Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya

Galuh Shita

Sebagai negara yang sangat luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang sangat banyak, seluruh rakyat Indonesia tentu berharap agar kondisi ini dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah memiliki regulasi dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada UU tersebut, disebutkan bahwa pemerintah mengizinkan penanaman modal asing dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang dapat diperoleh melalui izin menteri.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km². Terbitnya peraturan ini tentu sangatlah menunjukkan sikap kepedulian pemerintah untuk mengatur pemanfaatan pulau kecil dan perairan sekitarnya menjadi lebih baik.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib untuk memperhatikan pemanfaatan sumber daya hayati dan/atau pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan, kerentanan dan kelestarian ekosistem pulau-pulau kecil, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, keberadaan situs budaya tradisional, teknologi yang digunakan, dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun pemanfaatan pulau-pulau kecil juga wajib untuk menyediakan akses publik, memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan pulau-pulau kecil dan perairan, serta wajib untuk mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota yang berwenang.

Sementara persyaratan yang harus dipenuhi berkaitan dengan penanaman modal asing yaitu wajib untuk bekerja sama dengan peserta Indonesia, pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, dan pengalihan teknologi. Hal ini dilakukan pemerintah agar negara dapat turut berperan dan terlibat langsung dalam pemanfaatannya. Terkait dengan pengalihan saham, ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebanyak minimal 20% dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak diterbitkannya izin usaha.

Prioritas Kegiatan dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Jenis serta luasan lahan yang akan dimanfaatkan haruslah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Pulau-pulau kecil yang akan dimanfaatkan oleh penanaman modal asing juga diarahkan untuk berada pada pulau-pulau yang tidak memiliki penghuni dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Alokasi pemanfaatan ruang di pulau kecil diatur dengan kriteria sebagai berikut:

  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau dikuasai langsung oleh Negara (digunakan untuk area publik, kepentingan masyarakat, dan lainnya)
  • paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh Pelaku Usaha. Atau luasan dapat disesuaikan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota
  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau atau kawasan lindung

Ilustrasi Alokasi Pemanfaatan Ruang di Pulau-Pulau Kecil

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Izin pemanfaatan pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing perlu mendapat persetujuan menteri, yang diberikan kepada pelaku usaha berbadan hukum yang berbentuk perseroan terbatas. Sebelumnya, pelaku usaha harus mengajukan permohonan terlebih dahulu melalui Lembaga Online Single Submission (OSS). Adapun dokumen rencana yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut:

  • surat rekomendasi dari bupati/walikota
  • rencana usaha, yang harus memuat:
    • penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
    • peta lokasi pemanfaatan tanah dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
    • rencana pemberian akses publik
    • rencana pengalihan teknologi
    • rencana kerja sama dengan peserta Indonesia
    • rencana pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia
    • pertimbangan aspek ekologi, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi dalam pelaksanaan usaha

Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km²

Pemerintah juga memberikan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km² melalui peraturan menteri yang sama. Disebutkan bahwa persyaratan permohonan untuk izin pemanfaatan juga dilakukan dengan melalui sistem OSS. Izin rekomendasi ini dikecualikan bagi masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pelaku usaha perorangan dan badan hukum koperasi atau korporasi dapat mengajukan rekomendasi pemanfaatan, dengan memenuhi beberapa persyaratan dokumen seperti:

  1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
  2. Rencana usaha yang paling sedikit memuat:
  3. penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
  4. peta lokasi pemanfaatan lahan dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
  5. data daya dukung lingkungan dan kerentanan pulau
  6. mengikuti aturan luasan lahan di Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  7. Bukti pemilikan dan/atau penguasaan tanah yang sah dan menyatakan bahwa sudah tidak terdapat permasalahan dengan pihak lain.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km

Izin Lokasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Setiap investasi dan pemanfaatan ruang di wilayah laut haruslah mengantongi izin lokasi. Pengaturan terhadap izin lokasi ini menjalankan amanat yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut (RTRL). Seperti diketahui bahwa peraturan terkait RTRL merupakan acuan serta alat kendali pemerintah untuk memastikan keberlanjutan di wilayah perairan. Hal ini dikarenakan PP ini menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan zonasi untuk kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, kawasan antarwilayah, serta wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai acuan penyusunan kebijakan kelautan nasional, dan acuan pemberian izin di laut.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut, disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan ruang atau pemanfaatan sumber daya di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi secara menetap dan terus menerus selama paling singkat 30 hari diwajibkan untuk memiliki izin lokasi, izin pengelolaan, atau izin lokasi di laut. Di mana disebutkan bahwa wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial. Sementara cakupan wilayah yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Sementara pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.

Izin Lokasi

Izin lokasi merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Izin lokasi berupa dokumen kesesuaian ruang atau zonasi yang dipersyaratkan dalam perizinan sektor lain sesuai dengan ketentuan perundangan. Izin lokasi juga menjadi dasar untuk pemberian izin pengelolaan atau izin usaha sektor lain yang memanfaatkan ruang laut secara menetap di sebagian perairan pesisir dan izin pelaksanaan reklamasi.

Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi, yang meliputi rencana zonasi KSN, KSNT, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi. Namun, pemberian izin juga dapat diberikan berdasarkan data RTRL, seperti:

  • pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bernilai strategis nasional dan belum dimuat dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana zonasi KSN, rencana zonasi KSNT, atau rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi
  • pendirian atau penempatan bangunan dan instalasi di laut berupa pipa dan/atau kabel bawah laut, dan instalasi minyak dan gas bumi yang melintasi perairan pesisir

Izin Pengelolaan

Izin pengelolaan merupakan izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Izin pengelolaan dapat diberikan berdasarkan izin lokasi. Pelaku usaha dapat melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan produksi garam, wisata bahari, pemanfaatan laut selain energi, pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi, pengangkatan BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam), biofarmakologi laut, dan bioteknologi laut.

Izin Lokasi di Laut

Izin lokasi di laut merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup permukaan laut, kolom air, permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, dan dapat diberikan berdasarkan rencana zonasi kawasan antarwilayah atau data RTRL. Izin lokasi di laut TIDAK DAPAT diberikan pada zona inti di kawasan konservasi dan kawasan konservasi untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara dengan metode terbuka, dumping, dan reklamasi.

Tidak hanya kepada pelaku usaha, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, pemerintah memberikan fasilitasi perizinan terhadap masyarakat lokal untuk kegiatan perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis, perikanan budidaya menetap, pergaraman, wisata bahari, dan permukiman di atas air. Masyarakat lokal memperoleh fasilitasi perizinan yang ditetapkan oleh bupati atau walikota. Berbeda dengan pelaku usaha yang dapat mengajukan pengurusan izin lokasi melalui Lembaga OSS (Online Single Submission). Luasan izin lokasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan dan skala usaha, daya dukung dan daya tamping/ketersediaan ruang perairan, kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan, pemanfaatan perairan yang telah ada, teknologi yang digunakan, serta potensi dampak yang lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan yang diusulkan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang kepulauan yang sangat luas memiliki wilayah pesisir serta keberadaan pulau-pulau kecil yang membentang luas dan tersebar di seluruh penjuru. Hal ini tentu berbanding lurus dengan potensi yang dimilikinya untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diatur pengelolaannya.

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dinilai strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dilansir dari penjelasan Undang-Undang tersebut, dikatakan bahwa dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Pemerintah kemudian melakukan perubahan pada Undang-Undang tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Definisi dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk:

  • melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan
  • menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
  • memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan
  • meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

Lingkup Perencanaan dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K)

RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)

RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, yang memiliki muatan sebagai berikut:

  • pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut
  • keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion
  • penetapan pemanfaatan ruang laut
  • penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K)

Dokumen rencana ini berisikan muatan sebagai berikut

  • kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang
  • skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan
  • mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses
  • ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K)

RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis.

Setiap warga negara Indonesia, badan hukum, ataupun masyarakat adat pesisir dapat melakukan pemanfaatan pengusahaan di perairan pesisir dengan sebelumnya perlu untuk mengantongi hak pengusahaan terlebih dahulu. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) merupakan hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap juga wajib memiliki izin lokasi yang diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil mencakup kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan. Sementara pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industry perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan pertahanan dan keamanan negara. Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, maka pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tata Ruang Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang RTRL

Galuh Shita

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan memiliki garis pantai yang panjang membentang berbanding lurus dengan hasil kekayaan laut Indonesia begitu melimpah, sehingga diperlukan suatu tata ruang khusus agar tidak disalahgunakan. Dilansir dari antaranews, direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan alasan perlunya dilakukan sebuah perencanaan tata ruang laut di Indonesia, yakni dikarenakan adanya pandangan bahwa laut merupakan properti bersama, berbeda dengan daratan yang dapat dimiliki sehingga diperlukan suatu peraturan zonasi. Hal ini untuk menghindari adanya penyalahgunaan aktivitas di laut. Sehingga kemudian berbagai hal tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan berkaitan dengan laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut.

Sebelumnya, peraturan mengenai kelautan sendiri telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan, yakni:

  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang Wilayah Yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang Laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyebutkan bahwa pengelolaan ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyebutkan bahwa perencanaan tata ruang Laut merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan Rencana Tata Ruang Laut

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa ruang lingkup perencanaan tata ruang laut terbagi mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Dimana wilayah perairan mencakup perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan Laut teritorial yang di dalamnya negara memiliki kedaulatan dan dapat memberlakukan yurisdiksinya berdasarkan ketentuan perundangundangan dan hukum internasional. Sedangkan wilayah yurisdiksi mencakup wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen, dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Laut menjadi pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional bidang kelautan; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional bidang kelautan; perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan serta kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah dalam memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang laut; penetapan lokasi dan fungsi ruang laut untuk kegiatan yang bernilai strategis nasional; perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; perencanaan zonasi kawasan laut; dan arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta di laut.

Muatan Rencana Tata Ruang Laut

Wilayah PerairanWilayah Yurisdiksi
Kebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah perairanRencana struktur ruang laut wilayah perairanRencana pola ruang laut wilayah perairanPenetapan kawasan pemanfaatan umum yang memiliki nilai strategis nasionalKebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah yurisdiksi;Rencana struktur ruang laut wilayah yurisdiksiRencana pola ruang laut wilayah yurisdiksi.

Tata ruang laut memiliki ketentuan terhadap rencana struktur dan pola ruang. Pada rencana struktur ruang wilayah, muatan substansi menitikberatkan pada 2 hal yakni susunan pusat pertumbuhan kelautan (mencakup pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan; serta pusat industri kelautan) dan sistem jaringan prasarana dan sarana laut yang berupa tatanan kepelabuhanan nasional dan perikanan. Sedangkan pada rencana pola ruang, muatan substansi mencakup kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan KSNT (Kawasan Strategis Nasional Tertentu). Adapun rencana pola ruang laut wilayah perairan wajib untuk memenuhi:

  • ketentuan daya dukung dan daya tamping lingkungan
  • persyaratan pengelolaan lingkungan
  • penggunaan teknologi ramah lingkungan
  • pelaksanaan hak dan kewajiban negara pantai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum internasional

Seperti diketahui bahwa pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa dokumen RTRW akan turut mencakup tata ruang laut sehingga tidak terjadi tumpeng tindih kebijakan. Dilansir dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan per Februari 2021, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengumumkan status perencanaan ruang laut Indonesia/Indonesia’s Marine Spatial Planning (MSP) pada laman MSP Global, Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) – UNESCO. MSP Indonesia yang dimuat pada laman MSP Global menggambarkan status MSP per Juni 2020. Pada laman ini memuat informasi dan status Rencana Tata Ruang Laut yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 32 Tahun 2019 dan seluruh Rencana Zonasi di tingkat nasional yang meliputi Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), dan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT) maupun di tingkat provinsi yang terdiri dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Disebutkan pula bahwa status MSP Indonesia dalam laman ini akan dimutakhirkan lagi pada pertengahan tahun 2021 dan akan menyesuaikan dengan perkembangan Undang-Undang Cipta Kerja, lalu setiap tahun akan dimutakhirkan Kembali sesuai dengan status perkembangannya.


Bahan Bacaan

  • Antaranews. 2019. “Alasan Perlunya Perencanaan Tata Ruang Laut”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/926055/alasan-perlunya-perencanaan-tata-ruang-laut#mobile-src
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021. “KKP Umumkan Status Perencanaan Ruang Laut Indonesia di UNESCO”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://kkp.go.id/djprl/artikel/27203-kkp-umumkan-status-perencanaan-ruang-laut-indonesia-di-unesco
  • Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut

Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Dirancang dan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Pemerintah pada beberapa waktu lalu memberikan beberapa pengaruh pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya adalah sektor tata ruang. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai amanat dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengubah sebagian muatan dalam UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Kelautan. Sehingga dengan kata lain, UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan penataan ruang secara nasional.

Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berikut merupakan beberapa perubahan terkait penataan ruang yang terdapat di dalam UU tersebut.

Pokok Perubahan dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja

Sumber: Paparan Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang oleh Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota ITB

UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 dinilai oleh pemerintah sebagai salah satu langkah strategis dalam mengatasi permasalahan investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang salah satunya diakibatkan oleh tumpang tindih pengaturan penataan ruang. Peraturan ini juga dikeluarkan guna memberikan kemudahan investasi melalui perwujudan pemanfaatan ruang yang strategis. Selama ini proses penataan ruang dianggap rumit dan berbelit-belit sehingga dengan dikeluarkannya peraturan perundangan ini dapat memutus permasalahan yang ada dan memberikan kemudahan dalam konteks iklim investasi. Hal ini sesuai dengan aspirasi Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo, yang dilansir dari hukumonline, bahwa sektor penataan ruang sangatlah penting untuk dimaksimalkan agar dapat mendukung kegiatan ekonomi, khususnya tentang kesesuaian kegiatan pemanfataan ruang dalam perizinan berusaha.

