Garis karakteristik bidang proyeksi berimpitan dengan sumbu bola bumi.

2. Proyeksi Miring

Garis karakteristik bidang proyeksinya membentuk sudut lancip dengan sumbu bola bumi.

3. Proyeksi Transversal

Garis karakteristik bidang proyeksi berpotongan tegak lurus dengan sumbu bola bumi.

Ilustrasi Bidang Proyeksi

Dari penjelasan diatas, maka dalam pembuatan peta harus dipilih model proyeksi peta yang sesuai dengan kebutuhannya agar meminimalkan distorsi fitur-fitur yang dianggap penting. Jenis proyeksi peta dapat diketahui berdasarkan bidang proyeksi dan kedudukan sumbu simetrinya. Proyeksi peta berdasarkan bidang proyeksinya dibagi menjadi 3, yaitu planar, kerucut, dan silinder. Proyeksi peta berdasarkan kedudukan sumbu simetrinya dibagi menjadi 3, yaitu proyeksi normal, proyeksi miring, dan proyeksi transversal.


SUMBER:

Geography, G. (2020, Maret 5). GIS Geography. Dipetik Juli 9, 2020, dari https://gisgeography.com/: https://gisgeography.com/azimuthal-projection-orthographic-stereographic-gnomonic/#:~:text=At%20the%20opposite%20end%20where,it%20preserves%20shapes%20(conformal).

Yuwono, B. D. (2019). Materi Kuliah Proyeksi Peta. Semarang: Universitas Diponegoro.

SISTEM KOORDINAT

Oleh Tike Aprilia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Posisi atau kedudukan seseorang atau suatu benda dapat dinyatakan dengan koordinat (baik dua dimensi atau tiga dimensi) yang mengacu pada sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat adalah suatu sistem (termasuk di dalamnya teori, konsep, deskripsi fisis serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sistem koordinat memudahkan pendeskripsian, perhitungan, dan analisa, baik yang sifatnya geometrik maupun dinamik.

Sistem koordinat didefinisikan dengan menspesifikasi tiga parameter, yaitu:

1. Lokasi titik origin atau titik nol dari sistem koordinat
A. Geosentrik (di pusat bumi)

Sistem koordinat geosentrik memiliki titik nol yang berpusat di massa bumi (geocenter) dengan sumbu Z atau sumbu rotasi bumi searah dengan Conventional International Origin (CIO), sumbu X ditarik dari pusat bumi kearah perpotongan ekuator dengan meridian Greenwich, dan sumbu Y tegak lurus dengan sumbu X dan Z sesuai dengan kaidah tangan kanan.

Gambar 1 Sistem Koordinat Geosentrik

B. Toposentrik (di permukaan bumi)

Sistem koordinat toposentrik merupakan sistem koordinat yang bersifat lokal dengan titik nol mengacu pada garis gaya berat bumi, n (northing) mengacu ke arah utara geodetik, dan e (easting) tegak lurus dengan n.

Gambar 2 Sistem Koordinat Toposentrik

C. Heliosentrik (di pusat matahari)

Sistem koordinat heliosentrik merupakan sistem koordinat dimana matahari menjadi pusat koordinat. Benda langit lainnya seperti bumi dan planet bergerak mengitari bumi dan matahari. Titik referensi yang digunakan yaitu Vernal Equinoks (VE) yang didefinisikan sebagai sumbu X.

Gambar 3 Sistem Koordinat Heliosentrik

2. Orientasi sumbu-sumbu koordinat
A. Terikat bumi (Conventional Terestrial System)

Pada umumnya digunakan untuk menyatakan posisi titik – titik yang berada di bumi. Sumbu – sumbunya ikut berotasi bersama dengan bumi. Dalam sistem koordinat terikat bumi titik nol adalah pusat bumi dan sumbu-sumbu sistem koordinatnya terikat ke bumi. Sumbu Z mengarah ke CTP (Conventional Terrestrial Pole), sumbu X berada dalam meredian Greenwich dan berada di bidang ekuator bumi, dan sumbu Y yang tegak lurus dengan sumbu X dan Z membentuk sistem koordinat tangan kanan.

Gambar 4 Conventional Terestrial System

B. Terikat langit (Conventional Inertial System)

Pada umumnya digunakan untuk menytakan posisi titik dan objek di angkasa, seperti satelit maupun benda – benda langit lainnya. Dalam sistem koordinat terikat langit, titik nol adalah pusat bumi dan sumbu-sumbu sistem koordinatnya terikat ke langit. Sumbu Z yang mengarah ke Conventional Ephemeris Pole (CEP) pada epok standar J2000, sumbu mengarah ke titik semi (Vernal Equinoks) dan terletak pada bidang ekuator bumi, serta sumbu Y yang tegak lurus dengan sumbu X dan Z dan membentuk sistem koordinat tangan kanan.

Gambar 5 Conventional Inertial System

3. Besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi
A. Kartesian (X,Y,Z)

Sistem koordinat kartesian menggunakan titik pusat bumi sebagai titik pusat sistem koordinat. Posisi suatu titik pada sistem koordinat ini didefinisikan dengan sumbu X, Y dan Z. Sumbu Z  merupakan garis dalam arah Conventional Terrestrial Pole (CTP), sumbu X merupakan perpotongan antara meridian Greenwich dengan bidang ekuator, dan sumbu Y tegak lurus dengan sumbu X dan Z sesuai dengan kaidah tangan kanan.

B. Geodetik (φ,λ,h)

Sistem koordinat geodetik menggunakan model permukaan bumi yang didekati dengan model ellipsoid sebagai model referensi. Posisi suatu titik didefinisikan oleh lintang(φ), bujur(λ) dan ketinggian(h). Lintang geodetik(φ) dari suatu titik terbentuk dari sudut lancip oleh garis normal ellipsoid yang melalui titik tersebut dengan bidang ekuator dengan nilai antara 0° sampai 90° lintang utara dan 0° sampai 90° lintang selatan. Bujur geodetik(λ)  merupakan sudut yang dibentuk antara meridian lokal dengan meridian Greenwich dengan nilai antara 0° sampai 180° bujur barat dan 0° sampai 180° bujur timur. Tinggi suatu titik diatas ellipsoid (h) dihitung sepanjang garis normal ellipsoid yang melalui titik tersebut.

Gambar 6 Sistem Koordinat Kartesian dan Geodetik

Sistem koordinat adalah sebuah cara atau metode untuk menentukan letak suatu titik. Untuk menentukan dan mendeskripsikan titik yang dicari, sistem koordinat menggunakan 3 parameter yaitu lokasi titik origin atau titik nol dari sistem koordinat, orientasi sumbu-sumbu koordinat, dan besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi. Setelah memenuhi 3 parameter di atas, sistem koordinat dapat digunakan untuk mengetahui posisi suatu titik yang dicari.


SUMBER:

Abiddin, H. Z. (2001). Geodesi Satelit. Bandung: PT Anem Kosong Anem.

Enacademic. (2017, November 18). https://enacademic.com. Dipetik Juli 9, 2020, dari Academic: https://enacademic.com/dic.nsf/enwiki/30988

Eren, O., & Hajiyev, C. (2013). Aircraft Position and Velocity Determination Based On GPS Measurements Using Distance Difference and Doppler Methods. Istanbul: Istanbul Technical University.

Firdaus, H. S. (2019). Materi Kuliah Hitung Proyeksi Geodesi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Mengenal ‘Doughnut Economy’: Konsep Ekonomi yang ‘Penuh Kebaikan’ untuk Pertumbuhan Kota

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Krisis ekonomi yang diakibatkan baik oleh kemunculan pandemi Covid-19 ataupun tidak, membuat banyak pemangku kebijakan di segala penjuru dunia berpikir ulang tentang bagaimana model ekonomi yang paling tepat untuk diterapkan. Saat ini aspek growth atau pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menjadi tolok ukur keberhasilan. Sebuah konsep ekonomi bertajuk Doughnut Economy kian sering disebut-sebut sebagai model ekonomi baru di mana terdapat elemen lain yang diperhitungkan, seperti pondasi sosial dan limitasi ekologi, selain pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Saat ini Amsterdam menjadi kota pertama yang mencoba menerapkan konsep tersebut dalam visi jangka panjangnya. Menarik untuk dibahas?   

Memahami Konsep Doughnut Economy

Konsep Doughnut Economy atau yang lebih mudah disebut dengan ekonomi donat pertama kali dicetuskan oleh Kate Raworth pada tahun 2012. Kate merupakan seorang ekonom lulusan Oxford yang juga merangkap sebagai Senior Associate di Cambridge Institute for Sustainability Leadership di samping mengajar sebagai professor dalam program Environmental Change and Management.

Untuk dapat memahami apa itu sebetulnya ekonomi donat, ada baiknya dilakukan perbandingan terlebih dahulu dengan model ekonomi klasik. Model ekonomi klasik adalah model ekonomi yang diperkenalkan oleh beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Max Weber, Joseph Schumpeter, William Ashley dan lain sebagainya. Model ekonomi klasik berpegang teguh pada konsep growth alias pertumbuhan. Dalam konsep ini, idealnya keuntungan dan produksi tahun depan haruslah lebih baik dari tahun sekarang. Intinya, ‘keberhasilan’ suatu unit bisnis hari ini ditandai dengan pertumbuhan dan kondisi finansial yang lebih baik dari hari kemarin.

Hal tersebut sedikit agak berbeda dengan konsep ekonomi donat. Kate Raworth mempertimbangkan aspek lainnya seperti kelestarian lingkungan dan peradaban manusia yang nyatanya memiliki keterbatasan. Pada satu waktu, keterbatasan itu akan mencapai tipping point. Tipping point adalah kondisi epidemiologi di mana satu perubahan kecil akan membawa kita ke sebuah perubahan yang masif. Perubahan tersebut bisa berupa krisis iklim maupun krisis sosial. Dunia tidak bisa terus menerus bergantung pada konsep ekonomi klasik jika ingin menuntaskan krisis-krisis tersebut. Sudah saatnya beralih ke model ekonomi donat. Konsep ekonomi donat tidak mengenal istilah ‘membuang sampah akhir’. Setiap produk, di akhir hidupnya, akan berubah bentuk menjadi materi dasar (raw material) untuk produk-produk selanjutnya.

Model Ekonomi Donat

Sumber: Weforum.org, 2017

Sekarang mari kita bayangkan bentuk kue donat seperti diagram yang tertera di atas. Diagram tersebut terdiri dari dua lingkaran. Lingkaran yang pertama adalah lingkaran yang berada di bagian dalam yang menggambarkan sumber daya yang cukup bagi manusia untuk memiliki kehidupan yang baik. Adapun yang menjadi elemen dalam lingkaran dalam tersebut adalah makanan, air bersih, tempat tinggal, sanitasi, energi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan demokrasi. Lingkaran yang kedua berada di bagian terluar donat. Lingkaran tersebut menggambarkan batasan-batasan alam yang dimiliki oleh bumi seperti potensi terjadinya krisis perubahan iklim, polusi air, penipisan ozon, punahnya spesies dan serangan-serangan lingkungan lainnya.

Ruang yang terdapat di antara kedua lingkaran tersebut, yang mana adalah donat itu sendiri, adalah ruang yang aman secara ekologis dan adil secara sosial. Di ruang tersebutlah umat manusia harus berjuang untuk dapat hidup. Tujuan ekonomi seharusnya dapat membantu manusia untuk memasuki ruang tengah dan tinggal di sana. Model ekonomi donat memungkinkan kita untuk melihat secara komprehensif dan menemukenali di mana posisi kita berada. Kecenderungan saat ini adalah umat manusia yang telah melampaui kedua lingkaran, baik dalam maupun luar. Miliaran orang masih hidup di lingkaran dalam, dan tentu aktivitas sehari-hari telah membawa kita melampaui lingkaran terluar dan membahayakan kelestarian bumi. 

Contoh lain yang membedakan ekonomi klasik dengan ekonomi donat adalah bagaimana kedua konsep tersebut melihat dan menangani persoalan inequality atau ketidaksetaraan yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Pada abad ke-20, waktu di mana konsep ekonomi klasik diterapkan, kebijakan-kebijakan hampir selalu mempromosikan agenda redistribusi ekonomi dengan fokus meredistribusikan pendapatan. Sebagai contoh, melalui penerapan pajak, penerapan transfer pendapatan antara si kaya dan si miskin, atau pemberlakuan upah minimum. Memang hal tersebut dilakukan bersamaan dengan investasi dalam pelayanan publik, seperti peningkatan layanan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, sesungguhnya pendekatan tersebut masih belum memberantas akar ketidaksetaraan ekonomi karena hanya berfokus pada pendapatan, bukan sumber kekayaan yang menghasilkannya.

Lain halnya dengan pendekatan yang dilakukan oleh ekonomi donat yang bertujuan untuk meredistribusikan ‘sumber kekayaan’. Ekonomi donat akan memikirkan bagaimana tanah dan sumber daya dapat didistribusikan secara merata. Apakah melalui reformasi tanah, pemberlakuan pajak nilai tanah, atau dengan mengakui tanah sebagai hak Bersama? Ekonomi donat juga akan berfokus untuk mencari jawaban atas pertanyaan: model bisnis seperti apa yang dapat memastikan bahwa pekerja pekerja yang berkomitmen menuai bagian yang jauh lebih besar dari nilai yang mereka hasilkan? Ekonomi donat juga akan memikirkan tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa didistribusikan secara global melalui sumber terbuka yang tidak dipungut biaya serta penyediaan lisensi gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.

Dari penjelasan di atas tentang bagaimana perbedaan ekonomi klasik dan ekonomi donat dalam menangani ketidaksetaraan, dapat ditarik satu benang merah bahwa konsep ekonomi donat lebih mengedepankan distribusi sumber kekayaan ketimbang redistribusi pendapatan yang banyak dilakukan pada masa ekonomi klasik. Berikut adalah gambar yang merepresentasikan perbedaan tersebut:

Perbedaan Ekonomi Klasik dan Ekonomi Donat dalam Menangani Ketidaksetaraan

Sumber: Weforum.org, 2017

Lalu bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat? Pada dasarnya kondisi ekonomi sangatlah ditentukan oleh hukum dan kebijakan yang berlaku. Ekonomi adalah tentang bagaimana kebijakan supply & demand diberlakukan, tentang bagaimana kinerja hukum pasar, dan lain sebagainya. Ekonomi adalah sebuah sistem dinamis yang secara konstan terus berkembang, jadi tidak ada yang namanya ‘kepastian’ dalam ekonomi, yang ada hanyalah bagaimana ‘desain’ dari kondisi ekonomi tersebut. Jadi jawaban dari bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat adalah dengan mengatur desain ekonomi yang berlaku.

Pada intinya, harus terdapat perubahan yang transformatif terkait dengan dasar-dasar produksi. Hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara meminta perusahaan untuk mengoptimalkan pajak mereka terhadap beberapa regulasi pajak baru atau mekanisme harga. Melainkan dengan memaksa para perancang di perusahaan tersebut untuk meninjau Kembali core atau inti dari proses yang mereka miliki. Sebagai contoh, seperti hal-hal yang sudah dilakukan oleh negara-negara di Eropa untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai adalah sebuah peraturan yang jelas dan akan mempengaruhi inti proses dari industri plastik ke depannya. Para pemain industri tidak bisa hanya mempertimbangkan pengeluaran dan keuntungan mereka, namun mereka juga harus mendesain dan mengatur ulang bagaimana rantai pasokan mereka bekerja. Perubahan hukum dan kebijakan dapat membawa perubahan jangka panjang yang fundamental, jauh lebih mendasar dari apa yang dapat dilakukan oleh mekanisme harga dan pasar.

