Aplikasi Survei Fotogrametri Menggunakan UAV Pada Hutan Tanaman Industri

Oleh: Rabby Awalludin

Dewasa ini perkembangan teknologi mendorong manusia untuk mengubah cara pandang dan pemikirannya terhadap pemanfaatan yang tepat guna terhadap teknologi itu sendiri. Pemanfaatan tepat guna ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pekerjaan yang dilakukan. Beberapa hal yang awal mulanya dilakukan secara manual dengan waktu pengerjaan yang lama, kini mulai berangsur-angsur tergantikan dengan metode baru, yang mana metode ini mulai menerapkan otomatisasi menggunakan teknologi yang berkembang saat ini.

Tak terkecuali dalam sektor pertanian dan perkebunan hutan tanaman industri, penerapan teknologi berbasis digital juga sangat diperlukan saat ini demi peningkatan hasil produksi. Area yang sangat luas dengan tuntutan produksi yang cepat, mendorong teknologi masuk untuk menggantikan cara-cara lama yang sebelumnya dilakukan secara manual. Metode lama yang umum digunakan memanfaatkan kemampuan subjektif manusia yang mana penilaian subjektif tersebut cenderung berpeluang besar menyebabkan kesalahan-kesalahan blunder.  Kesalahan blunder merupakan hasil dari kesalahan yang disebabkan kecerobohan (kekurang hati-hatian) pengamat dalam mengamati/menganalisis objek. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan teknologi untuk dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang mungkin saja terjadi jika menggunakan metode-metode lama tersebut.  

Analisis yang dilakukan pada tanaman hutan industri seperti perhitungan jumlah pohon, penilaian subjektif manusia terhadap kesehatan tanaman, perhitungan tinggi pohon, dan analisis objek lainnya akan sangat bergantung terhadap kemampuan analisis dari si pengamat itu sendiri. Sehingga untuk meningkatkan akurasi dari data analisis yang dihasilkan, maka diperlukan kemampuan teknologi yang mumpuni dan dapat diandalkan. Kebutuhan tersebut sekarang dapat teratasi dengan memanfaatkan metode pemetaan yang menggunakan wahana terbang yang dikenal dengan teknologi pemetaan menggunakan metode fotogrametri.

Fotogrametri Dalam Pemetaan

Fotogrametri merupakan suatu metode yang dapat menghasilkan data dan informasi dari objek fisik di permukaan bumi dengan menggunakan kamera yang dipasang pada wahana terbang. Metoda ini sangat menjanjikan saat ini dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Beberapa keuntungan yang diberikan adalah sebagai berikut:

  1. Cakupan area yang luas
  2. Waktu yang singkat
  3. Cost rendah
  4. Akses yang mudah dari udara
  5. Menggambarkan detail yang besar

Dengan berbagai keunggulan yang telah disebutkan diatas, teknologi survei ini menjadi primadona dalam dunia pemetaan saat ini. Teknologi ini dapat menghasilkan peta foto yang sangat membantu dalam analisis-analisis spasial yang dibutuhkan dalam berbagai bidang seperti pertambangan, perminyakan, hutan industri, dsb. Selain itu hasil dari fotogrametri juga dapat menyajikan informasi berupa tinggi suatu objek, baik tinggi tanaman maupun topografis daerah yang dipetakan. Sektor industri yang saat ini cukup banyak memanfaatkan teknologi ini adalah industri kelapa sawit dan beberapa tanaman industri lainnya seperti akasia dan eukaliptus.

Penggunaan fotogrametri dalam pemetaan dengan pesawat tanpa awak atau drone atau yang lebih dikenal dengan sebutan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) berkembang pesat pada dekade ini. UAV merupakan wahana terbang yang dikontrol oleh seorang pilot melalui remote control, dimana pilot tersebut dapat melakukan kontrol terhadap wahana terbang tanpa harus naik diatasnya. Berdasarkan jenis alat penggeraknya, UAV dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu UAV Fixed Wing dan UAV Multirotor. UAV jenis Fixed Wing dilengkapi dengan sayap di kedua sisinya. UAV jenis ini sendiri memiliki beberapa bentuk dan ukuran, bergantung pada kegunaannya masing masing. Tenaga penggerak yang digunakan bersumber dari baterai dan dapat pula dengan menggunakan bahan bakar. UAV Multirotor adalah UAV yang menggunakan baling-baling (propellers) pada tiap lengannya. UAV jenis ini biasa dikenal dengan nama Multicopter dan untuk penamaan UAV jenis ini sendiri disesuaikan dengan banyaknya propeller atau baling-baling yang digunakan. UAV jenis ini menggunakan sumber tenaga berupa baterai dan merupakan jenis UAV terbanyak yang dijual di pasaran saat ini.

Penggunaan jenis UAV dalam pemetaan fotogrametri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luasan area pengukuran, tinggi terbang, kondisi topografi wilayah dan ketepatan waktu yang dibutuhkan.  Pada tabel berikut akan dijabarkan kelebihan yang terdapat pada masing-masing UAV.

Kapabilitas Fixed Wing dan Multirotor

No.KapabilitasFixed WingsMultirotor
1Panjang line terbang (1 misi)± 60km±8km
2Tinggi Aman Maksimal300m150m
3Kecepatan Terbangcepat5-8m/s
4Lahan datar luasbutuhKurang butuh
5Kestabilan Terbang+
6Cakupan Wilayah (1 misi)besarkecil

Berdasarkan tabel diatas, jika melakukan survei fotogrametri dengan area yang luas serta waktu pengerjaan yang sedikit akan sangat efektif jika menggunakan UAV Fixed Wings. Namun jika membutuhkan hasil peta foto dengan nilai GSD yang kecil, maka sebaiknya menggunakan UAV multirotor.

Jenis-jenis UAV

Fotogrametri Pada Hutan Tanaman Industri

Berdasarkan data Kementrian Pertanian Republik Indonesia, total luasan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada pada kisaran 14 juta hektar dengan laju pertumbuhan dari tahun 2016 ke tahun 2017 adalah sebesar 25,4%. Dikutip dari ekonomi.kompas.com, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, Bambang, pernah mengatakan bahwa tingkat produksi dari perkebunan sawit di Indonesia masih dibawah standar dengan rata-rata tingkat produksi  3,6 ton per hektar. Selain itu, masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk sektor ini di Indonesia. Dalam proses peningkatan produksi tentu diperlukan beberapa tindakan tepat guna. Peningkatan tingkat produksi dapat dilakukan dengan melakukan monitoring secara berkala guna melihat pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari hutan kelapa sawit itu sendiri.

Secara manual, proses monitoring dilakukan dengan menerjunkan langsung pekerja dengan jumlah yang  banyak. Selain itu dengan luasan area yang besar ditambah dengan metoda yang dilakukan manual, penyajian data tentunya akan memakan waktu yang lama dan sangat riskan mengandung kesalahan-kesalahan. Untuk dapat mengurangi kemungkinan kesalahan serta pengefisienan waktu, saat ini fotogrametri dapat menjadi pilihan yang tepat.  Untuk pengerjaan dengan luasan area yang besar serta kepentingan peningkatan produksi hasil dibutuhkan teknologi seperti fotogrametri yang dapat menyajikan sumber data tepat guna sesuai dengan kebutuhan tersebut. Metode dengan teknologi fotogrametri dapat menghasilkan representasi gambar tegak suatu wilayah dalam bentuk peta foto (orthophoto) yang akan sangat membantu dalam proses analisis-analisis yang dibutuhkan seperti penentuan jumlah pohon, wilayah tanam kosong, kesehatan tanaman, dsb. 

Orthophoto atau peta foto awalnya dibuat dengan melakukan proses align atau penggabungan data citra foto yang sebelumnya telah diakuisisi. Kemudian proses align tersebut menghasilkan data sparse point cloud yang merupakan titik-titik jarang yang merepresentasikan titik objek yang memiliki kesamaan posisi dari tiap raw data foto yang berdekatan. Kemudian dilanjutkan dengan menghasilkan foto tegak/orthophoto yang selanjutnya akan dimanfaatkan dalam proses digitasi.

Digitasi merupakan proses mengkonversi data raster menjadi data vektor dimana pada data hasil digitasi tersebut dapat disertakan atribut atau informasi tambahan dari objek yang dimaksud. Pada saat ini, proses digitasi dapat dilakukan dengan menggunakan komputer yang lebih populer dengan sebutan Digitasi on Screen.  Sejauh ini penggunaan hasil dari teknologi fotogrametri dalam industri kelapa sawit adalah dalam analisis menghitung jumlah pokok pohon, kesehatan tanaman, blank spot (area tanam kosong), tinggi pohon dan kondisi topografis wilayah perkebunan. Proses digitasi untuk mendapatkan hasil analisis saat ini umumnya dilakukan secara manual on screen oleh interpretasi manusia dari peta foto (ortophoto/foto tegak) yang dihasilkan.  Jika dibandingkan dengan metoda lama dengan keharusan pengamat terjun langsung ke lapangan guna melakukan analisis, tentu saja metode fotogrametri ini sangat membantu dari segi efektifitas waktu survei dan efisiensi anggaran yang diperlukan. Selain itu, tingkat produksi pekerja menjadi lebih cepat dan efisien sehingga delivery data dapat lebih cepat dilakukan.

Secara garis besar tahapan pengolahan data pada proses penghitungan jumlah pohon sawit dengan metoda manual on screen adalah sebagai berikut:

Orthophoto dapat dihasilkan dengan menggunakan beberapa software pengolahan data foto seperti Agisoft Photoscan, Pix4DMapper, DroneDeploy, APS Menci, dsb. Kemudian dari hasil pengolahan orthophoto tersebut dilakukan pemotongan citra sesuai dengan yang luasan wilayah yang diinginkan. Proses interpretasi merupakan proses dimana objek yang terlihat pada orthophoto dibagi berdasarkan penampakan visualnya yang kemudian ditandai dengan melakukan proses digitasi. Sehingga akhirnya nanti didapatkan sebaran pohon dan analisis lainnya. Beberapa perangkat lunak yang umum digunakan dalam proses digitasi manual on screen adalah ArcGIS, qGIS, GlobalMapper, dsb.

Hasil Digitasi Pohon

Selain menggunakan cara digitasi manual on screen, penghitungan jumlah pohon dan analisis lainnya juga dapat dilakukan secara otomatis dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan. Tentu saja untuk dapat menghasilkan perangkat kecerdasan buatan membutuhkan waktu yang cukup lama dan data orthophoto yang banyak. Dalam hal ini kecerdasan buatan didesain untuk mengidentifikasi objek yang dianalisis terlebih dahulu melalui hasil digitasi manual on screen. Penggunaan kecerdasan buatan dapat mempercepat proses digitasi dan analisis lainnya karena semua proses dijalankan dengan prinsip otomatis.  Dari segi akurasi atau angka kepercayaan, metoda otomatis masih kurang dibandingkan dengan metoda manual on screen. Namun untuk meningkatkan angka kepercayaan dari data yang dihasilkan metoda otomatis, dapat dilakukan penggabungan antara metode digitasi manual on screen dan digitasi otomatis. Berikut tabel beberapa perbandingan antara metode otomatis dan manual on screen:

Aspek PenilaianOtomatisManual
Waktu+
Akurasi+
Identifikasi Pohon Belum Tumbuh+

Selain dengan menggunakan perangkat lunak dengan kecerdasan buatan yang dibuat sendiri, analisis juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak pengolahan data yang dikhususkan untuk analisis sebaran pohon sawit seperti software berbayar eCognition Oil Palm Application.

Fotogrametri Pada Hutan Industri Akasia, Eukaliptus, Dll

Hasil produksi maksimal yang berlimpah merupakan target utama bagi setiap perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan tanaman industri. Untuk mencapai tujuan itu, tentunya perlu dilakukan langkah-langkah tepat guna yang meningkatkan keefisienan dan keefektifan jalannya proses hingga kegiatan produksi dilaksanakan. Penggunaan metode lama dengan prinsip sampling memiliki kemungkinan kesalahan yang besar, sehingga tidak dapat digunakan sebagai patokan atau dasar dari perhitungan perkiraan jumlah hasil produksi yang didapatkan.

Selain industri kelapa sawit, pemanfaatan teknologi fotogrametri juga dapat dilakukan pada tanaman industri lain seperti hutan tanaman industri akasia, eucalyptus, pinus, cemara dsb.  Beberapa analisis yang dapat dilakukan dengan menggunakan orthophoto hasil dari metode fotogrametri diantaranya adalah analisis titik tanam kosong (blankspot), jarak tanam, wilayah banjir, menghitung jumlah pohon, analisis pohon liar yang tumbuh di area tanam hingga sebaran gulma di area tanam.

Blank spot merupakan daerah kosong yang berada dalam kawasan tanam yang tidak ditumbuhi oleh tanaman inti. Blankspot menjadi indikator penentu maksimal atau kurang maksimalnya pemanfaatan luasan lahan yang dapat ditanami. Selain itu, blank spot juga dapat terjadi akibat matinya tanaman sebelum tumbuh dan berkembang sehingga menyebabkan kosongnya wilayah tersebut. Hal ini tentu harus dihindari untuk memaksimalkan produksi yang dihasilkan. Blankspot dapat dengan mudah dianalisis dengan melihat tampakan atas area tanam yang dapat dihasilkan dari survei fotogrametri (orthophoto).

Daerah banjir (flood area) dapat menjadi salah satu penyebab matinya tanaman sebelum tumbuh dan berkembang. Dengan analisis yang didapat dari proses digitasi on screen, flood area akan dapat dengan cepat ditangani. Selain flood area, keberadaan gulma juga dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, bahkan juga dapat menyebabkan tanaman mati sebelum tumbuh. Menurut Nasution (1986):”Gulma merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia. Kerugian yang ditimbulkan antara lain pengaruh persaingan (kompetisi) mengurangi ketersediaan unsur hara tanaman mendorong efek allelophaty “. Zat allelophaty merupakan zat yang bersifat racun bagi tanaman sehingga harus ditanggulangi dengan cepat sebelum berefek besar. Dengan hasil fotogrametri, keberadaan gulma dan sebarannya dapat dengan mudah dianalisis sehingga dapat dilakukan tindak lanjut yang efektif dan efisien.

Sama halnya dengan tanaman kelapa sawit, otomatisasi dengan menggunakan kecerdasan buatan juga dapat dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri lainnya. Namun lagi-lagi dibutuhkan waktu yang cukup lama dan data yang banyak untuk membiasakan kecerdasan buatan ini melakukan analisis terhadap objek seperti tanaman inti, daerah banjir, tanaman liar, blank spot, jalan, dan sebagainya secara otomatis.

Selain dengan menggunakan orthophoto, analisis lain dapat dilakukan dengan menggunakan data DEM yang juga dihasilkan dari olahan data fotogrametri. Digital Elevation Model (DEM) adalah gambaran model relief rupabumi tiga dimensi (3D) yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world) divisualisasikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality. Terdapat tiga jenis data elevasi (ketinggian) yang dapat dijadikan sebagai data dasar analisis, yaitu data CHM (Canopy Height Model), DSM (Digital Surface Model), dan data DTM (Digital Terrain Model). CHM merepresentasikan ketinggian suatu objek dari permukaan bumi. Data ini diperoleh dengan melakukan proses pemotongan data DSM oleh data DTM. DSM merupakan bentuk digital dari permukaan tanah (termasuk objek diatasnya) sedangkan DTM merupakan representasi dari dari permukaan tanah yang tidak mengikutsertakan objek-objek yang berada diatasnya. Nilai tinggi objek yang dihasilkan CHM memungkinkan dilakukannya analisis mengenai apakah suatu tanaman memiliki tinggi rata-rata yang sama dengan tinggi tanaman yang seumuran dengannya yang kemudian data tersebut dapat dijadikan sebagai dasar analisis, apakah suatu tanaman tumbuh dan berkembang sesuai dengan rata-rata pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang seumuran dengannya pada umumnya.

Perbedaan Kenampakan DTM dan DSM
Sumber: gisresources.com

Selain dengan menggunakan orthophoto RGB dan data elevasi seperti DTM, CHM, DSM, analisis mengenai tanaman hutan industri juga dapat dilakukan dengan menggunakan orthophoto hasil dari pengambilan data dengan menggunakan kamera dengan sensor multispektral.

Sumber Referensi :

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/26/203000426/kementerian-pertanian–lahan-sawit-indonesia-capai-14-03-juta-hektare diakses pada 20/10/2019, 15:09 WIB.

https://docplayer.info/47906778-Teknik-digitasi-oleh-edi-sugiarto-s-kom-m-kom.html  diakses pada 20/10/2019, 15:09 WIB.

Purwanto, TH. 2015. “Digital Terrain Modelling,” Univ. Gadjah Mada.

http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/ diakses pada 20/10/2019, 17:02 WIB.

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/48-gulma-dan-cara-menanggulanginya.html  diakses pada 21/10/2019, 08:31 WIB.

Citra Multispektral UAV Untuk Monitoring Kesehatan Vegetasi

Oleh : Rabby Awalludin

Data penginderaan jauh dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan akhir-akhir ini oleh pemerintah maupun swasta di Indonesia. Pemanfaatannya sangat beragam seperti penyedian peta skala rinci dalam mendukung pembangunan pedesaan, pengembangan wilayah perkotaan, perencanaan pembangunan jalan dan bangunan, analisis kepadatan kota, sebaran vegetasi perkotaan, hingga monitoring perkebunan. Data-data tersebut umumnya dapat diperoleh melalui satelit komersial seperti WorldView, GeoEye, IKONOS, dsb. Namun ketersedian data tersebut terkadang tidak sesuai dengan alokasi waktu yang dianggarkan dalam proyek, karena hasil citra sangat bergantung pada kondisi awan dan biasanya delivery order memakan waktu yang cukup lama. Bahkan untuk beberapa daerah terkadang tidak memiliki data citra satelit sama sekali.

Seiring perkembangan teknologi, dengan keberadaan pesawat tanpa awak (UAV) kini kebutuhan akan citra dengan resolusi tinggi dapat dengan mudah terpenuhi. Pesawat tanpa awak yang kini popular dengan sebutan UAV merupakan mesin terbang yang dikendalikan oleh seorang pilot yang berada di permukaan bumi secara manual maupun otomatis.  Terdapat dua variasi kontrol UAV, variasi pertama yaitu dikontrol melalui pengendali jarak jauh dan variasi kedua adalah pesawat yang terbang secara mandiri berdasarkan program yang dimasukan ke dalam pesawat sebelum terbang. UAV memungkinkan terpenuhinya kebutuhan peta foto yang tidak dipotret oleh satelit, serta dapat diambil sesuai dengan waktu-waktu yang diinginkan. Penggunaan UAV memungkinkan tidak terdapatnya isu awan pada peta foto yang dihasilkan, ini tentunya menjadi poin plus yang membuat UAV menjadi lebih populer saat ini.

Sudah menjadi rahasia umum dimana Indonesia merupakan negara agraris dengan luas hutan tanaman industri yang besar. Secara tidak langsung sektor ini juga ikut andil dalam menumpu pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Peningkatan produksi tentu saja menjadi tujuan utama demi memperbesar keuntungan yang diperoleh dari hasil industri.  Peningkatan jumlah produksi ini haruslah berimbang dengan kegiatan perawatan dan monitoring yang dilakukan.  Kegiatan monitoring dan perawatan ini bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman itu sendiri. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, fotogrametri dengan wahana UAV memungkinkan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera multispektral yang mana citra ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan sebagai berikut:

  • Monitoring kesehatan tanaman
  • Penyelidikan kesuburan tanah dengan mengidentifikasi kemunculan hama
  • Penanda awal munculnya titik api
  • Dapat dijadikan pendeteksi praktik pencurian kayu yang dilakukan pada malam hari
  • Pendeteksian korban bencana alam yang sulit dijangkau
  • Mendeteksi panas pada komponen listrik secara lebih rinci, yang dapat meminimalisasi timbulnya kerusakan yang parah

Apa yang dimaksud dengan kamera atau sensor multispektral? Berbeda dengan sensor kamera pada umumnya. Sensor kamera pada umumnya merupakan sensor kamera dengan gelombang cahaya visible yang terdiri dari 3 kanal gelombang cahaya yaitu merah, hijau dan biru. Sedangkan untuk kamera sensor multispektral memiliki kanal tambahan seperti Near InfraRed dan beberapa kanal lainnya.  Hasil citra yang dihasilkan oleh kamera multispektral merupakan sebuah gambar yang memiliki data dengan frekuensi yang sangat detail yang disuguhkan dalam spektrum elektromagnetik. Panjang gelombang elektromagnetiknya dibagi ke dalam beberapa filter dengan menggunakan instrumen yang sensitif dengan panjang gelombang, termasuk frekuensi penglihatan manusia (visible). Frekuensi penglihatan manusia berada pada panjang gelombang 400 hingga 700 nm. Ini menyebabkan manusia hanya dapat melihat dan membedakan warna mulai dari ungu hingga merah. Kamera multispektral memungkinkan manusia untuk menggunakan spektrum cahaya lain yang sangat bermanfaat bagi berbagai macam kebutuhan manusia. Berikut beberapa pembagian kanal gelombang cahaya yang ada pada sensor multispektral:

Kanal Biru

Gelombang ini memiliki panjang energi 450-520 nm yang biasa digunakan untuk pencitraan gambar yang ada di atmosfer dan bawah air dengan tingkat kedalaman hingga 50 meter

Kanal Hijau

Gelombang ini memiliki panjang energi dari 520-600 nm yang biasa digunakan untuk pencitraan gambar agrikultural dan struktur bawah air dengan kedalaman hingga 30 meter

Kanal Merah

Memiliki panjang energi 600-690 nm, yang banyak digunakan untuk pencitraan benda-benda buatan manusia, objek di bawah air dengan kedalam 9 m, pertambangan, dan agrikultural

Kanal Near Infrared (NIR)

Spektrum ini memiliki panjang energi 750-900 nm, banyak digunakan untuk kebutuhan agrikultural.

Kanal Mid Infrared (MIR)

Panjang energi dari gelombang ini adalah 1550-1750 nm, yang banyak diaplikasikan pada kebutuhan agrikultural, tingkat kesuburan tanah, dan upaya pemadaman titik api di hutan

Kanal Far Infrared (FIR)

Memiliki panjang gelombang 2080-2350 nm yang banyak digunakan untuk pengontrolan kesuburan tanah, pertambangan, dan pemadaman titik api di hutan

 Kanal Thermal Infrared

Gelombang ini memiliki panjang energi 10400-125000 nm, banyak digunakan untuk kebutuhan pertambangan, upaya pemadaman titik api di hutan, dan penelitian di malam hari.

Beberapa kamera dengan sensor multispektral yang biasa digunakan pada survey fotogrametri adalah sebagai berikut:

  1. Parot Sequoia, merupakan kamera multispektral pertama yang memberikan pengukuran reflektansi absolut tanpa perlu menggunakan target kalibrasi radiometrik. Berkat pipeline pemrosesan radiometrik Pix4D yang baru, Parrot Sequoia + memungkinkan evaluasi yang lebih konsisten terhadap data yang dikumpulkan dan meningkatkan pengalaman pengguna dengan menghilangkan kebutuhan akan target kalibrasi radiometrik. Berat 135gr.
  2. RedEdge, menyediakan banyak pilihan untuk integrasi dari yang berdiri sendiri (di mana Anda hanya menyediakan daya ke kamera) untuk sepenuhnya terintegrasi. Integrasi lanjutan memanfaatkan antarmuka fleksibel termasuk pemicu Ethernet, serial, RTK, dan PWM / GPIO, untuk integrasi yang mulus dengan drone apa pun. Berat 170gr.
(a) Parot Sequioa, (b) Micrasense RedEdge
Sumber: fulldronesolutions.com

Beberapa kanal yang ada kamera multispektral Micasense RedEdge dan tampilan raw data foto yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Terlihat cukup jelas pada contoh-contoh citra pada tabel diatas. Kenampakan abu-abu pada objek pohon terdapat pada citra dengan kanal hijau, NIR dan RedEdge yang menandakan bahwa berkas sinar ketiganya dipantulkan sebagian oleh vegetasi pohon tersebut. Pada kanal merah dan biru, kenampakan objek vegetasi pohon berwarna hitam gelap yang mengindikasikan bahwa berkas sinar pada kanal ini terserap (terabsorbsi) dengan baik oleh vegetasi pohon.