Dampak Perubahan Dikeluarkannya UU CK dan PP Nomor 21 Tahun 2021

Sumber: Bahan Paparan Sosialiasi Kebijakan Penataan Ruang oleh Kementerian ATR BPN

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Dilansir dari kontan, Direktur Jenderal Tata Ruang, Abdul Kamarzuki, menyatakan bahwa tata ruang menjadi prasyarat dasar pedoman usaha maupun perusahaan yang akan berdiri. Dalam UU Cipta Kerja, persyaratan dasar perizinan investasi dan usaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan.

Kini pemerintah tengah gencar mensosialisasikan PP Nomor 21 Tahun 2021 secara luas agar masyarakat dapat memahami dan menyesuaikan hal-hal yang berkaitan dengan penataan ruang. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2021 adalah dengan mengubah susunan muatan substansi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun dokumen RTRW kini mengintegrasikan tata ruang laut, darat, udara, dan dalam bumi ke dalam satu kesatuan dokumen. Adapun muatan yang terkandung dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang secara garis besar mengatur berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penataan ruang, seperti:

  • Perencanaan tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
  • Pemanfaatan ruang yang mengatur ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
  • Pengendalian pemanfaatan ruang, yang mengatur penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian perwuiudan rencana tata ruang, pemberian insentif dan disinsentif, pengenaan sanksi, dan penyelesaian sengketa penataan ruang.
  • Pengawasan penataan ruang, yang meliputi pemantauan evaluasi, dan pelaporan, yang merupakan upaya untuk menjaga kesesuaian penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pembinaan penataan ruang yang diselenggarakan secara sinergis oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang juga mencakup pengaturan mengenai pengembangan profesi perencana tata ruang untuk mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan penataan ruang.
  • Kelembagaan penataan ruang yang mengatur mengenai bentuk, tugas, keanggotaan, dan tata kerja forum penataan ruang.

Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Indrajati, RM Petrus Natalivan. 2020. “Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang”. Diperoleh 23 April 2021 dari http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2020/12/20201211-Implikasi-UU-CK-terhadap-Penyelenggaraan-Penataan-Ruang.pdf
  • Rizki, Januar Mochamad. 2020. “Ini Pokok Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja Soal Tata Ruang, Industri dan Perdagangan Peraturan”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang–industri-dan-perdagangan/
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Pengurusan Perubahan Pajak Bumi dan Bangunan

Galuh Shita

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pungutan atas tanah dan bangunan yang memiliki nilai sosial dan ekonomi yang dibebankan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki hak atau memperoleh hak di atasnya. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan, dengan kata lain besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek pajak tersebut yaitu bumi, tanah, dan bangunan, sedangkan keadaan subyeknya tidak ikut menentukan besarnya barang. Seperti diketahui, Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pembangunan daerah maupun nasional guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, objek PBB-P2 dibagi menjadi 2, yakni objek pajak umum dan objek pajak khusus. Objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Sedangkan objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memilki arti yang khusus, seperti jalan tol, galangan kapal, dermaga, lapangan golf, pabrik semen/pupuk, tempat rekreasi, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, stasiun pengisian bahan bakar, dan menara.

Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan kewenangan dalam pemungutan pajak di sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penentuan pajak dilakukan berdasarkan NJOP yang juga berdasarkan pada luasan persil tanah atau bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi persil sendiri berarti sebidang tanah dengan ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kewenangan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk ke dalam persyaratan dan tata caranya.

Pembaharuan terhadap informasi pemetaan dan pendataan data persil obyek PBB-P2 merupakan salah satu cara untuk meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dari tahun ketahun untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan public. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat kelompok masyarakat yang melakukan perubahan terhadap persil PBB yang dimilikinya sehingga pembaharuan data obyek PBB menjadi sangat penting.

Berikut merupakan persyaratan serta langkah yang harus ditempuh dalam melakukan pengurusan perubahan PBB.

 (Kab. Gunung Kidul)  
Syarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2 (secara peseorangan)
(Karanganyar)
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung dan Kesalahan Penerapan Ketentuan PBB
(Kabupaten Kutai Barat)  
1. Pendaftaran Data Baru PBB 2. Mutasi Objek, Subjek Pajak 3. Pemecahan 4. Pembetulan,lt,lb & nama Wajib Pajak 5. Keberatan NJOP 6. Keterangan NJOP 7. Duplikat SPPT PBB
Persyaratan– Mengajukan Surat Permohonan
– Mengisi formulir SPOP (Surat Permohonan Objek Pajak)
– Mengisi formulir LSPOP (Lampiran SPOP)
– Melampirkan Fotokopi KTP
– Melampirkan fotokopi bukti kepemilikan tanah (akta/sertifikat/letter C/Model D/Surat Ukur)
– Melampirkan print out pelunasan PBB P2 tahun sebelumnya
– Surat permohonan Wajib Pajak yang telah diisi lengkap
– Fotokopi SPPT PBB tahun pajak sebelumnya
– Fotokopi bukti pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya
– Pengisian SPOP/LSPOP
– Formulir permohonan
– FC KTP /KK pemohonSertifikat, PPAT
– Akta jual beli/hibah/warisSurat keterangan kepala Kampung /lurah
– Foto copy surat bangunan antara lain, IMB, IPB, HGU
– Dokumen lainnya dari wajib pajak
Sistem, Mekanisme, Prosedur– Pengguna Layanan mengambil nomor antrian
– Pengguna Layanan mengisi formulir dan menyerahkan berkas persyaratan
– Petugas Layanan memeriksa dan meneliti kelengkapan dan kelengkapan berkas persyaratan
– Petugas me- register permohonan
– Pengguna Layanan menerima bukti pengajuan permohonan
– Pengguna Layanan menunggu proses pelayanan (catatan: pengguna layanan memberikan nomor yang bisa dihubungi untuk klarifikasi dan atau untuk memberitahukan selesainya permohonan sebelum batas waktu yang ditentukan)
– Wajib Pajak mendatangi langsung Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan mengambil nomor antrian
– Petugas TPT memanggil nomor antrian
– Wajib Pajak mendatangi Loket TPT dan menyerahkan Formulir pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kesalahan penerapan ketentuan PBB Sektor Lainnya
– Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen
– Dalam hal berkas permohonan belum lengkap, petugas mengembalikan berkas permohonan Wajib Pajak dan menginformasikan apa saja yang masih harus dilengkapi
– Dalam hal berkas permohonan telah lengkap, petugas TPT menerbitkan Bukti Penerimaan Surat dan disampaikan kepada Wajib Pajak
– Dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah tanggal BPS, Pelaksana Layanan mencetak SPPT PBB pembetulan dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui pos dengan bukti pengiriman surat
– Wajib Pajak mengurus pendaftaran objek pajak pada Badan Pendapatan Daerah
– Pendaftaran objek pajak meliputi: – Identifikasi objek pajak – Verifikasi data objek pajak; dan – Pengukuran bidang objek pajak
– Pendaftaran objek pajak dituangkan dalam formulir SPOP dan/atau LSPOPSPOP dan/atau LSPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Badan Pendapatan Daerah atau tempat-tempat lain yang ditunjuk dan diisi dengan jelas, benar,lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak dan dikembalikan ke Badan Pendapatan Daerah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP dan/atau LSPOP oleh subjek pajak atau kuasanya dengan melengkapi persyaratan pendaftaran PBB
– Pendataan objek pajak di lakukan oleh Badan Pendapatan daerah dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP dan/atau LSPOP berdasarkan hasil pendataan terhadap objek pajak di berikan NOP.Penilaian objek pajak dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat atas nama Bupati menerbitkan SPPT/SKPD/SKPDNSPPT dicetak/diterbitkan berdasarkan data yang telah tersedia pada basis data Pemerintah Daerah dan/atau berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak
– SPPT/SKPD/SKPDN dapat diterbitkan melalui; – Pencetakan missal; – Pencetakan biasa dalam rangka; 1. Pembuatan salinan SPPT/SKPD 2. Penerbitan SPPT/SKPD/SKPDN sebagai tindak lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan; 3. Tindak lanjut pendaftaran objek pajak baru; dan 4. Mutasi objek dan/atau subjek pajak
Waktu Penyelesaian1 Minggu5 hari kerja10 Hari kerja (sejak permohonan diterima PPID dapat memperpanjang waktu paling lama 7 hari kerja)
Biaya/TarifTidak dipungut biayaTidak dipungut biayaTidak dipungut biaya
Produk PelayananSyarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan BangunanSPPT PBB

Sumber: sipp.menpan.go.id


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/di-yogyakarta/kabupaten-gunung-kidul/syarat-perubahanpembetulan-data-sppt-pbb-p2-secara-peseorangan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kementerian-keuangan/direktorat-jenderal-pajak/kantor-wilayah-direktorat-jenderal-pajak-jawa-tengah-ii/upp-kpp-pratama-karanganyar/pembetulan-kesalahan-tulis-kesalahan-hitung-dan-kesalahan-penerapan-ketentuan-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-timur/kabupaten-kutai-barat/1pendaftaran-data-baru-pbb–2mutasi-objeksubjek-pajak–3pemecahan–4pembetulanltlb–nama-wajib-pajak–5keberatan-njop–6keterangan-njop—7duplikat-sppt-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-selatan/kota-banjar-baru/pembuatan-pbb

Zona Nilai Tanah, Definisi dan Pengaruhnya

Galuh Shita

Tanah merupakan elemen dasar dari bumi yang sangat dibutuhkan oleh berbagai makhluk hidup. Dalam lingkungan perkotaan, keberadaan tanah sangatlah krusial. Selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, tanah juga berfungsi sebagai dasar untuk bertempat tinggal serta tempat mencari nafkah. Dewasa ini, keberadaan tanah menjadi hal yang sangat diimpikan. Nilainya yang terus melonjak tinggi dari tahun ke tahun membuatnya menjadi sebuah primadona yang kerap kali diinginkan oleh berbagai pihak. Hal ini menyebabkan permintaan akan tanah juga terus meningkat, yang juga turut menyebabkan permasalahan keterbatasan ketersediaan tanah, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum. Di samping itu, tanah memiliki nilainya tersendiri yang perlu untuk diseragamkan guna menghindari terjadinya konflik di masyarakat. Tanpa adanya standarisasi perhitungan nilai tanah, maka harga dasar tanah dapat menjadi tidak terkontrol.

Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai tanah. Lokasi merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi besaran harga nilai tanah, semakin strategis lokasi tanah tersebut, maka semakin baik pula nilai tanah tersebut. Strategis dapat diartikan sebagai dekatnya lokasi tanah dengan berbagai fasilitas penting yang terdapat di sekitarnya, seperti keberadaan fasilitas komersil, fasilitas transportasi, pemerintahan, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah kondisi internal dari tanah itu sendiri, seperti jenis tanah, kondisi tanah, keterjangkauan terhadap fasilitas telekomunikasi/internet, ketersediaan air tanah, dan sebagainya.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengeluarkan sebuah kebijakan untuk dapat menyediakan peta zona nilai tanah. Hal ini berkaitan dengan keberadaan tanah yang juga termasuk ke dalam objek pajak. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Hasil dari kajian terhadap ZNT dalam menentukan NJOP akan digunakan sebagai dasar pembaruan data nilai tanah dan sebagai media informasi nilai tanah bagi pelaksanaan transaksi peralihan kepemilikan tanah serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi instansi pemerintah dalam menentukan penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui NJOP.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa NJOP merupakan dasar pengenaan pajak PBB-P2 yang ditetapkan besarannya oleh Kepala Daerah setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayahnya. NJOP merupakan nilai yang diperoleh dari harga rata-rata transaksi jual beli. Namun dalam prakteknya, sebagian besar Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan NJOP dan masih menggunakan NJOP yang belum dimutakhirkan, sehingga NJOP di daerah belum mencerminkan harga transaksi atas objek Bumi dan Bangunan di daerah tersebut. Untuk membantu Pemerintah Daerah dalam rangka menetapkan nilai harga tanah berdasarkan zonasi, maka perlu untuk ditentukan Zona Nilai Tanah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, definisi dari Zona Nilai Tanah sendiri adalah zona geografis yang terdiri atas satu atau lebih objek pajak yang mempunyai satu NIR (Nilai Indeks Rata-Rata) yang sama, dan dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satuan wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan tanpa terikat pada batas blok. Dengan kata lain, ZNT merupakan kumpulan area yang terdiri dari beberapa bidang tanah dengan nilai tanah yang relatif sama pada batasan area yang telah ditentukan. Setiap area ZNT mempunyai nilai yang berbeda berdasarkan analisis terhadap nilai tanah yang dilakukan.

ZNT dapat dimanfaatkan untuk penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan, referensi masyarakat dalam transaksi, penentuan ganti rugi, inventarisasi nilai aset publik maupun aset masyarakat, memonitor nilai tanah dan pasar tanah, dan referensi penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), agar lebih adil dan transparan bagi masyarakat. NJOP merupakan acuan penarikan PBB yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup penting. Sehingga keberadaan peta ZNT sangat krusial sebagai dasar dari penyelenggaraan pembangunan di suatu daerah.