Penerapan Doughnut Economy di Amsterdam

Konsep ekonomi donat lambat laun sudah mulai diimplementasikan dalam skala perkotaan. Adalah beberapa organisasi yang mensiasati hal tersebut seperti the Doughnut Economics Action Lab, Circle Economy, C40 Cities dan Biomimicry 3.8. Pilot project penyelenggaraan ekonomi donat bertempat di Amsterdam, Belanda dan menyasar para perencana kota dan pemangku kebijakan perkotaan. The Amsterdam City Doughnut mengangkat konsep ekonomi donat menjadi suatu alat untuk melakukan aksi yang transformatif. Amsterdam menempatkan ekonomi donat sebagai visi jangka panjang mereka dan menjadi dasar atas setiap pengambilan keputusan. Adapun yang menjadi visi dari kota yang terkenal dengan wisata kanalnya tersebut adalah “menjadi kota yang berkembang, beregenerasi dan inklusif bagi seluruh warganya, dengan tetap memperhatikan limitasi planet bumi”.  

Untuk mewujudkan visi tersebut, Amsterdam telah meluncurkan Circular 2020-2025 Strategy, yang menitikberatkan aksi nyata untuk mengurangi separuh dari penggunaan bahan baku baru pada tahun 2030. Pemerintah kota Amsterdam bertujuan untuk mengimplementasikan circular economy secara menyeluruh pada tahun 2050. Amsterdam akan memberlakukan penggunaan kembali (reusing) bahan baku untuk menghindari timbulnya limbah dan mengurangi emisi CO2. Amsterdam juga akan mengembangkan alat untuk memantau dan melacak keberadaan bahan baku serta menilai inisiatif mana yang memberikan kontribusi terbesar untuk mencapai tujuan strategi circular. Hal tersebut didukung oleh pernyataan pemerintah kota Amsterdam yang mengatakan bahwa, “Kami melihat kondisi ekonomi kita dari perspektif yang berbeda: tentang bagaimana kita memproduksi, memproses, dan mengkonsumsi. Untuk para konsumer di Amsterdam, kita harus menggunakan suatu produk atau barang secara lebih lama, berbagi produk tersebut dengan orang lain, dan memperbaiki produk itu ketika terjadi kerusakan lagi dan lagi.”

Dilansir dari The Guardian, walikota Amsterdam, Marieke van Doorninck mengatakan bahwa pendekatan ekonomi donat dapat membantu kota untuk pulih kembali dari dampak yang ditimbulkan oleh coronavirus. Marieke berpendapat bahwa ekonomi donat dapat mencegah pemerintah Amsterdam untuk kembali ke mekanisme awal. Ekonomi donat adalah salah satu solusi paling baik yang dapat diambil ketika secara tiba-tiba seluruh kota di dunia diharuskan untuk mempertimbangkan masalah krisis iklim, kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, stok rumah, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.  

Melalui strategi ini, Amsterdam bertujuan untuk memotong limbah makanan hingga 50% pada tahun 2030, dari 41 kilogram limbah makanan per orang saat ini, dengan surplus dialihkan ke penduduk yang paling membutuhkan. Amsterdam juga akan menerapkan persyaratan keberlanjutan yang lebih ketat dalam kegiatan tender konstruksi. Sebagai contoh, bangunan akan mendapatkan ‘materials passport’ sehingga perusahaan pembongkaran dapat menentukan apakah bahan masih dapat digunakan di kemudian hari dan di mana bahan dapat digunakan kembali. Buiksloterham merupakan area pertama di mana konsep ekonomi donat ini akan diterapkan.

Pemerintah kota juga akan mengurangi penggunaan bahan baku baru sebesar 20% dan pada tahun 2030 hanya akan melakukan pembelian dengan skema melingkar. Skema melingkar sendiri adalah konsep alternatif dari ekonomi linear (produksi – penggunaan – pembuangan) yang bertujuan untuk menggunakan potensi setiap material semaksimal mungkin serta untuk memulihkan material yang telah sampai pada usia akhirnya. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk pengadaan produk seperti perlengkapan kantor dan komputer, tetapi juga untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan. Amsterdam sudah bekerjasama dengan pelaku usaha bisnis dan organisasi penelitian di lebih dari 200 proyek ekonomi donat. Kerja sama tersebut termasuk kerja sama dengan industri cat dan toko barang bekas di mana cat lateks bekas dikumpulkan dan diproses untuk dijual kembali.

Kendati demikian, pemerintah kota Amsterdam mengakui bahwa proses transformasi dari ekonomi klasik ke ekonomi donat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan kepada para pelaku usaha bisnis. Dan hal tersebut pastilah memakan waktu yang lama. Efek positif dari ekonomi donat tidak dapat dilihat secara instan. Namun pemerintah kota Amsterdam sangat yakin bahwa mereka sangat siap dalam menghadapi tantangan tersebut. Amsterdam adalah kota yang progresif yang tidak takut bereksperimen atau berinvestasi di masa depan. Lantas bagaimana dengan kota-kota lain di dunia? Jakarta, misalnya?

REFERENSI

Monbiot, G. 2017. Finally, a breakthrough alternative to growth economics – the doughnut. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2017/apr/12/doughnut-growth-economics-book-economic-model

Raworth, K. 2017. Meet the doughnut: the new economic model that could help end inequality. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2017/04/the-new-economic-model-that-could-end-inequality-doughnut/

Putri, A.R. 2017. Waste4Change Menyelenggarakan Circular Economy Forum di Indo Waste 2017. Waste4Change. https://waste4change.com/waste4change-circular-economy-forum-indo-waste-2017/#:~:text=Circular%20economy%20adalah%20konsep%20alternatif,telah%20sampai%20pada%20usia%20akhirnya.

Raworth, K. 2019. Doughnut Economics for Thriving 21st Century. Green European Journal. https://www.greeneuropeanjournal.eu/doughnut-economics-for-a-thriving-21st-century/

Xue, J.M. 2020. Ekonomi Biasa vs Ekonomi Donat. https://www.jenniexue.com/ekonomi-biasa-vs-ekonomi-donat/#:~:text=Ekonomi%20donat%20adalah%20ekonomi%20terbarukan,planet%20lagi%20sebagai%20tempat%20tinggal%3F

Wray, S. 2020. Amsterdam adopts first ‘city doughnut’ model for circular economy. SmartCitiesWorld. https://www.smartcitiesworld.net/news/news/amsterdam-adopts-first-city-doughnut-model-for-circular-economy-5198#:~:text=The%20city%20aims%20to%20have,contribution%20to%20circular%20economy%20goals.

Mengenal Ruang Udara di Republik Indonesia

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Tidak banyak yang tahu bahwa ruang udara di Republik Indonesia juga diatur dalam payung-payung hukum yang tidak kalah kompleks bila dibandingkan dengan peraturan dan kebijakan tata ruang di daratan. Sifatnya yang berkaitan lekat dengan pengamanan kekuasaan wilayah, membuat peraturan tata ruang udara di Indonesia kerap harus melibatkan dan memperhitungkan campur tangan negara tetangga. Masalah kekuasaan di udara seringkali harus diselesaikan secara diplomatis antar negara, bahkan terkadang harus berlarut-larut baru bisa muncul solusi. Berangkat dari hal itu, menarik untuk diulas lebih lanjut tentang bagaimana kondisi tata ruang udara di Indonesia sesungguhnya.

Apa itu Tata Ruang Udara?

Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan tata ruang udara? Sekompleks apakah ruang udara hingga harus diatur sedemikian rupa? Adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia, yang mengatur tentang tata ruang udara.

Berdasarkan peraturan tersebut, ruang udara dibagi ke dalam dua kategori yakni, wilayah udara dan wilayah udara yurisdiksi. Wilayah udara memiliki definisi wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Sedangkan wilayah udara yurisdiksi adalah wilayah udara di luar wilayah negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan dimana negara memiliki hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Berdasarkan pasal 5 dalam peraturan pemerintah tersebut, adanya istilah ruang udara digunakan untuk kepentingan penerbangan sipil dan pertahanan yang pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dalam kerjasama sipil militer antara kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.

Lebih lanjut lagi, dalam pasal 6 disebutkan bahwa kawasan udara dibagi ke dalam dua kategori. Yang pertama adalah kawasan udara terlarang dan yang kedua adalah kawasan udara terbatas.

Pembagian Kawasan Udara

Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia

Adalah AirNav Indonesia yang mengelola dan melayani navigasi penerbangan di seluruh wilayah Indonesia yang terbagi menjadi dua wilayah Flight Information Region (FIR). FIR adalah sebuah ruang udara yang ditetapkan oleh organisasi penerbangan sipil internasional yang pembagiannya melingkupi wilayah di seluruh dunia yang mana di dalamnya terdiri dari layanan informasi penerbangan dan layanan siaga. FIR sendiri merupakan bagian dari pengaturan penerbangan disertai dengan masalah penerbangan yang tidak terbatas pada suatu negara dengan negara lain. Sehingga agar tercapai keselamatan dalam dunia penerbangan maka diperlukan pengaturan terhadap lalu lintas atau navigasi penerbangan yang berlaku secara internasional.

Adapun yang menjadi tujuan dari layanan lalu lintas udara adalah untuk:

  1. Mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat;
  2. Mencegah terjadinya tabrakan antara pesawat yang berada di area manuver dan penghalang di daerah tersebut;
  3. Mempercepat dan menjaga arus lintas udara yang teratur;
  4. Memberikan saran dan informasi yang berguna untuk melakukan penerbangan yang aman dan efisien; dan
  5. Memberitahu organisasi yang tepat mengenai peswat yang membutuhkan bantuan pencarian dan penyelematan, dan membantu organisasi seperti yang diperlukan.

Terdapat dua wilayah FIR di Indonesia, yaitu FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang dengan total luas wilayah FIR sebesar 5.193.252 km2; luas wilayah sebesar 4.110.752 km2 dengan jumlah lalu lintas penerbangan 10.000 movement perhari. Wilayah operasi AirNav Indonesia berbatasan langsung dengan FIR Melbourne dan Brisbane (Australia), FIR Colombo (Sri Lanka), FIR Singapura, FIR Kuala Lumpur dan Kinabalu (Malaysia), FIR Manila (Filipina), FIR Oakland (Amerika Serikat), FIR Port Moresby (Papua Nugini) dan FIR Chennai (India). 

Pembagian FIR Indonesia

Sumber: AirNav, 2020

Kondisi Tata Ruang Udara Indonesia

Posisi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang luas dengan posisi yang sangat strategis menyebabkan banyaknya arus lalu lintas penerbangan yang terjadi di wilayah udara Indonesia. Sehubungan dengan perkembangan hukum internasional saat ini, Indonesia memiliki konsekuensi untuk menyediakan alur laut kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan pesawat udara asing sesuai dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Untuk melaksanakan hak lintas yang dimaksud di atas, Indonesia haruslah berpedoman pada ketentuan International Civil Aviation Organization (ICAO).

Batas wilayah darat suatu negara ditentukan bersama berdasarkan perjanjian yang dilakukan dengan negara-negara tetangga, sehingga setiap negara juga memiliki batas kedaulatan di wilayah udaranya secara horizontal. Kedaulatan wilayah udara secara horizontal tersebut memiliki arti bahwa kedaulatan wilayah udara sama dengan luas wilayah yang berada di darat. Kemudian untuk batas wilayah negara berpantai akan bertambah luasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang telah diatur dalam pasal 3 UNCLOS 1982. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa setiap negara yang berpantai dapat menentukan lebar dari luas wilayahnya sampai maksimum 12 mil yang diukur dari garis pangkal.

Hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah adanya fakta bahwa Kepulauan Riau dan Natuna, yang notabene termasuk ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia,  tidak berada di bawah naungan FIR Jakarta maupun FIR Ujung Pandang, melainkan masuk ke dalam FIR Singapura maupun FIR Kuala Lumpur. Padahal, Indonesia sebagai pemilik sah dari wilayah Riau dan Natuna memiliki tanggung jawab untuk menentukan alur laut dan rute penerbangan di atas wilayahnya guna keperluan lalu lintas kapal dan pesawat asing yang akan melintasi wilayah tersebut.

Masuknya Kepulauan Riau dan Natuna ke dalam FIR Singapura dan Kuala Lumpur semata-mata untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan agar terhindar dari adanya kecelakaan di udara yang disebabkan karena tidak terkoordinasikannya lalu lintas udara dengan baik. Pada contoh kasus ini, jika suatu negara mendelegasikan ruang udaranya kepada negara lain berdasarkan perjanjian, maka tanggung jawab terhadap pengelolaan pelayanan navigasi udara tersebut menjadi tanggung jawab negara yang menerima delegasi dan tidak akan mengabaikan kedaulatan negara yang mendelegasikannya.Awal mula pendelegasian FIR Indonesia atas Kepulauan Riau dan Natuna kepada Singapura dan Malaysia terjadi Ketika adanya pertemuan yang dieselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun 1946. Hal tersebut dilakukan karena pada saat itu, Indonesia belum memiliki kemampuan di bidang teknologi yang berhubungan dengan pengaturan lalu lintas udara. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan FIR Singapura oleh otoritas navigasi udara Singapura terbatas pada ketinggian di atas 20.000 kaki, sedangkan pada ketinggian 20.000 kaki ke bawah dikontrol oleh Malaysia.

Skema Pembagian FIR di Sekitar Indonesia

Sumber: Civil Aviation Authority of Singapore, 2011

Kendati demikian, wacana untuk mengambil alih Kepulauan Riau dan Natuna untuk masuk ke dalam FIR Indonesia sudah lama berdengung. Pihak-pihak yang memiliki wewenang mengatakan bahwa proses tersebut akan dilakukan secara bertahap. Dilansir dari portal berita online CNN, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi niat pengambilalihan Kepulauan Riau dan Natuna untuk bergabung ke dalam FIR yang dikelola oleh Indonesia. Faktor yang pertama adalah sebagai upaya pencegahan pesawat yang terbang sembarang melintasi Indonesia. Hal tersebut berpengaruh untuk memastikan kedaulatan dan keamanan wilayah udara karena dikelola langsung oleh Indonesia. Kemudian factor yang kedua dating dari segi ekonomi. Selama FIR dikuasai oleh negeri jiran, Indonesia dianggap merugi karena ongkos yang wajib disetor maskapai penerbangan saat melintasi wilayah udara suatu negara tidak penuh. Sayangnya, sampai saat ini wacana tersebut belum menemui titik terang masih dalam tahap negosiasi oleh negara yang bersangkutan. Apakah kita sudah mampu menjaga ruang udara kita sendiri?

Daftar Pustaka

Jatmoko, D & Fitriani, R. 2012. Studi Rencana Strategis Penataan Ruang Udara Indonesia (Studi Kasus Upper Medan). Jurnal Aviasi Langit

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia. 