Seperti yang dibahas sebelumnya, hasil dari kamera dengan sensor multispektral dapat digunakan sebagai dasar analisis dari monitoring kesehatan vegetasi (tanaman hijau). Penggunaan kanal untuk keperluan analisis ini biasanya adalah kanal hijau, merah, biru dan Near Infrared (NIR). Kamera digital yang umum saat ini ditengah masyarakat merupakan kamera yang bekerja pada kanal visible (biru, hijau, dan merah) dengan hasilnya merupakan citra seperti yang terlihat oleh mata normal manusia. Kemudian ditambahkan kanal baru yang peka terhadap zat hijau daun yaitu kanal NIR.  Penambahan ini dilakukan agar dapat dengan mudah melakukan analisis terhadap tingkat kehijauan vegetasi atau tanaman hijau pada hasil citra.

Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi (tanaman) dipengaruhi oleh kandungan pigmen daun, material organik, air, dan karakteristik struktural daun seperti bentuk dan luas daun (Huete and Glenn, 2011). Spektral merupakan interaksi antara energi elektromagnetik (EM) dengan suatu objek. Objek dimuka bumi memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya sehingga kemampuan dalam memantulkan cahayanya pun berbeda.  Berdasarkan karakteristik pantulan spektralnya, dapat dibagi dua, yaitu spektrum tampak (visible spektrum) dan spektrum NIR. 

Kurva Reflektansi
Sumber: raharjabayu.wordpress.com

Berdasarkan kurva diatas, kanal merah dan biru lebih banyak terserap dari pada dipantulkan pada objek vegetasi sehingga kurang baik jika digunakan sebagai analisis vegetasi. Berbanding terbalik dengan kanal NIR yang pada tanaman hijau lebih banyak dipantulkan daripada diserap, terlihat dari nilai reflektan yang besar. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai reflektan dari kanal NIR suatu objek tanaman hijau, maka semakin sehat tanaman hijau tersebut.

Identifikasi kesehatan tanaman hijau tidak cukup hanya dengan menggunakan citra hasil dari kamera multispektral. Terdapat suatu metode lanjutan lain yang menggunakan citra multispektral sebagai data dasar dalam analisisnya. Metode tersebut adalah Normalized Difference Vegetation Index atau yang lebih populer dengan sebutan NDVI. 

Sumber Referensi:

https://www.fulldronesolutions.com diakses pada 17/10/2019 pukul 09:30 WIB

http://jogjasky.com/kamera-multispectral/ diakses pada 17/10/2019 pukul 09:50 WIB

Uktoro I. Arief. 2017. Jurnal Agroteknose. Volume VIII No. II Tahun 2017 ANALISIS CITRA DRONE UNTUK MONITORING KESEHATAN TANAMAN KELAPA SAWIT

http://raharjabayu.wordpress.com diakses pada 17/10/2019 pukul 11:10 WIB


GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD)

Oleh : Tike Aprillia Hartini

Pemanfaatan foto udara dan citra satelit telah banyak digunakan dalam berbagai kepentingan, seperti pemetaan, perencanaan wilayah dan kota, kebencanaan, serta kehutanan. Dalam pemanfaatannya foto udara atau citra satelit akan menghasilkan kualitas data yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Dalam proses perencanaan suatu wilayah yang detail dibutuhkan kualitas foto udara atau citra satelit yang sangat baik agar objek-objek pada foto udara atau citra satelit terlihat jelas dan tajam. Di sisi lain pengguna tidak memerlukan foto udara atau citra satelit yang memiliki kualitas yang sangat baik, jika foto udara atau citra satelit hanya digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan. Dengan kata lain, kualitas foto udara atau citra satelit perlu disesuaikan dengan kebutuhan penggunaannya.

Kualitas foto udara atau citra satelit akan mempengaruhi tinggi terbang dan lamanya pengambilan data. Dalam foto udara dikenal istilah ground sampling distance (GSD), sedangkan dalam citra satelit dikenal istilah resolusi spasial untuk mengetahui kualitas data foto udara atau citra satelit yang diambil. Oleh karena itu, perlu dipahami apa itu GSD dan resolusi spasial agar pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Dari penjelasan diatas, muncullah beberapa pertanyaan, Apa itu GSD dan resolusi spasial? Bagaimana hubungan GSD dan tinggi terbang? Bagaimana hubungan GSD/resolusi spasial dan skala yang dihasilkan?

GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD) DAN RESOLUSI SPASIAL

Ground Sampling Distance (GSD) adalah atau merupakan ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. GSD dan resolusi spasial memiliki pengertian yang sama. Biasanya dalam foto udara digunakan istilah GSD, sedangkan pada citra satelit digunakan istilah resolusi spasial. GSD atau resolusi spasial menentukan kualitas foto udara atau citra satelit yang dihasilkan. GSD atau resolusi spasial merupakan rasio antara nilai ukuran foto udara atau citra satelit dengan nilai ukuran sebenarnya. Nilai GSD 5 cm/piksel menyatakan bahwa satu piksel pada foto udara sama dengan 5 cm pada ukuran sebenarnya.

Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang. Apabila pengguna ingin mendapatkan hasil foto udara yang jelas dan detail, maka nilai GSD yang digunakan harus kecil.

Ilustrasi Perbedaan Nilai GSD Terhadap Foto Udara Yang Dihasilkan
Sumber: Hasil Olahan

Menurut Sandau (2010), GSD dibagi menjadi dua sesuai dengan arah terbang yaitu GSDx dan GSDy. GSDx merupakan nilai GSD yang searah dengan jalur terbang. Sedangkan GSDy merupakan nilai GSD yang berlawanan dengan arah jalur terbang. Hubungan GSD dengan arah terbang dan tinggi terbang diilustrasikan pada gambar berikut :

Ilustrasi Hubungan GSD Dengan Arah dan Tinggi Terbang
Sumber: Sandau. 2010

Untuk menghitung kedua GSD dapat digunakan rumus sebagai berikut (Sandau, 2010):

dan

dimana:

GSDx       : nilai GSD searah arah terbang,

GSDy       : nilai GSD berlawanan arah terbang,

px             : ukuran resolusi pixel searah jalur terbang,

py             : ukuran resolusi pixel berlawanan arah jalur terbang,

h               : tinggi terbang,

f                : focus lensa kamera.

HUBUNGAN GSD DAN TINGGI TERBANG

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa besarnya GSD ditentukan oleh ketinggian terbang pada saat proses akuisisi data foto udara, sehingga pemotretan harus dilakukan pada ketinggian yang tepat untuk mendapatkan GSD yang diharapkan. Berikut adalah hubungan antara GSD dengan tinggi terbang :

Dari rumus diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai GSD, maka tinggi terbang harus semakin rendah. Untuk mendapatkan kualitas foto udara yang baik, maka wahana foto udara harus terbang lebih rendah. Hal ini berdampak pada cakupan area yang diakuisisi, sehingga dalam sekali terbang area yang diakuisisi menjadi lebih sedikit dan waktu akuisisi data menjadi lebih lama.

Ilustrasi Tinggi Terbang dan Cakupan Area Yang Diakuisisi

Ketika melakukan pengambilan data dengan ketinggian konstan, terkadang setiap foto tidak memiliki GSD yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan ketinggian medan dan perubahan sudut kamera saat memotret. Namun pada saat melakukan proses orthomosaic, GSD dari setiap foto akan dihitung dan dirata-ratakan. Sehingga, nilai GSD pada orthomosaic merupakan nilai rata-rata dari setiap foto yang diambil. Orthomosaic merupakan gabungan dari seluruh foto yang telah ditegakkan.

HUBUNGAN GSD/RESOLUSI SPASIAL DAN SKALA

GSD berkaitan dengan kedetailan objek-objek yang diambil pada foto udara. Sehingga apabila foto udara akan didigitasi maka kedetailan objek pada foto udara harus disesuaikan dengan skala peta yang diinginkan. Mr. Tobler, seorang professor pada bidang Geografi dari Universitas California-Santa Barbara, Amerika, menyatakan rumusan kesepadanan antara foto udara atau citra satelit dengan skala peta. Aturan kesepadanan skala peta dan resolusi spasial citra dari Tobler ini adalah “bagi bilangan penyebut skala peta dengan 1000 (penggunaan angka 1000 dimaksudkan agar terdeteksi dalam satuan meter) maka resolusi citra yang sepadan adalah setengah dari hasil pembagian tersebut”.

Sebagai contoh, jika dibutuhkan skala peta 1:1000, maka GSD yang diperlukan adalah 0.5 m. Nilai ini didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:

Jika nilai GSD yang diperlukan telah diketahui, maka tinggi terbang dapat ditentukan berdasarkan nilai GSD yang diperlukan.

Dari penjelasan diatas, sebelum melakukan pengambilan foto udara sangatlah penting untuk mengetahui kebutuhan penggunaannya. Sehingga akuisisi data dapat dilakukan dengan lebih efisien. Penentuan GSD, skala peta yang diinginkan, tinggi terbang, dan lamanya pengambilan data harus diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Jadi, apakah ada faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai GSD, menurut Anda?

DAFTAR REFERENSI:

Sandau, Rainer. 2010. Digital Airborne Camera, Introduction and Technology.

Suwargana, Nana. 2013. Resolusi Spasial, Temporal, dan Spektral Pada Citra Satelit Landsat, Spot, dan Ikonos. Jurnal Ilmial WIDYA.

https://support.pix4d.com/hc/en-us/articles/202559809-Ground-sampling-distance-GSD, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.

http://aerogeosurvey.com/2016/09/19/apa-itu-ground-sampling-distance-gsd-atau-resolusi-spasial/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.


Konsolidasi Lahan: Solusi Keterbatasan Tanah untuk Permukiman di Perkotaan

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Keterbatasan lahan di perkotaan selalu menjadi alasan atas lambatnya pergerakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas perumahan. Larisnya tanah untuk pembangunan di kota-kota besar di Indonesia, selain meyebabkan kelangkaan juga menjadikan harga tanah semakin meroket sehingga daya beli masyarakat atas tanah menurun. Padahal fenomena pertumbuhan penduduk dan proses urbanisasi terus terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan atas perumahan. Permintaan tersebut tentu saja menuntut ketersediaan lahan dalam jumlah yang masif.

Jika dibiarkan, persoalan terkait keterbatasan lahan akan memiliki dampak yang berlarut-larut seperti munculnya permukiman kumuh di kawasan ilegal dan semakin melebarnya fenomena urban sparwl di sekitar kawasan perkotaan. Untuk itu dibutuhkan alternatif solusi yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi lahan yang sudah tersedia agar dapat dimanfaatkan sebagai pembangunan perumahan di kawasan perkotaan. Salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan adalah konsep konsolidasi lahan untuk permukiman.

Popularitas konsep konsolidasi lahan untuk mengatasi permasalahan perumahan mungkin belum begitu terdengar. Hal tersebut dapat disebabkan oleh panjangnya proses dan rumitnya birokrasi dalam eksekusi konsolidasi lahan serta kecenderungan pengimplementasian konsep tersebut dalam bidang pertanian saja. Untuk itu mari kita simak ulasan mengenai konsolidasi lahan untuk pengembangan perumahan di kota besar!

Konsolidasi Lahan Secara Umum

Apa itu konsolidasi lahan? Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Menurut Archer(1994), konsolidasi lahan perkotaan merupakan teknik pengembangan tanah yang digunakan di berbagai negara untuk mengelola dan memfasilitasi proses urbanisasi dari sebuah area di pinggiran kota, dimana sekelompok persil tanah dikonsolidasikan untuk disatukan, diberikan pelayanan dan dibagi menjadi tata letak jalan, ruang terbuka dan plot bangunan, melalui penjualan beberapa plot untuk pemulihan biaya (pentaan ulang) dan distribusi plot lainnya untuk tetap menjadi milik tuan tanah. Konsolidasi lahan juga dikenal sebagai teknik mengkonversikan area pedesaan menjadi area perkotaan dimana sekelompok masyarakat pemilik tanah digabungan dalam kelompok kemitraan (bersifat wajib) untuk sebuah keterpaduan rencana, pelayanan dan pembagian dari lahan yang mereka miliki dimana skema pembiayaan dan pengembalian manfaat dibagi rata antara para pemilik tanah. Setiap pemilik tanah akan mengkontribusikan sepetak tanahnya dan akan menerima kembali kontribusinya dalam bentuk plot bangunan dengan luas lahan yang berkurang dari sebelumnya. Namun demikian, nilai pasar dari tanah tersebut tetap meningkat sehingga memberikan laba bersih yang signifikan. Adapun pengaturan bidang tanah yang dilakukan dalam proses konsolidasi dapat berupa pergeseran letak, penggabungan, pemecahan, pertukaran, penataan letak, dan penghapusan atau pengubahan.

Untuk lebih memahami definisi konsolidasi lahan dalam pembangunan, berikut ilustrasi perbedaan antara pengembangan alami, pengembangan parsial dan pengembangan melalui konsolidasi lahan:

Perbedaan Konsolidasi Lahan dengan Pembangunan Jenis Lainnya
Sumber: Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian
Praktik Konsolidasi Lahan
Sumber: Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian

Konsolidasi lahan juga disebut sebagai teknik multi fungsi yang beperan untuk:

  • Menyusun persil tanah yang tersebar menjadi lokasi proyek yang lebih besar demi terciptanya keselarasan dalam desain, pelayanan dan pembagian wilayah
  • Memfasilitasi akuisisi lahan oleh pemerintah untuk pembangunan jalan umum dan fasilitanya dengan tidak membebankan pemerintah
  • Membangunan jaringan infrastruktur on-site yang tidak membebankan pemerintah
  • Mengimplementasian rencana pola ruang kawasan perkotaan
  • Mewujudkan efisiensi lahan
  • Membagi biaya dan manfaat (cost and benefit) dari pembangunan lahan secara merata antara para pemilik tanah di lokasi proyek
  • Mewujudkan daerah pinggir kota yang lebih ‘matang’ untuk pembangunan
  • Meminimalisir kemungkinan adanya hambatan pada proyek pekerjaan infrastruktur kota

Adapun yang menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan konsolidasi lahan adalah pengaturan kembali letak persil dan sumbangan tanah; keseimbangan pembiayaan antara peningkatan nilai dan dan sumbangan lahan untuk pembangunan; pengamanan/penguatan hak atas tanah; membangun tanpa menggusur; dan partisipasi peserta konsolidasi lahan (masyarakat).

Manfaat Konsolidasi Lahan

Praktik konsolidasi lahan memiliki banyak keunggulan, diantaranya adalah status penguasaan lahan akan menjadi sebuah keberpastian hukum. Hal tersebut dikarenakan produk akhir dari konsolidasi lahan perkotaan di Indonesia adalah sertipikat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan atas tanah yang paling kuat. Melalui konsolidasi lahan perkotaan, diharapkan kondisi keruangan juga akan menjadi lebih teratur dan efisien karena akan melalui proses pemetaan, penataan, yang pembangunan ulang sehingga lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, seimbang dan lestari. Para pelaku konsolidasi lahan juga akan memiliki lingkungan tempat tinggal dengan kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik setelah diadakannya penataan pada proses konsolidasi tersebut.

Selain itu para peserta praktik konsolidasi lahan juga akan merasakan manfaat dalam hal peningkatan nilai tanah. Hal ini dapat terjadi apabila pengembangan yang dilakukan setelah proses konsolidasi berupa pengembangan lahan secara vertikal. Secara otomatis, pemilik lahan akan mendapatkan keuntungan dari penambahan jumlah lantai. Sebagai contoh, sebelum terjadinya konsolidasi lahan A di sebuah kawasan di Bekasi memiliki luas sekitar 200 m2. Setelah terjadinya konsolidasi, pemilik lahan A harus kehilangan sekitar 50m2 dari luas total lahan yang ia miliki sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP). Namun ia berkesempatan menambah jumlah lantai sesuai dengan ketentuan regulasi penataan ruang. Kini ia memiliki aset sebuah bangunan yang memiliki 3 tingkatan lantai. Kemudian ia berniat untuk menyewakan 2 lantai yang ia miliki sebagai upaya penyediaan rumah sewa bagi masyarakat perkotaan. Ia akan mendapatkan pemasukan baru dari peningkatan nilai tanah setelah terjadinya konsolidasi lahan. Untuk lebih jelasnya dapat melihat ilustrasi di bawah ini:

Ilustrasi Manfaat Konsolidasi Lahan dalam Peningkatan Nilai Lahan
Sumber: Bahan Tayang Konsolidasi Tanah dalam Menunjang Pembangunan Desa, 2017

Menurut Raharjanto (2008), yang menjadi keunggulan dari konsep konsolidasi lahan perkotaan adalah:

  • Merupakan metode pembangunan tanah perkotaan yang sekaligus menata kembali penguasaan dan penggunaan tanah;
  • Mampu mengatasi kelemahan metode pengadaan tanah secara konvensional seperti pembebasan tanah; dan
  • Merupakan kegiatan yang mewujudkan dan mengimplementasikan rencana tata ruang di suatu daerah

Praktik konsolidasi lahan juga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan praktik akuisisi lahan untuk pembangunan fasilitas perkotaan (Agrawal, 1990), di antaranya:

  • Dapat dilakukan pengembalian modal melalui pemanfaatan lahan (yang dialokasikan sebagai fasilitas publik) sebagai fungsi komersil;
  • Tidak seperti pengembangan lahan untuk fasilitas publik lainnya, lahan yang digarap dapat dikembangkan seefisien mungkin;
  • Tidak ada penggusuran penduduk eksisting;
  • Pemberian sertifikat hak atas tanah; dan
  • Meredakan ketegangan sosial terkait dengan permasalahan pertanahan di perkotaan.

Konsolidasi Lahan untuk Permukiman di Indonesia

Pada umumnya, praktik implementasi konsolidasi lahan pada kota-kota besar di Indonesia masih sebatas pembangunan infrastruktur publik seperti pembangunan jalan dan ruang hijau. Belum banyak praktik konsolidasi yang bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan lahan sebagai upaya penyediaan ruang untuk permukiman. Namun pada akhir tahun 2018, konsep konsolidasi lahan sudah mulai dilirik untuk mensiasati membludaknya permintaan atas perumahan di tengah defisitnya persediaan tanah di perkotaan. Hal tersebut dicetuskan oleh Kementerian  ATR/BPN yang mendukung penyediaan perumahan melalui konsolidasi lahan vertikal.

Untuk mempersiapkan hal tersebut, banyak hal yang harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder yang relevan. Pemerintah (pusat maupun daerah), akademisi, praktisi, swasta dan masyarakat memiliki fungsi yang sama pentingnya sehingga dibutuhkan kolaborasi yang matang untuk keberhasilan eksekusi proyek konsolidasi lahan. Selain itu, untuk memulai konsolidasi lahan secara vertikal, diperlukan pengaturan zonasi yang lebih detail mengingat terdapatnya potensi perubahan fungsi  lahan dari perumahan menjadi campuran atau mixed-use.  Perlu diantisipasi juga permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan konsolidasi lahan seperti proses ekseskusi yang memakan waktu yang cukup lama; ketersediaan dana yang besar; rumitnya proses birokasi yang melibatkan banyak pihak; potensi munculnya spekulan tanah; kurangnya pengetahuan para stakeholder terkait manfaat konsolidasi lahan; penentuan hak dan kewajiban masyarakat serta ketersediaan permukiman sementara ketika proses konsolidasi berlangsung.

Daftar Pustaka

Raharjanto, A.D. 2008. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Secara Swadaya Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Archer R.W. 1994. Urban Land Consolidation for Metropolitan Jakarta Expansion, 1990-2010. Asian Institute of Technology, Bangkok.

Agrawal, P. 1999. Urban Land Consolidation: a Review of Policy and Procedures in Indonesia and Other Asian Countries. GeoJournal.

Surat Edaran Kepalan Badan Pertanahan Nasional Perihal Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah (7 Desember 1991)

Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian. Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional https://www.atrbpn.go.id/Layanan-Publik/APLIKASI-SENTUH-TANAHKU/kementerian-atrbpn-dukung-penyediaan-perumahan-melalui-konsolidasi-tanah-vertikal-76731

Migrasi: Hal Lumrah Perkotaan yang Harus Diantisipasi

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Migrasi adalah perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan tujuan menetap merupakan konsep sederhana yang sudah dikenalkan kepada kita sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Berbicara tentang migrasi, tentu lekat kaitannya dengan proses urbanisasi dimana masyarakat desa merantau dan menetap di kawasan perkotaan dalam rangka mencicipi segala keistimewaan yang dihidangkan. Pada kenyataannya, proses migrasi ke kawasan kota tidaklah sesederhana itu. Banyak yang harus disiapkan dan dipertimbangkan, baik oleh pelaku maupun pemangku kebijakan, demi terselenggaranya proses migrasi yang dapat mengakomodir kebutuhan dan tidak memberatkan posisi seluruh pihak yang relevan. Pada tahun 2017, World Economic Forum mempublikasikan laporannya yang berjudul Migration and Its Impacts on Cities. Selain mendefinisikan dampak dan tantangan pada proses migrasi, laporan ini juga menyuguhkan beberapa studi kasus migrasi di kota-kota besar di dunia sebagai referensi. Tertarik untuk mengetahui lebih dalam? Simak ulasannya di bawah ini!

Definisi, Tipologi dan Faktor Penyebab Migrasi

Menurut Ban Ki-Moon, sekretaris jenderal PBB tahun 2007-2016, migrasi adalah sebuah ekspresi dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, lebih bergengsi, dan lebih aman. Migrasi adalah sebuah fenomena global yang terjadi baik di dalam negeri maupun terjadi secara internasional. Tercatat setidaknya terdapat sekitar 244 juta pelaku migrasi internasional (UN DESA, 2016) dan sekitar 763 juta migran nasional (UN DESA, 2013). Proses migrasi menuju global cities terus meningkat seiring dengan fakta bahwa 1/3 penduduk dari kota-kota seperti Sydney, London dan New York adalah penduduk migran. Migrasi sendiri tergolong ke dalam beberapa jenis kategori yang berbeda-beda. Yang pertama adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan lingkup perpindahannya (batas politis) apakah antar provinsi, antar pulau, atau antar negara. Yang kedua migrasi yang diklasifikasi berdasarkan pola pergerakannya. Yang ketiga adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan jenis pengambilan keputusan oleh para migran, apakah secara sukarela maupun tidak sukarela. Untuk memudahkan proses pemahaman, dapat dilihat infografis di bawah ini:

Jenis Migrasi Berdasarkan Karakteristiknya
Sumber: Diolah dari UN DESA, 2016

Setelah mengetahui jenis-jenis migrasi, penting rasanya untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang menstimulus pergerakan para pelaku migrasi. Menurut laporan dari World Economic Forum, terdapat tiga jenis faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, faktor sosio-politik, dan faktor ekologikal. Dari masing-masing faktor tersebut, terdapat unsur pendorong (push) atau faktor yang membuat para migran untuk melakukan perpindahan dari tempat asal dan unsur penarik (pull) yang membuat para migran tertarik untuk melakukan perpindahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel perbandingan di bawah ini:

Faktor-Faktor Penyebab Migrasi

Sumber: Migration and Its Impacts on Cities Report, 2017

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor yang memungkinkan terjadinya migrasi. Pemerintah selaku pemangku kebijakan, baik pemerintah dari daerah asal maupun pemerintah dari daerah tujuan, harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis faktor penyebab migrasi dan unsur pendorong serta penariknya. Informasi terkait hal tersebut dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk para migran dan daerahnya.