Contoh Peta Zona Nilai Tanah di Kota Semarang

Sumber: https://www.arcgis.com/apps/webappviewer/index.html?id=54252459a7f541988b4fdaf756dd5ac9

Dilansir dari kompas, saat ini pemerintah berencana untuk memperbaharui peta ZNT agar informasi yang disajikan kepada masyarakat dapat lebih akurat. Pemerintah berharap dengan adanya pembaruan ini maka informasi yang tersedia di dalam Peta ZNT dapat mencerminkan harga yang wajar dan dapat mencegah lonjakan harga yang dapat mempengaruhi ekonomi secara makro.


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Kemenkeu. 2019. “Penggunaan Zona Nilai Tanah sebagai Dasar Pemilihan Data Pembanding Untuk Penilaian Tanah dengan Pendekatan Perbandingan Data Pasar”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12937/Penggunaan-Zona-Nilai-Tanah-Sebagai-Dasar-Pemilihan-Data-Pembanding-Untuk-Penilaian-Tanah-Dengan-Pendekatan-Perbandingan-Data-Pasar.html#:~:text=Zona%20Nilai%20Tanah%20(ZNT)%20yang,nyata%20sesuai%20dengan%20penggunaan%20tanah
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Mengenal Rencana Detail Tata Ruang

Galuh Shita

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari rencana rinci tata ruang. Di Indonesia, terdapat dua jenis perencanaan utama yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang (RTR) yang menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan dalam jangka waktu dan lingkup tertentu. Rencana tata ruang terbagi menjadi 2, yakni rencana umum yang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rinci yang terdiri dari RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional dan RDTR Kabupaten dan Kota).

Kedudukan RDTR dalam Sistem Perencanaan Ruang

Penyusunan RDTR sendiri telah diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang serta diatur lebih jauh di dalam peraturan menteri yang diterbitkan pada tahun 2011 dan diperbaharui pada tahun 2018. Pada peraturan tersebut diatur mengenai hal-hal serta muatan substansi yang harus dipenuhi dalam menyusun dokumen RDTR, yang terdiri dari dokumen RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ). Adapun yang menjadi muatan substansi dari RDTR adalah tujuan penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP); rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; dan ketentuan pemanfaatan ruang.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menggantikan peraturan sebelumnya yang berkaitan dengan penyusunan substansi RDTR. Pada peraturan baru, terdapat perubahan susunan materi substansi dari dokumen RDTR. Pada peraturan yang baru, dokumen RDTR secara keseluruhan terdiri dari 7 bab, yang juga mengubah sub bab ketentuan khusus dan standar teknis menjadi materi wajib yang harus ada di dalam dokumen RDTR. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Perbedaan PERMEN ATR Nomor 20 Tahun 2011 dengan PERMEN ATR Nomor 16 Tahun 2018 tentang tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

Di dalam peraturan yang mengatur mengenai RDTR, secara umum penyusunan RDTR memiliki fungsi sebagai berikut:

  1. kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW;
  2. acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW;
  3. acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang;
  4. acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan
  5. acuan dalam penyusunan RTBL.

Sedangkan manfaat dari diselenggarakannya RDTR adalah:

  1. penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan permukiman dengan karakteristik tertentu;
  2. alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat;
  3. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan
  4. ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada tingkat BWP atau Sub BWP.

RDTR juga berfungsi untuk menentukan kesesuaian dokumen perencanaan dengan implementasi pembangunan di lapangan. RDTR merupakan dasar acuan dari diterbitkannya dokumen perizinan terkait bangunan. Tanpa adanya dokumen RDTR maka dokumen tersebut tidak dapat dikeluarkan. Jika sebelumnya untuk mendirikan bangunan diperlukan IMB, maka kini telah berganti menjadi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Meskipun telah berganti istilah, namun tetap memiliki fungsi yang sama.

Dokumen RDTR belum seluruhnya tersedia pada setiap kabupaten/kota di Indonesia. Dilansir dari harian kompas, ketersediaan dokumen RDTR baru tersedia sejumlah 55 RDTR saja dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dokumen RDTR umumnya disusun apabila dokumen RTRW yang telah ada tidak memiliki substansi yang mampu mencakup informasi detail. Keberadaan dokumen RTRW juga belum sepenuhnya tersedia, meskipun jumlahnya tidak lebih sedikit dari kekurangan dokumen RDTR. Jika ketersediaan dokumen RTRW di Indonesia sudah mencapai 95% maka ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia bahkan tidak mencapai lebih dari 5%. Hal ini tentu sangat disayangkan dan sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Terdapat beberapa faktor yang juga menjadi penyebab dari kontrasnya ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan peta dasar dengan skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR. Peta dasar yang disediakan haruslah mendapat persetujuan substansi dari Badan Informasi Geospasial. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Di samping itu, dibutuhkan pula validasi mengenai kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk mempercepat proses ini guna menyediakan dokumen RDTR di seluruh Indonesia, maka pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN tengah menggenjot program penyusunan RDTR melalui RDTR Bimbingan Teknis, RDTR Bantuan Teknis Reguler, dan RDTR Online Single Submission (OSS). Diharapkan dengan adanya program ini maka ketersediaan dokumen RDTR dapat segera terpenuhi di seluruh Indonesia.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Kompas. 2020. “Indonesia Baru Punya 55 RDTR yang Telah Jadi Perda”. Diperoleh 6 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2020/03/11/100000421/indonesia-baru-punya-55-rdtr-yang-telah-jadi-perda
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Pratama, M. Arszandi, dkk. 2015. Menata Kota melalui Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Perumahan/Permukiman Kumuh serta Upaya Penanganannya

Galuh Shita A.B.

Dalam setiap kota besar yang ada di Indonesia, permasalahan permukiman kumuh menjadi momok yang sering ditemui dan tak ayal menjadi sebuah gangguan visual yang harus diatasi. Tak hanya berupa gangguan visual, namun juga menjadi permasalahan sosial yang harus cepat ditangani guna menciptakan masyarakat perkotaan yang makmur dan sejahtera. Permukiman kumuh sendiri dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya dapat terjadi karena pengaruh arus urbanisasi yang tidak terkontrol. Tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan masyarakat mengokupansi lokasi hunian, baik legal ataupun illegal, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya kekumuhan di perkotaan.

Suatu lingkungan hunian dapat dikatakan kumuh apabila memiliki karakteristik seperti berikut, yaitu: kualitas bangunan tidak permanen, memiliki kepadatan tinggi dan tidak teratur, berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peraturan peruntukkan ruang, memiliki ukuran unit rumah yang relatif kecil, ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung permukiman yang sangat terbatas (kondisi jalan, drainase, persampahan, dan lainnya), rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, tingkat kesejahteraan penduduknya yang tergolong menengah ke bawah, dan sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, definisi dari permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Peningkatan kualitas terhadap perumahan dan permukiman kumuh dilakukan dengan meningkatkan kualitas bangunan, serta prasarana, sarana, dan utilitas umum. Kriteria perumahan dan permukiman kumuh ditinjau dari bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan proteksi kebakaran.

Kriteria KumuhKondisi
Bangunan Gedung– Ketidakteraturan bangunan
– Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang
– Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat
Jalan Lingkungan– Jaringan jalan lingkungan tidak melayani seluruh lingkungan perumahan atau permukiman
– Kualitas permukaan jalan lingkungan buruk
Penyediaan Air Minum– Akses aman air minum tidak tersedia
– Kebutuhan air minum setiap individu tidak terpenuhi
Drainase Lingkungan– Drainase lingkungan tidak tersedia
– Drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan
– Kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk
Pengelolaan Air Limbah– Sistem pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
– Prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
Pengelolaan Persampahan– Prasarana dan sarana persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
– Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
Proteksi Kebakaran– Prasarana proteksi kebakaran tidak tersedia
– Sarana proteksi kebakaran tidak tersedia
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Untuk dapat mengentaskan permasalahan ini, Pemerintah kemudian melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) meluncurkan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh dan mendukung Gerakan 100-0-100, yaitu 100% akses air minum layak, 0% permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Tujuan dari diselenggarakannya program ini adalah untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru dalam rangka untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Diharapkan, sebaran perumahan atau permukiman kumuh yang terdapat di kota-kota besar dapat teratasi dengan adanya program ini.

Tahapan Implementasi Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Suatu perumahan atau permukiman perlu untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan untuk dapat dikategorikan kumuh. Setiap tahapan upaya penanganan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat (LKM/BKM), pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lainnya (stakeholder). Penetapan lokasi perumahan atau permukiman kumuh dilakukan melalui proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, yang meliputi identifikasi lokasi dan penilaian lokasi, yang juga mencakup kondisi kekumuhan serta legalitas tanah. Setelah dilakukan ketetapan terhadap perumahan atau permukiman kumuh, maka tahapan selanjutnya adalah perencanaan penanganan yang dilakukan melalui tahap persiapan, survei, analisis, penyusunan data dan fakta, analisis, penyusunan konsep pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta penyusunan rencana pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh. Hasil penilaian yang dilakukan terhadap lokasi perumahan atau permukiman kumuh akan melahirkan penetapan pola penanganan yang sesuai terhadap perumahan atau permukiman kumuh, yaitu apakah akan ditempuh melalui pemugaran, peremajaan, atau pemukiman kembali.

PemugaranPeremajaanPemukiman Kembali
lokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah illegallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah ilegal
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Pelaksanaan kegiatan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Keterlibatan masyarakat juga dapat menjadi salah satu kunci penting dalam tahapan pelaksanaan. Tahap Keberlanjutan bertujuan untuk melakukan kegiatan perawatan dan pemeliharaan atas apa yang telah dikerjakan melalui Program Kotaku. Hal ini dilakukan agar kegiatan penanganan yang dilakukan dapat terpelihara dengan baik.

Dilansir dari laman kotaku, sumber pembiayaan Program Kotaku berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan lainya (stakeholder) serta dari lembaga mitra pembangunan pemerintah. Program KOTAKU tahun 2021 yang tergabung ke dalam kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat di Bidang Sanitasi meliputi Sanitasi Berbasis Masyarakat Regular, Tempat Pengolahan Sampah Dengan Prinsip 3R, Sanitasi Perdesaan, Sanimas Citarum Harum, dan TPS 3R Citarum Harum, diselenggarakan di seluruh provinsi yang terdapat di Indonesia dengan lokasi terbesar berada pada kategori peningkatan Sanitasi Perdesaan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyar Nomor 117 tahun 2021 tentang Penetapan Lokasi dan Besaran Bantuan Kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat Tahun Anggaran 2021
  • Website kotaku.pu.go.id

Mengenal Fungsi dan Peran RTRW

Galuh Shita

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu dari rangkaian pedoman bagi para stakeholder perencana kota untuk membangun kotanya sesuai dengan amanat serta ketentuan yang telah ditetapkan. RTRW merupakan bagian dari rencana umum dan merupakan turunan serta merujuk dari peraturan yang lebih tinggi, yakni rencana pembangunan, baik lingkup nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Secara umum, dokumen RTRW juga merupakan dasar perumusan kebijakan pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Berbagai kebijakan tersebut termasuk dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan, kawasan lindung dan budidaya serta kawasan strategis.

Kedudukan RTRW dalam Sistem Perencanaan Ruang

Menilik lebih awal, keseluruhan amanat penyediaan produk penataan ruang bermula dari terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa pengadaan RTRW perlu dilakukan sebagai landasan pembangunan dan pengembangan wilayah. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam rangka perwujudan ruang wilayah nasional tersebut, maka penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Selain itu, dalam penyusunannnya juga perlu memperhatikan beberapa hal seperti Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Dalam UU Penataan Ruang, juga disebutkan bahwa penyusunan dokumen RTRW akan menjadi pedoman bagi beberapa dokumen perencanaan lainnya, seperti: rencana pembangunan jangka panjang; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, serta keserasian antar sektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; penataan ruang kawasan strategis; dan penataan ruang wilayah dokumen di bawahnya.

Dokumen RTRW berlaku selama 20 tahun dan perlu untuk dilakukan peninjauan ulang setiap minimal 5 tahun sekali. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, maka rencana tata ruang wilayah dapat ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam kurun waktu 5 tahun.

Adapun muatan dari RTRW baik dalam lingkup nasional, provinsi, ataupun kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

  • Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
  • Rencana struktur ruang, yang meliputi sistem perkotaan yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
  • Rencana pola ruang, yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis wilayah
  • Penetapan kawasan strategis
  • Arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan
  • Arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi

Penyusunan rencana tata ruang mencakup berbagai aspek, seperti rencana spasial serta rencana pembangunan daerah, yang tidak terlepas dari aspek keuangan daerah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan perencanaan ruang yang berfungsi sebagai dokumen acuan bagi pembangunan daerah. Dalam hal ini, tidak hanya berfokus pada tata cara implementasinya namun juga pada seberapa besar investasi yang dibutuhkan serta seberapa besar pendapatan yang dapat dihasilkan dari produk perencanaan ruang tersebut. Sehingga peran produk perencanaan ruang, dalam hal ini RTRW akan menjadi krusial dalam rangka upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah serta bagaimana untuk mencapai tujuan dari pembangunan tersebut.

RTRW merupakan landasan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah. Selain itu juga sebagai landasan dalam mencapai keserasian antarsektor di daerah. Dalam hal ini, RTRW memiliki peran sebagai solusi dari konflik pemanfaatan ruang yang harus mampu mensinergikan berbagai kepentingan dalam ruang yang sifatnya terbatas. Keberadaan RTRW juga perlu ditindaklanjuti dengan adanya rencana detail sebagai dasar bagi pemerintah daerah dalam memberikan izin-izin pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan, dalam hal ini dituangkan ke dalam produk dokumen RDTR (Rencana Detil Tata Ruang).