CNN Indonesia. 2019. RI Akan Ambil Alih Ruang Kendali Udara dari Singapura. 

CNN Indonesia. 2018. Dua Faktor Ruang Udara Kepri Harus Direbut dari Singapura. 

Agiesta, F.S. 2019. Sejarah Ruang Kendali Udara Indonesia Dikuasai Singapura, Sejak Kapan? Merdeka.com

https://www.airnavindonesia.co.id/ruang/udara

Antara Geoids dan Ellipsoids, Apa Bedanya?

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T., M.Sc

Untuk setiap pekerjaan survei dan pemetaan dimana vertical measurement atau pengukuran vertikal memiliki peran yang penting, kemampuan dan keandalan dalam menghitung ketinggian lokal secara akurat sangatlah krusial. Ketika melakukan pengukuran menggunakan GNSS/GPS nilai ketinggian yang didapatkan sesungguhnya adalah ketinggian di atas ellipsoid, bukan di atas geoid. Oleh karena itu, kita memerlukan besaran nilai undulasi untuk mendapatkan tinggi orthometric di atas titik tersebut. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai undulasi, marilah kita bahas satu persatu apa itu geoid dan ellipsoid.

Geoids

Salah satu pemodelan bentuk bumi yang populer adalah geoid. Geoid adalah representasi dari permukaan bumi yang memiliki asumsi bahwa bumi diselimuti oleh laut. Representasi ini juga disebut sebagai “permukaan dengan potensi gravitasi yang sama” atau lebih mudahnya diartikan sebagai “permukaan laut rata-rata”. Sesungguhnya, model geoid bukanlah perwakilan yang tepat untuk menggambarkan permukaan laut. Banyak elemen-elemen yang harus diperhatikan seperti efek dinamis dimana unsur gelombang dan pasang surut permukaan lain tidak diperhitungkan dalam model geoid.

Kendati demikian, geoid memiliki peran yang cukup krusial dalam beragam bidang seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi dan geofisika. Untuk bidang geodesi, yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometric untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan informasi geoid yang teliti dan akurat. Pada saat ini dan masa yang akan datang, kebutuhan akan model geoid akan sangat mendesak karena pesatnya pemakaian GPS untuk berbagai keperluan rekayasa dan survei pemetaan.

Bentuk Geoid Bumi

Sumber: wikiwand, 2020

Ellipsoids

Lain geoid, lain pula ellipsoid. Bagi sebagian orang yang sudah lama berkecimpung di dunia permodelan, istilah ellipsoid bukanlah sesuatu yang baru. Istilah ini kerap digunakan untuk merepresentasikan bentuk bumi. Ellipsoid berasal dari kata ‘elips’ yang sering digeneralisasikan sebagai bentuk lingkaran atau bola.  Namun sejatinya, bumi itu sendiri tidak berbentuk bola sempurna, melainkan berbentuk ellipsoid dimana bumi sebenarnya lebih lebar bila dibandingkan dengan tingginya. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh data yang mengatakan bahwa keliling khatulistiwa bumi sekitar 42 milimeter lebih panjang bila dibandingkan dengan garis bujurnya. Jadi dapat dibilang bahwa planet ini tidaklah berbentuk bulat sempurna. Meskipun banyak pemodelan bumi lainnya, model ellipsoid dianggap paling sesuai dengan bentuk bumi yang sebenar-benarnya.

Banyak ahli yang telah mengembangkan beragam model bumi ellipsoid sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun yang paling populer adalah model yang dirancang sebagai basis data untuk referensi sistem koordinat WGS84. WGS84 merupakan sistem referensi koordinat geografis, yang berarti kontekstualisasi titik pada permukaan 3D – dalam hal ini, bumi – menggunakan derajat lintang dan bujur. Koordinat pada data GPS diturunkan dengan menggunakan WGS84.

Model ellipsoid digunakan untuk mengukur jarak yang melintasi antar permukaan bumi. Di Indonesia sendiri, model ellipsoid masih cenderung memiliki ketelitian yang cukup rendah, yakni kurang lebih 1 meter. Hal tersebut terjadi karena masih sedikitnya pengukuran gaya berat di Indonesia.

Tidak seperti geoid, model ellipsoid mengasumsikan bahwa permukaan bumi rata. Bukan dalam rangka mendukung teori bahwa bumi itu datar, melainkan hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada gunung atau parit sehingga permukaan bumi berada di titik ketinggian yang sama. Jarak vertikal yang terdapat di antara geoid dan ellipsoid merupakan sebuah hasil dari diperhitungkannya keberadaan gunung dan parit dalam pemodelan bumi geoid. Perbedaan tersebut dikenal dengan istilah ‘geoid height’ atau ketinggian geoid (undulasi). Perbedaan antara ellipsoid dan geoid dapat menjadi sangat signifikan, karena sejatinya ellipsoid hanyalah garis dasar untuk mengukur ketinggian topografi. Pada model ellipsoid, diasumsikan bahwa permukaan bumi halus, sedangkan pada model geoid permukaan bumi tidaklah demikian adanya.

Ilustrasi Geoid dan Ellipsoid

Sumber: Geodesy and Geodynamics Journal, 2020

Datum Vertikal

Baik ellipsoid maupun geoid merupakan contoh dari datum vertikal. Untuk surveyor, datum vertikal berfungsi sebagai titik referensi dari mana ketinggian (ketinggian positif dan negative) dapat ditentukan. Terdapat dua jenis datum vertikal. Yang pertama adalah datum pasang surut, dan yang kedua adalah datum geodetik. Untuk sejenak pembahasan akan difokuskan pada datum geodetik yang lebih relevan dengan pekerjaan surveyor.

Ketepatan besaran inci pada pekerjaan survey adalah sebuah hal yang sangat penting dan harus diperhatikan dengan baik. Hal tersebut sangatlah kritikal sehingga para surveyor haruslah menggunakan datum geodetic yang sama dalam satu rangkaian proyek. Peralihan model ellipsoid atau geoid di pertengahan jalan akan menyebabkan perbedaan data yang signifikan. Jika kumpulan data survey menggunakan sistem referensi dan koordinat yang berbeda, maka perlu dilakukan perubahan untuk mencocokan satu dengan yang lainnya, jika tidak pengukuran tidak akan berhasil.

Daftar Pustaka

Zeidel, A. 2020. Geoids vs. Ellipsoids: What’s the Difference?. Propeller

Smith, N. 2017. The Difference Between Geoid & Ellipsoid. Sciencing.com

Jasaukurtanah.com. 2016. Mengenal Ap aitu Geoid, Undulasi, dan Tinggi Orthometrik. Jasaukurtanah.com

Geodesy.gd.itb.ac.id. 2007. Studi Geoid Teliti dan Permodelannya di Daerah Indonesia. Geodesy.gd.itb.ac.id

https://www.handalselaras.com/converter/

Apa Itu Skala Peta?

Oleh Tike Aprilia Hartini, S.T & Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Mendefinisikan Peta

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata ‘peta’? Beragam interpretasi dan definisi bisa saja muncul. Bagi sebagian orang, peta didefinisikan sebagai penunjuk arah ketika hendak menuju suatu tempat. Wujudnya pun beragam, ada yang tergambar di sehelai kertas atau yang sudah termutakhirkan dalam bentuk digital. Kita mengenalnya lewat beberapa aplikasi seperti google maps, waze dan lain sebagainya. Bagi sebagian lainnya, peta berarti gambaran informasi dan data yang merepresentasikan suatu wilayah. Informasi dan data tersebut dapat mengenai ketinggian tanah, kontur, sebaran fasilitas umum dan lain sebagainya. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi definisi resmi dari peta?

Menurut International Cartographic Association (ICA) pada tahun 1973, Peta adalah suatu gambaran atau representasi unsur-unsur atau kenampakan-kenampakan alam atau buatan di atas permukaan bumi dan digambarkan pada suatu bidang datar. Peta merupakan penyajian muka bumi dalam bentuk yang lebih kecil dari daerah yang dipetakan, dengan syarat bahwa besaran suatu jarak dibuat sebanding dengan besaran jarak yang disajikan di peta. Dilansir dari blog geograph88, Peta juga kerap disebut sebagai wadah komunikasi atau suatu signal antara pengirim pesan (pembuat peta) dengan si penerima pesan (pengguna peta). Apa yang menjadi pesannya? Yang menjadi pesannya adalah informasi tentang realita dari fenomena geografi. Pada dasarnya peta adalah sebuah data yang didesain untuk menghasilkan informasi geografis melalui proses pengorganisasian dari kolaborasi data lainnya yang berkaitan dengan bumi untuk menganalisis, memperkirakan dan menghasilkan gambaran kartografi.

Tidak hanya itu, peta juga didefinisikan dalam produk hukum dan kebijakan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Dalam peraturan pemerintah tersebut, disebutkan bahwa peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

Skala Peta dan Jenis-Jenisnya

Berbicara tentang peta, tentu tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai skala peta. Dalam penyajian suatu peta perlu diperhitungkan skala peta yang akan digunakan, karena hal ini akan berpengaruh kepada tingkat kedetailan dari unsur-unsur permukaan bumi yang disajikan. Masih menurut peraturan pemerintah yang sama seperti yang dijelaskan di atas, Skala adalah perbandingan jarak dalam suatu peta dengan jarak yang sama di muka bumi. Lebih lanjut, fungsi skala peta yaitu untuk menghitung jarak antara dua lokasi dalam peta, sehingga memungkinkan mengukur jarak secara langsung dengan hanya melihat pada peta tanpa harus mendatangi lokasi sebenarnya dan melakukan pengukuran.

Skala peta erat kaitannya dengan ketelitian peta yang memiliki definisi sebagai ketepatan, kerincian dan kelengkapan data, dan/atau informasi georeferensi dan tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem referensi geometris, skala, akurasi atau kerincian basis data, format penyimpanan secara digital termasuk kode unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi serta kelengkapan muatan peta.

Terdapat beberapa istilah dalam penyebutan suatu skala peta, yaitu:

● Peta skala besar, angka pembandingnya sekitar 500 sampai dengan 10.000, yaitu peta dengan skala 1:500 sampai dengan 1:10.000.

●   Peta skala sedang, angka pembandingnya sekitar 25.000 sampai dengan 50.000, yaitu peta dengan skala 1:25.000 sampai dengan 1:50.000.

●   Peta skala kecil, angka perbandingannya lebih besar dari 50.000, yaitu peta dengan skala mulai dari 1:100.000 sampai dengan tak terhingga.

Pemilihan suatu skala peta tergantung dari tujuan penggunaan peta bersangkutan. Hal ini pun berkaitan dengan kedetailan unsur-unsur muka bumi yang ingin disajikan dalam suatu peta. Semakin besar skala peta, maka unsur muka bumi yang disajikan akan lebih detail.

Pada peta dengan skala 1:1000 dan 1:5000 akan terdapat perbedaan dalam penyajian unsur-unsur muka buminya. Penyajian yang lebih detail akan disajikan pada peta dengan skala 1:1000. Hal ini karena objek terkecil di lapangan yang harus disajikan pada peta yaitu berukuran 1 m x 1 m, sedangkan pada skala 1:5000 yaitu 5 m x 5 m. Begitu pun dengan garis ketinggian yang disajikan pada peta (garis kontur). Pada skala peta 1:1000, garis kontur yang disajikan akan lebih rapat dibandingkan dengan skala peta 1:5000. Perhitungan interval kontur yaitu setengah dari skala peta. Sehingga selang kontur pada skala peta 1:1000 yaitu 0,5 m, sedangkan pada skala 1:5000 yaitu 2,5 m.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedetailan unsur-unsur muka bumi ditentukan oleh skala peta. Sehingga, penentuan skala peta terhadap penggunaan peta sangatlah penting. Untuk kepentingan pemetaan yang detail, maka perlu digunakan peta skala besar. Berbeda dengan jika ingin mengetahui perubahan tutupan lahan, peta dengan skala sedang pun sudah cukup.

DAFTAR REFERENSI:

Soendjojo, H & Riqqi, A. 2016. Kartografi. Institut Teknologi Bandung.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Np. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.

KONVERTER KOORDINAT LAT/LONG DAN EASTING/NORTHING

Sistem koordinat geografi digunakan untuk menunjukkan suatu titik di Bumi berdasarkan garis lintang dan garis bujur.

Garis lintang adalah garis horizontal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan garis katulistiwa. Titik di utara garis katulistiwa dinamakan Lintang Utara sedangkan titik di selatan katulistiwa dinamakan Lintang Selatan.

Garis bujur adalah garis vertikal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan titik nol di Bumi yaitu Greenwich di London Britania Raya yang merupakan titik bujur 0° atau 360° yang diterima secara internasional. Titik di barat bujur 0° dinamakan Bujur Barat sedangkan titik di timur 0° dinamakan Bujur Timur.

Tranformasikan kordinat yang dibutuhkan, Silahkan gunakan coordinates converter untuk dapat membantu anda dalam menyediakan data kordinat yang dibutuhkan. Kalkulator bisa membantu merubah data LAT/LONG menjadi EASTING/NORTHING atau sebaliknya. Silahkan klik link berikut

https://www.handalselaras.com/converter/

KALKULATOR GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD) DALAM TINGGI TERBANG UAV

Ground Sampling Distance (GSD) adalah ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. GSD dan resolusi spasial memiliki pengertian yang sama. Biasanya dalam foto udara digunakan istilah GSD, sedangkan pada citra satelit digunakan istilah resolusi spasial. GSD atau resolusi spasial menentukan kualitas foto udara atau citra satelit yang dihasilkan. GSD atau resolusi spasial merupakan rasio antara nilai ukuran foto udara atau citra satelit dengan nilai ukuran sebenarnya. Nilai GSD 3 cm/piksel menyatakan bahwa satu piksel pada foto udara sama dengan 3 cm pada ukuran sebenarnya.

Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang. Apabila pengguna ingin mendapatkan hasil foto udara yang jelas dan detail, maka nilai GSD yang digunakan harus kecil.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa besarnya GSD ditentukan oleh ketinggian terbang pada saat proses akuisisi data foto udara, sehingga pemotretan harus dilakukan pada ketinggian yang tepat untuk mendapatkan GSD yang diharapkan. Kami mempublikasikan secara gratis kalkulator GSD. Silahkan klik link berikut

https://www.handalselaras.com/calculator/

Resiliensi Kota dan Pergerakan Masyarakat dalam Menghadapi Covid-19

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc.

Di masa yang penuh dengan ketidakpastian ini, di mana pandemi Covid-19 menggerogoti kesehatan dan ragam aspek kehidupan masyarakat hampir di seluruh dunia, adalah hal yang penting bagi setiap kota memiliki upaya dan strategi dalam rangka memaksimalkan kemampuannya untuk bertahan di situasi sulit ini. Hal tersebut sering diasosiasikan dengan kemampuan kota untuk menahan kejatuhan/kemunduran dan bangkit kembali. Resiliensi suatu kota kerap dijadikan buah bibir dan dipertanyakan keabsahannya ketika terjadi krisis atau bencana. Keberlangsungan sistem yang terdapat di suatu kota menjadi sorotan banyak mata, dan menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “akankah kota ini bangkit setelah krisis?”.