Dampak Migrasi Terhadap Perkotaan

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kawasan perkotaan menjadi tempat favorit para migran untuk melakukan perpindahan. Kendati demikian, masih sedikit pembahasan mengenai dampak migrasi terhadap perkotaan itu sendiri. Padahal, migrasi memiliki dampak yang terasa jelas di beberapa sektor penopang aktivitas perkotaan seperti sektor perumahan, transportasi, utilitas dan fasilitas umum kota.

Dari sektor perumahan, konsumsi rumah oleh para migran memberikan beban tersendiri terhadap pasar tanah dan rumah untuk para masyarakat kota. Terdapatnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara migran dan masyarakat eksisting sering kali membuat masyarakat eksisting enggan untuk tinggal di lingkungan yang sama dengan para migran. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan di sektor perumahan haruslah sadar dan berinovasi agar keberadaan rumah kaum migran tetap dapat menjadikan sebuah kota sebagai tempat yang menarik, kompetitif dan berkelanjutan. Sedangkan dari sektor transportasi, pergerakan para migran tentu akan mempengaruhi tingkat kepadatan jalan dan persebaran populasi. Para migran yang bergantung pada moda transportasi publik untuk berpindah tentu akan meningkatkan permintaan pasar. Sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau memiliki peran yang penting dalam menentukan apakah para migran dapat terintegrasi dengan baik atau tidak dengan lingkungan baru mereka. Hendaknya fakta tersebut selalu dijadikan pertimbangan dalam menentukan harga dan kelengkapan fasilitas dari sistem transportasi publik perkotaan.

Selanjutnya, bukanlah hal yang baru bahwa permintaan atas utilitas dan fasilitas umum oleh masyarakat marginal kota kerap menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Situasi dapat menjadi lebih buruk dengan keberadaan para migran yang berpotensi mengakibatkan peningkatan konsumsi juga kebutuhan atas jaringan-jaringan utilitas dan fasilitas tersebut. Bila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas, maka keberadaan para migran dapat mempersulit pemerintah untuk menciptakan kota yang layak bagi masyarakatnya. Pemerintah hendaknya juga mengikutsertakan para migran untuk berkontribusi dalam proses pembangunan di berbagai bidang untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan terintegrasi.

Namun demikian di samping dampak negatif yang dihasilkan oleh proses migrasi,terdapat pula dampak positif setelah para migran melakukan perpindahan. Sebagai contoh di sektor ekonomi, kehadiran para migran akan memperkecil kesenjangan skill yang dimiliki oleh masyarakat kota. Kota juga akan dipenuhi oleh tenaga kerja berupah rendah sehingga meningkatkan kesempatan untuk berinvestasi bagi para investor. Sedangkan di sektor sosial, proses migrasi dapat meningkatkan toleransi antara etnis, budaya dan agama yang terdapat di dalam kehidupan bermasyarakat.

Migrasi di Abad 21

Salah satu contoh arus migrasi yang terjadi di abad ke-21 adalah migrasi yang dilakukan oleh masyarakat dari negara-negara Arab Spring menuju negara lainnya di Eropa. Arab Spring sendiri merupakan serangkaian protes pro-demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara. Arab Spring dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim pemerintahan Arab yang dinilai bersifat layaknya diktator, kemarahan atas brutalnya aparat keamanan, tingginya angka pengangguran, naiknya harga bahan, tindak-tindak korupsi dan banyaknya praktik-praktik privatisasi aset negara. Gerakan ini terjadi pada awal tahun 2011 yang dipelopori oleh beberapa negara seperti Tunisia, Maroko, Syria, Libya, Mesir dan Bahrain.

Gerakan Arab Spring ini memberikan berbagai dampak, baik negatif maupun positif bagi kota-kota tujuan migrasi di Eropa. Dari segi politik dampak yang dirasakan adalah banyaknya tekanan, perpecahan politik, perselisihan dan ketidaksepakatan terkait cara penanganan arus migrasi yang terjadi di antara negara-negara di Eropa. Saat ini sudah terdapat banyak gerakan anti-migrasi yang terlihat dari banyaknya partai politik yang menentang datangnya para migran. Dari segi ekonomi, kedatangan para migran Arab Spring menjadikan beban tersendiri bagi negara-negara di Eropa dalam penyediaan stok perumahan, layanan pendidikan, layanan sosial, lapangan kerja yang juga mempengaruhi stabilitas politik dan situasi ekonomi. Dari segi sosial, kedatangan para migran yang berasal dari kultur yang berbeda dianggap dapat menyebabkan krisis identitas dan juga mengancam keamanan orang Eropa.  

Di sisi lain, pergerakan masyarakat Arab Spring memberikan beberapa dampak positif di bidang konstruksi yang secara tidak langsung juga memberikan manfaat pada perekonomian negara-negara di Eropa. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi pernyataan tersebut salah satunya adalah para migran dianggap sebagai tenaga kerja siap pakai di bidang konstruksi. Selain itu, Migran Arab Spring juga meningkatkan penjualan rumah dan daya beli masyarakat terhadap properti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Labanca (2016), diketahui bahwa peningkatan atas permintaan industri konstruksi di negara-negara Eropa juga disebabkan oleh tingginya permintaan atas perumahan oleh masyarakat Arab yang melakukan migrasi ke negara-negara tersebut. Kebutuhan masyarakat Arab Spring terhadap layanan pendidikan juga memberikan dampak positif yakni meningkatnya lapangan pekerjaan di bidang pendidikan pada negara-negara Eropa yang dijadikan tujuan migrasi. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh d’Albis (2018), diketahui bahwa migran permanen yang menetap di negara-negara di Eropa dapat meningkatkan PDB per-kapita diikuti dengan menurunnya tingkat pengangguran.

Kota-Kota dengan Tantangan Migrasi dan Solusinya

Kota-kota besar di dunia sudah mengalami dan menghadapi tantangan migrasi sejak puluhan tahun yang lalu. Telah banyak pula solusi-solusi berupa kebijakan maupun program yang sudah dikeluarkan. Berikut adalah contoh-contoh kota dengan tantangan migrasi beserta solusinya:

Kota-Kota di Dunia dan Tantangan Migrasi
Sumber: Migration and Its Impacts on Cities Report, 2017

Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa migrasi merupakan sebuah proses yang tidak mungkin dihindari dan sebagian besar terjadi di kawasan perkotaan. Walaupun prosesnya terkadang terkesan alamiah, ternyata migrasi menyisakan tantangan yang harus dihadapi secara bijaksana. Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pengambil keputusan hendaknya mempertimbangkan keberadaan para migran yang hadir di tengah-tengah masyarakatnya dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Produk kebijakan yang dihasilkan hendaknya menciptakan sebuah kota yang inklusif dan dapat menjadi tempat bernaung bagi para migran tanpa adanya gesekan sosial di dalamnya. Beberapa kota seperti Calgary, Dubai, dan Rotterdam hingga saat ini terus bergelut untuk menjawab tantangan-tantangan yang muncul akibat proses migrasi. Bagaimana dengan kota-kota besar di Indonesia? Apakah proses migrasi yang terjadi di Indonesia juga menghasilkan tantangan yang harus segera ditangani? 

Daftar Pustaka

Salameh, MTB. 2019. Migration From the Arab Spring Countries to Europe: Causes and Consequences. Yarmouk University-Irbid-Jordan. 

Labanca, C. 2016. The Effects of a Temporary Migration Shock: Evidence from the Arab Spring Migration towards Italy. University of California

World Economic Forum. 2017. Migration and Its Impacts on Cities Report. 

https://news.cnrs.fr/articles/the-beneficial-effect-of-migration-on-the-economy

Kota Sebagai Destinasi Wisata, Apa yang Harus Diperhatikan?

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pada tahun 2019, Mastercard telah mempublikasikan laporan tahunan mereka mengenai Global Destination Cities Index yang dilakukan dengan melacak keberadaan pengunjung dan kebiasaan mereka dalam berbelanja saat bepergian secara global. Studi tersebut menunjukan bahwa jumlah pengunjung yang melakukan perjalanan ke kota atau negara lain meningkat sekitar 6,5% dari tahun ke tahun sejak 2009, dengan jumlah pengeluaran belanja yang tumbuh hingga 7,4%. Laporan tersebut juga secara rinci menyebutkan kota-kota yang menjadi top destinations para turis. Bangkok, menjadi kota yang menduduki peringkat pertama sebagai kota tujuan wisata terfavorit di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung pertahun mencapai 22,78 jut . Kemudian Paris dan London menyusul di peringkat dua dan tiga. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Kota Sebagai  Destinasi Terfavorit Para Turis Internasional
Sumber: Global Destination Cities Index, 2019

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam peringkat 20 besar. Padahal, beberapa kota lain di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, Seoul serta Phuket dan Pattaya dapat menduduki peringkat yang lebih tinggi. Lantas, bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia? Kira-kira faktor apa saja yang harus diperhatikan agar kota-kota di Indonesia dapat lebih berdaya saing serta menarik perhatian wisatawan mancanegara?

Pariwisata Kota

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota dikenal sebagai ‘mesin perekonomian’ dimana modal ekonomi dan sosial terkonsentrasi. Setiap kota akan saling berkompetisi dalam banyak hal demi meningkatkan eksistensinya di mata dunia. Upaya berkompetisi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai bidang pembangunan, salah satunya melalui pengembangan kegiatan pariwisata kota. Pariwisata kota sudah mulai berkembang pada beberapa dekade belakangan ini. Pariwisata kota juga merupakan salah satu sektor pendapatan negara, yang apabila dikelola dengan baik, dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Jadi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan pariwisata kota?

Mungkin pertanyaan di atas terdengar sederhana, namun apabila direnungkan lebih dalam, pariwisata kota memiliki makna dan rumit dan masih belum memiliki definisi yang pasti hingga kini. Menurut National Conference on Urban Tourism pada tahun 1988, pariwisata kota didefinisikan sebagai kumpulan sumberdaya atau aktivitas yang berlokasi di kawasan perkotaan dan menyediakan segenap hiburan, aktivitas bisnis atau lain sebagainya bagi pengunjung yang datang.  Sementara Rodica (2005) mendeskripsikan pariwisata kota sebagai hiburan di kawasan perkotaan, dimana masyarakat bisa mengunjunginya atau melakukan beragam aktivitas seperti berkunjung ke kerabat, bertemu dengan teman, menonton pertunjukan, pameran, berbelanja dan lain sebagainya. Setelah menelaah definsi sederhana mengenai pariwisata kota di atas, lantas elemen dan komponen apa saja yang membentuk sebuah pariwisata kota?

Elemen dan komponen dari pariwisata kota dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu elemen primer dan elemen sekunder (Law, 2002). Elemen primer berkaitan dengan perpaduan daya tarik yang dirasa unik dan menjadi motivasi bagi para turis untuk melakukan pergerakan wisata ke kawasan perkotaan. Sedangkan elemen sekunder menggambarkan fasilitas perkotaan yang mendukung dan melengkapi pengalaman wisata para turis. Elemen tersebut sangatlah krusial keberadaannya demi terciptanya produk pariwisata yang memuaskan pengunjung. Adapun elemen pariwisata kota yang lebih detail dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Elemen Pariwisata Kota
Sumber: Law, 2002

Kelengkapan elemen pariwisata tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pendapatan kota apabila tidak didukung dengan peningkatan daya saing pariwisata kota itu sendiri.  Para ahli perkotaan dan pariwisata melihat bahwa peningkatan daya saing pariwisata kota (city tourism competitiveness) adalah hal yang penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Daya saing pariwisata kota kerap diasosiasikan sebagai kemampuan sebuah kota untuk menyediakan jasa wisata kepada turis dengan kondisi yang lebih baik dari kota-kota lainnya (Cibinskiene et.al, 2015).

Untuk dapat memaksimalkan manfaat yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata kota, maka seluruh stakeholder, khususnya pemerintah perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam meningkatkan daya saing. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan daya saing pariwisata perkotaan:

Faktor Eksternal dan Internal yang Mempengaruhi Daya Saing Pariwisata Kota
Sumber: diolah dari Cibinskiene et.al, 2015

Pembenahan di bidang eksternal maupun internal merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Diperlukan studi yang mendalam untuk mengetahui potensi wisata yang kita miliki dan mengetahui bagaimana cara memanfaatkannya hingga kota-kota di Indonesia bisa bersaing dengan kota-kota lain.

Best Practice Pariwisata Kota: Bangkok, Thailand

Sejak beberapa tahun belakangan ini, Bangkok kerap bersaing dengan London dan Paris untuk menduduki posisi teratas sebagai kota dengan jumlah pengunjung wisata paling banyak di dunia. Konsistensi tersebut seakan membuat kita bertanya-tanya, ada daya tarik apa sebenarnya di Bangkok? Mengapa Bangkok begitu populer, padahal ia disebut-sebut memiliki karakteristik perkotaan yang mirip dengan Jakarta?

Alasan pertama adalah Bangkok memiliki beragam moda transportasi yang mudah diakses oleh wisatawan untuk menuju destinasi-destinasi populernya. Ibukota negara Thailand tersebut memiliki The Bangkok Mass Transit System (BTS) atau sering disebut juga dengan Skytrain. Bangkok juga dilengkapi dengan moda transportasi tradisional bernama Tuk-Tuk yang memudahkan wisatawan untuk melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Tidak hanya itu, Bangkok juga memiliki moda transportasi air yang digunakan untuk melintasi Sungai Chao Phraya. Keberadaan ragam moda transportasi tersebut memudahkan wisatawan untuk berpindah dari satu atraksi ke atraksi wisata yang lain.  

Alasan yang kedua, Bangkok merupakan sebuah kota dengan pilihan destinasi wisata yang sangat lengkap. Dalam hal ini, Bangkok memiliki beberapa destinasi wisata heritage berupa istana kerajaan dan kuil. Selain itu, Bangkok juga dikenal sebagai tempat favorit para penggila belanja yang ditandai dengan keberadaan pusat-pusat perbelanjaan berupa mall dan pasar-pasar tradisional. Bangkok juga dikenal sebagai pusat kuliner berupa jajanan kaki lima yang menawarkan makanan-makanan ringan khas Thailand yang tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisata pasar apung juga kerap menjadi salah satu pilihan para turis unuk menghabiskan waktunya di Bangkok.   

Alasan ketiga adalah Bangkok memiliki fasilitas Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) yang sering digunakan untuk acara-acara internasional seperti konser, pertunjukan seni, dan lain sebagainya.  Alasan terakhir, Bangkok memiliki portal informasi wisata berupa website yang cukup lengkap sehingga memudahkan para calon wisatawan untuk merencanakan kunjungan mereka.

Daya Tarik Wisata Bangkok
Sumber: Businessinsider.com, 2016

Bali Sebagai Tujuan Wisata Dunia

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam 20 besar kota sebagai destinasi terfavorit turis mancanegara. Bali menduduki peringkat 19 mengungguli kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hmm, bagaimanakah sebenarnya elemen pariwisata yang dimiliki oleh Bali? Apakah Bali memiliki faktor eksternal dan internal yang mumpuni sehingga dapat berdaya saing tinggi? 

Bila ditinjau dari konsep elemen pariwisata, Bali memiliki elemen primer yang unggul. Dari segi fasilitas budaya, Bali memiliki beragam pilihan museum, galeri seni serta ruang pameran yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam seni. Selanjutnya, hampir seluruh poin pada kategori karakteristik fisik telah dimiliki oleh Bali. Bali memiliki jalan historikal seperti Jalan Kuta dan Jalan Legian yang menjadi salah satu pusat perekonomian disana. Bali juga memiliki banyak bangunan keagamaan Hindu yang dapat pula dinikmati oleh turis. Bali juga dikenal sebagai tempat yang memiliki karakteristik sosial-budaya yang kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari Bahasa Bali yang masih digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari serta kekayaan tradisi masyarakat Hindu seperti Upacara Ngaben dan iringan Ogoh-Ogoh menjelang hari raya Nyepi. Hal tersebut tentu menjadi hal yang sangat unik bagi wisatawan. Selain daya tarik wisata yang bercirikan kearifan lokal, Bali juga dikenal sebagai kota yang memiliki banyak fasilitas pengisi luang berupa klub malam, cafe dan bar. 

Untuk kelengkapan elemen sekunder, keunggulan Bali tidak perlu dipertanyakan lagi. Di Bali terdapat beragam pilihan hotel, penginapan dan restauran serta fasilitas komersil dari yang bernuansa lokal hingga internasional. Hal ini menjadi nilai tambah untuk Bali karena kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Untuk elemen tambahan, pada umumnya hampir seluruh destinasi wisata di Bali sudah dilengkapi dengan aksesibilitas yang baik serta fasilitas parkir yang memadai. Pada beberapa titik terdapat pula pusat informasi dan pemandu wisata sebagai unsur pelengkap. 

Dalam hal peningkatan daya saing terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Untuk faktor eksternal yang terdiri dari kondisi politik dan legal; ekonomi; sosial dan budaya; serta alam dan ekologi dipengaruhi oleh kondisi Indonesia secara global. Jika kondisi politik dan ekonomi Indonesia tergolong baik, maka biasanya tidak ada pertimbangan yang memberatkan wisatawan asing untuk berkunjung ke Bali. Hal tersebut berlaku sama untuk kondisi sosial budaya dan alam serta ekologi. 

Untuk faktor internal yang terdiri dari kelengkapan lembaga wisata; infrastruktur wisata; serta sumberdaya wisata lebih mengarah kepada kesiapan Bali sendiri dalam menyediakan hal-hal tersebut di atas. Dari ketiga unsur tersebut, dapat dikatakan bahwa Bali sudah hampir memenuhi kelengkapan setiap unsur. Hanya saja keberadaan transportasi publik masih belum menjangkau seluruh destinasi wisata dan belum sepenuhnya efektif dalam mengakomodir pergerakan. Sebagian besar turis di Bali memilih untuk menyewa motor/mobil untuk bepergian. Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan, baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai upaya meningkatkan daya saing pariwisata Bali.

Daya Tarik Wisata Bali
Sumber: Berbagai Sumber, 2019

Setelah memahami definisi dan karakteristik pariwisata kota, tentunya masing-masing dari kita sudah memiliki gambaran ideal terkait pengembangan wisata kota di Indonesia ke depannya. Elemen dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing hendaknya diperhatikan seluruh stakeholder yang relevan di bidang pariwisata kota. Dibutuhkan kerjasama yang komprehensif dan konsisten dalam mewujudkan pariwisata kota di Indonesia yang tidak kalah dengan kota-kota lain di Asia Tenggara. Jadi, apakah Indonesia mampu membawa kota-kotanya menggeser Bangkok sebagai peringkat pertama kota dengan pengujung wisata terbanyak di dunia?

Daftar Pustaka

Cibinskiene, et.al. 2015. Evaluation of City Tourism Competitiveness. Kaunas University of Technology, Lithuania.

Garbea R.V.2013. Urban Tourism Between Content and Aspiration for Urban Development. Alexandru loa Cuza University.

Law, Christopher. 2002. Urban Tourism – The Visitor Economy and Growth of Large Cities. EMEA: Thomson Learning

Global Destination Cities Index 2019. Mastercard.

https://www.businessinsider.com/things-to-do-in-bangkok-the-most-visited-city-in-the-world-2016-9?IR=T

Hal-Hal yang Wajib Kamu Ketahui Untuk Mendapatkan IMB!

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pembangunan rumah swadaya sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu. Masyarakat kerap berpendapat bahwa pembangunan rumah secara swadaya dapat lebih mudah prosesnya karena dapat menyesuaikan dengan anggaran yang mereka miliki, serta dapat menyesuaikan pembangunan dengan lokasi yang mereka minati. Johan Silas (2016) dalam bukunya yang berjudul Perumahan Dalam Jejak Paradoks mengatakan bahwa pemerintah hanya mampu menyediakan perumahan formal sebanyak 10% dari total kebutuhan masyarakat Indonesia, 90% sisanya dipenuhi secara swadaya oleh masyarakat itu sendiri. Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dari banyaknya milenial yang berlomba untuk mencari tanah dengan harga murah yang kelak akan dibangun sebagai rumah impian mereka. Namun, masih banyak masyarakat Indonesia khususnya milenial yang berpikir bahwa untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) mereka harus melalui sebuah proses dengan birokrasi yang rumit dan memakan waktu yang lama. Hal tersebut menyebabkan keengganan mengurus IMB secara mandiri dan lebih memilih untuk membayar jasa pengurusan perizinan karena dianggap lebih praktis. Eits, tapi jangan salah, kini mengurus IMB untuk perseorangan tidak perlu bolak-balik ke kantor Dinas Tata Ruang atau Dinas Pekerjaan Umum lho, waktunya pun lebih singkat! Berikut langkah-langkah yang harus kamu lakukan:

1.Cek Peruntukan Lahanmu pada Rencana Detail Tata Ruang

Yang menjadi pembeda antara pembangunan rumah swadaya dulu dan kini adalah kewajiban untuk mengecek peruntukan ruang lahanmu pada dokumen Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR&PZ), jika kota/kawasanmu sudah memilikinya. Dokumen tersebut memuat peruntukan kegiatan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk setiap potong lahan. Kamu harus memastikan bahwa lahan yang akan kamu bangun sebagai rumah impianmu memperbolehkan kegiatan perumahan berada di atasnya. Jika statusnya diizinkan bersyarat atau diizinkan terbatas, kamu juga harus memastikan persyaratan apa yang harus kamu penuhi sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Hati-hati! Tidak mematuhi peraturan terkait peruntukan lahan termasuk pelanggaran dan kamu bisa dikenakan sanksi karenanya.

Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, kamu bisa mengetahui peruntukan lahanmu secara online dengan melakukan langkah-langkah di bawah ini:

  1.  Buka laman smartcity.jakarta.go.id/maps
  2. Pilih Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan
  3. Beri tanda Check  di pilihan rencana zonasi
  4. Pilih peta zonasi Kecamatan kamu
  5. Unduh petanya
  6. Cek kode  area lahanmu

Dari situ, kamu bisa mengetahui peruntukan lahanmu dalam RDTR dan PZ. Namun, perlu diketahui bahwa saat ini belum semua kota dan kabupaten di Indonesia memiliki dokumen RDTR & PZ. Jika kebetulan lokasi lahan impianmu belum memiliki dokumen tersebut, tanyakan informasi kepada Dinas Tata Ruang atau instansi lainnya yang relevan.

2.Lihat Persyaratan Permohonan IMB Secara Online

Jika rencana pembangunan rumahmu sudah sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang tertera dalam RDTR & PZ kotamu, maka hal selanjutnya yang harus kamu urus adalah permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kini, kamu tidak perlu bolak-balik untuk menyiapkan kebutuhan dokumen permohonan IMB ke kantor Dinas Tata Ruang/Pekerjaan Umum. Kamu cukup kunjungi website Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di kotamu. Untuk wilayah DKI Jakarta, berikut adalah langkah-langkah untuk mengetahui persyaratan permohonan IMB secara online:

  1. Kunjungi pelayanan.jakarta.go.id
  2. Pilih Profile kemudian pilihlah Perizinan
  3. Untuk mengetahui persyaratan apa saja yang harus kamu penuhi pilhlah Lihat Jenis izin dan Syaratnya, kemudian pilih opsi Pembangunan
  4. Cari dan pilihlah Izin Mendirikan Bangunan: Bangunan Rumah Tinggal. Terdapat beberapa pilihan yang dikategorisasi berdasarkan luas tanah (Tanah > 100 m2, dan tanah < 100 m2). Pilihlah berdasarkan kebutuhanmu.
  5. Selanjutnya akan muncul opsi Checklist Persyaratan dan Formulir. Download dan penuhi apa yang menjadi persyaratan pada kedua dokumen tersebut.
  6. Jika seluruh dokumen persyaratan sudah kamu penuhi, bawalah dokumen-dokumen tersebut ke DPMPTSP terdekat dengan lokasi tempat tinggalmu. Dan tunggu hingga IMB kamu berhasil diterbitkan.