Keberadaan produk penataan ruang belum seluruhnya dimiliki oleh seluruh provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dilansir dari harian kompas pada tahun 2019, disebutkan bahwa sebanyak 475 kabupaten/kota sudah memiliki dokumen RTRW, yang berarti sudah mencapai hampir 95% dari keseluruhan wilayah di Indonesia. Lalu pada tahun 2020, dilansir dari website milik ATR/BPN disebutkan bahwa pada bulan November di tahun tersebut Direktorat Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah I telah menyerahkan Surat Persetujuan Substansi (Persub) beserta dokumen kelengkapan administrasinya di Wilayah Jawa dan Bali, yang mencakup RTRW Kabupaten Wonogiri Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Pekalongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Lamongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Tuban Tahun 2020-2039, RTRW Kabupaten Cilacap Tahun 2010-2031, RTRW Kota PekalonganTahun 2009-2029, RTRW Kota Tegal Tahun 2011-2031, RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031, dan RDTR Kawasan Perkotaan Singaraja, Kabupaten Buleleng Tahun 2020-2024. Hal ini menunjukkan bahwa proses penglengkapan dokumen perencanaan ruang di Indonesia kian menunjukkan proses yang positif, serta menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan dokumen perencanaan ruang yang berkualitas.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • ATRBPN. 2009. “Peran RTRW dalam Mendorong Percepatan Pembangunan Daerah”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/1681
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pengembangan Desa Wisata

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang luas memiliki potensi wisata yang sangat beragam yang tersebar di berbagai wilayah. Desa merupakan wilayah administrasi terkecil yang diakui oleh negara. Keberadaan lokasi wisata di dalam desa merupakan hal yang lumrah, namun keberadaan desa wisata masih belum banyak ditemui di Indonesia. Beberapa desa wisata yang terdapat di Indonesia diantaranya berada di Bali, Yogyakarta, NTT, dan lainnya.

Wisata di desa dengan desa wisata memiliki definisi yang berbeda. Terdapat beragam definisi yang berkaitan dengan desa wisata. Dalam sebuah jurnal pariwisata, Priasukmana dan Mulyadin mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan dari suasana yang mencerminkan keaslian dari pedesaan itu sendiri mulai dari sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas dan dari kehidupan sosial ekonomi atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan. Pendapat lain mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan atau wilayah pedesaan yang dapat dimanfaatkan atas dasar kemampuan beberapa unsur yang memiliki atribut produk wisata secara terpadu, dimana desa tersebut menawarkan keseluruhan suasana dari pedesaan yang memiliki tema keaslian pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat istiadat yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang desa menjadi suatu rangkaian kegiatan dan aktivitas pariwisata.

Kementerian Pariwisata mendenifisikan desa wisata sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Penyelenggaraan desa wisata memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya berasal dari penyelenggara pariwisata itu sendiri. Seperti yang sebelumnya telah disampaikan bahwa desa wisata berbeda dengan objek wisata yang berada di desa. Penyelenggaraan desa wisata memiliki arti untuk membuat suatu desa memiliki seluruh aspek yang mendukung kegiatan penunjang pariwisata, tidak hanya dari segi ketersediaan aspek 3A (aksesbilitas, amenitas, atraksi) namun juga keterlibatan lapisan masyarakat yang ada di dalamnya. Penyelenggaraan desa wisata secara umum tidak merubah yang sudah ada, namun lebih melengkapi dan mengembangkan terhadap kebutuhan desa wisata tersebut. Pengembangan desa wisata perlu didukung oleh berbagai faktor, yaitu:

  • Wilayah pedesaan yang telah memiliki potensi alam atau budaya yang menjadi ciri khas atau lebih otentik dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Terlebih apabila masyarakat pedesaan masih menjalankan tradisi atau ritual budaya dan topografi yang serasi
  • Wilayah pedesaan memiliki lingkungan fisik yang asri dan belum banyak tercemar oleh beragam jenis polusi dibandingkan dengan kawasan perkotaan
  •  Wilayah pedesaan memiliki perkembangan ekonomi yang relative lambat sehingga dapat menjadi suatu alasan kuat untuk dikembangkan menjadi sebuah desa wisata melalui pengembangan pemanfaatan potensi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat

Secara keseluruhan, faktor-faktor penting untuk dapat mewujudkan pengembangan desa wisata adalah: tersedianya paket pariwisata yang ditawarkan secara lengkap; kepemimpinan masyarakat yang baik; dukungan dan partisipasi pemerintah daerah; dana yang cukup untuk pengembangan pariwisata; perencanaan strategis; koordinasi dan kerja sama antar stakeholder (pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lainnya); koordinasi dan kerja sama antar pengusaha pariwisata pedesaan; informasi dan bantuan teknis untuk pengembangan promosi pariwisata; Lembaga pariwisata dan biro perjalanan wisata; dan besarnya dukungan masyarakat lokal untuk pariwisata.

Pengembangan desa wisata perlu memperhatikan keseimbangan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya serta pengalokasian ruang di dalam desa itu sendiri. Tidak seluruh lokasi yang ada di dalam desa harus menjadi daya tarik wisata, meskipun berada pada wilayah pariwisata. Kolaborasi dengan seluruh perangkat masyarakat desa juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pengembangan desa wisata. Mengembangkan desa wisata bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih pada wilayah desa yang memiliki karakteristik lingkungan alam dan budaya yang pekat.

Keberadaan desa wisata mendatangkan banyak manfaat, salah satunya adalah menekan laju urbanisasi. Dengan berkembangnya desa wisata, hal tersebut akan menekan tingkat perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa pengembangan desa wisata juga akan diiringi oleh peningkatan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata, seperti sarana dan prasarana serta kelengkapannya. Sehingga keberadaan desa wisata secara langsung akan memajukan kualitas desa tersebut.

Selain untuk mengembangkan sektor pariwisata dengan lebih luas, pengembangan desa wisata dapat mendorong peningkatan peran masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata, serta dapat bersinergi dan bermitra dengan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat di desa wisata umumnya telah memiliki keunikan tradisi dan budaya yang telah melekat sehingga pelibatan masyarakat desa dapat menjadi motor utama penggerak kegiatan di desa wisata. Hal yang harus dihindari adalah membiarkan dan mengabaikan keberadaan masyarakat sehingga tingkat partisipasi tidak tercipta dengan maksimal.

Pemerintah sendiri pernah mencoba meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dengan mengkolaborasikannya dengan sektor pariwisata. Hal ini didukung penuh dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata. Tujuan utama PNPM Mandiri Pariwisata adalah untuk meningkatkan kemampuan, menciptakan lapangan kerja dan usaha masyarakat di sektor pariwisata. PNPM Mandiri Pariwisata difokuskan pada pemberdayaan masyarakat desa wisata yang menjadi bagian dari gugusan (cluster) pariwisata tertentu. Kini pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemendesPDTT) tengah menargetkan sebanyak 244 desa wisata agar tersertifikasi menjadi desa wisata mandiri hingga 2024, sesuai dengan amanat RPJMN 2022-2024.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata
  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 18 Tahun 2011 tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata
  • Nuryanti, Wiendu. 1993. “Concept, Perspective and Challenges”, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press.Page
  • Wiwin, I Wayan. 2019. “Faktor Sukses dalam Pengembangan Wisata Pedesaan”. Jurnal Pariwisata Budaya Volume 4.
  • Kabarkota. 2018. “Desa Wisata: Antara Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://www.kabarkota.com/desa-wisata-antara-pemberdayaan-masyarakat-dan-pengentasan-kemiskinan/
  • Detik. 2018. “Jadilah Desa Wisata, Agar Tidak Ada Urbanisasi ke Kota”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://travel.detik.com/travel-news/d-4169939/jadilah-desa-wisata-agar-tidak-ada-urbanisasi-ke-kota
  • Bisnis. 2021. “Kemenparekraf Gaet Kemendes PDTT Sinergikan Program Desa Wisata”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210120/12/1345316/kemenparekraf-gaet-kemendes-pdtt-sinergikan-program-desa-wisata

Mengenal Nomadic Tourism

Oleh Galuh Shita

Istilah nomadic tourism mungkin masih terdengar asing bagi kalangan masyarakat. Istilah nomadic tourism mengambil inspirasi dari kebiasaan masyarakat Mongolia yang berpindah-pindah tempat tinggal. Dilansir dari KBBI Kemendikbud, istilah nomad memiliki arti kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu. Secara umum, istilah nomadic tourism merupakan gaya pariwisata baru dimana wisatawan dapat menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang mudah dipindahkan (portable) dan berpindah-pindah.

Dilansir dari UNWTO (The World Tourism Organization) umumnya terdapat beberapa karakteristik wisatawan dari jenis pariwisata ini, seperti masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan hingga kuliah, berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan menengah dan umumnya tidak memiliki anak di bawah 12 tahun. Secara tidak sadar, sebagian masyarakat mungkin sudah menjadi bagian dari pelaku wisata nomad. Karakteristik wisatawan yang menjadi pelaku wisata nomad mirip dengan pelaku wisata backpack yang cenderung berpindah-pindah. Yang membedakan adalah kecenderungan wisatawan untuk menghabiskan biaya dengan jumlah yang lebih besar dan tempat tinggal yang lebih nyaman. Para pelaku nomad umumnya tetap mengutamakan kenyamanan dan rela menghabiskan uang untuk menghemat waktu dalam berpindah tempat, tidak seperti backpacker yang cenderung menghemat biaya atau bahkan memilih untuk tidak mengeluarkan uang sama sekali, misalnya menumpang kendaraan ataupun penginapan.

Menurut Kemenpar, terdapat 3 jenis tipe wisatawan nomad, yaitu:

  • Glampacker, sering disebut pula sebagai millennial nomad, merupakan kelompok wisatawan yang memiliki preferensi wisata untuk menghabiskan waktu mereka pada destinasi wisata yang mewah. Kelompok wisatawan ini cenderung untuk tidak mengorbankan kenyamanan dan mencoba untuk melihat dunia dari zona nyaman mereka. Mereka tidak akan ragu untuk menghabiskan uang mereka pada hal-hal yang mampu menawarkan kemewahan, baik pada penginapan, barang ataupun pengalaman.
  • Luxpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan luxurious nomad, merupakan kelompok wisatawan yang melakukan perjalanan mengembara untuk melupakan daerah asal mereka dengan menggunakan fasilitas media daring.
  • Flashpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan digital nomad, merupakan kelompok wisatawan yang mirip dengan tipe wisatawan backpacker namun lebih memilih untuk menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman. Apabila backpacker lebih mementingkan harga yang murah meskipun memakan waktu yang lama dalam perjalanan ataupun tinggal di tempat yang nyaman, maka flashpacker merupakn tipe wisatawan yang akan rela membayar lebih untuk dapat menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman meskipun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Identifikasi Karakteristik Pelaku Wisata Digital Nomad

Judul dan PenulisDefinisiHasil
Judul Nomadic Tourism, Wisata Pendidikan, Digitalisasi dan Wisata Event dalam Pengembangan Destinasi  
Penulis Dr. Ni Made Eka Mahadewi., M.Par., CHE  
Lokasi Bali (2018)
Nomadic Tourism adalah kegiatan wisata yang dilakukan secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dilakukan oleh wisatawan usia produktif berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan dan mengandalkan informasi terkini.
Flashpacker, atau disebut sebagai wisatawan Digital Nomad yang menetap sementara pada suatu tempat, sembari bekerja darimana saja. Terdapat 5 juta wisatawan dengan kategori flashpacker yang memiliki afinitas terhadap Indonesia dan tertarik dengan dunia digital nomad.
Nomadic Tourism:
– wisata berpindah-pindah
– usia produktif 35-55
– punya penghasilan
– update informasi terkini

Flashpacker/digital nomad:
– menetap sementara waktu sembari bekerja dimana saja
Judul Become Nomad  
Penulis Eli David
Lokasi Israel (2014)
Digital nomad adalah orang yang terus bergerak dan menjelajahi destinasi baru, akan tetapi masih bergantung pada teknologi untuk terus bekerja. Seorang digital nomad akan mengandalkan teknologi untuk komunikasi sehingga mereka dapat tetap berhubungan dengan klien mereka. Biasanya, ini berarti bahwa ada minggu kerja reguler kemudian perjalanan wisata dilakukan pada akhir pekan. Kemudian itu juga bisa berarti bahwa bepergian dilakukan saat ada pekerjaan dan ketika seseorang harus terus-menerus tinggal di berbagai negara untuk tujuan kerja.Digital Nomad:
– Orang yang terus bergerak menjelajahi destinasi baru
– Sangat bergantung pada teknologi untuk terhubung kepada klien/pekerjaan
– Berwisata di akhir pekan
– Harus selalu siap berpindah ke berbagai negara untuk tujuan pekerjaan
Judul Digital Nomads: Employment In The Online Gig Economy  
Penulis Beverly Yuen Thompson
Lokasi New York (2018)
Pengembara digital adalah pekerja yang pekerjaan utamanya dilakukan di internet. Mereka tidak diharuskan datang sendiri untuk melakukan pekerjaan mereka, sehingga mereka “independen”. Tetapi hanya sebagian kecil dari pekerjaan yang benar-benar dapat dilakukan secara online seperti pemasaran digital, desain web, rekayasa perangkat lunak, atau pemrograman komputer, tutor bahasa video online. Untuk sebagian besar adalah pekerja dari jarak jauh, biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota dan bekerja dari rumah atau beberapa di tempat-tempat lokal.Digital Nomad:
– Pekerjaan utamanya selalu berhubungan dengan internet
– Independen/freelancer
– Contoh pekerjaan yang dilakukan digital nomad adalah digital marketing, web design, design software, pemrograman computer, tutor bahasa video online.
– Biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota
– Bekerja dari rumah
Judul The New Global Nomads: Youth Travel In A Globalizing World
Penulis Greg Richards  
Lokasi Belanda (2015)
Nomad digital atau flashpacker adalah traveler yang paling terhubung dengan dunia digital, sering menggunakan media sosial dan juga lebih cenderung susah membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berlibur. Digital nomad juga memiliki kontak jauh lebih sedikit dengan ‘masyarakat lokal’.Digital nomad:
– Sangat terhubung dengan dunia digital
– Sering menggunakan media sosial
– Sulit membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berwisata
– Kurang melakukan kontak dengan masyarakat lokal
Judul Digital Nomadism  
Penulis Georgios Mouratidis
Lokasi Swedia (2015)
Laptop, smartphone, dan tablet adalah media yang menghubungkan virtual dengan medan fisik, mengatur semua jenis media lain yang terlibat dalam produksi tanda-tanda digital nomaden. “Media seluler” dan “smart devices” memungkinkan peredaran data tanpa koneksi fisik, memberikan kesempatan kepada para penggunanya untuk bekerja dari mana saja, sebagian besar di kafe yang menawarkan WiFi gratis dan ruang kerja bersama yang biasanya juga menyediakan ruang meja individual dan fasilitas kantor.Alat teknologi yang digunakan digital nomad:
– Laptop, smartphone, smart device
– membutuhkan Wi-Fi
– membutuhkan co-working space