Berbicara tentang hal tersebut, menarik untuk dibahas mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan resiliensi? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensinya? Hal-hal apa yang perlu ditingkatkan agar sebuah kota dapat bertahan dan beradaptasi di tengah carut-marut pandemi? Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai resiliensi kota, khususnya di masa krisis kesehatan seperti yang terjadi sekarang ini.

Mendefinisikan Resiliensi

Pada dasarnya, belum ada definisi resmi terkait apa itu resiliensi. Banyak yang berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan suatu individu atau kelompok untuk bangkit kembali, atau lebih familiar dengan istilah bounce back, dari sebuah tekanan atau krisis yang terjadi (Walace and Walace, 2008). Kendati demikian, Martin dan Sunley (2014), mencoba mengelompokkan definisi resiliensi ke dalam tiga kategori, antara lain:

Tipe/Definisi dari Resiliensi

Definisi/TipeInterpretasi
Resiliensi sebagai upaya bangkit kembali dari tekananKondisi ketika suatu sistem kembali bangkit ke posisi semula setelah sebelumnya mengalami tekanan. Proses ini menekankan pada kecepatan dan tingkatan  pemulihan.
Resiliensi sebagai kemampuan untuk menyerap tekananKondisi yang menekankan pada stabilitas, fungsi, dan identitas sistem ketika menghadapi tekanan. Berkaitan dengan cakupan tekanan yang bisa ditoleransi, sebelum sistem tersebut berpindah ke tingkatan yang baru.
Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dalam rangka antisipasi atau merespon tekananKondisi yang menekankan pada kapasitas suatu sistem untuk mengendalikan performa inti mereka dengan cara beradaptasi, baik dalam hal struktur, fungsi dan organisasinya. Lebih dikenal dengan istilah bounce forward.

Sumber: Martin dan Sunley (2014)

Berangkat dari penjelasan di atas, resiliensi kota kini dilihat sebagai cara untuk mencegah, memulihkan, dan beradaptasi ketika terjadi ancaman atau krisis dengan tetap mempertahankan fungsi inti dari perkotaan itu sendiri. Melihat tren demografis kota-kota di dunia, terdapat kecenderungan terjadinya tekanan yang akan berimplikasi pada setiap aspek perkotaan. Namun demikian, hanya sedikit kota yang dilengkapi dengan alat yang memadai untuk menyikapi hal-hal tersebut

Faktor-Faktor Resiliensi

Setelah memiliki gambaran mengenai definisi resiliensi secara general, maka penting bagi kita untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat membentuk resiliensi itu sendiri. Berdasarkan paper yang disusun oleh de Boer, et.al (2016), diketahui terdapat 7 faktor utama yang mempengaruhi resiliensi sebuah kota secara umum. Tujuh faktor tersebut antara lain:

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Kota
Sumber: de Boer et.al, 2016

Kesetaraan penghasilan dan status sosial antarmasyarakat di dalam suatu kota telah terbukti menjadi salah satu faktor terpenting untuk membentuk resiliensi. Hal tersebut menstimulasi terbentuknya pemerintahan yang inklusif dan akuntabel sehingga berupaya meningkatkan kapasitas beradaptasi dan bertahan ketika dilanda krisis atau tekanan.

Selanjutnya, terdapatnya transparansi dalam mekanisme kebijakan dan peradilan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan itu sendiri. Kepercayaan publik kerap dikorelasikan dengan besarnya kontribusi dan kerja sama masyarakat dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Hal tersebut tentu saja menjadi faktor yang penting dalam meningkatkan resiliensi suatu kota.

Faktor yang ketiga adalah terdapatnya keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial ketika terjadi krisis. Dengan adanya jaminan sosial berupa bantuan sembako maupun suntikan uang tunai, masyarakat kecil dapat mengakses kebutuhan sehari-hari dan menikmati pelayanan kesehatan sebagai mana mestinya.

Keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial tersebut beriringan dengan faktor selanjutnya yaitu ketersediaan infrastruktur dasar yang berperan sebagai garda terdepan bagi masyarakat untuk melawan krisis atau tekanan serta menstimulasi fase pemulihan yang lebih cepat.

Faktor selanjutnya adalah kohesi sosial. Terdapatnya kohesi sosial yang terjalin baik antarkelompok masyarakat membuat tekanan menjadi lebih mudah diserap, mengurangi dampak negatif dari krisis, serta menciptakan upaya mitigasi dampak krisis itu sendiri. Lalu, terdapatnya jaringan dan dukungan sosial yang baik akan menciptakan kerja sama yang kolektif di dalam suatu kelompok masyarakat. Kemampuan anggota masyarakat untuk mengatur perilaku individu lain di dalam komunitasnya terbukti dapat meningkatkan ketahanan kelompok dalam menghadapi krisis atau tekanan.

Faktor yang terakhir adalah koneksi yang kuat antara masyarakat-pemerintah dan pemerintah pusat-pemerintah lokal. Terdapatnya pola komunikasi baik akan menstimulasi terciptanya kepercayaan di antara masyarakat – pemerintah lokal – pemerintah pusat yang tentu akan meningkatkan kerjasama di antara ketiganya.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan krisis kesehatan seperti pandemi Covid-19 yang sedang hangat-hangatnya terjadi, terdapat beberapa faktor utama yang sekiranya mempengaruhi tingkat resiliensi suatu kota. Yang pertama adalah alur komunikasi yang terdapat di dalam jaringan sosial masyarakat. Jika jaringan sosial masyarakat memiliki cakupan yang luas dan disertai dengan sistem komunikasi yang baik, tidak terkecuali komunikasi dua arah masyarakat kepada sistem politik, maka informasi akan mengalir dengan cepat. Selanjutnya hal tersebut akan menciptakan tindakan-tindakan yang mengedepankan kepentingan publik demi meminimalkan jumlah pasien terdampak pandemi.

Sebaliknya, jika jaringan sosial masyarakat cenderung kecil dan terisolasi, maka arus informasi akan jauh lebih lambat. Informasi kepada masyarakat yang terisolasi mungkin tidak akan diterima karena dianggap berasal dari pihak yang bertanggung jawab (pemerintah) atas kondisi lingkungan mereka yang buruk. Longstaff dan Yang (2008) menggambarkan peran kepercayaan dan transparansi dalam komunikasi selama bencana pandemi adalah sebuah hal yang sangat fundamental.

Dalam sebuah laporan yang berjudul “Pandemic Preparedness: The Need for a Public Health, Not Law Enforcement/National Security, Approach” disebutkan bahwa pengambilan keputusan oleh pemerintah selama masa pandemi harus didasari oleh prinsip keadilan dan transparansi. Prinsip keadilan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan serta distribusi yang merata untuk setiap individu. Sedangkan transparansi berkaitan dengan komunikasi yang terbuka dan akurat mengenai informasi pandemi.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi resiliensi kota di masa pandemi adalah kesiapan pelayanan kesehatan yang disediakan, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Faktor tersebut juga berkaitan dengan tersedianya tenaga medis yang mumpuni, tentu saja dengan kesiapan jasmani maupun rohani. Pemerintah harus dapat memastikan terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan para tenaga medis selama menangani pasien di masa pandemi ini.

Dari paparan singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat faktor-faktor penting yang menstimulasi kemampuan suatu kota untuk beresiliensi. Kendati demikian, dua faktor utama yang mau tidak mau harus dipenuhi dan diusahakan oleh seluruh pihak di masa pandemi ini adalah adanya alur komunikasi yang baik dan transparan sehingga terciptanya kepercayaan antar pihak serta tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang mumpuni sehingga penanggulangan pandemi bisa berjalan maksimal.

Lebih lanjut dalam jurnalnya, Wallace dan Wallace (2008) mengemukakan hal-hal yang dapat meningkatkan resiliensi suatu kota, antara lain:

  • Menerapkan teknik dan strategi untuk menguatkan ikatan sosial yang lemah antarmasyarakat;
  • Mendorong adanya integrasi antargolongan sosial – ekonomi di dalam suatu lingkungan;
  • Menyediakan fasilitas kesehatan dan tenaga medis dengan jumlah yang mencukupi, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta;
  • Memastikan tersedianya pelayanan yang mencukupi untuk masyarakat marginal perkotaan.

Pergerakan Masyarakat Peningkat Resiliensi

Terkadang, upaya yang dilakukan pemerintah dan negara belum dapat memenuhi kriteria resiliensi sehingga menyebabkan lambatnya proses pemulihan sebuah kota setelah terdampak krisis. Tak jarang, pergerakan dan perjuangan justru muncul dari masyarakat sipil itu sendiri sebagai upaya untuk beradaptasi, bangkit, dan pulih.

Seperti contoh yang terjadi di Iran. Menjadi salah satu epicenter pandemi Covid-19 pada Maret 2020, memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi masyarakat Iran. Hal tersebut diperparah dengan tersumbatnya aliran informasi yang akurat dari pemerintah kepada masyarakat tentang penyebaran Covid-19 di negara yang kaya akan minyak dan gas bumi tersebut. Jengah dengan sistem komunikasi yang tidak dapat dipercaya, masyarakat Iran akhirnya membentuk sebuah gerakan resistensi yang mereka sebut dengan “grassroots broadcasting”. Masyarakat menyebarkan informasi mengenai wabah coronavirus dan saling mengingatkan satu sama lain melalui platform pengirim pesan seperti WhatsApp, Telegram, dan Viber, serta beberapa situs media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Hal-hal yang tidak dapat pemerintah sajikan di media, seperti kondisi faktual di rumah sakit dan informasi terkait seberapa membahayakannya virus ini, dibagikan langsung oleh dokter dan perawat dalam bentuk rekaman suara dan video.

Jenis pergerakan lainnya yang terdapat di Iran adalah adanya inisiatif dari beberapa perusahaan untuk memproduksi alat kesehatan berupa masker dan disinfektan untuk didistribusikan kepada fasilitas kesehatan dan masyarakat. Untuk dapat melakukan hal tersebut, perusahaan harus menghentikan pekerjaan reguler mereka sementara waktu. Hal tersebut menjadi sebuah solusi dari absennya kemampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya.  

Saat ini, dunia sedang mengalami krisis pangan karena panjangnya rantai suplai dari produsen ke konsumen. Pada hari-hari biasa, hal tersebut tentu tidak menjadi masalah. Namun setelah mewabahnya Covid-19, banyak kebijakan yang mendistraksi panjangnya rantai suplai tersebut seperti kebijakan lockdown dan lain sebagainya. 

Bentuk pergerakan lainnya yang datang dari masyarakat adalah upaya untuk memperpendek rantai suplai pangan dari produsen ke konsumen. Masyarakat menyadari bahwa untuk bertahan hidup, mereka tidak dapat mengandalkan distribusi bahan pangan dengan alur yang panjang. Pergerakan tersebut diinisiasi oleh Community Supported Agriculture (CSA). CSA merupakan sebuah sistem yang menghubungkan produsen dan konsumen pangan untuk dapat berinteraksi lebih dekat dengan cara memperbolehkan konsumen untuk berlangganan kepada salah satu kelompok produsen. CSA mengubah sistem pemesanan dan pembayaran menjadi online untuk meminimalisir kontak antarmanusia. Pada masa pandemi ini, petani yang tergabung ke dalam CSA akan mengantarkan pesanan sekelompok konsumen pada satu titik lokasi, untuk selanjutnya diambil dan didistribusikan kembali oleh perwakilan konsumen tersebut kepada setiap anggota. Hal tersebut menjadi opsi yang masuk akal dibanding konsumen harus antre dan berdesak-desakan di pasar untuk membeli hasil pangan dari CSA seperti yang biasa mereka lakukan. Sistem seperti ini sudah diterapkan di beberapa negara, salah satunya adalah Spanyol.

Contoh lain pergerakan sosial masyarakat dalam rangka meningkatkan resiliensi kota datang dari India. Skenario lockdown yang dipilih oleh pemerintah India menyisakan banyak konflik di dalamnya. Banyak buruh migran di Delhi berusaha melarikan diri ke luar kota. Lockdown juga membuat buruh migran dan keluarganya kehabisan bahan pangan. Akibatnya banyak protes yang terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menyiasati hal tersebut, gabungan tokoh masyarakat di Delhi melakukan dua aksi pergerakan sosial. Yang pertama adalah membentuk asosiasi yang terdiri dari LSM dan relawan individu untuk fokus berkoordinasi dengan pemerintah lokal dalam membentuk jaringan sosial yang dapat dengan cepat mendistribusikan bahan pangan kepada masyarakat miskin yang terisolasi. Sedangkan gerakan yang kedua adalah berusaha mengumpulkan data kolektif melalui grup WhatsApp, Facebook, dan website terkait suplai pangan, untuk kemudian melakukan distribusi informasi kepada masyarakat.  

Dari beberapa cerita mengenai pergerakan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berperan penting dalam mewujudkan kota dengan resiliensi yang baik. Absennya peran pemerintah, secara wajar akan menstimulasi pergerakan masyarakat untuk dapat bertahan hidup di tengah situasi yang tidak menentu ini.

Menerka “The New Normal” Pascapandemi

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc.

Mungkin sudah banyak yang menyadari bahwa mewabahnya coronavirus mengantarkan kita pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Bagi sebagian individu, bekerja dari rumah adalah perilaku baru yang terasa aneh belakangan ini. Bagi sebagian lainnya, berbelanja online menjadi gaya hidup paling anyar yang mau tidak mau harus dilakukan. Hal-hal baru tersebut menuntun kita kepada sebuah tanda tanya besar tentang dunia seperti apa yang akan kita tinggali setelah berakhirnya pandemi coronavirus. Beragam eksplanasi dan juga narasi seringkali menyebut istilah ‘the new normal’’ atau ‘the next normal’ untuk mendeskripsikan perubahan perilaku di masa mendatang ketika semua ini usai. Salah satunya adalah tulisan yang dipublikasikan oleh McKinsey & Company yang bertajuk The future is not what it used to be: Thoughts on the shape of the next normal. Sebagian besar tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana seorang pemimpin bisnis harus memperhatikan tujuh elemen dalam upaya mengantisipasi ‘the next normal’ yang akan mereka hadapi. Memang tidak mudah bagi kita untuk memprediksi masa depan setelah terjadinya krisis, namun tentu kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman terdahulu untuk berpikir konstruktif tentang masa mendatang. Menarik untuk dibahas?

Semua Kembali ‘Berjarak’

Elemen pertama yang dibahas dalam tulisan ini adalah jarak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak tahun 1990-an, pengembangan era digital di segala lini semakin pesat. Sistem web-based dan utilisasi teknologi komunikasi mulai dikedepankan. Hal tersebut berimplikasi pada banyak kegiatan komunikasi dan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan mereduksi kedekatan fisik antara pelaku satu dan yang lainnya. Kecanggihan teknologi tersebut sedikit banyak mengubah posisi dan cara kita melakukan aktivitas sehari-hari. Terlebih di masa corona ketika semua elemen masyarakat dihimbau untuk menuntaskan pekerjaan ‘dari rumah saja’.