Adapun dokumen yang biasanya harus kamu lengkapi untuk mendapat IMB rumah tinggal dengan luas tanah <100 m2 adalah:

  • Surat Permohonan dengan materai Rp6.000,00 (format diberikan oleh DPMPTSP)
  • Surat Kuasa jika nama yang tertera di sertipikat lebih dari Satu
  • Identitas Pemohon/Penanggung Jawab (Fotokopi KTP dan NPWP untuk WNI, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas atau VISA/Paspor untuk WNA)
  • Surat Kuasa jika dikuasakan
  • Bukti Kepemilikan Tanah
  • Bukti Pembayaran PBB tahun terkahir sebelum jatuh tempo (Fotokopi)
  • Ketetapan Rencana Kota (KRK) Asli
  • Gambar Arsitektur

 Checklist dokumen di atas juga diperlukan untuk permohonan IMB rumah tinggal dengan luas >100 m2. Hanya saja terdapat beberapa penambahan dokumen seperti:

  • Surat Kuasa bermaterai kepada pemilik IPTB untuk bangunan rumah tinggal dengan luas bangunan >200 m2/jumlah lantai paling banyak 3 lantai;
  • Asli ikhtisar tanah yang ditandatangani oleh pemilik tanah dan perencana, untuk yang memiliki lebih dari 3 bukti kepemilikan tanah;
  • Surat penunjukan penanggung jawab dan fotokopi IPTB penanggung jawab perencana arsitektur, struktur/konstruksi termasuk geoteknik, mekanikal dan elektrikal bangunan gedung; dan
  • Asli surat pernyataan persetujuan warga sekitar.

Untuk mendapatkan IMB rumah dengan luas >100 m2 dibutuhkan waktu sekitar 7 hari kerja. Sedangkan untuk rumah dengan luas <100 m2, dibutuhkan waktu sekitar 4 hari kerja. Biaya retribusi akan disesuaikan dengan yang tertera pada Perda 1 Tahun 2015. Begitulah cara mengurus IMB yang lebih praktis di wilayah DKI Jakarta. Suda jauh lebih mudah bukan?

Konsep Co-Housing: Sebagai Solusi Permasalahan Permukiman di Indonesia

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Mungkin belum banyak yang mengetahui serta familiar dengan konsep pembangunan rumah secara kolaboratif atau yang biasa disebut dengan konsep co-housing. Konsep ini disebut-sebut dapat menjadi alternatif permasalahan penyediaan perumahan khususnya bagi masyarakat perkotaan, dimana lahan yang tersedia akan semakin sedikit dan semakin mahal seiring berjalannya waktu. Konsep ini dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan permukiman kumuh dan juga sebagai alternatif lain bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah.  Lantas apa itu co-housing sebenarnya?

Definisi Co-Housing

Co-housing adalah konsep dimana sebuah grup/komunitas merencanakan, membiayai dan membangun rumah mereka secara bersama-sama di suatu lahan/persil yang sama dan memiliki ruang-ruang komunal di dalamnya. Proyek Co-housing didasari kebersamaan kolektif yang kuat antar anggotanya dan memberikan kesempatan bagi setiap individu anggota untuk berpartisipasi dalam merancang tempat tinggal mereka. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa implementasi co-housing lebih dari sekedar tinggal dalam suatu gedung yang sama, melainkan adanya proses interaksi dari masa perancangan bangunan sampai masa menjalani kehidupan sehari-hari yang didukung dengan keberadaan ruang atau aktivitas komunal seperti dapur, ruang makan, ruang serbaguna, tempat parkir,  tempat main anak dan lain sebagainya.     

Lahirnya konsep co-housing pada akhir abad 19 di negara-negara di Eropa, juga dipengaruhi oleh kebutuhan dari penduduk kelas menengah dalam mencari solusi atas mahalnya tarif kerja seorang asisten rumah tangga (ART) yang dapat memasak. Pada saat itu, tercetuslah ide konsep ‘ART kolektif’ yang dapat melayani keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan. Konsep ART kolektif ini kemudian diimplementasikan dalam pembangunan co-housing yang diinisiasi oleh Otto Fick, di Copenhagen pada tahun 1903. Co-housing tersebut bernama Einküchenhaus (bangunan dengan satu dapur). Bangunan ini berada dalam satu persil yang sama terdiri dari beberapa rumah warga, dimana di tengah-tengah bangunan tersebut terdapat sebuah dapur besar tempat ART bekerja dan menyiapkan makanan untuk seluruh warga. Konsep co-housing seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dianggap sebagai sebuah opsi untuk mendukung adanya kesetaraan ­gender, bahwa kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dikarenakan urusan rumah tangga sudah ditangani oleh ART kolektif tersebut. Namun saat ini, rumah kolaboratif sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga setiap unit/rumah memiliki dapur pribadi.

Rumah kolaboratif dapat berupa rumah tapak maupun rumah vertikal. Hal tersebut diputuskan melalui kesepakatan bersama antar anggota. Jumlah unit rumah terbaik untuk mengimplementasikan konsep co-housing adalah 12-36 unit rumah. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah area/bangunan co-housing memiliki unit yang lebih sedikit atau lebih banyak dari angka tersebut. Jika jumlah lebih sedikit dari 12 unit, maka dikhawatirkan komunitas tersebut menjadi terlalu intim dan membutuhkan pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Namun jika jumlah unit lebih banyak dari 36, dikhawatirkan akan menyulitkan sesama anggotanya untuk bersosialisasi dan menstimulus proses administratif yang sulit (pembagian proporsi iuran listrik, air, dsbg) (Scotthanson, 2005).            

Konsep co-housing disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Seorang Arsitek penggiat co-housing, Grace Kim, mengatakan bahwa rumah kolaboratif dapat meminimalisir tingkat stress seseorang. Rasa kesepian karena hidup terisolasi kerap membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani. Tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, co-housing juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam mensiasati harga tanah di kawasan perkotaan yang semakin mahal. Para anggota dapat membeli tanah dan membangun rumah secara kolektif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak ketika membangun rumah atau membeli apartemen secara swadaya.


Contoh Pengimplementasian Co-Housing
Keterangan ki-ka: Capitol Hill Urban Cohousing Seattle; Mountain View Cohousing; Duwamish Cohousing; dan Hearthstone Cohousing

Sumber: Berbagai Sumber, 2019

Co-Housing Sebagai Jawaban Masalah Perumahan di Indonesia

Bila dikaitkan dengan permasalahan perumahan yang terdapat di Indonesia, konsep co-housing dapat menjadi salah satu alternatif yang layak diperhitungkan oleh seluruh stakeholder perumahan. Konsep co-housing dirasa relevan bila diterapkan di Indonesia melihat tren ketersediaan lahan yang semakin sulit untuk diakses dan semakin mahalnya harga properti khususnya di kawasan perkotaan. Penerapan ­co-housing juga sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu suka bergotong-royong. Kekuatan modal sosial tersebut sejalan dengan nyawa dari konsep co-housing itu sendiri yakni, kolaboratif. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk mengatasi permasalahan permukiman informal yang kumuh dan juga sebagai jawaban atas terbatasnya akses serta kemampuan kaum milenial untuk memiliki rumah.

Saat ini, kota-kota besar di Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mengentaskan kekumuhan yang terdapat di kawasan permukiman informal. Pemerintah daerah beserta masyarakat ramai-ramai mempercantik dan merehabilitasi permukiman tersebut dengan harapan dapat menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan sehat bagi warganya. Namun, masih sedikit yang mempertimbangkan pengimplementasian konsep co-housing pada penataan kawasan permukiman kumuh tersebut, padahal co-housing sejalan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan permukiman informal yang memiliki modal sosial yang tinggi.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asyah (2014), masyarakat di permukiman kumuh memiliki rasa kebersamaan dan tenggang rasa yang kuat. Hal tersebut terlihat dari kehidupan bertetangga yang saling bahu membahu. Para pemukim di kawasan kumuh tersebut mengaku jika suatu saat terjadi penggusuran, mereka berharap dapat tetap tinggal bersama dengan tetangga-tetangganya terdahulu. Mereka juga mengakui bahwa salah satu faktor yang kerap mempengaruhi kegagalan program pemerintah dalam merelokasi permukiman kumuh adalah kemungkinan terputusnya modal sosial yang sudah dimiliki oleh warga. Mereka berharap kemungkinan relokasi dapat diminimalisir dan digantikan dengan konsep rehabilitasi permukiman kumuh agar mereka tetap bisa bersama dan hidup bertetangga.

Melihat fakta tersebut, konsep co-housing dalam rehabilitasi permukiman kumuh berperan sebagai salah satu alternatif yang mumpuni dan layak untuk dicoba. Dengan konsep rumah kolaboratif, pemerintah tidak perlu menyediakan lahan baru untuk relokasi, melainkan dapat mendayagunakan lahan eksisting dengan desain dan fungsi yang lebih baik. Walaupun mungkin agak berbeda dengan prinsip rumah kolaboratif dimana anggotanya akan secara kolektif membiayai pembangunan rumah, pemerintah dapat memberikan subsidi untuk mengimplementasikan rencana tersebut.  Pemerintah juga dapat memberdayakan masyarakat dalam mendesain rumah mereka sehingga tercipta perencanaan partisipatif dimana hasil yang diharapkan akan lebih sesuai dengan ekspektasi dari user atau dalam hal ini masyarakat di permukiman kumuh.

Rumah kolaboratif juga dapat menjadi strategi pemerintah dalam menangani kawasan permukiman kumuh dan informal yang status kelegalan tanahnya biasanya dipertanyakan. Aspek legalitas pada co-housing nantinyasama dengan legalitas pada model properti lainnya. Untuk membangun, dibutuhkan IMB dari pemerintah. Untuk kepemilikan dari rumah tapak sama dengan prosedur kepemilikan dari rumah tapak pada umumnya. Sedangkan untuk kepemilikan rumah vertikal, skemanya sama dengan skema kepemilikan apartemen yaitu sang pemilik mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam jangka waktu tertentu.

Tidak hanya sebagai salah satu opsi penataan permukiman kumuh, konsep rumah kolaboratif juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi kaum milenial untuk memenuhi kebutuhan papannya. Saat ini sering didengungkan bahwa akan sangat sulit bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah pribadi. Hal tersebut didasari oleh semakin melambungnya harga properti yang tidak diimbangi dengan ability to pay atau kemampuan untuk membayar dari para milenial. Ditambah lagi dengan kondisi tidak tersedianya lahan kosong di daerah perkotaan yang kerap menjadi sasaran milenial untuk memiliki rumah tinggal.

Dilansir dari MIPIM World Blog, co-housing akan menarik perhatian para milenial karena harganya yang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan apartemen pada umumnya di lokasi yang sama. Konsep co-housing dianggap sebagai solusi mengingat kaum milenial dapat berkolaborasi dengan komunitasnya sehingga modal sosial yang mereka miliki bisa semakin terjalin. Konsep co-housing ini lebih fleksibel dan sesuai dengan sifat dan ciri khas kaum milenial yang suka berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Para milenial dapat merencanakan tempat tinggal mereka bersama dengan keluarga, kerabat, atau bahkan teman yang memiliki nilai visi dan misi yang sama mengenai kebutuhan akan rumah. Mereka dapat secara kolektif membeli sebidang tanah dan menyepakati bersama desain dan tata letak fungsional ruang publik yang mereka kehendaki.

Masih menurut MIPI World Blog, diketahui bahwa saat ini terdapat pergeseran pola pikir yang dimiliki oleh milenial mengenai kepemilikan properti dan aset. Milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan secara general. Sudah banyak keluarga muda yang tidak berniat untuk memiliki rumah pribadi di atas lahan yang luas atau memiliki kendaraan sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah kota mengingat konsep co-housing akan meningkatkan kepadatan kawasan permukiman dalam kondisi yang lebih baik dan meminimalisir pergerakan.

Tren Perubahan Pola Pikir Kepemilikan Rumah di Indonesia

Pada bagian sebelumnya, sempat dibahas mengenai tren perubahan pola pikir generasi milenial terhadap kepemilikan rumah. Generasi milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan properti/aset dan banyak mengalihkan pilihannya kepada rumah sewa. Hal ini sesuai dengan konsep besar dari co-housing dalam bentuk vertical building, dimana tidak terdapat satu anggota pun yang memegang sertifikat kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengimplementasikan konsep vertikal co-housing di Indonesia mengingat sudah terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Namun apakah lapisan masyarakat lainnya di Indonesia sudah mengarah kepada tren tersebut?

Dilansir dari laman kompas.com pada tahun 2017, terjadi penurunan tren pembelian rumah karena terdapatnya preferensi masyarakat untuk menyewa terutama di daerah perkotaan. Kecenderungan preferensi terlihat dari keengganan masyarakat kota pada umumnya yang masih memiliki mobilitas tinggi. Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Lana Winayanti, tren dan perilaku seperti yang dijelaskan di atas termasuk gaya hidup yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.

Tren perubahan pola pikir kepemilikan rumah juga terjadi pada masyarakat kelas menengah ke bawah secara perlahan. Menurut Asyah (2014), diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tidak keberatan jika harus direlokasi ke hunian vertikal, dengan catatan memiliki akses kepada transportasi publik dan juga tidak mengganggu ikatan sosial yang sudah terbangun antar sesama warga di permukiman bantaran sungai tersebut. Tren perubahan pola pikir juga didukung oleh kondisi kekinian bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sedang gencar untuk mengikuti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digalakkan oleh pemerintah dimana sebagian jenis rumah yang ditawarkan oleh program subsidi tersebut adalah hunian vertikal.

Dengan memahami terjadinya tren perubahan pola pikir terhadap kepemilikan rumah pada masyarakat Indonesia, maka dapat dilihat bahwa konsep co-housing khususnya dalam bentuk hunianvertikal dapat diimplementasikan di Indonesia.

Program Pemerintah yang Mendukung Penyelenggaraan Co-Housing

Setelah didapatkannya gambaran mengenai alternatif pemanfaatan konsep co-housing di Indonesia, perlu diketahui juga program-program pemerintah yang dapat mendukung terselenggaranya konsep tersebut sehingga akan semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya. Salah satu program yang dapat mendukung terselenggaranya konsep co-housing, yang pada dasarnya merupakan rumah dengan konsep swadaya, adalah program rintisan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bernama Program Penyelenggaraan Perumahan Berbasis Komunitas. Program perumahan berbasis komunitas ini dilatarbelakangi oleh urgensi adanya inovasi kebijakan, strategi dan program penyelenggaraan di Indonesia.

Nantinya komunitas yang berpartisipasi dalam program tersebut akan mendapatkan dua jenis bantuan dari pemerintah. Yang pertama adalah bantuan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dan bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Dalam pelaksanaan pembangunan rumah berbasis komunitas tersebut akan dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh satuan kerja yang ditunjuk oleh menteri. Sedangkan proses pemantauan dan evaluasi akan dilakukan oleh direktorat teknis pada kementerian.

Adapun persyaratan bagi komunitas yang akan berpartisipasi adalah komunitas yang berbadan hukum atau ditetapkan oleh walikota/bupati; MBR dengan desil 1 s.d 4; tidak memiliki fixed income; belum pernah memiliki rumah; lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing; sudah berkeluarga; memiliki kemampuan berswadaya dan memiliki kelompok; dan jumlah minimal unit rumah adalah 50 unit. Hal ini cukup berbeda dengan penerapan konsep co-housing yang ideal dimana jumlah unit rumah yang dibangun sebaiknya berkisar antara 12-36 unit.  Selanjutnya mengenai lokasi pelaksanaan bantuan harus memenuhi persyaratan berupa: lokasi sesuai dengan RTR sebagai kawasan perumahan; legalitas kepemilikan tanah jelas; tanah tidak bersengketa; aksesibilitas lokasi baik dan kualitas medan atau lapangan sesuai. Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah/pemda adalah memberi bantuan infrastruktur dasar untuk menunjang berfungsinya perumahan komunitas; mempermudah proses perizinan dan memfasilitasi penyusunan rencana. Sedangkan peran akademisi adalah mengembangkan konsep framework kolaborasi dan memfasilitasi penyusunan rencana.

Saat ini, sudah terdapat sekitar 24 komunitas yang akan melaksanakan program perumahan berbasis komunitas yang tersebar di 22 lokasi dengan unit pembangunan rumah mencapai sekitar 7.472 unit. Salah satu implementasi program yang sudah berjalan adalah Pengembangan Perumahan Berbasis Komunitas untuk Persaudaraan Pemangkas Rambut di Garut. Setelah memahami jenis program perumahan berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh pemerintah, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya konsep co-housing sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia melalui program tersebut yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah

Program Perumahan Berbasis Komunitas di Garut
Sumber: Paparan FGD Satgas Penyediaan Perumahan PU, 2019

Penutup

Setelah mengetahui dan memahami definisi, peluang pengimplementasian konsep Co-housing, tren perubahan pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan rumah, dapat disimpulkan bahwa konsep tersebut tampak sebagai sebuah peluang emas dan keniscayaan di tengah-tengah tantangan perkotaan yang menyebabkan sedikitnya lahan yang bisa diakses dan mahalnya harga properti saat ini. Konsep rumah kolaboratif juga sesuai dan sejalan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia dimana kekuatan modal sosial menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi. Baik masyarakat di permukiman kumuh maupun kaum milenial dapat menentukan dimana dan dengan siapa mereka ingin tinggal serta jenis-jenis fasilitas publik yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas tersebut. Pergeseran pola pikir mengenai kepemilikan aset bagi kaum milenial juga menjadikan co-housing sebagai salah satu opsi yang patut dipertimbangkan. Namun demikian, untuk mewujudkan konsep co-housing dibutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder khususnya pemerintah daerah menyusun regulasi terkait permukiman. Saat ini sudah terdapat sebuah program bernama Perumahan Berbasis Komunitas yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sasaran dari program tersebut adalah komunitas masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan diadakannya program pemerintah tersebut, kita dapat melihat arah kebijakan dan inovasi yang mendukung terimplementasikannya konsep co-housing di Indonesia. Namun belum familiarnya masyarakat luas terhadap konsep ini juga dapat menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Jadi, apakah konsep rumah kolaboratif ini akan berkembang di Indonesia dalam waktu dekat?

Daftar Pustaka

Vestbro, et al. 2012. Design for gender Equality – The History of Cohousing Ideas and Realities. Aalto University     

Tummers, L. 2016. The Re-emergence of Co-Housing in Europe. New York

Aziz, F. 2017. Cohousing Concept: Commercial Business Model Development For Millenials in Urban Area of Indonesia. Institut Teknologi Bandung           

Scotthanson, et al. 2005. The Cohousing Hanbook. Canada: New Society Publishers

Asyah, AN. 2014. Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta Selatan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember

https://www.schemataworkshop.com/chuc

https://properti.kompas.com/read/2017/12/29/090000021/investor-pilih-sewa-tren-pembelian-rumah-turun?page=all

Gentrifikasi, Sebuah Fenomena Perkotaan dengan Dua Sisi

Oleh : Annabel Noor Asyah

Fenomena gentrifikasi mungkin sudah lama teridentifikasi dan menjadi perbincangan di negara-negara belahan dunia ke-satu seperti di Amerika dan Eropa. Banyak sudut pandang yang menyuarakan pro dan kontranya terhadap fenomena ini karena memang gentrifikasi ibarat sebuah koin dengan dua sisi mata uang yang berbeda. Perdebatan mengenai dampak positif maupun dampak negatif dari gentrifikasi terus didengungkan hingga sekarang. Fenomena gentrifikasi yang menyangkut banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat kelas menengah ke atas serta masyarakat kelas bawah menjadikan hal tersebut sebagai suatu hal yang rumit dan membutuhkan banyak pendekatan. Saat ini fenomena gentrifikasi sudah mulai merambah negara-negara di Asia termasuk di Indonesia.

Apa itu Gentrifikasi?

Istilah gentrifikasi pertama kali muncul pada tahun 1964 dengan pencetus pertama Ruth Glass yang merupakan seorang ahli perkotaan. Belum ada definisi pasti mengenai apa itu gentrifikasi, sehingga banyak opini dan pendapat ahli yang mencoba untuk menerjemahkan maksud dari fenomena tersebut. Menurut Lees et.al (2007), gentrifikasi merupakan sebuah proses transformasi kelas sosial atau sebidang lahan kosong di kawasan perkotaan yang tadinya dihuni oleh masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial. Sehingga gentrifikasi seringkali diasosiasikan sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan kelas menengah atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan-kawasan yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri, 2013), dekat dengan pusat kota (Helms 2003), kawasan yang dilalui oleh layanan transportasi massal (Helms, 2003), dan pada kawasan yang memiliki stok perumahan lama (Kolko, 2007). Gentrifikasi juga berpotensi menyebabkan perpindahan masyarakat kelas bawah ketika kelompok ekonomi menengah atas datang dan menetap di sebuah kawasan yang mengakibatkan peningkatan harga sewa, harga bahan baku dan harga jasa sehingga secara tidak langsung akan membuat masyarakat kelas bawah tidak sanggup untuk bertahan dan pindah dari kawasan tersebut (Atkinson, 2000). Namun demikian, gentrifikasi juga disebut-sebut sebagai alat bantu yang dapat membawa perkembangan positif ekonomi kota ke arah yang lebih baik, walau terkadang dampak negatifnya lebih banyak terasa (Feagin et.al, 1990). 

Secara garis besar, terdapat dua pihak yang terlibat pada setiap proses gentrifikasi. Yang pertama adalah stakeholder yang melakukan gentrifikasi (gentrifier), dan yang kedua adalah pihak yang tergentrifikasi (gentrified people). Gentrifier biasanya diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah dan datang dari kalangan profesional. Menurut Ley (1996), terdapat dua tahapan gentrifikasi yang dilakukan oleh gentrifier, yang pertama gentrifier sebagai pioner atau yang juga disebut sebagai pihak yang tidak menyadari kemungkinan risiko yang akan terjadi (risk-oblivious). Mereka memilih lokasi di pusat kota karena nilai-nilai kultural, gaya hidup dan nilai sejarah yang terdapat pada lokasi tersebut. Yang kedua adalah kelompok yang menghindari risiko (risk-averse) yang memilih lokasi di pusat kota karena adanya peluang investasi di sana.

Berdasarkan penelitian mengenai gentrifikasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun, pada umumnya kawasan-kawasan yang tergentrifikasi memiliki karakteristik yang mirip antara satu dan yang lainnya. Dari segi lokasi, kawasan yang tergentrifikasi cenderung berada di pusat kota. Adapun para gentrifier biasanya berasal dari kalangan profesional dan tidak terkecuali berasal dari kepemerintahan. Status sosial para gentrifier cenderung beragam namun pada umumnya datang dari kelas menengah ke atas. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman dari karakteristik fenomena gentrifikasi yang terjadi di berbagai negara:

Karakteristik Gentrifikasi di Berbagai Belahan Dunia
Sumber: Uzun, 2002

Sisi Negatif Gentrifikasi

Setelah memahami definisi, karakteristik serta pelaku dalam fenomena gentrifikasi, selanjutnya akan dibahas mengenai dampak negatif dari fenomena tersebut. Walaupun masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak ahli perkotaan yang berpendapat bahwa gentrifikasi pada umumnya akan merugikan sebagian unsur masyarakat perkotaan yaitu masyarakat marginal. Gentrifikasi kerap disebut sebagai kolonialisme di era modern. Mengapa demikian?

Sama halnya dengan kolonialisme, gentrifikasi tidak hanya merampas kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan melemahkan kondisi ekonomi mereka, tetapi juga menyangkut ketidakseimbangan kondisi sosial dan rasial. Gentrifikasi mendorong terjadinya kapitalisme melalui permintaan pasar (pembangunan real estate), namun sekaligus membuat masyarakat yang tinggal lebih dulu di kawasan tersebut angkat kaki (Wharton et.al, 2008). Perpindahan masyarakat kelas bawah kemudian dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan karakteristiknya. Yang pertama, perpindahan karena adanya paksaan (involuntary). Dan yang kedua adalah proses perpindahan yang dilakukan secara swadaya atau sering disebut dengan voluntary.