Sumber: Studi Digital Nomad

Pada tahun 2018, Kementerian Pariwisata di bawah kepemimpinan Menteri Arief Yahya, telah mencanangkan program wisata nomad secara digital sebagai upaya untuk mendatangkan banyak wisatawan. Hal ini dikarenakan jenis wisata ini memiliki karakter bisnis yang murah, operasional tergolong cepat, dan tingkat pengembalian modal cenderung cepat dikarenakan karakter pasar potensial yang disasar sebagian besar adalah wisatawan dengan kelas menengah-atas. Adapun yang tergolong ke dalam aspek 3A dalam jenis pengembangan destinasi wisata nomad, yaitu:

Nomadic tourism attraction

Merupakan bentuk atraksi wisata yang memberikan hiburan ataupun event kepada wisatawan nomad. Atraksi hiburan yang dapat disajikan dalam jenis wisata ini dapat berupa atraksi wisata alam hingga buatan, ataupun event kegiatan.

Nomadic tourism amenities

Merupakan ragam fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti salah satunya adalah ketersediaan akomodasi. Adapun jenis ketersediaan akomodasi yang umumnya disediakan untuk jenis wisata nomad adalah:

  • Karavan, yang dapat diprogram untuk berpindah harian, mingguan, ataupun pada waktu tertentu dan dapat diberhentikan di lokasi tertentu.
  • Glamping, merupakan fasilitas penginapan berupa tenda mewah yang dilengkapi dengan fasilitas hotel berbintang. Jenis akomodasi ini sudah banyak ditemui di beberapa lokasi wisata di Indonesia.
  • Home-pod, merupakan fasilitas penginapan yang berbentuk rumah telur, yang dapat dipindahkan dalam waktu yang lebih panjang dari glamping.

Nomadic tourism access

Merupakan kemudahan akses untuk menuju destinasi wisata. Bentuk kemudahan akses dalam jenis wisata nomad dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan seaplane, helicity, ataupun penginapan di dalam kapal pesiar.

Ekosistem Wisata Nomad

Sumber: Kementerian Pariwisata, 2018

Penyelenggaraan wisata nomad memerlukan ekosistem yang terintegrasi. Target market dari jenis wisata nomad tak hanya berasal dari wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara dengan kelas menengah hingga menengah atas. Hal ini dikarenakan fasilitas yang ditawarkan dalam jenis wisata ini umumnya memakan biaya yang cukup besar, seperti penyewaan karavan, penginapan glamping, dan sebagainya. Selain itu, wisata nomad pada umumnya memang ditujukan kepada lokasi wisata yang belum memiliki banyak kelengkapan amenitas. Penerapan program wisata nomad dinilai cocok dikarenakan wisata alam di Indonesia banyak digemari oleh kaum milenial. Konsep wisata ini juga dinilai cocok dan mampu untuk menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah kepulauan dengan akses yang sulit dijangkau.


Bahan Bacaan

  • Phinemo. 2018. “Kemenpar Gencarkan Nomadic Tourism, Ada yang Tahu Apa Nomadic Tourism Itu?”. Diperoleh 16 Maret 2021 dari https://phinemo.com/kemenpar-gencarkan-nomadic-tourism-ada-yang-tahu-apa-nomadic-tourism/
  • Deviesthe, Michelle Yohanne. 2019. Studi Digital Nomad di Kota Bandung. Bandung: STP Bandung.
  • Liputan6. 2019. “Nomadic Tourism, Konsep Kamping Mewah yang Diminati Investor China”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://www.liputan6.com/news/read/3984545/nomadic-tourism-konsep-kamping-mewah-yang-diminati-investor-china
  • Kompas. 2018. “”Nomadic Tourism” Sasar Wisatawan Mancanegara”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://travel.kompas.com/read/2018/03/27/173000627/-nomadic-tourism-sasar-wisatawan-mancanegara
  • Dokumen Nomadic Tourism oleh Asisten Deputi Manajemen Strategis, Kementerian Pariwisata 2018.

Potensi Kopi sebagai Agrowisata Utama di Indonesia

Galuh Shita A.B.

Indonesia memiliki potensi kopi yang cukup besar. Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terbaik kedua di dunia setelah Brazil. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kopi pun tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah dan sebaran kedai kopi yang meningkat drastis di berbagai kota. Menurut Speciality Coffee Association of Indonesia (SCAI), pertumbuhan kedai kopi di Indonesia pada tahun 2020 mencapai hingga 20%. Hal ini membuktikan bahwa antusiasme masyarakat terhadap kopi sangatlah tinggi.

Fenomena ini juga menginspirasi pemerintah melalui Kemenparekraf untuk mendorong para produsen kopi agar mampu menciptakan produk kopi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pada periode kepemimpinan Wishnutama sebagai Kepala Kemenparekraf, penyediaan wisata kopi sebagai salah satu travel pattern di Indonesia sempat digaungkan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kopi dapat menjadi sector unggulan bagi pariwisata, khususnya pariwisata berbasis pertanian atau agrowisata.

Sebenarnya, seberapa besarkah potensi kopi yang ada di Indonesia?

Sebaran Perkebunan Kopi

Perkebunan kopi di Indonesia tersebar hampir di seluruh provinsi, kecuali wilayah provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data yang didapat dari BPS pada tahun 2018*, tercatat bahwa luas perkebunan kopi di Indonesia secara keseluruhan mencapai sebesar 1,2 juta Ha yang terbagi ke dalam 3 status perusahaan, yakni Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR).

Gambar 1           Sebaran Perkebunan Kopi di Indonesia

Perkebunan Rakyat mendominasi lebih dari 90% luasan perkebunan kopi yang ada di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan perkebunan kopi yang terluas di Indonesia yaitu 251 ribu hektar pada tahun 2019 atau 20,65 % dari total luas areal kopi di Indonesia. Provinsi Lampung menempati posisi kedua dengan total luas perkebunan sebesar 157 ribu hektar. Dari keseluruhan perkebunan kopi di Indonesia, provinsi dengan luasan areal kopi terkecil berada di Kepulauan Riau dengan luas hanya sebesar 2 hektar.

Produktivitas Perkebunan Kopi

Hasil produksi kopi di Indonesia didistribusikan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Jumlah penjualan ke luar negeri pun tidak main-main dan mampu mencapai angka yang fantastis. Adapun negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah:

  1. Amerika Serikat, dengan volume ekspor mencapai 58,67 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 253,87 juta
  2. Malaysia, dengan volume ekspor sebesar 36,9 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 62,94 juta
  3. Italia, dengan volume ekspor sebesar 35,45 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 60,35 juta
  4. Mesir, dengan volume ekspor sebesar 34,29 ribu ton dan nilai ekspor sebesar US$ 59,06 juta
  5. Jepang, dengan volume ekspor sebesar 25,59 ribu ton dan nilai ekspor US$ 68,57 juta

Pada tahun 2019 tercatat total jumlah penjualan ekspor mencapai sekitar 359 ribu ton sementara total jumlah pembelian impor ke dalam negeri hanya sebesar 32 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa peminat kopi Indonesia di luar negeri tidaklah main-main dan masyarakat Indonesia pun lebih banyak menyukai dan menikmati kopi lokal.

Berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2018 produksi kopi Indonesia mencapai 756 ribu ton, sedangkan pada tahun 2019 diperkirakan mencapai hampir 742 ribu ton. Rata-rata hasil pertanian yang mampu dihasilkan adalah sebesar 794 kg per hektarnya. Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki areal perkebunan kopi terluas di Indonesia memiliki jumlah produksi yang terbanyak yakni sebesar 196 ribu ton.

Syarat Lokasi Perkebunan Kopi

Nyatanya, untuk menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi diperlukan beberapa kondisi khusus terhadap pemilihan perkebunan kopi. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan baik atau tidaknya pertumbuhan dan produksi tanaman kopi, seperti ketinggian lahan, suhu udara, serta curah hujan. Umumnya lokasi perkebunan kopi berada pada ketinggian antara 600 hingga 1.700 mdpl, namun hal tersebut dapat bervariasi dan disesuaikan dengan jenis kopi yang akan ditanam seperti kopi robusta, arabika, atau liberika. Kondisi ketinggian lahan tersebut memiliki kondisi curah hujan dan suhu udara yang berbeda pula. Dilansir dari publikasi Kementerian Pertanian, kondisi curah hujan yang dibutuhkan kopi Robusta dan Arabika sama yaitu berkisar 1.250 – 2.500 mm/tahun sedangkan untuk kopi Liberika nilainya lebih tinggi yaitu berkisar 1.250 – 3.500 mm/tahun.

Kriteria Teknis Kesesuaian Lahan Perkebunan Kopi

Sumber: Ditjenbun, 2014 dalam balittri.litbang.pertanian.go.id

Kelas kesesuaian lahan pada suatu wilayah ditentukan berdasarkan tipe penggunaan lahan, yaitu:

Kelas S1/Sangat Sesuai

Lahan dengan klasifikasi ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang dibutuhkan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas lahan serta tidak akan meningkatkan keperluan masukan yang telah biasa diberikan.

Kelas S2/Sesuai

Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Faktor pembatas yang ada akan mengurangi produktivitas lahan serta mengurangi tingkat keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas S3/Sesuai Marginal

Lahan mempunyai pembatas-pembatas serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Tingkat masukan yang diperlukan melebihi kebutuhan yang diperlukan oleh lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian S2, meskipun masih dalam Batas-batas kebutuhan yang normal.

Kelas N/Tidak Sesuai

Lahan dengan faktor pembatas yang permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan pengembangan lahan untuk penggunaan tertentu.  Faktor pembatas ini tidak dapat dikoreksi dengan tingkat masukan yang normal.

Memproduksi kopi membutuhkan banyak factor penentu agar dapat menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi. Indonesia memiliki dataran yang luas serta kondisi tanah yang cukup baik untuk ditanami kopi sehingga tak heran bila produksi kopi yang dihasilkan sangatlah berlimpah. Melihat potensi ini, tentu saja sektor agrowisata kopi sangatlah berpotensi untuk dikembangkan agar masyarakat dapat mengetahui dan mempelajari proses pembuatannya dari hulu ke hilir.

———-

*belum tersedia data terbaru pada saat artikel ini dibuat

Bahan Bacaan

  • Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Kementerian Pertanian). 2017. “Persiapan dan Kesesuaian Lahan Tanaman Kopi”. Diperoleh 8 Maret 2021 dari http://balittri.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/474-persiapan-dan-kesesuai-lahan-tanaman-kopi
  • Investor Daily. 2021. “SYL: 2021, Kopi Indonesia Harus Jadi Ikon di Pasar Internasional”. Diperoleh 5 Maret 2021 dari https://investor.id/business/syl-2021-kopi-indonesia-harus-jadi-ikon-di-pasar-internasional
  • Statistik Kopi Indonesia 2019, Badan Pusat Statistik
  • Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020, Kementerian Pertanian

Agrowisata dan Potensinya

Galuh Shita A.B.

Indonesia diketahui merupakan negara agraris yang memiliki dataran yang luas dan sangat lekat dikenal dengan kondisi alamnya yang indah, termasuk di dalamnya adalah area pertanian. Hal ini tentu menjadi sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Terlebih, kondisi pariwisata di Indonesia juga sangat baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia, baik lokal maupun internasional. Pengembangan wisata berbasis agro tentu akan dapat memaksimalkan 2 hal, ketersediaan bahan pangan yang terjamin serta meningkatnya berbagai hal yang berkaitan dengan pariwisata.

Definisi dari agrowisata sendiri adalah rangkaian kegiatan wisata yang memanfaatkan sektor pertanian atau perkebunan sebagai objek utamanya, sehingga tentu saja pemandangan alam yang khas dengan kawasan pertanian serta beragam aktivitas terkait akan menjadi objek utama yang ditonjolkan. Adanya kegiatan agrowisata juga diharapkan akan dapat memperluas wawasan serta pengalaman wisata yang berbeda bagi para pengunjungnya.