Perubahan yang paling terasa mungkin dirasakan oleh para pelajar dan pekerja kantoran. Ketika kebijakan social dan physical distancing diterapkan, dua kelompok masyarakat tersebut kehilangan peluang untuk berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung. Kini, tergolong sulit bagi kita untuk menjadi saksi riuhnya bubaran anak sekolah di depan gerbang yang terkadang membuat macet jalanan. Atau pemandangan serius meeting dengan para eksekutif di bilik-bilik kantor di Sudirman. Sulit juga bagi kita untuk melihat sekelompok pertemanan duduk bersama di kedai kopi, atau sekadar memesan junk food untuk makan malam. Semua kebiasaan-kebiasaan tersebut tergantikan dengan pertemuan virtual melalui aplikasi panggilan video seperti Zoom, Google Meet, WhatsApp Video Call dan lain sebagainya.

Kini, mau tak mau orang tua turut andil dalam pembelajaran anaknya. Berkontribusi mengabadikan kegiatan pembelajaran di rumah untuk kemudian dibagikan kepada guru sebagai bukti bahwa sang anak telah belajar dengan baik selama sekolah diliburkan. Atau mahasiswa yang sekarang harus mencari koneksi wifi yang stabil agar dapat mengikuti kuliah online dari dosen dengan seksama. Pekerja kantoran dari Bogor juga tidak harus bangun subuh untuk mengejar kereta ke Jakarta. Mereka cukup menyiapkan laptop, jaringan internet, atasan kemeja yang rapi kalau-kalau leader di kantor mengundang virtual meeting.

Kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan Covid-19, seperti yang kita ketahui, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi industri pariwisata. Tidak terpatok kepada pelaku industri saja, tetapi juga kepada para wisatawan. Himbauan untuk tetap di rumah membuat wisatawan membatalkan rencana liburan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Namun ternyata hal tersebut benar-benar membawa kita pada ‘the new normal’  ketika banyak platform menyediakan virtual tours, dimana wisatawan dapat pergi kemana saja yang ia mau hanya dengan bermodalkan duduk di depan laptop dan jaringan internet yang stabil. Situs-situs virtual tour seperti Google Arts & Culture atau Tour Creator dirancang untuk memudahkan para wisatawan melihat dunia luar tanpa harus beranjak dari rumah.

Contoh-contoh di atas membuat ruang publik kini tidak berfungsi seperti sedia kala. Kantung-kantung pertemuan baru hadir lewat teknologi. Membuat semuanya kembali ‘berjarak’ karena tidak ada lagi pertemuan tatap muka secara langsung di tempat dan waktu yang sama.

Resiliensi dan Efisiensi

Coronavirus tidak hanya mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam berkumpul dan berserikat. Pandemi ini juga menghantam kestabilan ekonomi, baik makro maupun mikro. Efeknya, hampir bisa dirasakan seluruh elemen pekerja. Baik pelaku bisnis, pekerja kantoran maupun pekerja informal. Fakta tersebut sering dikaitkan dengan istilah resiliensi yang menuntun golongan pekerja kepada upaya efisiensi. Namun apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan kedua hal tersebut?

Resiliensi memiliki definisi kemampuan sebuah individu atau kelompok untuk menyerap, beradaptasi serta bangkit kembali setelah mengalami sebuah tekanan atau krisis (Walace & Walace, 2008). Pada masa sulit seperti ini, kemampuan untuk beresiliensi adalah sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dimiliki oleh setiap individu terutama bagi golongan pekerja. 

Sudah banyak berita yang berlalu lalang berkaitan dengan pelaku bisnis yang harus gulung tikar sebagai efek samping dari Covid-19. Banyak pula cerita mengenai pengusaha yang harus merumahkan pegawainya karena keterbatasan biaya operasional. Untuk menghindari hal tersebut, adalah ‘the new normal’ bagi para pelaku usaha untuk dapat menemukan strategi resiliensi yang jitu. Pelaku usaha harus lebih responsif dalam menciptakan sistem kerja yang adaptif seperti memperbaharui SOP, merencanakan strategi efisiensi dan manajemen keuangan, serta tetap membuka peluang untuk berkolaborasi. 

Strategi responsif Covid-19 juga harus dipikirkan secara seksama oleh para pekerja formal, atau bahasa lebih sederhananya, pekerja kantoran. Kemungkinan terjadinya PHK akibat perusahaan gulung tikar bukanlah hal yang aneh saat ini. Dikutip dari Katadata.co.id, diketahui sudah sekitar 10 juta jiwa penduduk yang terkena PHK selama masa pandemi ini berlangsung. Upaya-upaya konkret untuk menyambung hidup harus segera terbayangkan dan terimplementasikan demi menjadi individu yang resilien. Hal tersebut dapat berupa pemanfaatan skill yang dimiliki sebagai peluang usaha. Para pekerja juga tetap harus terbuka pada peran penting teknologi dan komunikasi demi mencari peluang-peluang untuk bertahan hidup. Kolaborasi dan sikap kegotong-royongan  antar masyarakat juga tergolong sebagai strategi yang jitu di masa Covid-19 seperti ini. 

Lantas apakah yang dimaksud dengan upaya efisiensi? Efisiensi merupakan salah satu cara bagi para golongan pekerja untuk dapat mewujudkan resiliensi yang baik. Strategi efisiensi yang dapat dilakukan oleh pelaku bisnis adalah mereduksi biaya operasional dan memilah kembali prioritas pengeluaran agar kondisi finansial perusahaan tetaplah stabil. Perusahaan dapat melihat sisi positif dari kebijakan work from home yang mana tentu saja akan mereduksi biaya operasional kantor seperti berkurangnya tagihan listrik, air dan lain sebagainya. Perusahaan juga dapat menyiasati efisiensi dengan memperbaharui kontrak kerja para pegawai dan lain sebagainya. Untuk para pekerja kantoran, strategi efisiensi pengeluaran dapat dilakukan dengan menciptakan rencana finansial yang lebih matang untuk kedepannya. Reduksi pengeluaran untuk hal-hal tersier dapat diupayakan sesegera mungkin.  Jadi, adalah ‘the new normal’ bagi golongan pekerja saat ini untuk memikirkan strategi-strategi paling baik dan masuk akal untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian coronavirus. Golongan pekerja kini harus berpikir ekstra agar masuk ke dalam kategori kelompok dengan resiliensi yang baik, dan melakukan upaya efisiensi agar dapat bertahan dalam jangka panjang.

Munculnya Contact-Free Economy

Terdapat tiga bidang yang mengalami titik balik saat pandemi covid-19 terjadi. Ketiga bidang tersebut adalah perdagangan digital (e-commerce), telemedicine, dan otomatisasi. Menyeruaknya coronavirus telah menghadirkan kebiasaan baru dalam kehidupan bermasyarakat, yakni berbelanja secara online. Sebagai contoh, di Tiongkok telah terjadi peningkatan jumlah pelaku belanja online dengan spesifikasi individu di atas 36 tahun, berasal dari kawasan yang tergolong kecil dan tidak terlalu maju. Kecenderungan tersebut memperlihatkan tren belanja online yang terus berkembang hingga ke wilayah nonperkotaan.

Selanjutnya terdapat pula peningkatan angka pengguna yang signifikan dalam bidang telemedicine, bidang di mana pasien dapat melakukan konsultasi dan pembelian obat-obatan secara online. Teladoc Health, penyedia jasa telemedicine terbesar di Amerika Serikat, melaporkan terdapat kenaikan jumlah pengguna sebesar 50% per akhir Maret 2020. Begitu pula pada bidang otomatisasi yang sudah duluan populer sebelum adanya COVID-19. 

Pada intinya, ‘the new normal’ yang membawa kita pada era contact-free economy akan menitikberatkan pada pola interaksi jual beli melalui teknologi. Kontak langsung antara penjual dan pembeli ditiadakan dan digantikan oleh kolom percakapan di layar ponsel. Hal tersebut mungkin memudahkan bagi sebagian pihak, namun tidak demikian bagi pelaku usaha UMKM yang kemampuan utilisasi teknologinya belum semahir kelompok lain. Untuk itu ‘the new normal’ dalam hal contact-free economy harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang tetap mendorong eksistensi UMKM. Kebijakan tersebut dapat berupa kemudahan dalam pendistribusian produk bagi pelaku UMKM atau dengan pelatihan utilisasi market-place.

Intervensi Pemerintah di Bidang Ekonomi

Seperti yang sudah dibahas di bagian-bagian sebelumnya, bahwa wabah coronavirus ini sudah pasti akan berdampak pada kondisi perekonomian global. Untuk itu intervensi pemerintah di bidang ekonomi adalah satu hal yang harus dipikirkan dengan matang dan rasional. 

Dilansir dari foreignpolicy.com, dikatakan bahwa sistem ekonomi yang harus dibangun oleh pemimpin-pemimpin dunia adalah sistem ekonomi yang berjangka panjang, tangguh dan lebih peka terhadap fakta bahwa globalisasi ekonomi merupakan hal yang jauh lebih penting daripada globalisasi politik. Setelah Covid-19, negara-negara di dunia harus berupaya mewujudkan keseimbangan dalam dua hal. Yang pertama  dalam mengambil keuntungan dari ekosistem global. Yang kedua, dalam mengupayakan kemandirian yang mereka miliki. Ketahanan bencana tidak bisa lepas dari isu keterbukaan ekonomi karena bencana semakin banyak bersifat transnasional. Pemerintah perlu meninjau kembali proses birokrasi yang dikeluhkan terlalu panjang dan menghabiskan banyak waktu. 

Intervensi pemerintah setelah coronavirus kemungkinan juga akan mempengaruhi kinerja bank pusat di masing-masing negara. Bank pusat akan berperan sebagai garda terdepan dalam menghadapi krisis ekonomi dan keuangan. Hal tersebut tentu saja menjadi beban tersendiri bagi bank pusat untuk memastikan kestabilan ekonomi di suatu negara. Pemerintah negara-negara di dunia hendaknya juga mengkaji ulang kebijakan terkait jaminan kesehatan demi mewujudkan masyarakat dengan resiliensi baik.

Pengawasan untuk Bisnis

Sebelum coronavirus menyerang, banyak perusahaan-perusahaan besar yang berkomitmen untuk mengubah prioritas bisnis mereka. Dari sekadar mencari profit sebanyak-banyaknya, kini perusahaan besar memiliki konsiderasi untuk lebih berinvestasi kepada pegawainya dan mendukung masyarakat luas melalui program-program sosial. Hal tersebut bermula dari sebuah ide besar bertajuk “triple bottom line” — profit, people, and planet.  Seiring berjalannya waktu, hal tersebut sudah tergolong mainstream. Setiap perusahaan memiliki tanggung jawab sosial sebagai dana investasinya.  

Berangkat dari banyaknya bisnis yang beroperasi dengan menggunakan dana publik, membuat pengawasan semakin diperketat pada masa ini. Akan terjadi perubahan dampak yang signifikan antara hubungan pemerintah dengan bisnis dan juga hubungan bisnis dengan masyarakat. Akan hadir banyak regulasi yang berkaitan dengan sumberdaya domestik dan keamanan bekerja. Sebagaimana coronavirus mempengaruhi kewaspadaan dalam hal fraktur sosial, maka pelaku bisnis diharapkan menjadi bagian yang turut andil untuk mencari solusi jangka panjang melalui kegiatan-kegiatan sosial yang mereka lakukan. Pelaku bisnis perlu untuk memikirkan visi dan misi sosial mereka kedepannya sebagai langkah strategis ketika Covid-19 ini berakhir.

Perubahan pada Struktur Industri, Perilaku Konsumen, Posisi Pasar, dan Ketertarikan Sektor

Coronavirus yang menjangkit bumi berbulan-bulan ini tentu akan membawa perubahan pada banyak industri di dunia. Krisis yang terjadi akan mempengaruhi perubahan pada struktur industri, perilaku konsumen, kondisi pasar dan daya tarik dari tiap sektor. 

Salah satu pertanyaan utama yang akan dihadapi oleh pelaku bisnis adalah apakah industri mereka akan dapat bangkit dan kembali seperti sedia kala atau terjangkit dampak negatif yang berkepanjangan? Bagi mereka yang tidak resilien tentu akan sulit untuk bangkit setelah pandemi COVID-19. Sebagai contoh, sektor otomotif yang mengandalkan rantai suplai global. Industri tersebut akan berada di bawah tekanan, sehingga mau tidak mau harus mengubah struktur industri mereka untuk dapat bertahan. 

Selanjutnya berkaitan dengan perilaku konsumen, akan terdapat perubahan yang disebabkan oleh kebijakan social distancing. Perubahan tersebut terkait dengan kesehatan dan privasi dari konsumen itu sendiri. Sebagai contoh, akan terjadi peningkatan kewaspadaan masyarakat dalam hal kesehatan, sehingga muncul keinginan untuk dapat hidup lebih sehat. Masyarakat akan cenderung mengkonsumsi bahan makanan organik dan melakukan olahraga dalam rangka mewujudkannya. Perubahan seperti ini dapat menjadi perubahan jangka panjang. 

Berkaitan dengan perubahan kondisi pasar, kita dapat mengambil contoh dari kebiasaan-kebiasaan konsumsi setiap generasi yang mengalami perubahan cukup signifikan. Sebagai contoh, untuk kaum milenial dan Gen Z, atau mereka yang lahir antara tahun 1980-2012, krisis ini menggambarkan disrupsi terbesar yang pernah mereka hadapi. Kebiasaan mereka dapat berubah secara drastis dan hal tersebut merupakan hal sulit untuk diprediksi. Sebelum adanya Covid-19, mungkin para generasi milenial gemar menjelajahi tempat-tempat wisata baru yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Namun kini, hal tersebut menjadi sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Hal tersebut membuat kondisi pasar di sektor pariwisata dan pelayanan menjadi tidak kondusif. Pelaku bisnis perlu memutar otak demi keberlangsungan bisnis ke depannya.  

Daftar pertanyaan tentang bagaimana konsumen berperilaku setelah COVID-19 akan menjadi daftar yang panjang dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dalam konteks ini, adalah sangat mungkin bagi banyak institusi untuk menemukan cara baru untuk berkolaborasi, melakukan penyesuaian regulasi atau hal lainnya yang dapat membuat perusahaan-perusahaan beker jasama dalam rangka menghadapi krisis.

Menemukan Jalan Keluarnya

Di sisi lain, munculnya coronavirus dapat pula memberikan dampak positif pada beberapa aspek. Yang pertama berkaitan dengan bagaimana manusia berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Setiap individu, komunitas, pelaku bisnis, dan pemerintah berusaha menemukan cara baru untuk terkoneksi satu sama lain. Selanjutnya, dalam bidang bisnis, banyak yang sudah belajar bagaimana menjalankan bisnisnya dari jarak jauh dan dengan kecepatan dan ketangkasan yang lebih tinggi. Praktik tersebut dapat berlangsung seterusnya dan menciptakan manajemen yang lebih baik dan sumber daya yang lebih fleksibel.