Pada jenis perpindahan yang pertama (involuntary), biasanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kejelasan terhadap status lahan sehingga ketika terdapat pembangunan properti (untuk komersial atau residensial) yang berlokasi di lahan huniannya, mau tidak mau masyarakat harus menyerahkan lahannya untuk keberlangsungan pembangunan. Walaupun biasanya hal tersebut juga disertai dengan biaya kompensasi. Sedangkan pada jenis perpindahan yang kedua (voluntary), biasanya didahului oleh naiknya harga sewa properti di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan ketidakmampuan membayar uang sewa bagi penghuni kontrak dan memutuskan untuk melakukan perpindahan. Jenis perpindahan yang kedua ini juga dapat diinisiasi oleh meningkatnya harga jual properti, sehingga masyarakat penghuni eksisting melihat peluang untuk menjual propertinya dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Meningkatnya harga sewa dan harga jual ini biasanya terjadi secara perlahan sehingga fenomena gentrifikasi terkesan tidak kasat mata.

Sisi Positif Gentrifikasi

Meskipun banyak penelitian yang mengatakan bahwa gentrifikasi akan merugikan masyarakat marginal dan merampas hak-hak kehidupan mereka, tidak sedikit pula hasil penelitian dan pendapat ahli yang mengatakan bahwa gentrifikasi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi perkembangan kawasan perkotaan kedepannya. Menurut Atkinson (2002), gentrifikasi merupakan suatu proses yang mendukung upaya revitalisasi dan perbaikan kawasan perkotaan. Gentrifikasi oleh sebagian orang dianggap sebagai pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Dilansir dari laman money.howstuffworks.com dengan direvitalisasinya sebuah kawasan perkotaan, tentu akan meningkatkan ketertarikan untuk berinvestasi bagi para investor. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kondisi ekonomi perkotaan ke arah yang lebih baik. Selain itu dengan meningkatnya perputaran uang di kawasan yang tergentrifikasi melalui revitalisasi kota, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang berpotensi terkena dampak positif. Seperti, bangunan dan ruang hijau yang direnovasi akan menambah keindahan dan nilai estetis suatu kawasan; banyaknya peluang kerja baru yang tersedia setelah meningkatnya konstruksi pembangunan pusat perbelanjaan dan perkantoran; menurunnya tingkat kriminal pada suatu kawasan karena menjadi sebuah kawasan yang lebih ramai; dan kualitas lingkungan yang lebih baik juga lebih bersih dapat dinikmati oleh masyarakat eksisting melalui kehadiran dari masyarakat kelas menengah. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari University of Colorado, University of Pittsburgh dan Duke University pada tahun 2008 yang meneliti tentang pendapatan total pada kawasan yang tergentrifikasi pada rentang waktu tertentu. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok masyarakat yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah masyarakat kelas bawah dengan jenjang pendidikan minimal SMA. Hal tersebut menjadi salah satu contoh bahwa fenomena gentrifikasi tidak selamanya memarjinalkan masyarakat kelas bawah. 

Ellen dan O’Regan (2011) juga menemukan bahwa tidak adanya peningkatan intensitas atas berpindahnya masyarakat marginal yang terjadi dalam periode pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an. Hasil penelitian ini patut dipertimbangkan mengingat ciri utama dari gentrifikasi adalah terjadinya aktivitas eksodus oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau kalangan minoritas yang tergentrifikasi. Selain itu, Vidgor (2010), menggunakan data dari American Housing Survey dan menemukan bahwa revitalisasi sebenarnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat melalui peningkatan harga, melalui peningkatan harga sewa maupun harga beli properti. Hal tersebut berbanding lurus dengan perubahan yang disebabkan oleh proses revitalisasi kota. 

Kesimpulan

Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di kawasan perkotaan, baik yang prosesnya disadari maupun tidak. Perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan proses revitalisasi kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap perkembangan suatu kota. Gentrifikasi sendiri awalnya dikenal di negara-negara di belahan dunia ke-satu, yang disadari setelah meningkatnya harga sewa perumahan setelah masyarakat menengah ke atas bermukim di suatu kawasan marjinal. Saat ini, gentrifikasi juga kerap ditemui di negara-negara global south, tidak terkecuali di Indonesia. Lantas, bagaimanakah bentuk fenomena gentrifikasi yang terlihat di kota-kota di Indonesia? Bagaimanakah seharusnya peran pemerintah menyikapi fenomena ini mengingat banyaknya kepentingan yang ikut andil dalam satu proses gentrifikasi?

Daftar Pustaka

Pratiyudha, P.P. 2019. Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial. Reka Ruang

Uzun, C.N. 2002. The Impact of Urban Renewal and Gentrification on Urban Fabric: Three Cases in Turkey. Middle East Technical University Ankara.

Ley, D. 1996. The New Middle Class and the Remaking of the Central City. New York: Oxford University Press.

Mathema, S. 2013. Gentrification An Updated Literature Review. Poverty & Race Research Action Council.

Wharton, J.L. 2008. Gentrification: The New Colonialism in the Modern Era. Stevens Institute of Technology.

https://money.howstuffworks.com/gentrification2.htm

PPP Series #3 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Indonesia

Oleh : Annabel Noor Asyah

Kondisi PPP di Indonesia

Skema public-private partnership sudah mulai diadaptasi di Indonesia sejak tahun 2005. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh urgensi pembangunan infrastruktur dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan pelayanan publik yang baik. Di Indonesia, PPP diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Adapun yang menjadi definisi dari PPP berdasarkan perpres tersebut adalah, kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh penanggung jawab proyek kerjasama, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak.

Di Indonesia, PPP dilakukan dalam tiga tahapan yaitu Perencanaan, Persiapan dan Transaksi. Adapun skema PPP dibedakan menjadi dua yaitu skema solicited dan unsolicited. Solicited adalah kondisi dimana proyek pembangunan diinisiasi oleh pemerintah, sedangkan unsolicited diinisiasi oleh pihak swasta. Terkait skema pengembalian modal, PPP di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

  • Dibayarkan oleh pengguna infrastruktur, dimana pada skema ini pihak swasta menerima pengembalian modal dari harga yang dibayarkan oleh pengguna infrastruktur;
  • Dibayarkan oleh pemerintah, pada skema ini proyek pembangunan biasanya bukanlah proyek yang menghasilkan keuntungan maka pemerintah akan membayarkan sejumlah pembayaran tahunan kepada pihak swasta sebagai pemasukan pokok; dan
  • Jenis pembayaran lainnya, selama hal tersebut sesuai dengan hukum dan regulasi.

Adapun jumlah proyek PPP yang berhasil ditender hingga tahun 2018 berjumlah 68 proyek pembangunan infrastruktur yang terdiri dari berbagai macam sektor. Beberapa diantaranya adalah pembangunan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II; Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo; dan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan. Berikut ulasannya:

Implementasi PPP: Jalan Tol Layang Jakarta – Cikampek II

Maksud dari pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek II adalah untuk mensiasati kemacetan yang sering terjadi di jalan tol non-layang Jakarta-Cikampek akibat jumlah kendaraan yang sudah melebihi kapasitas jalan. Proyek ini dibangun di atas jalan tol eksisting yang direncanakan akan memiliki panjang 36,4 km. Berdasarkan data yang dihimpun dari laman PT Penjaminan dan Infrastruktur (PT PII), diketahui bahwa proyek yang memiliki nilai invetsasi sebesar 14,7 triliun rupiah ini merupakan bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dengan skema build-operate-transfer atau BOT. Dengan skema ini, kepemilikan infrastruktur akan dialihkan kepada pemerintah setelah pihak swasta mengoperasikan infrastuktur dalam jangka waktu tertentu (estimasi 45 tahun) dan sudah mendapatkan pengembalian investasinya.  

Pihak swasta yang bertanggungjawab terhadap proyek pembangunan ini adalah PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek yang terdiri dari dua perusahaan yaitu PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan PT Ranggi Sugiron Perkasa. Sedangkan dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang merupakan bagian dari Kementerian PUPR. Pendanaan dari proyek pembangunan infrastruktur ini berasal dari pinjaman bank dan ekuitas. Adapun yang menjadi wewenang dari pemerintah adalah menanggung risiko penyesuaian tarif, menanggung risiko politis dan menanggung risiko penghentian proyek. Berikut jadwal estimasi pengimplementasian proyek pembangunan infrastruktur Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II:

Perkiraan Jadwal Pengimplementasian Proyek Jalan Tol Jakarta – Cikampek II
Sumber: Bappenas PPP Book, 2018

Adapun skema PPP dalam proyek Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II adalah sebagai berikut:

Skema PPP Proyek Jalan Tol Jakarta – Cikampek II
Sumber: diolah dari Bappenas Book, 2016

Implementasi PPP: Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo

Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama dengan pihak swasta yaitu PT Jabar Bersih Lestari telah menandatangani kontrak kerjasama untuk pembangunan infrastruktur Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo. Setiap harinya, teknologi di TPPAS Nambo akan mampu mengakomodir 1500-1800 ton sampah. Salah satu maksud dari pembangunan TPPAS Nambo adalah untuk memproduksi produk daur ulang seperti kompos dan Refuse Derived Fuel (RDF) yang nantinya akan dijual kepada konsumen yaitu PT Indocement. Nantinya TPPAS Nambo ini akan melayani wilayah Kota Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Bogor.

Proyek yang memiliki periode konsesi selama 25 tahun ini menggunakan skema PPP dalam bentuk BOOT atau Build-Own-Oepration-Transfer. Pihak swasta, dalam hal ini PT Jabar Bersih Letari berkewajiban melakukan pembangunan dan pengelolaan TPPAS Regional Nambo. Sebagai kompensasinya, pihak swasta akan memperoleh pendapatan berupa pembayaran jasa pengolahan sampah (tipping fee) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sesuai tarif yang telah ditentukan. Pihak swasta juga berhak memperoleh pendapatan dari hasil produk olahan sampah yaitu penjualan RDF seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan peran Pemprov Jabar adalah memastikan dan menjamin ketersediaan anggaran untuk membayar tipping fee. Pembangunan TPPAS Nambo dijadwalkan selesai pada tahun 2019.  Berikut adalah skema kerjasama dalam pembangunan TPPAS Nambo:

Skema Proyek TPPAS Nambo
Sumber: diolah dari Bappenas Book, 2016

Contoh Implementasi PPP 3: Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan

Proyek pengembangan infrastruktur Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan yang terletak di Jawa Timur dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemenuhan penyediaan air minum di Jawa Timur khususnya di lima lokasi yaitu, Kabupaten Paurusan, Kota Pasuruan, Kota Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kota Gresik. Adapun sumber mata air Umbulan yang menjadi lokasi pengembangan SPAM berada di 17 km dari Kota Pasurusan, tepatnya di Desa Umbulan. Sumber mata air Umbulan dapat dimanfaatkan sebanyak ± 4.000 liter/detik yang mampu menyediakan air minum yang berkualitas utuk 1,3 juta jiwa penduduk. Pengembangan SPAM Umbulan menggunakan skema kerjasama PPP dalam bentuk BOT. Adapun pihak pemerintah yang bertanggungjawab dalam pembangunan infrastruktur ini adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kementerian Keuangan juga berperan untuk memberikan bantuan dana kepada pihak swasta untuk menstabilkan tarif yang nantinya akan diberlakukan. Bantuan dana tersebut dikenal juga dengan istilah Viability Gap Fun (VGF). Proyek ini juga mendapatkan bantuan finansial dari Kementerian PUPR dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta diawasi oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Sedangkan pihak swasta yang juga berperan sebagai investor adalah konsorsium PT Bangun Cipta Kontraktor dan PT Medco Energy International. Nantinya pihak swasta tersebut akan mendapatkan pemasukan dari BUMD air minum di Jawa Timur sebagai konsumen dari penyediaan air minum tersebut. Diketahui bahwa periode konsesi pada proyek ini adalah 25 tahun. Proyek ini ditargetkan dapat mulai operasionalnya pada tahun 2020 setelah sembilan tahun memulai tahap persiapan. Untuk memahami skema kerjasama pada proyek pengembangan SPAM Umbulan, dapat melihat diagram di bawah ini:

Skema PPP Proyek SPAM Unggulan
Sumber: diolah dari Bappenas Book, 2016

Kesimpulan

Penerapan skema PPP di Indonesia sudah mulai terlihat sejak munculnya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Sebagian besar skema PPP yang dilakukan di Indonesia distimulus karena terbatasnya anggaran pemerintah untuk dapat mengakomodir pembangunan infrastruktur publik. Skema PPP ini dirasa sangat meringankan beban pemerintah karena selain menyederhanakan kebutuhan anggaran juga dapat memperbaiki kualitas infrastruktur publik itu sendiri.  Bentuk PPP yang paling sering diterapkan di Indonesia adalah build-operate-transfer (BOT), dimana nantinya infrastruktur yang dibangun dan dioperasikan oleh pihak swasta akan dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah dalam jangka waktu yang ditentukan (masa konsesi). Skema kerjasama pemerintah dan swasta ini telah merambah beberapa sektor pembangunan, terutama di sektor infrastruktur transportasi dan jalan, infrastruktur persampahan dan infrastruktur air minum. Lantas, bagaimana jika PPP diterapkan pada sektor pembangunan lainnya seperti sektor properti, pariwisata, perumahan rakyat dan lain sebagainya? Akankah memiliki proses dan manfaat yang sama dengan penerapan PPP di sektor-sektor lainnya?

Daftar Pustaka

Bappenas. 2015. Sustaining Partnership: Kelembagaan TPPAS Nambo Pastikan Sinergitas Empat Pemerintah. Jakarta.

Bappenas. 2016. Sustaining Partnership: Proses Panjang Penyiapan Proyek TPPAS Nambo. Jakarta.

Bappenas. 2018. Public-Private Pertnership Infrastructure Project Plan in Indoensia. Jakarta.

Putra, A.P. 2016. Model Public Private Partnership Pada Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan di Jawa Timur dalam Konteks Open Government. Universitas Airlangga. Surabaya

PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. 2017. Acuan Alokasi Risiko KPBU di Indonesia. Jakarta.

https://www.iigf.co.id/id/project/project-monitoring

PPP Series #2 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Mancanegara

Oleh : Annabel Noor Asyah

Pembahasan mengenai public-private partnership akan berlanjut kepada contoh-contoh pengimplementasian skema kerjasama PPP di mancanegara. Sudah terdapat ratusan proyek dengan skema PPP di berbagai penjuru dunia sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, beberapa negara telah membentuk lembaga yang mengatur dan mengkoordinir kegiatan PPP di negaranya. Skema PPP banyak dilakukan di berbagai sektor seperti properti, transportasi, infrastruktur lingkungan dan lain sebagainya. PPP tidak hanya terpaku pada proyek yang bersifat nasional namun juga pada proyek-proyek yang sifatnya regional. Pembahasan kali ini akan fokus kepada tiga contoh pengimplementasian skema PPP di Filipina, Jepang dan Skotlandia. Berikut uraian lebih lengkapnya:

Filipina: Pasar San Jose de Buenavista, Antique

Filipina merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang sangat mendorong penerapan PPP dalam pembangunan infrastrukturnya. Hal ini terlihat dari dibentuknya sebuah lembaga pemerintahan bernama Public-Private Partnership Center (PPP Center) yang menjadi koordinator dan memonitor penerapan PPP dalam pembangunan infrastruktur publik. PPP Center bertugas untuk memberikan pendampingan teknis kepada pihak pemerintah maupun swasta dalam hal pengembangan dan pembangunan infrastruktur publik.  

Salah satu pengembangan infrastruktur publik di bidang properti yang menerapkan skema PPP di Filipina adalah pembangunan pasar di San Jose de Buenavista, ibukota dari provisi Antique. Pada tahun 1993, pasar tersebut terbakar dan sekitar 200 pedagang harus direlokasi. Berbagai cara telah dipikirkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya dengan kerjasama PPP melalui skema BOT. Pembiayaan melalui skema BOT pada saat itu sangatlah menarik bagi Local Government Unit (LGU) karena tidak membutuhkan anggaran dari pemerintah lokal. Namun demikian, pada saat itu terdapat beberapa pertimbangan yang memberatkan diantaranya: a) Membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengadopsi skema tersebut karena pemerintah pusat juga akan mengambil peran di dalamnya; b) Proses penawaran publik yang mengharuskan adanya pemilihan partner BOT juga kerap membuthkan waktu yang tidak sebentar; c) Pada saat itu BOT merupakan konsep baru sehingga terdapat beberapa pertimbangan tentang cara kerja dan persyaratan yang harus dilalui. LGU mencari solusi yang lebih sederhana, cepat dan lebih murah. Setelah melakukan konsultasi, LGU memutuskan akan mengadopsi skema BOT dengan penyempurnaan yang tidak mengikutsertakan penawaran publik dan persetujuan dari pemerintah pusat. Di bawah skema Build-Lease-Transfer (BLT), para pedagang akan menyediakan dana untuk membangun kios mereka sendiri dengan spesifikasi yang sesuai dengan rencana induk kawasan pasar baru.  Para pedagang akan dianggap sebagai pemilik kios dan membayar pajak properti rill yang semestinya selama periode kontrak yaitu 20 tahun. Mereka juga akan membayar biaya sewa untuk ruang yang mereka tempati di gedung, Pedagang yang tidak mampu untuk membangun kiosnya sendiri dapat menyewa kios yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun peran dari pemerintah lokal adalah dengan merancang rencana induk dari pasar di San Jose de Buenavista yang berkordinasi dengan kementerian pekerjaan umum. Pemerintah daerah juga mengatur pembangunan kios mandiri maupun kios yang disediakan oleh pemerintah.

Skema PPP BLT Pada Pembangunan Pasar San Jose de Buenavista
Sumber: Hasil Olahan. 2019

Jepang: Bandar Udara Sendai

Setelah munculnya keputusan dari pemerintah untuk mendorong kerjasama PPP pada tahun 1999, jumlah maupun cakupan lingkup proyek pembangunan dengan skema PPP meningkat tajam di Jepang. Diketahui terdapat 527 proyek PPP yang sudah diimplementasikan per tanggal 31 Maret 2017. Hal tersebut didasari oleh tekanan untuk mereduksi anggaran pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Melalui skema kerjasama PPP, dimana pihak swasta akan menanamkan modal, melakukan proses kontruksi maupun mengatur operasional infrastruktur, tentu akan meringankan beban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang berkualitas bagi masyarakat. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2017, diketahui bahwa pada tahun 2016 sekitar 60% kerjasama PPP menggunakan skema Build-Transfer-Own (BTO), dimana pada masa konstruksi kepemilikan akan berada di pihak swasta untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah ketika proses konstruksi selesai.

Proporsi Skema PPP di Jepang Pada Tahun 2016
Sumber: Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs): Contracts and Procurement The Case of Japan, 2017

Namun belakangan ini, skema concession sering digunakan di Jepang, salah satunya ketika proses privatisasi operasional bandar udara Sendai dilakukan pada tahun 2015. Pemerintah pusat Jepang kala itu berkeinginan untuk menjual 30-50 tahun hak konsesi bandar udara yang semula dimiliki oleh pemerintah lokal. Privatisasi didorong oleh meningkatnya permintaan akan manajemen bandara yang efisien. Saat itu pemerintah harus mengatur kondisi fasilitas bandara di bawah kondisi fiskal yang berantakan, persaingan maskapai yang tidak sehat dan permintaan atas jasa bandara yang lebih fleksibel dan murah. Sebelum terjadinya konsesi, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah Jepang memiliki fasilitas dasar yang berhubungan dengan aeronotika, sedangkan pihak swasta memiliki dan berhak atas pengelolaan fasilitas non-aeronotika seperti terminal bandara dan tempat parkir kendaraan. Namun pembagian tersebut dirasa menghalangi bandara Jepang untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Maka setalah konsesi, pihak swasta akan mengelola baik operasional yang berhubungan dengan aeronotika maupun yang tidak.  

Skema PPP Consession di Jepang
Sumber: Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs): Contracts and Procurement The Case of Japan, 2017

Setelah skema konsesi tersebut dilakukan, maka bandar udara Sendai yang sempat menghadapi bencana gempa bumi hingga perlu untuk direvitalisasi, dapat diperbaiki dengan cepat dan tidak memberatkan pihak pemerintah. Setelah diperbaiki banda Sendai juga menjadi lebih kompetitif dan dapat melayani masyarakat dengan baik.

Skotlandia: Pengolahan Air Limbah Skotlandia Timur

Negara selanjutnya yang mengadaptasi skema kerjasama PPP adalah Skotlandia. Skema PPP menjadi tren dalam pengadaan infrastruktur setelah dilakukannya evaluasi yang menunjukkan bahwa opsi PPP menawarkan lebih banyak keuntungan bagi seluruh pihak relevan dibandingkan dengan skema tradisional pembiayaan oleh pemerintah. Sehubungan dengan semakin banyaknya pengimplementasian PPP di Skotlandia, maka dibentuklah Private Finance Unit (PFU) yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan dukungan baik bagi pemerintah maupun pihak swasta yang menerapkan skema kerjasama PPP di Skotlandia.  

Salah satu sektor infrastruktur publik yang banyak menggunakan skema kerjasama PPP adalah sektor pengolahan air limbah. Di bagian timur Skotlandia sendiri terdapat dua perusahaan swasta yang bertanggungjawab dalam pengolahan air limbah yaitu, Stirling Water dan Celedonian Environmental Services (CES). Stirling Water merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu Thames Water, MJ Gleeson, dan Montgomery Watson. Skema kerjasama PPP yang diadaptasi dalam pengolahan air limbah adalah BOT. Stirling Water bertanggungjawab atas design, building, operating dan mantaining fasilitas pengolahan air limbah, hingga kemudian setelah konstruksinya rampung akan ditransfer kepada pihak operator yaitu Thames Water International, yang akan mengoperasikan fasilitas tersebut selama 30 tahun. Sedangkan CES merupakan 50/50 joint venture dari perusahaan Northumbrian Water dan Scottish Power. Kontrak antara CES dengan Skotlandia Timur berlangsung selama 40 tahun utuk meningkatkan kualitas air antara kota Kelty dan Leven.

Dalam penyelenggaraan skema kerjasama PPP, pihak pemerintah berperan sebagai regulator yang mengontrol kualitas dan performa dari fasilitas pengolahan air limbah. Pemerintah juga berperan untuk menetapkan tarif pelayanan setelah sebelumnya melakukan konsultasi kepada pihak-pihak terkait pengelolaan air di Skotlandia. Untuk pemahaman yang lebih rinci dapat dilihat skema PPP di bawah ini:

Skema PPP BOT Proyek Pengolahan Limbah di Skotlandia Timur
Sumber: European Commission, 2004

Kesimpulan

Banyaknya jenis dari skema PPP menjadikan kerjasama pihak pemerintah dan pihak swasta sebagai bentuk kerjasama yang fleksibel dan efisien. Pembagian kerja dan tanggungjawab antar pihak yang revelan dapat menstimulus lahirnya infrastruktur publik dengan kualitas terbaik, kompetitif dan mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Berbagai contoh penerapan PPP mancanegara di atas menunjukan bahwa skema kerjasama PPP dapat menyelesaikan ketiadaan infrastruktur publik secara lebih cepat dan efisien, terutama bagi kawasan-kawasan yang habis tertimpa bencana seperti contoh kasus Filipina dan Jepang. Lantas, bagaimanakah kondisi penerapan skema PPP itu sendiri di Indonesia? Apakah regulasi dan sistem kepemerintahan di Indonesia mendukung adanya kerjasama PPP dalam pembangunan infrastruktur publik?

Daftar Pustaka

Asian Development Bank. 2016. Philippines: Public-Private Partnership By Local Government Units. Manila.

European Commission. 2004. Resourse Book on PPP Case Studies. European Commission. Brussels.

The World Bank. 2017. Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs): Contract and Procurement The Case of Japan. The World Bank. Washington, DC.

Sato, M et.al. 2016. Recent Developments in Public-Private Partnership in Japan. Mori Hamada & Matsumoto. Tokyo.