Pengelolaan kawasan agrowisata perlu dilakukan dengan baik dan matang. Hal ini ditujukan agar pengembangan kawasan agrowisata dapat memberikan manfaat yang maksimal. Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari pengembangan agrowisata adalah:

  1. Meningkatkan konservasi lingkungan
  2. Meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam
  3. Memberikan nilai rekreasi
  4. Meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan
  5. Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar

Di negara lain, agrowisata bahkan dapat menjadi salah satu faktor dalam mempromosikan negaranya, seperti salah satunya adalah New Zealand yang dikenal memiliki hasil pertanian seperti buah apel, kiwi, pear, dan lainnya. Lalu contoh lainnya adalah Thailand yang cukup terkenal dengan buah durian, jeruk, apel, dan lainnya. Di Indonesia sendiri telah berkembang banyak sekali kawasan agrowisata yang tersebar di berbagai provinsi dengan berbagai keunikannya yang menjadi ciri khas bagi setiap destinasi wisata. Salah satu contohnya, Indonesia kini tengah menggarap konsep agrowisata yang dapat berpotensi memiliki daya saing tinggi, seperti pengembangan agrowisata kopi. Dilansir dari Kumparan, Kemenparekraf saat ini tengah menyusun travel pattern untuk pengembangan coffee yard di Indonesia. Hal ini diupayakan untuk dapat mendukung Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia dan diharapkan akan dapat menjadi ikon utama yang menjadi ciri khas Indonesia.

Keberadaan agrowisata lantas memiliki peran yang penting bagi sebuah negara. Lantas, aspek dan faktor apa saja yang dapat mendukung agrowisata untuk dapat menjadi lebih berkembang?

  • Kualitas sumber daya manusia tentu menjadi faktor utama dalam perkembangan agrowisata. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan SDM yang baik untuk dapat menciptakan, mengelola, mengemas, dan menyajikan kawasan agrowisata yang unik dan tepat sasaran akan dapat membawa agrowisata ke arah yang lebih baik. Tak hanya pengelola, namun peran stakeholder pendukung seperti investor, pemasaran, pemandu wisata, hingga tenaga petani juga dinilai sangat penting. Untuk dapat mendukung hal ini, maka pemerintah perlu menyediakan beragam tempat pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata, terutama wisata agro. Sehingga diharapkan ke depannya akan dapat berkembang kawasan agrowisata yang memiliki daya saing tinggi.
  • Kedua, peran kelembagaan. Peran kelembagaan yang dimaksud adalah pemerintah, pihak swasta, lembaga terkait (perjalanan wisata, perhotelan, lainnya), perguruan tinggi, serta masyarakat. Seperti diketahui bahwa pemerintah memiliki beragam wewenang yang dapat mendukung berkembangnya suatu kawasan wisata, salah satunya adalah wewenang dalam hal regulasi, sehingga hal ini diharapkan akan dapat menciptakan perkembangan agrowisata yang berkualitas serta kompetitif. Selain itu, dukungan kerja sama yang baik dengan dengan stakeholder lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan kawasan agrowisata juga turut menjadi sebuah faktor penting.
  • Dukungan aspek 3A (atraksi, aksesbilitas, akomodasi) yang merupakan elemen dasar dari ketersediaan destinasi wisata tentu perlu menjadi perhatian khusus. Ketersediaan kualitas dan kuantitas dari aspek 3A beserta elemen pendukungnya akan menjadi kunci bagi tingkat kenyamanan yang mampu ditawarkan oleh destinasi wisata terhadap para pengunjungnya.
  • Selanjutnya adalah hospitality atau keramah-tamahan. Keseluruhan industri pariwisata sebagian besar berkecimpung pada bidang jasa, sehingga faktor ini juga termasuk ke dalam salah satu kunci keberhasilan berkembangnya suatu kawasan pariwisata.
  • Tingkat keunikan yang mampu ditawarkan. Pengunjung lokasi wisata cenderung menyenangi hal-hal yang bersifat unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Keunikan yang ditawarkan oleh kawasan agrowisata dapat berupa berbagai hal, seperti budaya, tradisi, teknologi, ataupun kelangkaan tanaman yang disediakan. Keunikan suatu kawasan agrowisata akan menjadi nilai tambah bagi kawasan tersebut dan dapat menjadi daya saing yang tinggi.

Berbicara pengembangan pariwisata tentunya dapat meluas kepada berbagai aspek, hal ini dikarenakan perkembangan wisata sangat dinamis sehingga diperlukan berbagai upaya untuk dapat bertahan dan beradaptasi di tengah tren yang terus menerus berganti. Di lain sisi, pengembangan pariwisata, khususnya agrowisata juga perlu untuk diperhatikan dampaknya. Hal utama perlu ditekankan adalah, pengembangan agrowisata mengutamakan pertanian sebagai objek utamanya, hal ini tentu perlu disertai dengan tujuan agar dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat lokal seperti petani atau peternak, memperluas lapangan kerja, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Pengembangan pariwisata juga perlu menjaga keterpaduan, keselarasan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan kawasan agrowisata masih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga penyediaan agrowisata juga diharapkan dapat menunjang daya saing produk wisata di bidang pertanian dan menjaga stabilitas ketersediaan pangan.

Bahan Bacaan

  • Kumparan. 2020. “Menilik Potensi Agrowisata di Indonesia”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://kumparan.com/kumparantravel/menilik-potensi-agrowisata-di-indonesia-1uhesNwda6u/full
  • Utama, Rai. 2011. “Agrowisata sebagai Pariwisata Alternatif”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.researchgate.net/publication/277074027_AGROWISATA_SEBAGAI_PARIWISATA_ALTERNATIF
  • Astuti, Marhanani Tri. 2014. “Potensi Agrowisata dalam Meningkatkan Pengembangan Pariwisata”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.kemenparekraf.go.id/asset_admin/assets/uploads/media/old_all/JDP%20Vol_1%20No_1%202014%20Potensi%20Agrowisata%20Dalam%20Meningkatan%20Pengembangan%20Pariwisata.pdf

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan, Seperti Apa?

Galuh Shita A.B.

Pariwisata merupakan salah satu sektor primadona bagi Indonesia. Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki beragam kekayaan eksostisme alam dan budaya yang luar biasa yang tersebar hampir di seluruh penjuru nusantara. Hal ini mengundang banyak wisatawan baik lokal maupun internasional untuk berwisata mengunjungi beragam keunikan yang ditawarkan oleh Indonesia. Pengembangan pariwisata perlu untuk memikirkan dampak dalam jangka panjang. Terlebih masih banyak potensi wisata di Indonesia yang masih tersembunyi, sehingga perlu diperhatikan agar dalam pengembangannya tidak merusak alam dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Hal ini dapat dimaknai bahwa rencana pembangunan kepariwisataan juga dapat menganut kebijakan destinasi pariwisata berkelanjutan yang mampu mewujudkan pembangunan pariwisata nasional yang layak menurut budaya setempat, dapat diterima secara sosial, memprioritaskan masyarakat setempat, tidak diskriminatif, dan ramah lingkungan.

Pariwisata berkelanjutan merupakan hal yang kompleks dan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Konsep keberlanjutan sendiri tidak dapat diartikan sebatas pada lingkup isu lingkungan, seperti perlindungan terhadap alam, namun keberlanjutan dapat memiliki makna yang lebih dari hal tersebut. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa pariwisata berkelanjutan akan berdampak luas pada berbagai aspek. Adapun dampak yang ditimbulkan dapat mencakup berbagai aspek seperti ekonomi, bisnis lokal, pelibatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, investasi, dan sebagainya. Pada dasarnya, prinsip berkelanjutan adalah memperhatikan kesejahteraan pada masa saat ini tanpa mengurangi kesejahteraan untuk masa yang akan datang.

Sumber: tourismnotes.com

Secara garis besar, pariwisata memiliki 3 dampak besar yang dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Dampak yang dihasilkan pada aspek ekonomi umumnya berujung positif, sedangkan dampak lingkungan umumnya bersifat negatif dan dampak sosial umumnya merupakan kombinasi dari keduanya. Pariwisata berkelanjutan adalah tentang memaksimalkan dampak yang positif dan meminimalkan dampak negatif.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, pemerintah mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. Definisi ini melengkapi definisi yang dijabarkan oleh UNWTO (The World Tourism Organization) yaitu pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungannya saat ini dan di masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat tuan rumah.

Mengapa kemudian pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi penting? Hal ini ditujukan agar pengembangan pariwisata tidak mengeksploitasi sumber daya lingkungan secara masif, melainkan dapat terus berkesinambungan hingga ke generasi-generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan pengembangan pariwisata dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan juga sosial masyarakat, sehingga perkembangannya perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan dampak yang negatif.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan telah menetapkan empat kategori untuk destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia, yaitu:

  • Pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, yang mencakup kriteria perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan evaluasi.
  • Pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, yang mencakup kriteria pemantauan ekonomi, peluang kerja untuk masyarakat lokal, partisipasi masyarakat, opini masyarakat lokal, akses bagi masyarakat lokal, fungsi edukasi sadar wisata, pencegahan eksploitasi, dukungan untuk masyarakat, dan mendukung usaha lokal dan perdagangan yang adil.
  • Pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, yang mencakup kriteria perlindungan atraksi wisata, pengelolaan pengunjung, perilaku pengunjung, perlindungan warisan budaya, interpretasi tapak, dan perlindungan kekayaan intelektual.
  • Pelestarian lingkungan, yang mencakup kriteria risiko lingkungan, perlindungan lingkungan sensitif, perlindungan alam liar (flora dan fauna), emisi gas rumah kaca, konservasi energi, pengelolaan air, keamanan air, kualitas air, limbah cair, mengurangi limbah padat, polusi cahaya dan suara, dan transportasi ramah lingkungan.

Suatu daerah disebut telah menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan apabila dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut:

  • Mengoptimalkan sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, menjaga proses ekologi penting dan membantu melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati.
  • Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat, melestarikan bangunan dan warisan budaya serta nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi pada pemahaman serta toleransi antar budaya.
  • Memastikan keberjalanan ekonomi jangka panjang yang memberikan manfaat sosio-ekonomi bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk peluang terhadap lapangan kerja serta layanan sosial bagi masyarakat dan dapat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa pariwisata merupakan sektor yang memiliki perkembangan sangat pesat. Sektor pariwisata tidak seharusnya menimbulkan dampak yang negatif sehingga upaya-upaya perencanaannya perlu dilakukan secara matang. Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan seharusnya dapat menjadi proritas utama pengembangan, hal ini dikarenakan dengan adanya perencanaan yang baik maka diharapkan akan dapat melindungi sumber-sumber aset penting yang terkait dengan pariwisata untuk kepentingan kesejahteraan di masa yang akan datang.

Bahan Bacaan

  • Greentourism. “Sustainable Tourism”. Diperoleh 18 Desember 2020 dari http://www.greentourism.eu/en/Post/Name/SustainableTourism#_ftn1
  • Permen Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia Pada Masa Covid 19

Galuh Shita A.B.

Pandemi covid-19 masih melanda dunia. Penyebaran virus ini telah meluluhlantakkan hampir sebagian besar negara-negara di dunia dari segi ekonomi. Hampir seluruh sektor penunjang ekonomi terkena dampaknya. Pembatasan kegiatan baik di lingkup dalam dan luar negeri menyebabkan berkurangnya jumlah perjalanan sehingga sejumlah aktivitas lintas sektor, seperti ekspor impor, menjadi terganggu. Pada awal 2020 sejumlah pembatasan kegiatan di hampir setiap sektor, termasuk penerbangan, juga turut menyebabkan anjloknya jumlah pengunjung, baik untuk urusan bisnis maupun berwisata. Bagi negara-negara yang menggantungkan nilai ekonominya di sektor pariwisata, tentu hal ini menyebabkan kerugian yang teramat besar. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor penunjang ekonomi yang memiliki porsi penting bagi pemasukan negara.

Tantangan

Berdasarkan data dari UNWTO (The World Tourism Organization), sejak Januari hingga Juni 2020 pariwisata di seluruh dunia kehilangan sekitar 440 juta turis. Dilansir dari detik.com, Kemenparekraf mencatat pada masa sebelum pandemi terdapat sekitar 18 juta wisatawan yang mengunjungi Indonesia, namun rata-rata wisatawan yang datang pada tahun 2020 hanya mencapai 2 juta hingga 4 juta wisatawan. Beberapa daerah di Indonesia dengan pemasukan utama berasal dari sektor pariwisata mengalami kerugian yang besar. Contohnya adalah Bali yang dilaporkan memiliki kerugian hingga 9 Triliun setiap bulannya. Indonesia diperkirakan kehilangan devisa sebesar 14,5-15,8 miliar dolar AS karena adanya penurunan kunjungan wisatawan mancanegara.

Wamenparekraf menyatakan bahwa tantangan dari perkembangan pariwisata di era pandemi adalah adanya perubahan dari market demand yang perlu untuk diantisipasi dan dihadapi, serta kompetisi di tiap destinasi wisata. Era pandemi membuat preferensi berwisata menjadi berubah sehingga hal ini perlu untuk diperhatikan dan diantisipasi. Selain itu, kondisi pelayanan dan fasilitas di destinasi juga masih dirasa perlu untuk ditingkatkan, terlebih lagi pada masa pandemi ini diperlukan kepastian bagi masyarakat untuk dapat berwisata dengan aman dan nyaman.

Tak bisa dipungkiri bahwa alasan pandemi masih menjadi isu utama sehingga penyediaan lokasi wisata dengan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap protokol kesehatan sangat perlu untuk diadakan. Berbagai macam penerapan prosedur terkait higenitas menjadi penting untuk digalakkan bagi seluruh pelaku wisata. Jika hal ini dilakukan, tentu diharapkan akan dapat menambah tingkat kepercayaan wisatawan terhadap destinasi wisata di Indonesia. Terlebih Indonesia memiliki potensi wisata yang tak bisa dipandang sebelah mata oleh dunia.