Kemudian, pemimpin bisnis saat ini memiliki insting tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di luar kebiasaan lama perusahaan mereka. Yang terakhir, urgensi untuk menanggulangi COVID-19 juga mendorong adanya inovasi dalam bidang bioteknologi, pengembangan vaksin, dan regulasi yang mengatur pengembangan obat-obatan sehingga tindakan medis dapat segera dilakukan dengan cepat. Di banyak negara, sistem kesehatan telah mengalami reformasi ke arah yang lebih baik.

Suatu kemungkinan terkait ‘the next normal’ adalah keputusan yang dibuat selama dan setelah krisis untuk menanggulangi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang lambat, ketidaksetaraan yang meningkat, birokrasi pemerintah yang rumit, dan batasan-batasan yang tidak fleksibel. Atau dapat menjadi keputusan selama krisis yang dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas, industri yang memiliki resiliensi, smart government dalam seluruh tingkatan, dan kembali terkoneksi dan bersinerginya dunia.

Daftar Pustaka

Sneader, K & Singhal, S. 2020. The future is not what it used to be: Thoughts on the shape of the next normal. MdKinsey & Company.  

CIPS Indonesia. 2020. Indonesia dan Kebijakan Keterbukaan Ekonomi Pasca Pandemi Covid-19. The Center for Indonesia Policy Studies. 

Stiglitz, J.E et.al. 2020. How the Economy Will Look After the Coronavirus Pandemic. Foreign Policy. 

Yunianto, T.K. 2020. Kadin Pantau Pengangguran Tembus 10 Juta Orang Imbas Pandemi Corona. https://katadata.co.id/berita/2020/05/08/kadin-pantau-pengangguran-tembus-10-juta-orang-imbas-pandemi-corona. Kata Data.

das_sudipto_rooftop_organic_farming

Pengembangan Urban Farming: Kesempatan Masyarakat Kota Untuk Berdaya di Masa Corona

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Semakin hari, semakin banyak narasi yang menyuarakan potensi merosotnya ketahanan pangan sebagai dampak dari pandemi yang tengah berlangsung saat ini. Intinya, kewaspadaan dan upaya preventif harus segera dipikirkan dan diimplementasikan, jika tidak mau terjerumus ke dalam krisis pangan yang berkepanjangan.  Hal tersebut menjadi masuk akal mengingat pola produksi dan distribusi pangan menjadi terganggu.  Kebijakan-kebijakan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus corona, seperti pembatasan sosial dan lockdown berpotensi menyebabkan kelangkaan bahan pangan akibat akses produksi dan distribusi yang dilimitasi. Keresahan tersebut tidak hanya menjadi konsiderasi nasional, melainkan juga global, seiring terbitnya pernyataan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memberikan peringatan terkait kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemi ini.

Jika para petani di desa mengalami degradasi penghasilan akibat menurunnya produksi bahan pangan, maka para konsumen di kawasan perkotaan kian was-was karena berkurangnya pasokan pangan untuk mencukupi kebutuhan mereka.  Walaupun pemerintah pusat sudah mengatakan bahwa stok pangan di Indonesia aman, paling tidak hingga bulan Agustus, faktor-faktor penghambat keberhasilan panen juga tetap harus dipertimbangkan. Disamping itu, solusi yang inovatif juga perlu diciptakan agar dampak COVID-19 dalam bidang ketahanan pangan dapat diminimalisir. Salah satu alternatif yang sering disebut adalah pengembangan urban farming.

Kegiatan Urban Farming di Atap Bangunan
Sumber: Internet, 2020

Praktik Urban Farming Sebagai Solusi

Urban farming sendiri memiliki definisi sebagai kegiatan pertumbuhan, pengolahan, dan distribusi pangan serta produk lainnya melalui budidaya tanaman dan peternakan yang intensif di perkotaan dan daerah sekitarnya (FAO, 2008; Urban Agriculture Commitee of the CFSC, 2003). Beberapa tahun ke belakang, Urban farming kian populer di Indonesia. Tren tersebut dipicu munculnya kesadaran masyarakat perkotaan tentang gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi hasil tanam organik yang diproduksi sendiri. Tidak sedikit pula anak muda yang melihat urban farming sebagai potensi bisnis. Pemerintah level lokal pun saat ini tengah berlomba-lomba mengembangkan proses pertanian kota tersebut, salah satunya adalah pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencantumkan kegiatan urban farming di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Tahun 2013-2017.

Banyak yang berpendapat, bahwa masa corona menjadi masa dimana banyak kesempatan terbuka bagi semua orang. Kesempatan tersebut dapat didefinisikan ke dalam banyak hal, salah satunya adalah kesempatan mengembangkan pertanian perkotaan. Sebenarnya, sudah lama urban farming digadang-gadang sebagai suatu keniscayaan yang mau tidak mau dilakukan oleh masyarakat kota dalam rangka bertahan hidup. Berdasarkan data yang dirilis oleh PBB, pada tahun 2020 lebih dari 2/3 populasi dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Urban agriculture akan menjadi kunci utama yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Narasinya, urban farming dapat memproduksi 180 juta ton makanan per-tahun atau sekitar 10% dari total produksi pangan. Kini, urgensi pengembangan urban farming semakin terlihat jelas di tengah kecarut-marutan COVID-19. Ketika sisi produksi tanaman pangan tidak menentu, akses distribusi terganggu dan ancaman kelangkaan kian menyerbu. Urban farming menjadi solusi yang memberdayakan masyarakat kota. 

Kegiatan bercocok tanam di kawasan perkotaan bagi sebagian orang memang terkesan aneh, namun sebetulnya, kegiatan ini memiliki ragam manfaat terutama pada masa-masa sulit seperti saat ini. Yang pertama, Urban farming dapat meminimalisir dampak krisis pangan apabila dilaksanakan secara masif dengan mengedepankan gerakan akar rumput pada setiap lingkungan. Urban farming sejatinya dapat dilakukan secara individual maupun komunal. Hal tersebut bergantung pada visi dan misi yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Skala pelayanan dan jangka waktu kebutuhan harus didefinisikan di awal sebelum kegiatan pertanian kota tersebut dikembangkan. Pada masa corona ini, pengembangan komunal dengan skala pelayanan lingkungan dirasa tepat untuk dilakukan.

Manfaat yang kedua, seperti yang kita ketahui pandemi COVID-19 juga menggerus kondisi perekonomian secara global. Hal tersebut berdampak pada meroketnya harga-harga menurunnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang yang beredar luas di pasaran. Ditambah lagi dengan panic buying yang cukup meresahkan masyarakat. Dengan mengembangkan urban farming seperti menanam tanaman pangan atau berternak, masyarakat dapat menyimpan uang mereka dengan tidak membeli kebutuhan pokok dan mensubtitusi konsumsi dari hasil panen mereka. Memang hasil panen tidak dapat dinikmati dalam waktu singkat, namun paling tidak masyarakat dapat melakukan antisipasi sedini mungkin sehingga hasilnya dapat segera dituai di kemudian hari.

Manfaat ketiga, kegiatan urban farming dapat mereduksi tingkat stress yang dialami oleh masyarakat perkotaan ketika masa pandemi ini berlangsung. Efek samping dari COVID-19 seperti adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pegawai yang di rumahnya, atau bisnis yang tidak lancar tentu akan berdampak kepada kesehatan mental sebagian orang. Urban farming dapat menjadi salah satu opsi alternatif untuk meminimalisir dampak psikis yang dihasilkan oleh wabah ini.

Namun demikian, kendala-kendala dalam penyelenggaran urban farming perlu ditemukenali dan dicarikan solusinya. Salah satu permasalahan fundamental yang dapat menghambat keberhasilan urban farming adalah keterbatasan lahan jika ingin dikembangkan secara komunal. Intervensi pemerintah dalam menyediakan lahan sangat diperlukan dalam hal ini. Pendistribusian bibit juga perlu diselami lebih dalam skemanya agar kegiatan urban farming dapat berjalan dengan lancar. Ditambah, masih minimnya pengetahuan masyarakat kota terkait tata cara bercocok tanam di iklim perkotaan. Untuk itu perlu adanya upaya-upaya lebih lanjut agar pengembangan urban farming dapat diselenggerakan sebagaimana mestinya.

Daftar Pustaka

Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2020. Urban ffod systems and COVID-19: The role of cities and local government in responding to the emergency.

Ridhoi, M.A. 2020. Pasokan Pangan Dunia Terguncang Covid-19, Bagaimana di Indonesia?. https://katadata.co.id/berita/2020/04/06/pasokan-pangan-dunia-terguncang-covid-19-bagaimana-di-indonesia. Diakses pada Rabu, 29 April 2020.

Hakim, R.N. 2020. Pemerintah Sebut Stok Pangan di Masa Pandemi Covid-19 Aman Hingga 4 Bulan. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/17045731/pemerintah-sebut-stok-pangan-di-masa-pandemi-covid-19-aman-hingga-4-bulan. Diakses pada Rabu. 29 April 2020.

Cotroneo, C. 2020. Urban farms are thriving amid the pandemic. https://www.mnn.com/your-home/organic-farming-gardening/stories/urban-farms-CSAs-thriving-coronavirus-pandemic. Diakses pada Kamis, 30 April 2020.

Chandran, R. 2020. Grow your own: Urban Farming is flourishing during the coronavirus lockdowns. https://www.weforum.org/agenda/2020/04/grow-your-own-urban-farming-flourishes-in-coronavirus-lockdowns/. Diakses pada Kamis 30 April 2020.

   

Efektivitas Pembatasan Kegiatan Ekonomi pada masa PSBB

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta telah dimulai sejak pertengahan April 2020. Berkaitan dengan ditetapkannya hal tersebut, maka masyarakat kini tak lagi dapat berkegiatan secara bebas kecuali terdapat hal-hal yang mendesak. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya. Pembatasan aktivitas ekonomi dinilai akan memberikan banyak pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pengurangan penyebaran covid-19. Pasalnya, sebagai ibukota negara yang juga menjadi pusat pergerakan kegiatan nasional, DKI Jakarta mampu mengundang ribuan komuter dari berbagai daerah setiap harinya sehingga dikhawatirkan akan semakin memperluas penyebaran covid-19 ke berbagai daerah. Pembatasan kegiatan ekonomi merupakan upaya pencegahan di hulu, yang perlahan akan berimbas pada pengurangan aktivitas di sektor transportasi sebagai hilir. Adapun aturan terkait pembatasan usaha selama status PSBB ditetapkan adalah dengan melarang seluruh kegiatan usaha, kecuali kegiatan usaha yang berada pada sektor  kesehatan; bahan pangan; energi; komunikasi dan teknologi informasi; keuangan; logistik; perhotelan; konstruksi; industri strategis; pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional dan obyek tertentu; serta kebutuhan sehari-hari.

Namun, upaya pembatasan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dinilai belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak terdapat perusahaan besar yang tetap melakukan aktivitas dikarenakan telah mengantongi izin dari Kemenperin. Hal ini tentu cukup disayangkan mengingat penyebaran covid-19 terjadi begitu cepat dan langkah koordinasi dengan segala pihak sangat diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan.

Dilansir dari kompas.com (19 April 2020), Pemprov DKI Jakarta telah melakukan sidak terhadap sejumlah perusahaan dan melakukan beberapa tindakan terhadap perusahaan tersebut. Hasilnya sebanyak 25 perusahaan terpaksa ditutup karena menyalahi aturan berkegiatan selama PSBB dan terdapat 190 perusahaan lainnya yang diberikan peringatan dikarenakan sejumlah perusahaan tersebut masuk ke dalam jenis usaha yang diperbolehkan selama PSBB atau perusahaan yang mengantongi izin Kemenperin. Di sisi lain, keresahan tentu melanda para pengusaha, terlebih yang tidak masuk ke dalam jenis usaha prioritas, untuk dapat menekan biaya produksi yang rutin dikeluarkan setiap bulannya demi tetap menjaga kestabilan serta bertahan dari ancaman collapse.

Pembatasan kegiatan usaha tidak sepenuhnya dapat diterapkan, terlebih terhadap sektor usaha yang dikecualikan ataupun terhadap perusahaan yang masih mengantongi izin dari Kemenperin, sehingga fenomena ini masih mampu menghasilkan bangkitan perjalanan dengan intensitas yang tergolong masif. Meskipun relatif sepi, namun kemacetan masih dapat ditemui di sejumlah titik. Nyatanya, semenjak PSBB dimulai, pihak kepolisian telah menindak puluhan ribu pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terkait aturan berkendara. Masyarakat tentunya menghindari penggunaan transportasi publik untuk meminimalisir infeksi terhadap covid-19 dan merubah cara bertransportasi dengan menggunakan kendaraan pribadi. Di samping adanya himbauan Pemerintah untuk mengurangi bahkan membatasi beberapa moda transportasi yang beroperasi di DKI Jakarta. Akibatnya, terdapat penurunan jumlah penumpang pada beberapa layanan transportasi dan ruas jalan kembali dipenuhi oleh beragam kendaraan pribadi.

Pemeriksaan Atribut Berkendara pada masa PSBB
Foto: CNBC Indonesia

Dilansir dari okezone.com (19 April 2020), hingga tanggal 17 April 2020 terdapat 12.606 pengendara yang melanggar ketentuan berkendara di Jakarta. Sebagian besar jenis pelanggaran yang dilakukan adalah lalainya penggunaan masker ketika berkendara dan jenis pelanggaran lainnya adalah berupa kapasitas penumpang yang melebihi jumlah maksimal serta pengendara motor yang berboncengan namun tidak memiliki alamat KTP yang sama.

Penetapan PSBB banyak menginspirasi dan mendorong masyarakat untuk melakukan pembatasan aktivitas secara mandiri pada wilayah tempat tinggalnya. Banyak ditemui perumahan yang menutup akses terhadap pengunjung luar demi menjaga kesehatan para penghuninya. Umumnya Namun hal ini rupanya memiliki imbas negatif. Penutupan akses jalan pada sebagian kecil wilayah akan memaksa pengguna jalan untuk mencari jalan alternatif lain untuk menuju lokasi tujuan. Jalan yang awalnya merupakan jalan tikus, menjadi tidak bebas dilewati dan menyebabkan penumpukkan pada ruas jalan lainnya atau bahkan pada jalan utama. Yang terjadi kemudian adalah kemacetan yang tentu saja bertentangan dengan tujuan PSBB yang seharusnya.

Di sisi lain, masih terdampak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya memahami aturan yang berlaku selama masa PSBB. Tak hanya peraturan, bahkan masih terdapat kelompok masyarakat yang masih tidak mengetahui bahaya serta dampak yang dapat ditimbulkan dari wabah covid-19, sehingga upaya penerapan PSBB menjadi lebih sulit dilakukan. Akibatnya, petugas yang bertanggung jawab harus bekerja lebih giat untuk menyisir dan menertibkan masyarakat yang masih beraktivitas. Di Jakarta sendiri, masih banyak ditemui masyarakat yang beraktivitas tanpa mengindahkan kesehatannya. Hampir di seluruh ruas jalan arteri di DKI Jakarta, masyarakat sangat tertib dalam menaati aturan PSBB, namun saat memasuki jalan kolektor hingga jalan lingkungan, pelanggaran masih umum ditemui. Namun tak menampik bahwa tak jarang pula ditemui kerumunan orang pada tempat umum, seperti pasar atau pertokoan.