PPP Series #1 Skema Public-Private-Partnership: Sebuah Opsi Pembangunan Infrastruktur Publik

Oleh : Annabel Noor Asyah

Definisi  Infrastruktur Publik

Demi tercapainya tujuan Indonesia Emas 2045, saat ini Indonesia sedang melakukan pembangunan masif di segala bidang, khususnya pembangunan infrastruktur publik. Anggaran serta target-target lokasi pembangunan infrastruktur kerap menjadi headline di berbagai media mengingat pembangunan infrastruktur sedang gencar dilakukan di berbagai daerah. Namun apakah yang dimaksud dengn infrastruktur publik itu sendiri? Menurut Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, diketahui bahwa infrastruktur memiliki arti fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi sosial masyarakat dapat berjalan baik.  Dari definisi tersebut, dapat diambil benang merah bahwa penyediaan infrastruktur publik berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Menurut Yescombe (2007), infrastruktur publik dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu:

  • Infrastruktur ‘ekonomi’, seperti fasilitas transportasi dan jaringan utilitas (air, drainase, listrik dll), atau infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi sehari-harinta; dan
  • Infrastruktur ‘sosial’, seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan. Atau dengan kata lain infrastruktur yang membentuk struktur sosial masyarakat.

Seyogyanya, pemerintahlah yang harus menyediakan seluruh infrastruktur publik demi menjaga persaingan dan stabilitas harga namun demikian terdapat beberapa risiko yang riskan terjadi. Salah satunya adalah terbatasnya anggaran pemerintah untuk mendanai pembangunan infrastruktur publik yang berpotensi memakan waktu yang lama. Proyek infrastruktur publik dapat berhenti di tengah jalan dan pemerintah tentu saja akan mengalami kerugian. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan skema pendanaan dan pengelolaan infrastruktur publik melalui kerjasama pemerintah dengan pihak kedua, yaitu swasta. Skema tersebut dikenal dengan skema Public-Private Partnership (PPP).

Public-Private Partnership (PPP)

Istilah PPP pertama kali muncul di Amerika ketika terdapat sebuah program pengembangan pendidikan dan pengadaan utilitas dengan skema pendanaan pemerintah dan swasta pada tahun 1950. Kemudian skema ini dikembangkan untuk program-program penataan kota pada tahun 1960. Adapun yang menjadi definisi dari PPP menurut Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 adalah kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah/ BUMN/ BUMD yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.

Adapun unsur penting yang melekat pada skema PPP adalah sebagai berikut:

  • Terdapatnya kontrak jangka panjang (kontrak PPP) antara pihak pemerintah dengan pihak swasta;
  • Desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dari infrastruktur publik dilakukan oleh pihak swasta;
  • Pembayaran selama kontrak PPP berlangsung akan diterima oleh pihak swasta yang merupakan hasil dari operasional infrastruktur itu sendiri, dibayarkan oleh pihak pemerintah atau oleh pengguna infrastruktur tersebut; dan
  • Kepemilikan infrastruktur dapat tetap berada di tangan swasta atau ditransfer ke pemerintah pada akhir kontrak PPP.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama PPP tentu saja adalah pemerintah dan pihak non-pemerintah. Pihak pemerintah bisa berupa pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau lembaga negara lainnya. Sedangkan pihak non-pemerintah biasanya sebuah perusahaan yang dirancang oleh investor  swasta, yang memiliki misi khusus untuk memenuhi kontrak PPP dengan pemerintah.

Penerapan PPP dalam penyediaan infrastruktur publik, merupakan skema kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemerintah maupun swasta. Pihak swasta akan memberikan modal serta bertanggungjawab untuk membangun dan mengelola sarana prasarana infrastruktur, sedangkan pihak pemerintah merupakan pihak yang akan memayungi dengan kebijakan dan peraturan pelayanan.  

PPP juga dikenal dengan banyak istilah. World Bank kerap kali menggunakan istilah Private Participation in Infrastructure (PPI) atau Private-Sector Participation (PSP). Australia menggunakan istilah Privately-Finaced Projects (PFP).  Sedangkan Inggris, Jepang dan Malaysia menggunakan istilah Private Finance Initiative (PFI).

Tujuan dan Manfaat PPP

Adapun yang menjadi tujuan penyelenggaraan skema kerjasama PPP adalah sebagai berikut:

  • Menjadi alternatif pendanaan yang berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;
  • Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat;
  • Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur; dan
  • Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.

Terjalinnya skema kerjasama PPP akan memberikan beberapa manfaat terkait penyelenggaran infrastruktur publik, seperti:

  • Mengurangi risiko kegagalan proyek akibat kurang maksimalnya anggaran penyediaan infrastruktur oleh pemerintah;
  • Menstimulus keikutsertaan penawar (perusahaan swasta) yang telah berpengalaman dan berkualitas baik dalam bidang penyelenggaraan infrastruktur;
  • Jaminan harga pasar yang rendah dan stabil;
  • Mempercepat pembangunan infrastruktur publik sehingga dapat mendorong investasi yang menciptakan pertumbuhan ekonomi;
  • Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah; dan
  • Mencegah keungkinan terjadinya praktik KKN

Jenis-Jenis PPP

Terdapat beberapa jenis skema kerjasama pemerintah dan swasta yang termasuk ke dalam PPP diantaranya:

  1. Concession

Kondisi dimana pihak swasta (the Concessionaire) berhak untuk mengambil keuntungan dari operasional infrastruktur publik yang digunakan oleh masyarakat. Sebagai contoh pembayaran atas penggunaan jalan tol atau jembatan. Pemasukan tersebut akan menggantikan biaya konstruksi dan operasional yang sebelumnya ditanggung oleh pihak swasta. Sedangkan peran dari pemerintah adalah menentukan kebijakan tentang penunjukan penugasan dan SOP pihak swasta, serta menentukan kebijakan rinci mengenai pembangunan dan operasionalisasi dari fasilitas itu sendiri.

  • Franchise

Kondisi dimana pihak swasta berhak untuk memanfaatkan infrastruktur publik yang telah terbangun. Dalam hal ini, pihak swasta akan melakukan pembayaran kepada pihak pemerintah sebagai imbalan atas hak pemanfaatan infrastruktur.

  • Design – Build – Finance – Operate (DBFO)

Kondisi dimana kepemilikan fasilitas berada di tangan pemerintah, namun pihak yang bertanggungjawab untuk mengoperasikan fasilitas tersebut adalah pihak swasta. Pihak swasta juga akan menerima keuntungan dari hasil operasional fasilitas tersebut.

  • Build – Transfer – Operate (BTO)

Kondisi dimana pihak swasta mendanai dan membangun fasilitas dan selanjutnya kepemilikan fasilitas akan diserahterimakan kepada pemerintah ketika proses konstruksi sudah selesai dilakukan. Selanjutnya pihak swasta akan mengoperasikannya untuk suatu periode yang telah ditentukan di kontrak.

  • Build – Operate – Transfer (BOT)

Kondisi dimana pihak swasta sebagai investor menyediakan sarana infrastruktur mulai dari pembebasan lahan sampai dengan pembangunan fisik, dilanjutkan dengan pengoperasiannya untuk mendapatkan pengembalian investasinya dan profit sampai batas waktu tertentu kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk pengelolaan selanjutnya.

  • Build – Own – Operate (BOO)

Kondisi dimana pihak swasta mendanai, membangun da mengoperasikan suattu fasilitas, dengan memperoleh insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut namun pihak pemerintah mengatur harga dan kualitas layanan. Skema ini banyak digunakan untuk menyediakan fasilitas baru yang dapat diantisipasi agar permintaan pasar akan selalu ada.

Untuk lebih memahami beragam jenis skema PPP, dapat dilihat tabel di bawah ini:

Penyediaan Infrastruktur oleh Pemerintah dan Swasta
Sumber: Yescombe, 2007

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPP merupakan sebuah alternatif kerjasama yang dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan kuantitas serta kualitas infrastruktur publik. Terdapatnya berbagai jenis skema PPP yang dapat diadaptasi untuk mewujudkan infrastruktur publik yang berdaya saing, menjadikan PPP sebagai pilihan skema kerjasama yang fleksibel, yang sesuai degan kebutuhan pihak pemerintah. Lantas, apakah penerapan skema PPP selama ini terbukti efektif dalam menyediakan infrastruktur untuk publik? Adakah best practice penyelenggaraan PPP baik di Indonesia maupun di mancanegara?

Daftar Pustaka

Yescombe, E.R. 2007. Public-Private Partnership Principles of Policy and Finance. Elsevier Ltd.

Anggaanarsati, K. 2017. Pembiayaan Pembangunan dengan Skema “Build-Operate-Transfer”. https://www.kompasiana.com/krismi/5a332c3acf01b42c2229bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot

Thoengsal, J. 2014. Pendanaan & Kerjasama Kontrak Konstruksi. https://www.kompasiana.com/krismi/5a332c3acf01b42c2229bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot

Cerita Tentang Ibukota: ‘Tetap Bertahan Meski Problematik’

Oleh: Annabel Noor Asyah

Belum lama ini, Indonesia sedang dihebohkan dengan keputusan presiden untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta dianggap sudah ‘terlalu lelah’ untuk berperan sebagai ibukota ditengah segala problematika yang dihadapinya. Tak perlu dijelaskan lebih detail, kita semua tahu bahwa Jakarta adalah biang kemacetan yang memiliki kualitas udara sangat buruk. Dalam sebuah survei Quality of Living Ranking 2019 yang dilakukan oleh lembaga Mercer, diketahui bahwa kualitas keidupan di Jakarta menempati peringkat 142 dari 231 kota. Tertarik untuk menelaah hasil survei ini lebih dalam, ternyata terdapat pula ibukota dari beberapa negara yang peringkatnya tidak jauh dari Jakarta. Ibukota negara mana sajakah itu? Simak ulasannya!

Hanoi, Vietnam

Hanoi, ibukota negara Vietnam yang memiliki karakteristik cukup mirip dengan ibukota lainnya di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Hanoi menempati peringkat 155 dalam Quality of Living City Ranking atau sekitar 13 peringkat di bawah Jakarta. Hanoi sudah menjadi Ibukota Vietnam selama kurang lebih 1000 tahun. Dahulu kala, letaknya yang strategis kerap dijadikan sebagai political centre oleh para kasiar Cina. Hanoi juga merupakan wilayah dengan aksesibilitas air bersih yang baik karena letaknya yang berdekatan dengan Red River. Kini, Hanoi telah bertransformasi dari kota perdagangan dan jasa menjadi kota industri dan pusat pertanian. Kendati demikian, Hanoi tetap menghadapi permasalahan layaknya kota-kota di negara berkembang lainnya.

Masalah utama yang dihadapi kote Hanoi adalah kemacetan. Hanoi dijuluki kota dimana sepeda motor lebih banyak jumlahnya ketimbang jumlah kepala keluarga yang tinggal di kota tersebut. Akibatnya, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas sudah menjadi hal yang wajar di Hanoi. Berdasarkan data  Departemen Kepolisian, pada tahun 2015 terdapat 50.682.934 kendaraan bermotor di Hanoi. Diprediksi pada tahun 2020, jumlah kendaraan bermotor di Hanoi akan bertambah sebanyak 843.000 unit mobil dan 6,1 juta unit sepeda motor. Fakta tersebut membawa Hanoi ke persoalan lainnya yaitu buruknya pencemaran lingkungan. Berdasarkan laporan dari Department of Environmental Protection, dikatakan bahwa 70% dari polusi udara yang terjadi di Hanoi disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Menurut perhitungan kualitas udara di dua kota besar di Vietnam, yaitu Hanoi dan Ho Chi Minh, diketahui bahwa 95% kendaraan yang menyebabkan kemacetan adalah sepeda motor yang hanya mengkonsumsi 56% bahan bakar namun mengeluarkan 94% hidrokarbon (HC), 87% karbon monoksida (CO), 57% nitrogen oksida (Nox).

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Kota Hanoi sudah mempersiapkan beberapa strategi, diantara: mempromosikan penanaman 1 juta pohon sejak tahun 2018-2020; Memperbaharui manajemen transportasi kota dengan cara melarang penggunaan sepeda motor per 2030; membatasi usia kendaraan; dan mengimplementasikan rencana pengembangan transportasi piblik berupa BRT dan metro berdasarkan masterplan 2030-2050. Semangat berbenah, Hanoi!

Suasana Lalu Lintas Kota Hanoi
Sumber: Berbagai Sumber: 2019

New Delhi, India

Ibukota selanjutnya yang memiliki problematika mirip dengan Jakarta adalah New Delhi yang merupakan Ibukota dari negara India. New Delhi menempati peringkat 162 dalam Quality of Living City Ranking. Berdasarkan website worldpopulationreview.com diketahui bahwa New Delhi menempati peringkat kedua sebagai kota dengan popluasi terbanyak dengan jumlah penduduk sebanyak 29.399.141 jiwa. New Delhi berlokasi di India Utara dan merupakan salah satu kota dengan perkembangan tercepat di dunia. New Delhi menjadi ibukota India sejak tahun 1931 setelah kolonial Inggris memiliki rencana memindahkan Ibukota India dari Kalkuta pada tahun 1911. Nampaknya, butuh waktu selama 20 tahun bagi New Delhi untuk berbenah sebelum benar-benar dinobatkan sebagai ibukota negara. Kendati demikian, meskipun merupakan ibukota baru, perkembangan New Delhi juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan perkotaan.

Sama halnya dengan Vietnam dan Jakarta, New Delhi juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kotanya merupakan biang kemacetan. Dilansir dari delhi.com, diketahui bahwa rata-rata orang yang berkendara dengan kendaraan pribadi di National Capital Territory atau New Delhi adalah sebesar 95% dari total populasi. Berdasarkan cseindia.org, diketahui bahwa di 13 jalan arteri di New Delhi yang didesain untuk kecepatan 40-55 km/jam hanya mampu menampung kendaraan dengan kecepatan 26-27 km/jam atau 50-60% lebih lambat dari yang seharusnya. Tidak pula ada perbedaan antara waktu-waktu peak hours dan bukan peak hours, tingkat kemacetan di New Delhi tetap sama. Pelebaran jalan justru semakin menstimulus masyarakat Delhi untuk menggunakan kendaraan pribadinya. Dampak lain dari kemacetan yang masif di New Delhi adalah polusi udara yang membahayakan kesehatan masyarakat. CSE India juga menganalisis data kualitas udara tiap jam yang menunjukan bahwa ketika rata-rata kecepatan kendaraan bermotor adalah 28 km/jam pada pagi hari dan 25 km/jam pada sore hari, maka tingkat nitrogen dioksida (NO2) meningkat dari 69 mikrogram/m2 ke 94 mikrogram/m2 (38%).

Untuk mensiasati masalah ini, pemerintah kota Delhi telah mengambil langkah untuk mengembangkan pembangunan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di dalam kota New Delhi. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong masyarakat Delhi berjalan kaki dan bersepeda agar tingkat kemacetan dan polusi udara dapat berkurang. Ide lainnya adalah dengan mengembangkan pemberhentian dan perempatan di bawah tanah.

Tidak berhenti disitu, masalah lainnya yang terjadi di kota New Delhi adalah tingginya angka kriminalitas. Setengah dari tindakan kriminalitas yang terjadi di New Delhi dipacu oleh pelecehan seksual kepada wanita. Hal tersebut telah menyebabkan banyaknya nyawa yang telah hilang di New Delhi. Dilansir dari data yang dipublikasikan oleh Departemen Kepolisian Delhi, diketahui bahwa per tanggal 31 Agustus 2019, telah terajdi sekurangnya 200.485 tindak kriminal di New Delhi. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tingkal kriminal per tanggal 311 Agustus tahun 2018 yaitu sekitar 157.462 kasus. Angka tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan tingkat kriminalitas di DKI Jakarta yang pada tahun 2017 mencapai angka 34.767 kasus (BPS, 2018).

Kemacetan, Polusi dan Kriminalitas di Kota Delhi
Sumber: Berbagai Sumber. 2019

Kairo, Mesir

Kairo yang terletak di Mesir, menempati peringkat 177 dalam Quality of Living City Ranking. Sama halnya dengan Indonesia, saat ini Mesir sedang dalam proses untuk memindahkan Ibukotanya. Ya, rencananya pada musim gugur tahun ini Kairo akan pensiun menjadi ibukota dari negara Mesir. Rencana pemindahan ibukota Mesir pertama kali muncul pada tahun 2015 yang merupakan usulan dari Presiden Mesir, yaitu Abdel-Fattah al-Sisi. Lokasi baru tersebut letaknya hanya 45 km dari Kairo dan 60 km dari Sungai Suez. Lokasi baru yang belum memiliki nama tersebut sering disebut sebagai ‘New Cairo’ oleh masyarakat dan media. Nantinya seluruh gedung pemerintahan, kedutaan besar dan rumah dinas akan direlokasi ke lokasi baru tersebut. Ibukota baru Mesir dibangun di atas tanah seluas 69.000 hektar atau setara dengan dua kali luas Kairo yang mana pembangunannya memakan biaya sebesar 40,75 miliyar euro. Lantas, apakah yang menyebabkan dicabutnya Kairo sebagai ibukota Mesir?

Pemerintah Mesir berpendapat bahwa Kairo akan tumbuh menjadi sebuah kota yang sangat padat penduduknya. Pertumbuhan penduduk Kairo akan mencapai 40 juta penduduk pada tahun 2050. Kairo tidak hanya kota terbesar di Arab dan Afrika Utara melainkan juga kota dengan kepadatan penduduk tertinggi. Tingginya angka populasi di Kairo ini memiliki dua dampak yang berbeda. Di satu pihak hadirnya Kairo sebagai megacity menjadi penggerak bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi Mesir. Namun di sisi lain, hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya kemiskinan dan juga degradasi lingkungan. Pemerintah Mesir percaya bahwa tingginya angka populasi di Kairo merupakan kontributor terbesar terhadap permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihadapi oleh Kairo saat ini. Kairo juga menghadapi persoalan kemacetan yang tidak kunjung reda. The World Bank menyatakan bahwa setidaknya terdapat 1.000 nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas, dimana setengah dari jumlah tersebut adalah pejalan kaki. Kemacetan tidak hanya berbahaya bagi keselamatan publik tetapi juga merugikan pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari wikipedia, kemacetan yang terjadi di Kairo selama 1 tahun akan memberikan kerugian sebesar 7,24 triliyun euro atau setara dengan 4% PDB Mesir. Selain masalah kemacetan, Kairo juga mengalami masalah polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Polusi udara di Kairo disebabkan oleh jarangnya turun hujan, tingginya gedung pencakar langit dan keberadaan jalan-jalan yang sempit yang mengakibatkan terjadinya bowl effect sehingga ventilasi kota tidak bekerja dan polusi seolah tertahan di dalam kota. Selain itu polusi udara juga disebabkan oleh membludaknya kendaraan bermotor. Sedangkan untuk polusi suara, faktor yang mempengaruhinya adalah klakson kendaraan bermotor yang terus terjadi selama 24 jam sehari. Kehidupan di tengah kota Kairo, dimana tingkat kebisingan rata-rata mencapai 90 desibel dan tidak pernah turun di bawah 70 desibel, menjadikan masyarakat layaknya tinggal di sebuah pabrik .

Kemacetan dan Polusi di kota Kairo
Sumber: Berbagai Sumber. 2019

Refleksi Terhadap Jakarta

Melihat resiliensi dari Hanoi, New Delhi dan Kairo yang sampai saat ini masih menjadi ibukota dari negaranya masing-masing, mengajak kita untuk merefleksikan kembali kondisi di Jakarta. Jika ditelaah, kita dapat melihat bahwa sebetulnya kota-kota tersebut memiliki permasalahan yang cukup mirip dengan apa yang dihadapi oleh Jakarta. Sebagian besar permasalahan muncul akibat padatnya jumlah penduduk yang tentu saja akan merembet ke persoalan lain seperti kemacetan, polusi udara, tingkat kriminalitas yang tinggi dan lain sebagainya. Kemiripan lainnya adalah permasalahan transportasi yang terjadi di ketiga kota di atas salah satu faktor penyebabnya adalah belum tersedianya angkutan umum massal yang bisa diandalkan. Akibatnya banyak masyarakat kota yang menggunakan kendaraan pribadi sehingga menciptakan kemacetan dan permasalahan polusi.

Namun seperti yang kita ketahui bersama bahwa sejak beberapa tahun silam Jakarta tengah berbenah untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih humanis. Perwujudan rencana transpotasi massal mulai terlihat dengan keberadaan MRT, LRT serta pembukaan koridor baru Bus Transjakarta. Kebutuhan akan ruang terbuka hijau sedikit demi sedikit juga mulai dipenuhi dengan upaya-upaya seperti merevitalisasi taman kota. Para pejalan kaki pun sudah mulai dimanusiakan dengan pelebaran jalur pedestrian. Dan masih banyak lagi upaya pembenahan diri yang dilakukan oleh Jakarta.

Melihat progres ini lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu status ibukota angkat kaki dari Jakarta? Apakah setelah tidak menjadi ibukota seluruh permasalahan di Jakarta akan terselesaikan? Atau apakah ibukota baru selamanya akan terbebas dari permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta saat ini?

Daftar Pustaka

https://mobilityexchange.mercer.com/quality-of-living
https://www.britannica.com/place/Hanoi

Petsko, E (2016). Transformaing a Motorcycle City: The Long Wait for Hanoi’s Metro. https://www.theguardian.com/cities/2016/jul/18/long-wait-hanoi-metro-vietnam-motorbike. The Guardian. The Guardian. 

Quinn, L (2014). Hanoi: Is it Possibble to Grow a City Without Slums?. https://www.theguardian.com/cities/2014/aug/11/hanoi-slums-vietnam-urban-planning-. construction. The Guardian.

Nguyen, DT et.al (2018). Traffic Congestion and Impact on the Environment in Vietnam: Development of Public Transport System – Experience from Actual Operation of Bus in Hanoi. Tokai University, Japan.

Briney, A (2018). Geographic Facts About New Delhi, India. https://www.thoughtco.com/geography-of-new-delhi-1435049. Tought.Co.

Centre for Science and Environment (2017). Congestion on Delhi Roads has Worsenend- says new analysis by CSE of Latest Google Map Data. https://www.cseindia.org/congestion-on-delhi-roads-has-worsened–6994

https://delhiprojectkarly.weebly.com/urban-problemssolutions.html

Ritter, M (2018). As Egypt Builds New Capital, What Becomes of Cairo?. https://learningenglish.voanews.com/a/as-egypt-builds-new-capital-what-becomes-of-cairo-/4665409.html. VOA

Midolo, E (2019). Inside Egypt’s New Capital. https://www.propertyweek.com/insight/inside-egypts-new-capital/5101721.article. Property Week

Michaelson, R (2018). Cairo has Started to Become Ugly: Why Egypt is Building a New Capital City. https://www.theguardian.com/cities/2018/may/08/cairo-why-egypt-build-new-capital-city-desert. The Guardian.

https://en.wikipedia.org/wiki/Environmental_issues_in_Egypt

Potret Kehidupan Kota Modern Di Antara Hutan

Oleh: Galuh Shita Ayu Bidari

Rencana pemindahan ibukota negara yang telah lama menjadi pembahasan dan pengkajian, kini telah menemui titik terang. Kalimantan Timur, sebagai lokasi Ibu Kota baru yang terpilih dan memiliki kekayaan alam berupa bentang hutan yang sangat luas, akan mengusung konsep City in The Forest. Kota baru ini juga akan mengkolaborasikan konsep kota modern, smart, beautiful, dan sustainable dengan kekayaan hutan tropis.

Konsep kota hutan tidak sama dengan hutan kota. Idealnya, konsep kota hutan mengusung upaya restorasi hutan di tengah pembangunan kebutuhan kota yang masif. Terlebih, kebutuhan untuk pembangunan ibu kota negara yang cukup kompleks. Berlokasi di jantung hutan terbesar di Indonesia, perencanaan ibu kota baru dengan konsep kota hutan perlu sangat berhati-hati.

Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur nantinya direncanakan terdiri dari minimal 50% ruang terbuka hijau dan akan diharmonisasikan secara maksimal dengan keaslian alamnya. Proses pembangunan yang direncanakan di dalam masterplan akan meminimalisasi intervensi terhadap alam dan banyak mengintegrasikan ruang hijau dan biru. Selain itu, ibu kota baru juga akan mengadopsi new urbanism yang bertemakan bangunan dan infrastruktur hijau (green building/infrastructure). Salah satu kebijakan yang menarik, kompleks pemerintahan yang akan dibangun di ibu kota baru dilakukan secara vertikal, namun akan diatur ketinggian bangunannya agar tidak melebihi tinggi pohon di hutan.

Konsep kota hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pengembangan kota hutan diharapkan akan dapat mereduksi polusi udara dan menambah jumlah udara bersih. Dalam skema yang lebih besar, kota hutan juga diharapkan akan mampu memerangi fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi. Terdapat beberapa contoh kota hutan, baik di dalam maupun di luar negeri. Terdapat kota hutan yang telah ada sejak beratus tahun lamanya dan terdapat pula contoh kota hutan yang masih menjadi konsep. Berikut merupakan ulasan mengenai kota-kota hutan tersebut:

Kuala Kencana, Indonesia

Kuala Kencana adalah sebuah kota megah yang berada di tengah belantara Papua. Kota ini pertama kali diresmikan pada tahun 1995 oleh Presiden Soeharto dan merupakan kota yang sepenuhnya dikelola oleh PT Freeport Indonesia, sebagai komplek permukiman karyawan. Secara administratif Kota Kuala Kencana termasuk ke dalam Kabupaten Mimika, dengan Timika sebagai ibukota daerah. Hanya warga yang memiliki kartu akses pegawai PT Freeport yang diperbolehkan masuk ke kota ini.

Kota ini diklaim sebagai kota pertama di Indonesia yang memiki sistem utilitas (listrik, air, komunikasi) bawah tanah. Selain itu, kota ini juga diklaim sebagai kota pertama yang memiliki sistem pengolahan air kotor. Air kotor akan disalurkan ke pusat pengelolaan limbah sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar. Air keran yang disalurkan ke rumah-rumah juga berstandar tinggi dan aman untuk langsung diminum.

Sumber: Cahaya Rustia Vio via intisari.grid.id

Kualitas udara di Kuala Kencana tergolong sangat bersih. Hal ini dikarenakan penduduk di kota ini sebagian besar menggunakan sepeda untuk beraktifitas sehari-hari. Mudah untuk menemukan fasilitas parkir sepeda yang dilengkapi dengan besi pengaman, tak lupa juga dengan jalur pejalan kaki yang rapi. Kota ini ditata dengan baik sehingga kota ini dapat menjadi rujukan bagi pembanguna kota-kota lain di Indonesia.

Manaus, Brazil

Brazil memiliki kota yang berada di tengah belantara Amazon, yaitu Manaus. Kota Manaus telah ada sejak tahun 1669. Kota ini memiliki luas sebesar 11.455,38 km² dan terletak di sepanjang tepi utara Sungai Negro. Manaus merupakan kota metropolitan yang terbesar di Amazon dan memiliki pelabuhan utama yang berjarak 1500 km dari laut serta sebuah bandar udara internasional. Kota ini menjadi pelabuhan utama dan merupakan pusat pengumpulan dan distribusi utama untuk wilayah sungai di seluruh lembah Amazon. Pada awal perkembangannya, Manaus merupakan kota pertama di Brazil yang dialiri oleh listrik. Kegiatan industri yang terdapat di Manaus adalah pembuatan bir, pembuatan kapal, pembuatan sabun, produksi bahan kimia, pembuatan peralatan elektronik, dan pemurnian minyak bumi. Pariwisata telah menjadi bagian dari ekonomi di kota ini. Kota ini juga memiliki kebun raya dan kebun binatang, serta taman hutan alami di pinggirannya.

Sumber: Google Image

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1,8 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,5% sementara rata-rata pertumbuhan penduduk Brazil adalah sebesar 1,17% di tahun yang sama. Tantangan besar yang dihadapi kota ini adalah peningkatan populasi, pembangunan informal yang menyebar luas, pembuangan limbah informal di lingkungan permukiman berkualitas rendah, kualitas air dan lainnya. Tingginya pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan perkembangan hunian illegal di pinggiran sungai. Ancaman terhadap kondisi hutan hujan sangat parah. Masyarakat yang tinggal di area Monte Horebe menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan yang luar biasa sebagai akibat dari tingginya kebutuhan akan hunian yang terjangkau. Sebagai pusat ekonomi di Amazon, Manaus berhasil menarik ribuan pendatang setiap tahunnya dan meningkatkan kekhawatiran akan permasalahan kota yang lebih besar.

Liuzhou Forest City, China

Di negara lain, China telah lebih dulu menjadi pionir dengan terlebih dulu memproklamirkan konsep kota hutan pertama di dunia yang diklaim mampu mereduksi polusi udara. Konsep ini telah dilontarkan pada tahun 2017 dan sedang dalam masa persiapan konstruksi. Pengembangan kota dengan nama Liuzhou Forest City ini mengambil lokasi di area pegunungan Guangxi. Dirancang oleh Stefano Boeri Architetti, kota hutan ini akan mampu mengakomodasi sekitar 30 ribu orang di lingkungan yang sebagian besar tertutup oleh tanaman dan pohon.

Sumber: Steffano Boeri Architetti via forbes.com

Kota hutan ini diperkirakan akan dapat menyerap 10.000 ton karbon dioksida dan 57 ton polutan per tahun dan juga menyediakan 900 ton oksigen per tahunnya, serta mengurangi suhu udara dan menyediakan habitat baru bagi satwa liar terlantar. Bangunan yang ada dirancang untuk ditanami tanaman pada bagian fasad dan disesain untuk swasembada energy dengan dilengkapi dengan panel surya. Transportasi ke pusat kota juga direncanakan akan mengefisiensikan sumber daya yang ada, yaitu berupa jalur kereta berkecepatan tinggi dan kendaraan listrik.

Forest City Johor, Malaysia

Di sisi lain, Malaysia juga tengah mengembangkan kota hutan di salah satu pulau buatan yang dimilikinya. Kota ini berlokasi di kawasan ekonomi khusus Iskandar, yang berada di ujung paling selatan Semenanjung Malaysia yang berbatasan langsung dengan Singapura. Proses pengembangannya memakan waktu sekitar 25-30 tahun berdasarkan oleh Rencana Transformasi Ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2006.

Terletak sekitar 2 km dari Singapura, kota ini dirancang untuk dapat mengakomodasi 700 ribu orang pada lahan seluas 14 km² (sekitar 4 kali luas Central Park di New York). Kota ini juga mengusung konsep Smart City, dimana mobil tidak diperbolehkan berada di area ini, selain itu bangunan dan gedung pencakar langit akan dirancang untuk ditumbuhi tanaman pada bagian fasadnya untuk mengurangi polusi suara dan polusi udara. Kota ini direncanakan akan selesai dikembangkan pada tahun 2035 dan diklaim menciptakan sebanyak 220.000 lapangan pekerjaan.

Video interaktif untuk melihat perkembangan pembangunan kota hutan dapat dilihat pada link berikut https://720yun.com/t/5emn6w7mwnh4mz78fw?pano_id=NjxV6DlGaeDzje8Z

Yang menarik, dilansir dari media straitstimes.com, perdana menteri Malaysia sempat mengungkapkan bahwa hunian yang terdapat di kota ini tidak akan dijual kepada orang asing. Ungkapan ini dikeluarkan atas kekhawatiran bahwa warga lokal tidak akan dapat membeli hunian dengan harga yang terjangkau apabila sebagian hunian diperjualbelikan kepada warga negara asing.

Sumber: prnewswire.com

Atlanta, Amerika Serikat

Atlanta terletak di Georgia, Amerika Serikat, dan dikenal sebagai ‘City in the Forest’. Kota ini dikelilingi oleh banyak pepohonan besar dan banyak jenis tanaman lainnya yang menyelimuti sebagian besar insfrastruktur buatan manusia. Atlanta memiliki sekitar 500 ribu penduduk. Populasi terus bertambah dan pemerintah mengkhawatirkan kebutuhan akan rumah yang kemungkinan meningkat. Namun yang terjadi, kepadatan penduduk tidak bertambah tetapi rumah yang semula berukuran kecil berubah menjadi lebih luas dan menghabiskan lahan yang lebih besar.

Sebuah studi menyatakan bahwa Georgia masuk ke dalam 5 negara bagian yang mengalami kehilangan tutupan pohon perkotaan terbesar dan menyimpulkan bahwa wilayah metropolitan Amerika Serikat kehilangan sekitar 36 juta pohon setiap tahunnya (sekitar 175.000 hektar tutupan pohon). Pada tahun 2008, sekitar 48% wilayah perkotaan Atlanta berhasil ditutupi oleh pepohonan yang ditanami baik oleh sukarelawan maupun organisasi non-profit yang bekerja sama dengan pemerintah. Sejak saat itu, pemerintah menetapkan terget untuk terus menaikkan presentase tutupan pohon di Atlanta.

Departmen Perencanaan Kota Atlanta tengah membantu mengembangkan Urban Ecologi Framework atau Kerangka Kerja Ekologi Perkotaan, dengan melakukan penilaian terhadao kanopi, daerah aliran sungai, dan ruang hijau yang ada. Kerangka kerja tersebut diharapkan akan dapat menghasilkan lebih banyak perubahan kebijakan yang diperlukan untuk melindedungi tutupan pohon.

Sumber: Google Images

DAFTAR PUSTAKA

  • forestcityjohor.com/
  • www.prnewswire.com/news-releases/forest-city-malaysia-completes-new-homes-introduces-connected-smart-city-experience-300883306.html
  • www.straitstimes.com/asia/se-asia/johors-forest-city-project-off-limits-to-foreign-buyers-says-malaysian-pm-mahathir
  • www.weforum.org/agenda/2018/08/smart-cities-forest-city-belmont/
  • edition.cnn.com/style/article/china-liuzhou-forest-city/index.html
  • www.archdaily.com/874364/worlds-first-vertical-forest-city-breaks-ground-in-china
  • www.liputan6.com/regional/read/4045591/melihat-konsep-forest-city-ibu-kota-baru-ri-bakal-di-tengah-hutan-kaltim
  • www.liputan6.com/bisnis/read/4032532/dibangun-di-kalimantan-ibu-kota-baru-akan-menyatu-dengan-hutan
  • ekonomi.bisnis.com/read/20190906/45/1145246/ibu-kota-negara-ahli-perencanaan-dunia-akan-bahas-konsep-forest-city
  • nasional.kompas.com/read/2019/08/29/08572681/usung-konsep-forest-city-50-persen-ibu-kota-baru-akan-jadi-rth?page=all
  • www.kompasiana.com/gigih98582/5d63da33097f3606b12c9222/melihat-konsep-forest-city-untuk-ibu-kota-baru-indonesia?page=all
  • www.forbes.com/sites/trevornace/2017/06/30/chinas-new-forest-city-will-make-you-rethink-urban-cities/#1f6aa15cdabd
  • www.britannica.com/place/Manaus
  • www.visitbrasil.com/destinations/manaus.html
  • atlasbrasil.org.br/2013/en/perfil_m/5017/#educacao
  • lcluc.umd.edu/hotspot/urbanization-manaus-brazil
  • www.theguardian.com/cities/2019/jul/23/the-jungle-metropolis-how-sprawling-manaus-is-eating-into-the-amazon
  • intisari.grid.id/read/03910384/mengintip-kota-kuala-kencana-milik-pt-freeport-di-papua-modern-canggih-dan-bersih?page=all
  • backpackerjakarta.com/kota-kuala-kencana-kota-paling-rapi-di-indonesia/
  • www.atlantamagazine.com/news-culture-articles/saving-the-city/
  • ww.gpbnews.org/post/inside-fight-keep-atlanta-city-forest

Masa Depan Transportasi Umum Massal di Jabodetabek

Oleh : Annabel Noor Asyah

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jabodetabek merupakan sebuah akronim dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Jabodetabek idealnya merupakan sebuah kawasan yang terintegrasi dengan baik mengingat ribuan perjalanan dilakukan antar region setiap harinya. Bukanlah hal ganjil seorang pekerja di tengah kota Jakarta memiliki rumah di Kota Bogor yang jaraknya 60 km dan ia harus melakukan pegerakan ulang alik setiap harinya. Saat ini rute dan moda pergerakan yang mendukung kegiatan ulang alik tersebut masih terbatas. Dapat kita perhatikan setiap jam masuk ataupun pulang kantor, stasiun-stasiun transit di Jakarta seperti Stasiun Manggarai dan Tanah Abang selalu padat dan tumpah ruah oleh para komuter. Kadang, kapasitas kereta juga tidak mampu menampung beban banyaknya penumpang, akibtanya banyak yang berdesak-desakan sehingga membayahakan keselamatan.

Untuk mensiasati hal tersebut, maka diterbitkanlah Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018. RITJ merupakan sebuah pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan, serta pengawasan dan evaluasi transportasi di wilayah perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. RITJ akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2018-2029. Adapun yang menjadi sasaran dalam penyelenggaran RITJ ini adalah sebagai berikut:

Sumber: Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang RITJ

Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan di atas, terdapat dua kebijakan mengenai pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan dan berbasis rel yang sangat menarik untuk diulas. Mari kita simak seperti apa wajah sistem transportasi perkotaan Jabodetabek 10 tahun mendatang!

Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Jalan

Kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan memiliki strategi pembentukan jaringan pelayanan transportasi angkutan umum perkotaan yang meliputi jaringan trayek angkutan orang dan jaringan lintas angkutan barang. Strategi tersebut memiliki 5 program unggulan, yaitu:

  • Pengembangan rute Transjabodetabek Ekspres

Terdapat 37 rute baru dalam pengembangan Transjabodetabek Ekspres. Rute akan menghubungkan 8 kota/kabupaten di luar provinsi Jakarta dengan titik-titik transit strategis di Jakarta seperti Pasar Senen, Blok M, Lebak Bulus, Manggarai dan lain sebagainya. Pengembangan rute-rute ini akan dilakukan selama 10 tahun masa berlaku RITJ.

  • Pengembangan Rute Transjabodetabek Reguler

Terdapat 37 rute dalam pengembangan Transjabodetabek Reguler. Origin dan destinasi dari ke-37 rute ini hampir sama dengan rute Transjabodetabek Ekspres. Yang membedakan hanyalah akan terdapat lebih banyak pemberhentian sebelum mencapai destinasi akhir. Pengembangan rute-rute ini juga akan dilakukan selama 10 tahun masa berlaku RITJ.

  • Pengembangan Angkutan Pengumpan (Feeder) yang melayani Transjabodetabek

Rencana pengembangan angkutan pengumpan akan berlokasi di seluruh wilayah Jabodetabek. Angkutan ini nantinya akan memudahkan pelaku pergerakan untuk berpindah dari rumah menuju stasiun/halte jaringan transportasi utama. Pengembangan angkutan pengumpan akan berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2026.

  • Pengembangan Angkutan Pemadu Moda

Rencana pengembangan angkutan pemadu moda akan difokuskan pada tiga Kota/Kabupaten, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Nantinya akan terdapat angkutan umum massal yang mengakomodir pegerakan menuju/dari bandar udara dan pelabuhan laut.  Rencana ini akan diimplementasikan dalam kurun waktu 2018-2019.

  • Penataan Angkutan tidak Dalam Trayek

Penataan angkutan tidak dalam trayek terdiri dari penataan angkutan taksi, angkutan dengan tujuan tertentu (angkutan permukiman), angkutan pariwisata, dan angkutan kawasan tertentu. Penataan ini akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2021.

Peta Pengembangan Sistem Transportasi Berbasis Jalan di Jabodetabek
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang RITJ

Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Rel

Selain pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan, terdapat pula rencana pengembangan berbasis rel. Pengembangan sistem transportasi berbasis rel memiliki strategi yaitu melalui pembangunan dan pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan berbasis rel yang menghubungkan wilayah Jabodetabek dengan program-program berupa:

  • Pembangunan Jalur Kereta Api Ringan (Light Rail Transit/LRT) baik di wilayah Jakarta maupun di luar wilayah Jakarta (Bodetabek)

Dalam RITJ, terdapat 25 rencana pengembangan jalur LRT. Pengembangan tersebut terdiri dari 13 rute yang berada di dalam Jakarta, dan 12 rute yang menghubungkan Jakarta dengan kota/kabupaten lain termasuk di dalamnya Bandara Internasional Soekarno dan Hatta. Pengembangan seluruh jalur LRT tersebut akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2029.

  • Pembangunan jalur Automated People Mover (APM)/ Automated Guideway Transit (AGT)/ Tram

Terdapat 9 lintasan yang akan direncanakan sebagai jalur tram pada kawasan Jabodetabek. Jalur-jalur tersebut pada umumnya merupakan jalur istimewa seperti jalur kawasan industri, jalur kawasan wisata dan jalur bandara-kemayoran. Pengembangan tram difokuskan pada kawasan-kawasan di luar Jakarta. Pengembangan seluruh jalur tram ini juga akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2029.

  • Pembangunan jalur kereta api massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT)

Pengembangan jalur MRT akan dilakukan pada dua koridor yaitu koridor Utara-Selatan (Kampung Bandan-Bundaran HI-Lebak Bulus) dan koridor Timur-Barat (Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja). Pengembangan jalur MRT ditargetkan akan rampung pada tahun 2029.

  • Pembangunan kereta api bandara

Pengembangan kereta api bandara terdiri dari dua program yaitu pembangunan express line Bandara Soekarno-Hatta (Manggarai-Sudirman-Tanah Abang-Angke-Pluit-Bandara SHIA) dan pembangunan commuter line (Soedirman-Duri-Batu Ceper- Bandara SHIA). Pengembangan kereta bandara ini akan rampung pada tahun 2020.

  • Pembangunan loop line railway (Jakarta elevated loop line railway)

Pembangunan loop line railway akan memakan waktu 6 tahun, terhitung sejak tahun 2018 hingga 2023. Adapun program yang terdapat di dalamnya adalah Penyusunan DED dan pembangunan Jakarta Elevated Loop Line Railway.

  • Pembangunan jalur ganda (Double Track)

Pembangunan jalur ganda yang merupakan rencana dari periode sebelumnya memiliki 4 jalur yang akan menghubungkan Tangerang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Program ini akan memakan waktu selama 4 tahun hingga tahun 2021.

Peta Rencana Pembangunan MRT dan LRT di Jabodetabek
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang RITJ

Ketika sudah diimplementasikan, kedua kebijakan tersebut akan menjadi wajah baru sistem transportasi Jabodetabek yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.  Dengan adanya RITJ ini kian memberikan optimisme bahwa di masa mendatang sistem transportasi di Indonesia akan setara dengan sistem pergerakan di negara maju seperti Singapura dan Jepang. Namun disamping itu, banyak hal yang harus disiapkan dan diperhatikan oleh seluruh stakeholders, terutama oleh pemerintah, dalam upaya mewujudkan kedua kebijakan yang terkandung dalam RITJ tersebut.

Selain menyiapkan sumberdaya dan anggaran, ke depannya pemerintah juga perlu menyiapkan hal-hal teknis terkait pengimplementasian RITJ. Sebagai contoh, dalam pengimplementasian rencana interkoneksi antarjaringan, pemerintah perlu menyiapkan rencana yang lebih detail dan rinci untuk mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD). Pemerintah juga perlu mensiasati  tentang bagaimana mewujudkan sistem kerjasama yang baik dan sistematis antara pemerintah dan pihak swasta melalui skema kerjasama public-private partnership (PPP) demi terciptanya sistem jaringan transportasi Jabodetabek yang berkelanjutan dan mengakomodir kebutuhan masyarakat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus menyiapkan jenis kebijakan lain untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi sehingga sasaran penyelenggaraan transportasi Jabodetabek dapat tercapai. Kebijakan tersebut dapat berupa pemberlakukan kawasan 3 in 1, pembatasan usia kendaraan, peningkatan pemberlakuan pajak kendaraan, pembatasan area parkir kendaraan pribadi, dan penerapan syarat kepemilikan kendaraan pribadi.

Apakah pemerintah dan seluruh pihak yang relevan mampu mewujudkan RITJ dan menertibkan para pengguna kendaraan pribadi?

Daftar Isi

Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek

Pesona Jalur Pejalan Kaki

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari

Jalur pejalan kaki merupakan salah satu aspek kota yang esensial. Keberadaannya memiliki peran penting dalam menhubungkan berbagai titik antara satu dengan yang lainnya. Namun sayangnya, keberadaan jalur pejalan kaki seringkali tidak diindahkan, bahkan dilupakan. Padahal, dengan adanya jalur pejalan kaki yang nyaman akan dapat membuat suatu wilayah menjadi hidup.

Dengan adanya jalur pejalan kaki yang memadai, masyarakat dapat menikmati suasana kota dengan lebih leluasa. Jika jalur pejalan kaki mampu dibuat lebih nyaman bagi penggunanya, bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih memilih untuk menggunakan sarana tersebut dibandingkan dengan menggunakan moda transportasi. Tentu saja hal tersebut harus didukung dengan tersedianya prasarana transportasi yang juga memadai, dalam arti, nyaman dari segi kualitas dan mencukupi dari segi kuantitas.

Di Indonesia sendiri, ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman dan memadai masih tergolong minor. Keberadaan jalur pejalan kaki seringkali hanya sebatas formalitas dan tidak memperhatikan standar-standar yang seharusnya tersedia. Sebagai contoh, adanya tiang listrik di tengah jalur pejalan kaki, tidak adanya jalur bagi penyandang disabilitas, tinggi antar undakan yang tidak sama, dan bahkan yang lebih menyedihkan, jalur pejalan kaki juga seringkali dirampas oleh para pengguna kendaraan bermotor.

Padahal, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengeluarkan prinsip umum penyediaan fasilitas pejalan kaki, yakni:

  • memenuhi aspek keterpaduan sistem, dari penataan lingkungan, sistem transportasi, dan aksesilibitas antar kawasan;
  • memenuhi aspek kontinuitas, yaitu menghubungkan antara tempat asal ke tempat tujuan, dan sebaliknya
  • memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan;
  • memenuhi aspek aksesibilitas, dimana fasilitas yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik.

Penyediaan ruang bagi pejalan kaki memberikan banyak dampak positif, baik bagi individu maupun bagi perkembangan kota. Di statu sisi, adanya jalur pejalan kaki akan memberikan dampak baik bagi kesehatan individu. Dari sudut pandang kota, kehadiran ruang publik berupa jalur pejalan kaki akan mampu menarik beragam aktivitas sehingga akan menciptakan suatu titik atraksi yang menarik bagi para pejalan kaki.

Ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman akan menarik masyarakat untuk terus menggunakan fasilitas tersebut. Ada beberapa manfaat serta nilai tambah yang bisa diperoleh dari pembangunan jalur pejalan kaki, yaitu:

  • memberikan lebih banyak lagi ruang publik bagi warga kota
  • mengurangi kemacetan kota
  • membantu penciptaan kesehatan lingkungan kota dengan penurunan tingkat polusi dan meningkatkan kualitas udara kota.
  • salah satu infrastruktur penting bagi pengembangan pariwisata di pusat kota
  • dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi
  • merangsang kegiatan publik seperti penyelenggaraan pameran, periklanan, dan lain sebagainya.
  • dapat menarik beragam kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.  

Beberapa kota besar di Indonesia kini mulai berbenah. Sebagian besar telah menyadari pentingnya kehadiran jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman. Komitmen dan niat baik para pemerintah daerah terkait penyediaan jalur pejalan kaki perlu diapresiasi dan didukung dengan baik.