Peluang

Pemerintah berupaya menyiapkan berbagai program untuk menyelamatkan industri pariwisata di Indonesia. Beberapa upaya seperti program penyediaan dana PEN (Program Pemulihan Ekonomi) yang dapat dimanfaatkan di sektor pariwisata, terutama bagi destinasi wisata prioritas nasional. Dilansir dari laman bisnis.com, Kemenparekraf mengajukan usulan dana PEN sebesar 5,6 Triliun untuk dapat membantu menyelamatkan sektor pariwisata nasional. Keseluruhan total usulan program yang diajukan oleh seluruh kementerian melalui program PEN mencapai hingga 21,5 Triliun.

Pemerintah juga berencana untuk memberikan program diskon pariwisata bagi wisatawan lokal yang akan diluncurkan pada tahun 2021 atau pada saat setelah vaksin covid-19 rampung. Diharapkan pergerakan dalam negeri dapat Kembali meningkat. Hal ini sejalan dengan anjuran dari UNWTO yang menyatakan bahwa di masa pandemi negara-negara perlu fokus terlebih dulu terhadap pengembangan pariwisata untuk wisatawan lokal sehingga ketika situasi sudah sepenuhnya dibuka untuk pasar mancanegara maka negara tersebut sudah menjadi lebih siap. Di samping itu, penyelenggaraan protocol CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment) juga disiapkan oleh pemerintah. Protokol ini akan menjadi acuan serta program sertifikasi bagi seluruh pelaku usaha yang terlibat di sektor pariwisata. Kemenparekraf telah menyiapkan dana sebesar lebih dari 119 Miliar untuk program sertifikasi CHSE yang rencananya akan diberikan secara gratis melalui lembaga independen. Diharapkan dengan adanya sertifikasi CHSE, maka akan memberikan jaminan bagi para wisatawan bahwa mereka dapat berwisata dengan aman dan nyaman di masa pandemi.

Di sisi lain, kondisi pandemi secara tak langsung juga turut mengubah preferensi berwisata bagi sejumlah wisatawan. Jika sebelumnya aktivitas wisata di lokasi yang hits dan ramai menjadi kegiatan yang paling ditunggu, maka terdapat perubahan preferensi aktivitas wisata yang digemari di masa pandemi. Hasil survei yang dilakukan oleh Wego selama periode 21 Mei hingga 5 Juni 2020 menunjukkan tren baru berwisata yang diminati oleh wisatawan Indonesia, yakni staycation dan liburan keluarga. Lokasi wisata yang dituju pun umumnya berupa tempat wisata yang tidak terlalu ramai pengunjung, melainkan tempat yang sepi dan tenang sehingga wisatawan dapat tetap merasa aman selama berwisata.

Sumber: travel.wego.com

Hasil suvei juga mengungkap prioritas wisatawan selama berwisata. Jika sebelumnya wisatawan memprioritaskan biaya, keamanan, dan kenyamanan, di masa pandemi prioritas wisatawan telah berubah menjadi kebersihan, perilaku physical distancing, serta penerapan protokol kesehatan yang dilakukan di ruang publik. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para penyedia jasa wisata yang menunjukkan bahwa masih ada secercah harapan bagi mereka untuk dapat melangsungkan kehidupannya.

Secara keseluruhan, tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti kapan pandemi akan berakhir sehingga berbagai upaya perlu dimaksimalkan untuk dapat meminimalisir dampak dari pandemi tersebut. Peluang yang ada harus dimaksimalkan dan tantangan harus dapat dilewati dan diantisipasi dampak negatifnya. Diperlukan dukungan dan kerja sama dari banyak pihak agar berbagai upaya dan kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk dapat menyelamatkan sektor pariwisata dapat menemui titik terang dan dapat mengembalikan neraca ekonomi negara yang terpuruk.


Bahan Bacaan

  • Bisnis. 2020. “Destinasi Pariwisata Super Prioritas, Ada Rp21 Triliun Lagi untuk PEN”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20201127/12/1323394/destinasi-pariwisata-super-prioritas-ada-rp21-triliun-lagi-untuk-pen
  • Detik. 2020. “Bagaimana Sektor Pariwisata Indonesia Bertahan di Tengah Pandemi Corona”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://news.detik.com/dw/d-5161151/bagaimana-sektor-pariwisata-indonesia-bertahan-di-tengah-pandemi-corona
  • Inews. 2020. “Wamenparekraf: 2021 Akan Ada Diskon Pariwisata untuk Wisatawan Nusantara”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://www.inews.id/travel/destinasi/wamenparekraf-2021-akan-ada-diskon-pariwisata-untuk-wisatawan-nusantara
  • Inews. 2020. “Wamenparekraf Ungkap Tantangan Pariwisata Indonesia Usai Pandemi Covid-19”. Diperoleh 22 Desember 2020 dari https://www.inews.id/travel/destinasi/wamenparekraf-ungkap-tantangan-pariwisata-indonesia-usai-pandemi-covid-19.
  • Liputan6. 2020. “Kerugian Sektor Pariwisata Indonesia Atas Penurunan Wisatawan Mancanegara”. Diperoleh 17 Deesember 2020 dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4384912/kerugian-sektor-pariwisata-indonesia-atas-penurunan-wisatawan-mancanegara
  • Wego. 2020. “Usai Pandemi, Staycation dan Destinasi Liburan Keluarga Akan Banjir Peminat”. Diperoleh 17 Desember 2020 dari https://travel.wego.com/berita/tren-wisata-pasca-pandemi/

Mengenal Konsep 3A dalam Pengembangan Pariwisata

Oleh Galuh Shita

Pariwisata merupakan salah satu aspek penting yang dapat memberikan berbagai dampak positif. Bagi individu atau pengguna jasa, tentu saja manfaat kegiatan berwisata adalah sebagai obat pereda stress dan penat. Bagi penyedia jasa, kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak ekonomi bagi mereka. Secara lebih luas, keberadaan kegiatan pariwisata di suatu daerah mampu menggerakkan berbagai aktivitas yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada daerah itu sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009, defisini dari kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Perwujudan Kerjasama multidimensi dan multidisiplin dalam pembentukan atau pengembangan pariwisata dinilai akan mampu menggerakkan berbagai bentuk perkembangan wilayah, seperti peningkatan berbagai kualitas sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan wisata seperti jalan, drainase, halte, dan sebagainya. Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.

Terdapat 3 aspek penting yang menjadi dasar dalam perencanaan pengembangan pariwisata yang disingkat dengan 3A (atraksi, amenitas, aksesbilitas). Aspek 3A merupakan syarat minimal bagi pengembangan sebuah destinasi wisata. Setiap destinasi wisata sudah pasti mempunyai keunikan dan ciri khasnya masing-masing yang membuat banyak orang tertarik untuk mengunjungi lokasi wisata tersebut. Di lain sisi, faktor amenitas dan aksesbilitas akan menjadi kunci bagi keberlangsungan wisatawan dalam menikmati pengalaman berwisata. Ketiga faktor ini memiliki peran penting dalam membangun pengalaman berwisata yang nyaman serta menyenangkan bagi wisatawan.

Atraksi

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, atraksi wisata memiliki definisi yaitu seni, budaya, warisan sejarah, tradisi, kekayaan alam, atau hiburan, yang merupakan daya tarik wisatawan di daerah tujuan wisata. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata memiliki definisi yaitu segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Atraksi wisata sangatlah beragam, tak terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan alam seperti pegunungan atau pantai, namun dapat pula berupa hal-hal yang diciptakan oleh manusia seperti pusat perbelanjaan atau theme park. Atraksi wisata juga tak terbatas pada lokasi atau site attractions seperti tempat-tempat bersejarah, tempat dengan iklim yang baik, pemandangan indah, namun juga termasuk event attractions seperti seperti pagelaran tari, pameran seni lukis, atau peristiwa lainnya). Secara umum, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong wisatawan untuk bersedia pergi mengunjungi lokasi wisata, yaitu:

  • Sesuatu untuk dilihat, umumnya merupakan alasan pertama bagi wisatawan untuk bersedia berkunjung ke lokasi wisata
  • Sesuatu untuk dilakukan, yaitu kegiatan atau fasilitas yang tersedia di lokasi wisata yang dapat membuat membuat wisatawan merasa nyaman untuk melakukan beragam aktivitas di lokasi wisata.
  • Sesuatu untuk dibeli, yaitu suatu lokasi wisata perlu memiliki fasilitas untuk berbelanja souvenir atau hasil kerajinan sebagai oleh-oleh.
  • Sesuatu untuk diketahui, yaitu selain memberikan ketiga hal tersebut di atas, juga dapat memberikan informasi serta edukasi bagi wisatawan.

Amenitas

Amenitas memiliki arti yaitu fasilitas. Ketersediaan amenitas pada lokasi wisata bukan merupakan suatu hal yang akan menarik wisatawan datang berkunjung atau dengan kata lain bukan menjadi tujuan utama wisatawan. Amenitas merupakan pelengkap dari atraksi utama wisata. Ketiadaan atau kurang baiknya kondisi amenitas pada lokasi wisata akan menurunkan minat dari wisatawan sehingga penyediaan amenitas pada lokasi wisata sangat penting untuk diperhatikan keberadaannya. Amenitas tak hanya terbatas pada ketersediaan akomodasi untuk wisatawan bermalam, namun juga ketersediaan restoran untuk kebutuhan pangan, ketersediaan transportasi lokal yang memudahkan wisatawan untuk bepergian, dan lain sebagainya. Selain itu, fasilitas pendukung lain seperti toilet umum, tempat beribadah, area parkir, juga menjadi faktor kelengkapan amenitas yang penting untuk dipenuhi oleh pihak penyedia jasa wisata.

Tak hanya dari segi kuantitas, namun kualitas dari ketersediaan amenitas juga penting untuk diperhatikan serta disesuaikan dengan kebutuhan. Kualitas amenitas yang baik akan berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan wisatawan dalam menikmati pengalaman berwisata sehingga juga akan menaikkan citra dari lokasi wisata tersebut. Tak terbatas dalam bentuk fisik, namun amenitas juga didukung dengan faktor non fisik seperti hospitality atau keramahtamahan serta jasa.

Aksesibilitas

Definisi dari aksesibilitas pariwisata dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke destinasi pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. Pembangunan aksesibilitas pariwisata dapat meliputi:

  • Penyediaan dan pengembangan sarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api;
  • Penyediaan dan pengembangan prasarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api; dan
  • Penyediaan dan pengembangan sistem transportasi angkutan jalan, sungai,danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api

Aksesbilitas juga merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang tingkat kenyamanan berwisata bagi wisatawan. Idealnya, keberadaan sarana dan prasarana aksesbilitas haruslah diletakkan pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi amenitas seperti akomodasi ataupun tempat makan. Selain itu, kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana serta kondisinya yang berkualitas baik juga akan meningkatkan tingkat kenyamanan wisatawan.

Dilansir dari laman kontan, konsep 3A masih menjadi strategi yang dipilih pemerintah untuk mengembangkan destinasi wisata di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya pelaku pariwisata di daerah yang belum benar-benar memahami konsep tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa konsep 3A merupakan aspek minimal atau syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu lokasi wisata.

Namun selain konsep 3A tersebut, terdapat faktor pelengkap lainnya yakni ancilliary, yang berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus destinasi. Kelembagaan atau tourist organization dibutuhkan untuk menyusun kerangka pengembangan pariwisata, mengatur industri pariwisata serta mempromosikan daerah sehingga dapat dikenal oleh lebih banyak orang. Pada akhirnya, diperlukan koordinasi serta strategi yang apik agar seluruh upaya pengembangan pariwisata dapat berjalan dengan optimal. Selain itu, diperlukan pula upaya promosi melalui pemanfaatan media, baik daring maupun luring, yang juga diharapkan akan mendukung peningkatan minat wisatawan dalam berkunjung ke lokasi wisata.


Bahan Bacaan

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Kontan. 2019. “Kemenparekraf masih andalkan rumus 3A untuk kembangkan destinasi wisata”. Diperoleh 16 Desember 2020 dari https://industri.kontan.co.id/news/kemenparekraf-masih-andalkan-rumus-3a-untuk-kembangkan-destinasi-wisata

Kota Inklusif: Seberapa Ramah Kotamu Terhadap Kelompok Difabel?

Oleh:Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

“Kota yang Inklusif” mungkin menjadi sebuah frasa yang banyak berdengung di telinga masyarakat urban saat ini. Seruan himbauan dan protes kerap dialamatkan kepada para pemangku kebijakan agar sesegera mungkin mewujudkan kota yang berkeadilan dan setara bagi setiap jiwa yang berada di dalamnya. Keterbukaan akses terhadap informasi serta kebebasan berpendapat di ruang publik seakan menjadi pemantik bagi kelompok-kelompok yang peduli untuk menyuarakan ajakan berbagi perhatian bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Hal tersebut seakan menjadi stimulus bagi pihak yang berkuasa untuk perlahan mulai menjadikan ‘kota inklusif’ sebagai visi baru mereka. Belakangan ini, banyak kota yang seolah berkompetisi menjadi wadah tinggal yang lebih baik dengan memiliki citra inklusif di mata publik. Kota inklusif yang ramah difabel merupakan sebuah mimpi besar yang harus diperjuangkan seluruh pihak untuk mewujudkannya. 