Sisi lainnya, pembatasan kegiatan ekonomi tentunya menimbulkan dampak negatif berupa pengurangan pemasukan yang akan diterima setiap bulannya. Dengan begitu, risiko kriminalitas pun akan meningkat. Hal ini terbukti dengan mulai maraknya pemberitaan mengenai kasus pembegalan yang melanda beberapa wilayah terutama menjelang malam hari. Dilansir dari mediaindonesia.com (20 April 2020), tingkat kriminalitas meningkat sebanyak 11,8% selama masa pandemi covid-19 berlangsung. Hal ini tentu meresahkan, terlebih bagi masyarakat yang terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan semakin tak pasti sementara kejahatan terus mengintai tanpa ampun.

Melihat keseluruhan fenomena ini, lantas efektifkah upaya PSBB yang sedang digaungkan oleh Pemerintah?

Bahan Bacaan

Rizky, Muhamad. 2020. “Fakta 10 Hari Pelaksanaan PSBB di Jakarta, Apa Hasilnya?”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.okezone.com/read/2020/04/19/338/2201452/fakta-10-hari-pelaksanaan-psbb-di-jakarta-apa-hasilnya?page=1

Sari, Nursita. 2020. “UPDATE PSBB di Jakarta, 25 Perusahaan Ditutup, 190 Lainnya Diberi Peringatan”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/19/18003231/update-psbb-di-jakarta-25-perusahaan-ditutup-190-lainnya-diberi

Wijayaatmaja, Yakub Pryatama. 2020. “Polri: Kriminalitas Naik 11,8% Selama PSBB”. Diperoleh 21 April 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/305796-polri-kriminalitas-naik-118-selama-psbb

Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Berbagai Sektor di Indonesia

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Nasib Pekerja Informal dalam Belenggu COVID-19

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pandemi COVID-19 yang sedang ganas-ganasnya menginfeksi manusia memang menyisakan ketakutan dan keresahan bagi seluruh lapisan masyarakat di dunia. Bagi Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, COVID-19 merupakan musuh bersama yang tidak memandang etnis, kebangsaan, kepercayaan, serta kelompok tertentu. “It attacks all, relentlessly”, katanya. Dampak dari pandemi COVID-19 juga dirasakan oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat kerentanan sosial-ekonomi yang tinggi, yaitu para pekerja informal. Kebijakan-kebijakan terkait pencegahan dampak COVID-19, seperti social distancing, physical distancing serta lockdown sedikit banyak mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai karakteristik pekerja informal dan dampak yang mereka rasakan ketika pandemi COVID-19 berlangsung, serta intervensi-intervensi pemerintah yang sebaiknya dilakukan demi kelangsungan kehidupan mereka.  

Pekerja Informal

Apakah yang dimaksud dengan pekerja informal?

Berdasarkan definisi yang dipaparkan dalam  International Conference on Labour Statisticians (ICLS) ke-17, pekerja informal didefinisikan sebagai pekerja dengan hubungan kerja yang tidak tercakup dalam perundang-undangan atau dalam praktiknya, tidak tunduk pada undang-undang tenaga kerja, pajak, pendapatan, perlindungan sosial atau hak tertentu untuk jaminan kerja tertentu.  Lantas, siapa sajakah yang termasuk ke dalam kelompok tersebut?

Banyak sekali pekerja yang dapat dikelompokkan ke dalam kelas pekerja informal, apalagi di negera-negara Asia seperti halnya di Indonesia. Mereka sering kita temui di kehidupan sehari-hari dan biasanya membantu kita untuk memenuhi berbagai kebutuhan esensial. Tukang nasi goreng keliling, pengemudi ojek pengkolan,  penjual cendol di tempat wisata, ibu kantin di SD negeri, serta berbagai pekerjaan sejenis yang tidak terikat pada perundang-undangan ketenagakerjaan.

Kondisinya saat ini, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 55,72% dari total angkatan kerja di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik RI (BPS) mengatakan bahwa terdapat 70,49 juta pekerja informal di Indonesia per Agustus 2019.  Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana sektor informal dapat menyokong kelangsungan hidup banyak orang di Indonesia. Namun saat pandemi COVID-19 menyerang Indonesia, nasib para pekerja informal seakan terombang-ambing dalam badai ketidakpastian ekonomi dan juga kesehatan.

Pekerja Informal
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Dikutip dari podcast yang dipublikasikan oleh sebuah organisasi bernama Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO), tentang proteksi sosial terhadap pekerja informal, disebutkan bahwa pekerja informal khususnya di negara-negara berkembang memiliki risiko ganda yang lebih berat ketimbang para pekerja formal, yakni risiko kesehatan dan risiko ekonomi. Pasalnya sebagian besar pekerja informal tidak memiliki jaminan berupa asuransi kesehatan. Hal tersebut menjadikan mereka kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Ditambah dengan adanya kecenderungan bahwa banyak pekerja informal yang tinggal di hunian dimana fasilitas dan utilitasnya belum memadai, terutama ketersediaan air bersihnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada minimnya upaya preventif COVID-19 yang dapat mereka lakukan seperti mencuci tangan secara rutin. Pekerja informal juga memliki peluang yang lebih besar untuk terpapar karena pada umumnya mereka bekerja di tempat umum dimana banyak interaksi sosial di dalamnya. Selain itu, minimnya pengetahuan tentang COVID-19 yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, juga menjadi faktor yang turut andil dalam terpaparnya pekerja informal terhadap virus dengan tingkat kematian global sebsar 5,7% ini.

Kemudian, dalam kaitannya dengan risiko ekonomi, dampak yang dirasakan oleh pekerja informal akan lebih terasa ketika kebijakan-kebijakan preventif dan penanggulangan COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah. Dimulai dari kebijakan social distancing dimana masyarakat dihimbau untuk menghindari kerumunan, tentu saja pedagang gorengan dan juru potret keliling di tempat wisata kehilangan peluang usahanya karena masyarakat enggan bepergian ke tempat ramai. Begitu pula saat kebijakan physical distancing mulai dianjurkan, saat budaya work from home rajin diimplementasikan, semakin sedikit pengemudi ojek yang akan mengantarkan pekerja formal dari stasiun menuju gerbang kantornya. Dapat dibayangkan bagaimana kelangsungan hidup mereka saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan. Bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup, padahal selama ini mereka mencari rezeki sependek untuk esok hari? Bagaimana caranya mereka tetap mendapatkan pemasukan walaupun ladang rezeki mereka kian sepi seiring pergantian hari? Adakah solusi yang mendekati tepat agar kelompok rentan ini perlahan bisa lepas dari belenggu COVID-19?

Pentingnya Intervensi Pemerintah

Masih dari podcast yang sama, disebutkan bahwa intervensi pemerintah merupakan sebuah kunci utama dalam penanganan krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, baik krisis ekonomi maupun krisis kesehatan. Kendati demikian, masih banyak pemerintah di dunia yang belum mengedepankan kebijakan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 bagi pekerja informal.  

Terdapat beberapa hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah pada masa pandemi, yang tentu saja akan optimal dengan adanya kerjasama pusat dan lokal yang bersinergi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Memberikan jaminan kesehatan yang universal bagi masyarakat, khususnya mereka pekerja harian dan informal. Sedikitnya pekerja informal yang memiliki asuransi kesehatan membuat mereka kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena kemampuan finansial mereka yang terbatas. Hendaknya pemerintah dapat membuat sebuah intervensi kebijakan, dimana semua lapisan masyarakat dapat dengan mudah menikmati fasilitas kesehatan tanpa adanya administrasi yang rumit dan berbelit.  
  • Menyebarluaskan informasi terkait pandemi COVID-19 kepada masyarakat, khususnya para pekerja informal yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber informasi. Tingkat pendidikan pekerja informal yang pada umumnya belum maksimal, mengakibatkan tingkat literasi dan kemampuan mencerna informasi yang masih kurang baik. Untuk itu perlu adanya inovasi dan strategi agar pemerintah bisa melakukan transfer knowledge kepada masyarakat informal dengan mudah dan dapat dipahami.  
  • Mendistribusikan alat kesehatan, bahan makanan dan utilisasi hand washing station di tempat tinggal mereka. Hal ini sangat penting untuk dilakukan pada tahap awal pandemi demi meminimalisir jumlah kasus positif dari kelompok pekerja informal.
  • Memberikan bantuan uang tunai darurat yang berkelanjutan selama pandemi berlangsung kepada pekerja informal, mengingat mereka tidak dapat bekerja dengan optimal. Bantuan uang tunai dirasa sangat praktikal dan efektif dalam rangka mendukung kondisi finansial para pekerja informal.
  • Memberikan kemudahan berupa penangguhan uang sewa bagi mereka yang tinggal di rumah sewa, dan juga memberikan penangguhan pinjaman bagi mereka yang memiliki pinjaman ke bank atau ke skema kredit lainnya. Hal tersebut dirasa perlu untuk dipertimbangkan karena pada umumnya, mereka adalah pekerja harian yang tidak memiliki penghasilan yang pasti. Pada masa wabah seperti ini, secara otomatis penghasilan mereka akan terhenti sebagai akibat dari intervensi kebijakan seperti social distancing dan lockdown. Sedangkan tagihan mereka? Akan terus berjalan.  
  • Menjalin kerjasama dengan Community Based Organization (CBO) atau organisasi berbasis masyarakat, untuk berdiskusi dalam rangka mempelajari apa yang masyarakat informal butuhkan. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang bottom-up agar intervensi pemerintah bagi masyarakat informal di masa-masa seperti ini menjadi efektif, efisien dan tepat guna.
  • Melakukan isolasi sosial pada kawasan permukiman pekerja informal selama beberapa waktu demi pencegahan penularan pandemi COVID-19 yang lebih masif lagi.
  • Melakukan peninjauan kembali kebijakan yang telah diberlakukan selang beberapa waktu untuk melihat apakah kebijakan dan intervensi yang sudah diberlakukan dapat bekerja secara efektif dan efisien bagi masyarakat informal. Jika iya, intervensi dapat dilanjutkan. Namun jika tidak, perlu adanya inovasi dan strategi baru yang lebih tepat guna.  

Tentu saja, dalam menerapkan upaya-upaya tersebut di atas, akan banyak tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi. Baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat. Untuk itu, koordinasi yang baik antara lapisan tingkat pemerintah, serta pendistribusian informasi yang tepat kepada masyarakat informal sangat diperlukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya friksi antar golongan.

Daftar Pustaka

Department of Global Communications of The United Nations. 2020. UN Working to Ensure Vulnerable Groups Not Left Behind in COVID-19 Response. https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/un-working-ensure-vulnerable-groups-not-left-behind-covid-19

The Regional Risk Communication and Community Engagement (RCCE). 2020. COVID-19: How to Include Marginalized and Vulnerable People in Risk Communication and Community Engagement.https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/COVID19_CommunityEngagement_130320.pdf

Informal Economy Podcast: Social Protection. 2020. Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO). https://soundcloud.com/informaleconomypodcastsp/13-protecting-informal-workers-amid-the-global-pandemic-covid-19-edition

Ketika Pandemik COVID-19 Mempengaruhi Fungsi Ekonomi Perkotaan

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc dan Mohamad Arszandi Pratama S.T; M.Sc

Pandemik COVID-19 yang diakibatkan oleh Corona Virus mulai mendunia sejak akhir tahun 2019 lalu. Kini pandemik tersebut telah memasuki fase baru di Indonesia. Hingga tanggal 18 Maret 2020, tercatat sebanyak 227 orang positif terjangkit virus dengan proses transmisi yang sangat cepat ini. COVID-19 yang berasal dari kota Wuhan,Cina bukanlah tergolong ke dalam penyakit yang mematikan bila dibandingkan dengan Ebola yang memiliki prosentase kematian hingga 60%, dan juga SARS dan MERS yang peluang kematiannya sama-sama mencapai angka 30%. Menurut data yang dilansir dari statnews.com, mortality rate dari COVID-19 berada pada angka 1,4% saja. Kendati demikian, proses transmisi virus yang sangat cepat menjadikan COVID-19 sebagai tantangan global yang harus diantisipasi penyebarannya.

Yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana virus Corona tersebut dapat berpindah dari sebuah kota yang terletak di Global South ke lebih 100 negara lainnya di dunia? Dan bagaimana pandemik tersebut mempengaruhi fungsi ekonomi perkotaan secara keseluruhan? Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh seluruh stakeholders untuk mengantisipasi hal tersebut? 

Peta Penyebaran Virus COVID-19 di Seluruh Dunia
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2020

Transmigrasi COVID-19

Penyebaran virus Corona yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini tidak hanya menyerang manusia secara spesifik, namun juga mempengaruhi fungsi ekonomi kawasan perkotaan secara general. Penanggulangan risiko dari sudut pandang perkotaan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Berdasarkan berita yang beredar disebutkan bahwa virus ini berasal dari sebuah pasar hewan yang terletak di Kota Wuhan yang teridentifikasi pada Desember 2019. Penyebaran virus Corona terjadi karena adanya kontak dengan individu yang terinfeksi melalui tetesan cairan yang berasal dari mulut atau hidung. Lantas bagaimanakah COVID-19 ini bisa melakuan perjalanan keliling dunia?

Jawaban dari pertanyaan di atas tak lain dan tak bukan karena adanya mobilitas dan pergerakan dari individu yang terinfeksi virus Corona itu sendiri. Dengan kata lain, sistem transportasi penumpang baik pesawat, kereta maupun kendaraan bermotor lainnya merupakan alat bantu berpindahnya COVID-19 dari satu negara ke negara lain. Sebagai contoh penyebaran COVID-19 di Jerman bertransmisi melalui seorang pekerja pabrik mobil di Wuhan yang harus mengikuti pelatihan di sebuah kota tersier di Jerman, yaitu Bavaria. Setelah itu, penyebaran virus tersebut menjadi sangat cepat ke seluruh penjuru negeri bahkan ke penjuru Eropa. Begitu pula proses penyebaran virus Corona di Indonesia yang pertama kali disebabkan oleh WNI yang melakukan kontak langsung dengan warga negara Jepang yang terjangkit COVID-19.  

Dari contoh proses transmigrasi virus di atas dapat dilihat bahwa fungsi sosialisasi yang banyak terjadi di kawasan perkotaan dengan alat bantu moda transportasi dapat memperburuk kemungkinan menyebarnya pandemik tersebut. Lantas apa sajakah aspek perkotaan yang harus diperhatikan selama pandemik ini berlangsung?

Ketahanan Pangan dan Perputaran Barang

Hal pertama yang harus diperhatikan ketika sebuah pandemik terjadi adalah ketahanan pangan dan perputaran barang di kawasan perkotaan. Akan terjadi kecenderungan kelangkaan bahan makanan yang dipengaruhi oleh sisi produksi dan konsumsinya. Dari sisi produksi, tanaman hasil pangan akan sulit untuk didistribusikan kepada konsumen mengingat akses transportasi akan dibatasi pada masa pandemik. Para petani juga akan sulit untuk mengakses bibit tanaman dan keperluan tani lainnya dikarenakan kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil sehingga harga-harga tentu akan melonjak. Keadaan akan semakin memburuk apabila sumber daya manusianya telah terpapar langsung oleh pandemik tersebut.