DKI JAKARTA

Kota Jakarta mulai berbenah sejak penyelenggaraan ASEAN GAMES di tahun 2018 silam. Selain pembenahan transportasi melalui pembangunan jalur MRT (Mass Rapid Transit), berbagai ruas jalan juga turut diperlebar dan ditambah dengan berbagai fasilitas penunjang yang membuat nyaman penggunanya.

Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan anggaran khusus untuk penataan jalur pejalan kaki melalui APBD (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah). Wacana penataan jalur pejalan kaki telah dicanangkan sejak era pemerintahan Ahok, dengan target penataan sepanjang 2.600 km yang tersebar pada 48 lokasi. Namun, apabila hanya mengandalkan anggaran APBD maka penyelesaian target penataan jalur pejalan kaki diperkirakan bari akan selesai dalam 50 tahun kemudian sehingga pemerintah mempertimbangkan opsi penggunaan kompensiasi koefisien lantai bangunan (KLB) oleh pihak swasta. Dilansir dari jakarta.bisnis.com, penataan jalur pejalan kaki yang berada di sepanjang ruas Sudirman hingga MH Thamrin telah menggunakan skema pengenaan denda terhadap kelebihan koefisien KLB yang dibiayai oleh PT Kepland Investama dan PT Mitra Panca Persada, dengan dibantu oleh PT MRT Jakarta. Dengan beragam skema tersebut, kini Jakarta telah memiliki wajah-wajah baru yang kian mempercantik ibu kota negara ini. Hal ini turut didukung dengan antusias masyarakat yang semakin banyak menggunakan fasilitas tersebut.

Sebagai contoh, jalur pejalan kaki yang membentang diantara Stasiun Kereta Api Sudirman dengan Stasiun MRT Dukuh Atas yang ramai dilewati oleh masyarakat, mampu menarik sebagian pihak untuk menyelenggarakan suatu pameran seni dalam waktu singkat namun efektif.

Jalur Pejalan Kaki Stasiun MRT Dukuh Atas
Sumber: Galuh Shita A.B, 2019

SOLO

Kota Solo adalah salah satu kota yang menyadari akan pentingnya ketersediaan jalur pedestrian. Jalur pejalan kaki di Kota Solo awalnya diperuntukkan sebagi tempat berkumpul bagi para warga sembari duduk santai menikmati Kota Solo tanpa terganggu oleh kendaraan yang melintas. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah pengunjung yang datang tak kunjung bertambah. Hal ini membuat Pemerintah Kota Solo mengubah konsep penataan jalur pejalan kaki. Beberapa titik ruas jalan di kota ini mulai dibenahi dan direvitalisasi secara total mulai dari standarisasi jalur pejalan kaki, tata artistik, serta material yang dibuat menjadi lebih baik. Pemerintah menginginkan Kota Solo dapat dikenal sebagai kota yang sangat ramah untuk para pejalan kaki. Tak hanya ramah untuk para pejalan kaki, namun juga dapat dimanfaatkan warga tempat interaksi warga untuk aktivitas warga Kota Solo.

Pada tahun 2011, Kota Solo pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan ajang ASEAN Para Games, sebuah pesta olahraga bagi para atlet berkebutuhan khusus. Pemerintah Kota Solo membenahi kota dengan membangun seluruh fasilitas publik yang ramah pada pengguna berkebutuhan khusus. Kota Solo bahkan menjadi yang pertama dalam menyusun regulasi terkait warga berkebutuhan khusus. Hasilnya Kota Solo kini menjadi salah satu kota yang memiliki jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia.

Sumber: Phinemo.com

SURABAYA

Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan penataan jalur pejalan kaki. Hingga akhir 2018, penataan jalur pejalan kaki diklaim telah mencapai 52.700 meter. Penataan jalur pejalan kaki dibangun dengan lebar 2 hungga 3 meter dan dilengkapi dengan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Selain pelebaran dan penggantian material, tiap tahun berbagai pembenahan terus dilakukan, seperti pengecatan agar lebih berwarna dan pemasangan hiasan. Penataan jalur pejalan kaki juga dibangun untuk mengatasi banjir di tengah kota dengan membangun saluran tepat di bawah jalur pejalan kaki agar tidak terjadi genangan air saat musim hujan tiba.

Dengan klaim sebagai kota dengan jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia, selain upaya revitalisasi yang dilakukan secara terus menerus, Pemerintah Kota Surabaya juga terus berupaya menjaga dan melakukan perawatan terhadap jalur pejalan kaki yang ada. Beberapa strategi perawatan yang utama adalah menjaga keamanan pejalan kaki, baik dari tindak kriminal maupun aman dari kendaraan bermotor. Selain itu, pemerintah kota juga rutin menjaga kebersihan jalur pejalan kaki dengan selalu membersihkannya dengan air bertekanan tinggi dan air sabun setiap hari. Dalam satu hari, tim satgas melakukan perawatan di 3 hingga 5 titik sehingga ja;ur pedestrian di Surabaya tampak selalu bersih dan rapi. Penempatan tampat sampah yang estetik juga tak luput dari perhatian. Lalu, penggantian material dan elemen yang sudah tak layak pakai juga selalu dilakukan. Jalur pejalan kaki umumnya rusak karena berlubang atau adanya keramik yang rusak dan pecah-pecah yang disebabkan oleh lapisan atas jalur yang tidak mampu menahan beban yang melintas.

Sumber: news.okezone.com

BANDUNG

Kota Bandung pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada tahun 2015. Dari keseluruhan ruas jalan yang ada, Jalan Asia Afrika adalah jalur pejalan kaki terbaik yang ada di Kota Bandung. Kelengkapan fasilitas jalan yang apik, kualitas bahan yang baik, badan trotoar yang berukuran lebar, disediakan pula fasilitas lain berupa halte dan tempat duduk untuk bersantai.

Terdapat pula pot bunga berukuran besar, hiasan bola batu dan juga lampu hias, membuatnya menjadi sangat instagramable. Ruas jalan ini sangat diminati baik bagi warga lokal maupun bagi wisatawan. Pemerintah Kota Bandung telah menganggarkan APBD sebesar Rp 163 milyar dan ditambah dengan Rp 52 milyar dari bantuan Pemerintah Provinsi untuk mempercantik jalur pejalan kaki di kawasan ini.

Sumber: thecolourofindonesia.com

Diharapkan, kota-kota lain dapat segera berbenah untuk dapat menyediakan jalur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan ramah terhadap disabilitas. Tugas kita sebagai warga kota yang baik adalah dengan mendukung dan ikut menjaga fasilitas kota yang ada.

Sumber:

  • Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Kementerian PUPR, Tahun 2018
  • Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
  • news.okezone.com/read/2018/11/30/512/1985283/menengok-upaya-keras-solo-ciptakan-kota-ramah-pejalan-kaki
  • www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/22/kriteria-trotoar-yang-baik-dan-kota-di-indonesia-yang-memilikinya
  • jakarta.bisnis.com/read/20180306/77/746543/penataan-trotoar-habiskan-rp360-miliar-berasal-dari-denda-klb-era-ahok-djarot-
  • www.cnnindonesia.com/nasional/20170804114007-20-232439/bangun-80-km-trotoar-pemprov-dki-siapkan-rp412-miliar
  • surabayastory.com/2018/08/27/strategi-merawat-pedestrian-surabaya/

Hal Yang Harus Diperhatikan Ketika Melakukan Permohonan Penerbitan Imb Untuk Bangunan Non Hunian Di DKI Jakarta

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah setempat dan wajib dimiliki oleh pemilik bangunan. Kehadiran IMB berlaku bagi pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi bangunan. Proses mengurus IMB tidaklah rumit, namun terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan dalam pembuatannya.

Ketahui Peruntukkan Lahannya

Sebelum mengajukan permohonan IMB, penting untuk mengetahui terlebih dahulu peruntukkan ruang yang ada pada lokasi yang diinginkan. Jangan sampai ketika semua sudah dikerjakan, ternyata tanah yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukkan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, selalu cek peruntukkan ruang di dalam Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang telah disahkan. Untuk wilayah DKI Jakarta, dokumen RDTR dapat diakses melalui website resmi milik Pemerintah DKI Jakarta yakni:

  • https://dcktrp.jakarta.go.id/beranda/rdtr.html untuk mengakses dokumen Perda RDTR
  • http://smartcity.jakarta.go.id/maps/ untuk mengakses peta interaktif. Pilih ‘Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan’ pada menu, lalu pilih wilayah yang diinginkan, pada bagian kanan akan muncul tautan peta yang dapat diunduh untuk melihat peraturan zonasi pada lokasi yang diinginkan.

Ketahui Persyaratan atau Perizinan yang Harus Dimiliki

Terdapat beberapa jenis perizinan yang harus dimiliki oleh pemohon sebelum melakukan permohonan penerbitan IMB. Secara umum jenis perizinan yang diatur oleh setiap daerah tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lainnya. Sebaiknya pemohon melakukan kunjungan terlebih dahulu ke dinas terkait untuk mengetahui jenis perizinan apa saja yang perlu ditempuh sebelum melakukan permohonan penerbitan IMB. Pada beberapa kasus, terdapat beberapa perizinan yang dipersyaratkan sebelum mendapatkan IMB, yakni:

  • Izin lingkungan
  • Izin dewatering (jika terdapat basement)
  • Izin peil lantai bangunan
  • Izin kelayakan lingkungan hidup
  • Izin membangun prasarana (IMP)
  • Izin instalasi pengolahan air limbah
  • dan lainnya

Kenali Prosesnya dan Ajukan Permohonan ke Dinas Setempat

Proses pembuatan IMB di DKI Jakarta dapat dilakukan di Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PM & PTSP). Proses komunikasi dengan staff dinas dapat dilakukan secara daring maupun luring, bahkan disediakan pula layanan melalui telepon dan video call. Dilansir dari website dinas yakni pelayanan.jakarta.go.id terdapat lebih dari 500 izin yang dapat diurus melalui PTSP.

Sumber: Diolah dari Dinas PM & PTSP, diakses pada Agustus 2019

Terkait dengan pengurusan IMB untuk bangunan non hunian, terdapat 3 jenis permohonan pengajuan IMB yang dilayani oleh PTSP DKI Jakarta berdasarkan lama waktu penerbitan, yakni:

IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas A

Permohonan IMB bangunan kelas A diperuntukkan untuk bangunan non hunian yang memiliki tinggi lebih dari 8 lantai dengan luas bangunan diatas 2.000 m², dan pondasi dalam lebih dari 2 meter.

IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas B

Permohonan IMB bangunan kelas B diperuntukkan untuk bangunan non rumah tinggal dengan jumlah lantai kurang dari 8 lantai, rumah tinggal pemugaran cagar budaya golongan A, IMB reklame, dan IMB menara.

IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Khusus (Paket IMB 3 Jam)

Dinas PTSP DKI Jakarta menyediakan layanan permohonan IMB yang dapat dikeluarkan dalam jangka waktu 1 hari, namun pelayanan tersebut terbatas pada bangunan yang memiliki tinggi tidak lebih dari 2 lantai dengan luas bangunan paling luas sebesar 1.300 m².

Demikian hal-hal mendasar yang penting untuk diperhatikan sebelum mengurus IMB. Semoga bermanfaat!

TOD Series #2: Praktik Penerapan Konsep TOD di Berbagai Kota di Dunia

Oleh : Annabel Noor Asyah

Setelah membahas tentang definisi, prinsip dan manfaat konsep TOD pada artikel sebelumnya, kali ini akan dibahas mengenai implementasi konsep TOD di beberapa kota di dunia. Sejak konsep ini digaungkan pada akhir 1980an, sudah banyak kota yang mengadopsi konsep tersebut dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan pergerakan masyarakat di dalamnya. TOD sudah banyak diterapkan di Amerika seperti di Kota Sacramento dan Evanston. Di Eropa pun konsep ini dirasa pas untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi seperti yang terlihat di Kota Rotterdam. Baru-baru ini, DKI Jakarta juga mulai berbenah dan mencoba untuk menerapkan konsep TOD dengan memutakhirkan jaringan transportasi publik yang mereka miliki. Simak praktik-praktik penerapan konsep TOD di bawah ini:

  • Rotterdam, Belanda

Penerapan konsep TOD di negeri kincir angin, Belanda, terlihat dari fungsi sebuah kawasan yang berada di jantung hati kota Rotterdam yaitu kawasan Blaak. Blaak merupakan pusat kota Rotterdam dimana di dalamnya terdapat fungsi kawasan campuran, baik fungsi komersil, residensial maupun perkantoran. Di kawasan ini juga terdapat stasiun kereta yang menghubungkan Rotterdam dengan kota lain yaitu Kota Delft. Jalur kereta pada stasiun Blaak juga difungsikan sebagai jalur metro atau kereta bawah tanah yang  menjadi jaringan antara area di dalam kota Rotterdam. Kawasan Blaak juga dilengkapi dengan ruang publik berupa plaza dan taman yang kerap digunakan oleh masyarakat untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Setiap hari Selasa dan Sabtu, plaza tersebut digunakan sebagai pop-up market atau pasar dadakan yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif terjangkau. Untuk mendukung banyaknya aktivitas yang terdapat di Blaak, disediakan pula tempat parkir sepeda yang mampu menampung ribuan sepeda, terutama bagi pengguna sepeda yang transit dan hendak menlanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kawasan Blaak telah memiliki segala komponen yang merupakan unsur utama pengembangan konsep TOD terutama jalur pedestrian dan sepeda yang memudahkan pergerakan dengan tanpa menggunakan kendaraan bermotor.

Kawasan Blaak dengan Konsep TOD
Sumber: Hasil Olahan. 2019
Kondisi Kawasan TOD Blaak
Sumber: Hasil Olahan. 2019
  • Sacramento, Amerika Serikat

Konsep TOD juga menjadi arah perencanaan di Kota Sacramento, Amerika Serikat. Dilansir dari website pemerintah Kota Sacramento, diketahui bahwa konsep yang termasuk rencana jangka panjang daerah ini sudah mulai diterapkan pada tahun 2018 yang lalu. Pemerintah Kota Sacramento mempertimbangkan untuk mendukung pergerakan transit dengan menggunakan moda kereta ringan namun tetap membatasi pembangunan di sekitar area transit pengimplementasian konsep TOD terarah. Pemerintah Sacramento berpendapat bahwa penerapan TOD akan mengurangi efek rumah kaca dan menciptakan komunitas yang lebih sehat dengan mendukung pergerakan tanpa moda bermotor. TOD dianggap akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi pemilik tanah ke depannya dan akan memberikan kemudahan akses terhadap kebuuhan sehari-hari bagi kaum lansia yang tidak bisa berkendara secara mandiri. Pemerintah akan memberikan insentif terhadap developer yang dapat mengembangkan bangunan residensial dengan minimum unit berjumlah 25 unit atau lebih. Pemerintah juga berencana untuk mereduksi lahan parkir kendaraan bermotor di dekat stasiun transit.

Pengembangan TOD di Sacramento, Amerika Serikat
Sumber: cityofsacramento.org , 2019
  • Evanston, Illinois, Amerika Serikat

Evanston merupakan sebuah kota transit bagi komunitas di pinggir kota North Shore dan merupakan tempat bagi perusahaan-perusahaan besar bernaung. Evanston merupakan kota yang stabil dan ideal untuk kegiatan residensial dan bisnis, kendati populasi di Evanston sangat beragam dari segi ekonomi maupun ras. Pada tahun 1986, pemerintah kota Evanston memiliki rencana untuk menciptakan kawasan dengan kepadatan yang tinggi di sepanjang Chicago Avenue dan sekitar empat stasiun kereta yang mereka miliki serta jalur pedestrian yang mumpuni. Kemudian puluhan tahun selanjutnya, Pemerintah Kota Evanston merevisi rencana tersebut dengan detail-detail yang menjadi nyawa dari konsep TOD.

Evanston memperbaharui peraturan zonasinya dengan mengurangi alokasi tempat parkir kendaraan bermotor pada area residensial multi-keluarga dan gedung-gedung bertingkat. Hal ini diperkirakan akan menstimulus kebiasaan masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika hendak melakukan pergerakan. Pemerintah Evanstom juga mendukung pembangunan area residensial kepadatan tinggi yang dikelilingi kawasan peruntukkan campuran dengan pusat transportasi. Peraturan zonasi tersebut berhasil meningkatkan frekuensi bus dan memperbanyak rute pergerakan dan destinasi. Peraturan tersebut juga menstimulus munculnya jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di kota Evanston.

Pengembangan TOD di Kota Evanston
Sumber: Communicating the Benefits of TOD, 2006
  • DKI Jakarta, Indonesia

Tidak hanya kota-kota di belahan benua Amerika dan Eropa saja yang telah menerapkan konsep TOD, Indonesia pun sudah mulai bergerak untuk mengimplementasikan konsep yang dapat menstimulus pergerakan masyarakat tanpa kendaraan pribadi bermotor ini. Salah satu kota yang menjadi pioner dalam pengembangan TOD adalah DKI Jakarta bersamaan dengan kota-kota besar di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek, telah direncanakan beberapa titik yang akan dikembangkan menjadi kawasan TOD. Berikut adalah lokasi potensial pengembangan TOD di Jabodetabek yang tertuang dalam perpres tersebut:

Lokasi Pengembangan TOD di Jabodetabek
Sumber: Perpres No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek

Adapun yang menjadi titik lokasi pengembangan TOD di Jakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Rencana Pengembangan TOD di Jakarta
Sumber: Pepres No. 55 Tahun 2018

Pengembangan kawasan berorientasi transit di Jakarta ini akan dimulai dengan pengembangan sistem jaringan transportasi umum yang mumpuni berupa MRT, LRT, dan Bus Rapid Transit. Pada April 2019, telah diresmikan kawasan TOD pertama di Jakarta yaitu Kawasan TOD Dukuh Atas dimana terdapat titik-titik transit seperti Stasiun Kereta Api Sudirman, Stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun BNI City (Kereta Bandara), dan Stasiun Trans Jakarta dalam suatu kawasan yang sama.

Dilansir dari website jakartamrt.co.id (2019), dalam pengimplementasiannya, Pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan PT. MRT Jakarta untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD Dukuh Atas. Dalam mengembangkan perencanaan TOD, PT MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip TOD, yaitu Fungsi Campuran; Kepadatan Tinggi; Peningkatan Kualitas Konektivitas; Peningkatan Kualitas Hidup; Keadlian Sosial; Keberlanjutan Lingkungan; Ketahanan Infrastruktur; dan Pembaruan Ekonomi.  Diharapkan pengembangan konsep TOD di Jabodetabek khususnya di Jakarta dapat menuai manfaat dan mendorong berbagai keuntungan seperti:

  1. Mengurangi penggunaan kendaraan, kemacetan jalan, dan polusi udara;
  2. Pembangunan yang mendukung berjalan kaki serta gaya hidup sehat dan aktif;
  3. Meningkatkan akses terhadap kesempatan kerja dan ekonomi;
  4. Berpotensi menciptakan nilai tambah melalui peningkatan nilai properti;
  5. Meningkatkan jumlah penumpang transit; dan
  6. Menambah pilihan moda pergerakan kawasan perkotaan
Rencana Pengembangan TOD di Dukuh Atas
Sumber: metro.sindonews.com , 2019

Dari ulasan di atas dan contoh pengimplementasian konsep TOD di mancanegara, dapat diketahui bahwa sistem transit akan membuat pergerakan menjadi lebih efektif dan efisien. TOD dapat diimplementasikan dengan baik apabila terdapat dukungan dari pemangku kebijakan yang secara serius mengupayakan agar terwujudnya manfaat-manfaat TOD itu sendiri. Dari contoh di atas terlihat bahwa upaya mengurangi alokasi lahan untuk tempat parkir dapat mempengaruhi kebiasaan pergerakan masyarakat dan dapat menjadi satu langkah kecil untuk menerapkan konsep TOD di masa mendatang.

Daftar Isi

Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek

Gorewitz, et al (2006). Communicating the Benefits of TOD: The City of Evanston’s Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System. Center for TOD.

Zimbabwe, S et al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for Transit-Oriented Development.

Institute for Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/

Transit Oriented Development Institute (2019). Transit Oriented Development. http://www.tod.org/

www.cityofsacramento.org/Community-Development/Planning/Major-Projects/TOD-Ordinance

www.jakartamrt.co.id/konektivitas/transit-oriented-development-tod/

metro.sindonews.com/read/1400864/171/kawasan-tod-dukuh-atas-terkendala-integrasi-moda-1556802229

TOD Series #1: Transit Oriented Development, Sebuah Konsep Untuk Menjawab Tantangan Perkotaan

Oleh : Annabel Noor Asyah

Definisi dan Prinsip Konsep TOD

Transit Oriented Development (TOD) atau yang dalam bahasa disebut Kawasan Berorientasi Transit merupakan sebuah konsep yang kian populer dan mendunia dalam bidang perencanaan serta penataan kota. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh seorang arsitek yang juga perancang kota yaitu Peter Calthorpe pada akhir 1980-an. TOD kian manjadi sorotan dalam bidang perencanaan modern ketika Calthorpe mempublikasikan buku yang berjudul “The New American Metropolis” pada tahun 1993. Lantas apakah sebenarnya yang menjadi definisi dari TOD itu sendiri?

Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), TOD memiliki arti sebagai sebuah kawasan yang didesain untuk menyatukan masyarakat kota, kegiatan perkotaan, gedung dan bangunan, serta ruang publik secara bersamaan dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang memadai, serta dekat dengan lokasi transit untuk menjangkau bagian kota lainnya.

Penerapan konsep TOD berpotensi untuk menciptakan kualitas lingkungan perkotaan dengan kualitas yang baik dengan mereduksi penggunaan kendaraan pribadi. Pengimplementasian konsep TOD akan menstimulus terbentuknya lingkungan masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang beragam serta dapat mengurangi dampak negatif dari degradasi lingkungan, serta memberikan alternatif-alternatif nyata untuk menyelesaikan masalah kemacetan (Ditmarr dkk, 2004).

Pengembangan kawasan TOD hendaknya memperhatikan beberapa prinsip yang menjadi nayawa dari konsep tersebut. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

Sumber: Institute For Transportation & Development Policy, 2019

Manfaat Konsep TOD

Dalam penerapannya, konsep TOD memiliki beragam manfaat bagi kawasan perkotaan baik dalam hal lingkungan, sosial maupun ekonomi. Dalam hal lingkungan, TOD akan mereduksi penggunaan bahan bakar, mengurangi polusi udara dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor. Penerapan TOD juga akan meminimalisir kemungkinan terjadinya kemacetan dan kecelakaan lalu lintas akibat banyaknya jumlah kendaraan bermotor pribadi yang melintas.

Dari sisi sosial, pengembangan konsep TOD akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota dengan tersedianya tempat tinggal, tempat kerja dan tempat rekreasi yang lebih kompak dan mudah diakses. Selain itu masyarakat kota juga dapat hidup lebih sehat mengingat kebiasaan berjalan kaki yang akan terbangun ketika konsep ini diterapkan. Rutinitas berjalan kaki diketahui juga dapat mereduksi tingkat stress pada masyarakat perkotaan. Hal itu juga berlaku bagi penggunaan sepeda.  

Dari kacamata ekonomi, penerapan konsep TOD akan meningkatkan daya saing suatu kawasan seiring dengan meningkatnya peluang investasi pada kawasan tersebut. TOD juga berperan dalam mengurangi biaya pergerakan yang dikeluarkan oleh masyarakat sehari-harinya. Hal tersebut akan berpengaruh kepada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di luar kebutuhan transportasi. TOD juga memberikan dampak pada stabilitas harga properti di sekitar kawasan tersebut.

Daftar Isi

Gorewitz, et al (2006). Communicating the Benefits of TOD: The City of Evanston’s Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System. Center for TOD.

Zimbabwe, S et al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for Transit-Oriented Development.

Institute for Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/

Transit Oriented Development Institute (2019). Transit Oriented Development. http://www.tod.org/

http://www.cityofsacramento.org/Community-Development/Planning/Major-Projects/TOD-Ordinance