Sulitnya proses produksi tentu akan mengarah pada kondisi kelangkaan sehingga konsumen kesulitan kebutuhan pangan mereka. Terbatasnya jumlah hasil pangan mengakibatkan masyarakat semakin kompetitif. Dampak dari hal tersebut adalah kenaikan harga pangan, sehingga tidak semua kelas masyarakat dapat menikmatinya. Pada masa penyebaran virus Corona ini, hal tersebut juga berlaku untuk barang lainnya seperti alat kesehatan berupa masker dan obat-obatan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah hendaknya mengeluarkan kebijakan terkait limitasi pembelian hasil pangan dan alat kesehatan dalam masa tertentu sehingga semua lapisan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan primer mereka.

Ki-Ka: Kelangkaan Bahan Makanan di Supermarket dan Masyarakat Antre Beli Masker
Sumber: Vox.com dan Yahoo.com, 2020

Sistem Pergerakan Masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa salah satu alat bantu peningkatan status COVID-19 dari epidemik menjadi pandemik adalah moda transportasi lintas negara seperti pesawat, kereta dan bus yang mengakomodir pergerakan carrier atau individu yang terdampak virus Corona. Hal tersebut juga berlaku untuk region wilayah yang lebih kecil seperti kawasan perkotaan.

Ilustrasi Penyebaran COVID-19 melalui Transportasi Umum di Hunan, Cina
Sumber: Transformative Urban Mobility Initiative, 2020

Untuk menghindari penyebaran virus yang lebih masif lagi, pemerintah perlu untuk membuat kebijakan dan menghimbau masyarakat kota untuk tidak menggunakan transportasi publik dan meminimalisir pergerakan selama masa pandemik masih berlangsung. Kebijakan dapat berupa keputusan lockdown atau kunci sementara (kuncitara) kawasan perkotaan. Kuncitara adalah upaya untuk mengendalikan penularan virus melalui karantina kota dengan menutup sementara kegiatan bisnis tertentu dan melarang adanya pertemuan atau acara yang sifatnya besar. Kuncitara yang diterapkan bersama upaya social distancing  dirasa cukup efektif ketika diterapkan di Cina karena terbukti menurunkan jumlah pasien terinfeksi sebesar 98,9% dan juga menurunkan prosentase angka kematian hingga 99,3% sejak kuncitara diberlakukan di Cina pada 23 Februari 2020.  Bentuk lain dari kuncitara adalah pemberlakukan work from home (WFH), sehingga masyarakat bisa meminimalisir pergerakan rutin menuju tempat bekerja setiap harinya.

Solusi penanganan lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan adalah pengalihan anggaran Public Service Obligation (PSO) di bidang transportasi ke bidang kesehatan. Strategi pengalihan dapat dilakukan dengan menaikan tarif transportasi publik dan jalan tol hingga meniadakan pajak rumah sakit. Harapannya strategi tersebut dapat meningkatkan keengganan masyarakat untuk melakukan mobilitas namun di sisi lain dapat meningkatkan subsidi di bidang kesehatan.

Upaya Social Distancing pada Moda Transportasi Publik
Sumber: Transformative Urban Mobility Initiative dan Gie Wahyudi, 2020

Aktivitas Ekonomi

Munculnya pandemik pada suatu kawasan tentu akan mempengaruhi aktivitas perekonomian yang ada di dalamnya. Apalagi ketika sebuah kota sudah memberlakukan kuncitara. Dilansir dari The Economic Times, adapun dampak ekonomi yang disebabkan oleh merebaknya COVID-19 adalah:

  • Hilangnya aktivitas ekonomi yang terjadi karena berlakunya kuncitara;
  • Pendapatan masyarakat akan hilang seiring dengan hilangnya pekerjaan  mereka, terutama bagi pekerja tidak tetap dan informal;
  • Global Shutdown yang akan berdampak pada aktivitas ekspor; dan
  • Munculnya gangguan produksi dari berbagai sektor. 

Selain itu, berdasarkan informasi dari Center for Strategic & International Studies, disebutkan bahwa sektor yang paling terdampak dari munculnya COVID-19 adalah sektor pariwisata dan industri pendukungnya, dimana akan terjadi reduksi jumlah wisatawan akibat upaya kuncitara dan social distancing. Selain sektor pariwisata, sektor lainnya yang mungkin akan terdampak adalah sektor energi dimana seiring dengan terjadinya perlambatan ekonomi maka permintaan akan listrik juga akan menurun. Banyaknya kantor yang memberlakukan work from home juga berpengaruh pada sektor tersebut karena kawasan perkantoran tidak membutuhkan tenaga listrik lagi. Kondisi-kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi keinginan investor untuk berinvestasi sebelum keadaan ekonomi kembali stabil.

Belajar dari negara-negara seperti Cina dan Amerika Serikat, adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi dampak ekonomi akibat pandemik adalah sebagai berikut:

  • Memberikan pinjaman dan/atau kelonggaran khusus dan/atau support finansial kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi mengalami kendala likuiditas seperti industri penerbangan;
  • Membebaskan pajak pertambahan nilai atau pajak penghasilan lainnya;
  • Memangkas kebijakan suku bunga berkaitan dengan kondisi darurat; dan
  • Melakukan koordinasi dengan bank regulator dan mendorong lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan keuangan pelanggan dan anggota yang terdampak pandemik.

Langkah-langkah tersebut di atas dapat diambil untuk mendukung kondisi keuangan dan mencegah guncangan ekonomi yang lebih destruktif dalam menghadapi krisis pandemik ke depannya.

Bandara Canada dan Tempat Wisata di Itali yang Sepi
Sumber: CBC News dan CBN News, 2020

Setelah membahas tentang proses transmigrasi virus, dampak yang ditimbulkan serta penanganan-penanganan yang harus segera dilakukan maka dapat disepakati bahwa pemerintah dari segala lapisan harus mempertimbangkan kebijakan yang mampu memperkecil risiko penyebaran virus agar ke depannya fungsi ekonomi perkotaan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Diperlukan pula adanya inovasi-inovasi pengembangan infrastruktur digital yang memudahkan pertukaran informasi dan pergerakan selama masa karantina pandemik berlangsung. Selain itu kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menjaga kesehatan dan terhindar dari penyakit juga perlu ditumbuhkan sesegera mungkin.

Daftar Pustaka

Klaus, I. 2020. Pandemics Are Also an Urban Planning Problem. City Lab. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Keil R, et al. 2020. Outbreaks Like Corona Virus Start in and Spread From the Edges of Cities. The Conversation. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Begley, S. 2020. Lower Death Rate Estimates fOr Coronavirus, Especially for Non-Eldery, Provide Glimmer of Hope. Statnew. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

CBC News. 2020. Vancouver International Airport Increases Screening of Overseas Arrivals as One of Canada’s 4 Entry Points. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Komarudin. 2020. Deretan Destinasi Wisata Populer di Italia Nyaris Kosong Tanpa Pengunjung. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4195080/deretan-destinasi-wisata-populer-di-italia-nyaris-kosong-tanpa-pengunjung

Bureau, ET. 2020. COVID-19 Impact: How to Shield This Economy. https://economictimes.indiatimes.com/news/economy/indicators/covid-19-impact-how-to-shield-the-economy/articleshow/74682449.cms

Centers for Disease Control and Prevention

Transformative Urban Mobility Initiative

Upaya Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal Bagi Masyarakat Perkotaan

Oleh Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Ruang terbuka merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi di telinga masyarakat perkotaan. Sering digaungkan di berbagai media, membuat utilisasi ruang terbuka kerap menjadi sorotan publik. Tak jarang pengadaan ruang terbuka menemui kendala pada tahap inisial, seperti polemik perolehan lahan dan perencanaannya yang dinilai tidak mengikutsertakan kepentingan publik. Banyak pula penyediaan ruang terbuka yang dianggap kurang optimal baik dari segi finansial maupun dari sisi manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat. Lantas, bagaimanakah kondisi ruang terbuka di kawasan perkotaan saat ini? Dan bagaimana mewujudkan utilisasi ruang terbuka perkotaan yang optimal dan tepat guna?  

Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008, diketahui bahwa ruang terbuka memiliki definisi sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka itu sendiri kemudian diklasifikasikan kembali menjadi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau.

Dalam penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan, terdapat aturan mengenai prosentase RTH yang didasari oleh luas wilayah perkotaan secara keseluruhan, yaitu:

  • Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat;
  • Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; dan
  • Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% tersebut ditetapkan sebagai jaminan keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hodrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Dengan adanya peraturan terkait prosentase penyediaan RTH tersebut, maka setiap kota seolah berlomba untuk mewujudkannya, walaupun realitanya, penyediaan ruang terbuka bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. 

Permasalahan dalam Penyediaan Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Belum banyak kota di Indonesia yang mampu mewujudkan RTH dengan proporsi sebesar 30%. Saat ini, kota Balikpapan menjadi satu-satunya kota yang berhasil dengan prosentase RTH sekitar 37,396% dari total luas kota secara keseluruhan. Hal tersebut memperlihatkan betapa sulitnya penyediaan RTH yang ideal dapat dioptimalisasi pada kawasan perkotaan. Adapun yang menjadi kendala dalam penyediaan RTH adalah sebagai berikut:

  • Keterbatasan Lahan di Perkotaan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa lahan perkotaan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka kian terbatas jumlahnya seiring berjalannya waktu. Dampak pembangunan yang masif menyebabkan lahan-lahan di perkotaan dikembangkan sebagai pusat-pusat kegiatan berkepadatan tinggi dan kerap mengesampingkan keberadaan ruang terbuka. Hal tersebut, selain menjawab tantangan perkotaan juga dianggap lebih menguntungkan secara finansial ketimbang pengembangan lahan dengan kegiatan berkepadatan rendah, seperti ruang terbuka. Kalaupun tersedia lahan kosong di pusat perkotaan, dapat dipastikan memiliki nilai lahan yang sangat tinggi dan tidak sedikit yang sudah dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.

  • Alokasi Pendanaan Pemerintah Kota yang Terbatas

Walaupun terdapat beberapa provinsi yang menaikkan APBDnya untuk kepentingan pengembangan ruang terbuka, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, nyatanya masih banyak provinsi maupun kota yang belum terlalu aware mengenai manfaat yang dihasilkan oleh keberadaan ruang terbuka. Oleh karena itu, anggaran pendapatan belanja daerah lebih banyak dialokasikan kepada hal lain yang menjadikan penyediaan ruang terbuka sulit diwujudkan di kawasan perkotaan.   

  • Kapasitas Sumber Daya yang Belum Memadai

Selain terbatasnya ketersediaan lahan dan alokasi pendanaan, satu hal yang kerap menjadi bendera merah dalam penyediaan ruang terbuka adalah belum maksimalnya kapasitas sumber daya manusia yang mengawal pengembangan ruang terbuka itu sendiri. Penambahan personel yang berdaya dan memiliki kapabilitas untuk menangani penyediaan ruang terbuka menjadi urgensi tersendiri untuk tiap-tiap provinsi dan kota.

  • Kurangnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ruang Terbuka

Sejatinya pengembangan ruang terbuka hendaknya mengacu pada kaidah-kaidah yang memberikan kebermanfaatan terhadap fungsi ekologis, estetis, sosial dan ekonomis kawasan perkotaan itu sendiri. Dalam mewujudkan itu semua, tentu saja dibutuhkan partisipasi masyarakat agar pengembangan ruang terbuka ke depannya dirasa tepat guna dan tepat sasaran. Saat ini, partisipasi publik dalam pengembangan ruang terbuka masih sangat minim. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya penolakan-penolakan masyarakat terkait dengan pembebasan lahan untuk ruang terbuka. Hal tersebut tentu saja dapat diminimalisir dengan adanya pendekatan partisipasi publik sehingga sense of belonging masyarakat akan semakin kuat.

Jenis Pemanfaatan Ruang Terbuka yang Dibutuhkan Masyarakat di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan diketahui terdapat beberapa jenis RTH yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:


Dari ke sepuluh jenis ruang terbuka tersebut, menarik untuk dibahas lebih lanjut tentang ruang terbuka seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan perkotaan? Berdasarkan hasil riset sederhana yang dilakukan oleh Lokalaras Indonesia Institute, diketahui bahwa 67% responden lebih menginginkan ruang terbuka berupa sarana olahraga ketimbang taman bermain ramah anak dan taman relaksasi. Sebanyak 91% dari responden juga mengatakan bahwa mereka merasa perlu adanya sarana olahraga berupa lapangan dan taman olahraga di dekat tempat tinggalnya.  Berangkat dari hasil riset tersebut dapat dilihat bahwa sarana olahraga di ruang terbuka berupa lapangan dan taman olahraga lebih menarik minat masyarakat ketimbang taman bermain dan relaksasi. Hal tersebut berjalan beriringan dengan tren hidup sehat yang sedang populer di kalangan masyarakat perkotaan. Seperti yang diketahui saat ini ruang terbuka di Jakarta seperti stadion Gelora Bung Karno dan Lapangan Banteng ramai dikunjungi warga yang hendak jogging atau hendak melakukan aktivitas olahraga lainnya seperti zumba, poundfit, dan cardio dance. Ruang-ruang olahraga juga dibutuhkan sebagai wadah pertemuan bagi komunitas-komunitas olahraga seperti komunitas sepeda, komunitas sepatu roda dan lain sebagainya.

Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal

Dengan melihat tren dan kecenderungan kebutuhan ruang terbuka bagi masyarakat perkotaan, dibutuhkan strategi utilisasi agar ruang terbuka dapat berfungsi secara optimal. Strategi-strategi tersebut meliputi:

  • Kesesuaian Peruntukan dengan Rencana Tata Ruang

Hal pertama yang harus dipastikan sebelum merencanakan utilisasi ruang terbuka adalah kesesuaian peruntukan dengan rencana tata ruang seperti RTRW Kota/ RTR Kawasan Perkotaan/ RDTR Kota/ RTR Kawasan Strategis Kota/ Rencana Induk RTH yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Hal tersebut harus dipastikan sebagai pintu pembuka kepastian dan keamanan hukum bagi penyelenggaraan ruang terbuka di kawasan perkotaan.

  • Mengikutsertakan Peran Masyarakat

Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka merupakan upaya pelibatan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksdukan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan ruang terbuka, dengan prinsip:

  1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pembangunan ruang terbuka hijau;
  2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan ruang terbuka;
  3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
  4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
  5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesial
  6. Sumber Pendanaan Alternatif

Terbatasnya APBD Provinsi untuk pengembangan ruang terbuka, menjadikan adanya alternatif pendanaan sebagai urgensi yang harus dipikirkan secara matang. Para pemangku kepentingan beserta dengan masyarakat dan swasta hendaknya bersama-sama mewujudkan skema pendanaan pengembangan ruang terbuka yang efektif, efisien serta tepat guna. Berbagai jenis alternatif pendanaan seperti pemanfaatan dana CSR, dana kontribusi perusahaan, dan crowd funding dapat dijadikan opsi untuk penyelenggaraan ruang terbuka. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, apakah kita sanggup mewujudkan ruang terbuka yang optimal?

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M.2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan perkotaan

Nugroho, M.L.E. 2014. Problematika Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Semarang. Universitas Diponegoro