Mendefinisikan Inklusif

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita kupas tuntas terlebih dahulu mengenai definisi kota inklusif yang akan menjadi pokok pembahasan dalam bacaan ini. Kata inklusif sendiri memiliki makna sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang terbuka, mengajak dan mengikutsertakan semua orang dengan beragam latar belakang. Dari definisi singkat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sesuatu yang inklusif adalah sesuatu yang merangkul semua pihak tanpa mempertimbangkan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, etnis, budaya sebagai sebuah hambatan.

Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh World Bank, gagasan dari kota inklusif berkaitan dengan sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari faktor-faktor pamungkas yaitu: inklusi spasial, inklusi sosial dan inklusi ekonomi. Inklusi spasial memandang kota yang inklusif sebagai sebuah kota yang menyediakan kebutuhan dasar masyarakat secara terjangkau, seperti kebutuhan akan rumah, air bersih dan sanitasi. Lanjut, sebuah kota dikatakan memiliki ciri inklusi sosial apabila menjamin kesetaraan hak dan partisipasi setiap golongan, tidak terkecuali para pemilik keterbatasan. Untuk inklusi ekonomi, sebuah kota haruslah memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja yang memberikan kesempatan bagi seluruh kelompok untuk menikmati manisnya pertumbuhan ekonomi.

Inklusivitas menjadi hal krusial dan semakin populer sejak disahkannya Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2015, dimana enam dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan menyoal tentang inklusi sosial. Kendati demikian, pokok bahasan ini akan lebih banyak berfokus pada tujuan nomor 11 yaitu “Membangun kota dan permukiman warga yang inklusif, aman, dan kukuh.”  

Inklusif bagi Difabel

Salah satu kelompok yang harus berada di garis terdepan alias mendapatkan perhatian prioritas untuk mewujudkan kota inklusif adalah kawan-kawan dengan disabilitas. Keterbatasan yang mereka miliki seringkali menjadi penghambat untuk berkarya dan menjalankan fungsi lainnya sebagai manusia. Tak jarang pula, keberadaan infrastruktur perkotaan yang seharusnya memudahkan masyarakat, malah membuat mereka semakin tersiksa. Contoh mudah, seperti tidak adanya lift pada bangunan tinggi sehingga para penyandang disabilitas harus mengakses anak tangga secara manual, atau sesederhana adanya pohon besar di tengah jalur pejalan kaki yang tidak dilengkapi dengan guiding block. Lebih dari itu, berdasarkan sebuah jurnal yang ditulis oleh Maftuhin (2017), terdapat lima komponen yang menjadi alasan mengapa kelompok dengan disabilitas merupakan kelompok yang paling mungkin terperangkap dalam kondisi ekslusi sosial. Komponen-komponen tersebut antara lain:

Komponen Ekslusi Kelompok Disabilitas

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Seiring bertambahnya jumlah populasi di dunia, maka akan semakin banyak pula masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Hal tersebut tentu berimplikasi pada semakin banyaknya kelompok dengan disabilitas yang akan tinggal di kota. Berangkat dari situ, strategi pembenahan terkait metode perencanaan dan pengembangan infrastruktur haruslah mengikutsertakan kelompok disabilitas. Apalagi, menurut World Health Organization (WHO), sekitar 15% populasi dunia merupakan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Prosentase yang cukup banyak. Sudah saatnya kebijakan rencana kota mengindahkan kebutuhan dan mengikutsertakan kelompok disabilitas dalam prosesnya. Hal-hal tersebutlah yang harusnya menyita waktu dan pemikiran para pemangku kebijakan serta pembangun fasilitas agar menyeragamkan keistimewaan para difabel menjadi kesetaraan. Setelah mengetahui makna dari inklusi dan urgensi penerapannya, hal selanjutnya yang harus ditilik adalah daftar komponen yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kota yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Masih dari jurnal yang sama, Maftuhin (2017) menyebutkan  bahwa terdapat empat komponen yang harus dipenuhi oleh sebuah kota untuk mewujudkan inklusivitas bagi orang-orang dengan disabilitas. Keempat komponen tersebut antara lain:

Komponen Kota Inklusif

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Melihat keempat komponen di atas, tentu bukanlah hal yang mudah bagi sebuah kota mewujudkan inklusivitas yang menyeluruh terhadap kelompok disabilitas. Pembenahan di segala aspek, baik mental masyarakat maupun pemutakhiran infrastruktur merupakan proses yang harus terus dilakukan secara kontinyu hingga hasil yang diharap bisa dengan mudah dinikmati.

Kota-Kota Ramah Disabilitas

Walaupun sulit untuk diwujudkan, nyatanya ada loh kota-kota inklusif yang ramah dengan penyandang disabilitas. Di mana sajakah kota-kota tersebut?

Berlin, Jerman.

Sejak tahun 2013, Ibukota Negara Jerman tersebut secara luas diketahui sudah menerapkan sebuah kebijakan yang komprehensif terkait dengan keberadaan orang dengan disabilitas. Berlin telah berdedikasi melakukan investasi dalam mewujudkan lingkungan perkotaan yang dapat diakses dan tanpa batasan atau kendala bagi semua pihak. Tujuh tahun yang lalu, Berlin memenangkan penghargaan EU City Access Award karena upayanya dalam menciptakan lingkungan bebas hambatan dan mewujudkan sistem transportasi yang dapat diakses oleh siapa saja. Saat ini, hampir 100% gedung museum dan bioskop di Berlin sudah dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus, sejalan dengan banyaknya restaurant dan bar yang telah dilengkapi sistem panduan jalan dan toilet khusus disabilitas.

Berlin Sebagai Kota Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Denver, Amerika Serikat

Denver menjadi salah satu kota di Amerika Serikat yang dapat diakses dengan mudah oleh para penyandang disabilitas. Walaupun terletak di kawasan pegunungan, topografi Denver cenderung landai dan datar sehingga memudahkan warganya yang harus berpindah dengan menggunakan kursi roda. Kota tersebut juga menawarkan beragam pilihan rekreasi dan aktivitas kebudayaan yang sudah dilengkapi dengan sistem transportasi yang memudahkan pergerakan kelompok disabilitas. Transportasi publik di Denver sudah dilengkapi dengan sistem ‘door to door paratransit system’ . Museum-museum juga sudah aksesibel dan menawarkan tur khusus pagi pengunjung yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Sistem Transportasi Denver yang Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Gydnia, Polandia

Kota Gydnia di Polandia sejatinya dikenal sebagai salah satu kota di dunia yang memperjuangkan sistem transit yang accessible bagi semua kelompok. Hampir semua bus kota yang ada di Gydnia merupakan armada yang dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus. Gydnia juga menyediakan sistem informasi yang unik yang menggunakan braille bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Papan informasi di segala penjuru kota juga dapat dengan mudah dinikmati oleh mereka yang mengutilisasi kursi roda. Hampir semua restaurant dan museum juga dilengkapi dengan parker kendaraan khusus penyandang disabilitas.

Sistem Transportasi Gydnia yang Ramah Disabilitas

Sumber: inyourpocket.com

Dari ulasan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa kota yang inklusif bukanlah hanya sekadar tren bagi kota-kota di dunia, melainkan suatu keharusan yang sesegera mungkin harus diwujudkan. Apakah kota-kota di Indonesia mampu menjadi inklusif dan dapat diakses oleh siapa saja?

Daftar Pustaka

Maftuhin, A. 2017. Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal-Usul Teori dan Indikator. Tata Loka. Universitas Diponegoro.

UNESCO. 2017. Instrumen Penilaian Kota Inklusif Versi 2. Kantor Perwakilan UNESCO, Jakarta.

The World Bank. Understanding Poverty: Inclusive Cities.

Yayasan SATUNAMA. 2016. Menuju Indonseia yang Inklusif. Satunama.org  

Berlin, Germany Wheelchair Accessible Travel Guide. https://wheelchairtravel.org/berlin/#:~:text=Berlin%20is%20home%20to%20one,public%20transit%20systems%20in%20Europe.

6 of the World’s Most Disability-Friendly Travel Destinations. 2016. https://www.goodnet.org/articles/6-most-disabilityfriendly-travel-destinations

Travelling With a Disability in Gdansk. 2020. https://www.inyourpocket.com/gdansk/travelling-with-a-disability-in-gdansk-sopot_77157f

URBAN HEAT ISLAND (UHI)

Oleh Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Fenomena Urban Heat Island (UHI) merupakan adalah fenomena alam khususnya berkaitan dengan iklim yang ditandai dengan meningkatnya suhu kawasan pusat perkotaan padat. Kawasan pusat kota memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penyangga disekitarnya. Berkurangnya area hijau akibat pembukaan lahan di perkotaan menyebabkan terjadinya efek Urban Heat Island. Menurut Environmental Protection Agency (EPA), efek ini merupakan masalah utama setiap kota berkembang di dunia khususnya terhadap terjadinya pemanasan global. Fenomena ini pertama diselidiki dan dijelaskan oleh Luke Howard pada 1810-an. Penyebab utama terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI) di perkotaan adalah modifikasi permukaan tanah melalui pengembangan kota yang menggunakan material yang menyimpan panas. Panas yang muncul akibat dari penggunaan energi adalah kontributor kedua terbesar dari fenomena UHI.

Gambar 1. Ilustrasi Urban Heat Island (UHI)

Suhu udara kota mengalami peningkatan tajam akibat dominannya material perkerasan yang tidak bisa menyerap sinar UV cahaya matahari dengan baik misalnya bangunan dan jalan. Penggunaan mesin pendingin yang mengeluarkan energi panas juga menjadi penyebab meningkatnya suhu di perkotaan. Bangunan-bangunan yang tinggi menjulang dan pembangunan perumahan real estate telah merubah bentuk bentang alam dan hanya menyisakan sedikit area tanah untuk ruang terbuka hijau sehingga udara panas terlepas begitu saja tanpa adanya upaya penyerapan oleh tumbuhan. Permukaan  kota  yang  terdiri  dari  aspal  dan beton umumnya lebih panas pada siang hari dibandingkan dengan daerah yang bervegetasi. Permukaan buatan manusia ini sangat  efisien untuk menyimpan energi surya, mengubahnya menjadi energi panas, dan  melepaskannya pada malam hari, menciptakan suatu wilayah dengan udara yang panas di   sekitar kota yang dikenal sebagai heat island. Perbedaan suhu udara antara daerah yang terdampak efek dari Urban Heat Island (UHI) dan daerah yang bervegetasi tinggi dapat mencapai 6°C.

Urban Heat Island menimbulkan berbagai macam efek negatif, diantaranya adalah kematian ratusan orang pada musim panas yang diakibatkan oleh gelombang panas, penurunan kualitas air di perkotaan, peningkatan pemakaian listrik sehingga mengakibatkan penambahan penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan timbulnya pemanasan global. Urban Heat Island pada musim kemarau akan mempercepat pebentukan kabut berbahaya, seperti prekusor ozon yaitu nitrous oxides (NOx) dan volatile organic compounds (VOCs) yang bereaksi sara fotokimia menghasilkan ozon di permukaan.

Dalam upaya penanggulangan efek yang diakibatkan oleh fenomena ini, berbagai lembaga pemerhati lingkungan seperti The United Nations Environment Programme (UNEP) memberikan beberapa solusi penyelamatan diantaranya yaitu melalui penggunaan green roof, penggunaan cool roof, penanaman tumbuhan dan vegetasi pada lahan yang disediakan dan cool pavement.

Pendekatan penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengetahui nilai Urban Heat Island (UHI) dengan menggunakan bantuan software penginderaan jauh seperti ENVI dan ArcGIS, akan tetapi bukan UHI atmosfer, melainkan urban heat island permukaan. Data penginderaan jauh yang digunakan unttuk mengetahui nilai UHI adalah citra suhu permukaan yang telah terkoreksi. Kemudian dilakukan pengolahan Land Surface Temperature (LST) terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan pengolahan UHI.

Fenomena Urban Heat Island (UHI) merupakan fenomena meningkatnya suhu udara di daerah perkotaan padat dan menyebabkan berbagai macam masalah terutama pada lingkungan. Penigkatan jumlah penduduk, peningkatan kegiatan pembangunan insfrastuktur beton, penggunaan energi yang berlebihan, serta penggunaan moda transportasi secara besar besaran menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Berbagai upaya perlu dilakukan agar fenomena ini dapat tertangani dengan baik. Beberapa solusi yang ditawarkan oleh lembaga pemerhati lingkungan seperti UNEP adalah penggunaan green roof dan cool roof, penanaman vegetasi dan tumbuhan yang semakin banyak, dan penggunaan cool pavement. Dari upaya – upaya tersebut diharapkan mampu menanggulangi fenomena Urban Heat Island (UHI) yang telah terjadi.

REFERENSI

Al Mukmin, S. A., Wijaya, A. P., & Sukmono, A. (2016). ANALISISPENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN FENOMENA URBAN HEAT ISLAND. Jurnal Geodesi Undip, 224-233.

Hardiyanti, T. (2012, September 5). URBAN HEAT ISLAND DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM. Dipetik Juli 13, 2020, dari I’ENVIROMENTALIS’M: http://tutut-hardiyanti.blogspot.com/2012/09/urban-heat-island-dan-dampaknya.html

MARU, R. (2015). Urban Heat Island dan Upaya Penanganannya. Prosiding Seminar Nasional Mikrobiologi Kesehatan dan Lingkungan, 84-94.

Sukmono, A. (2020). Materi Kuliah Pengolahan Citra Digital. Semarang: Universitas Diponegoro.

Mengenal ‘Doughnut Economy’: Konsep Ekonomi yang ‘Penuh Kebaikan’ untuk Pertumbuhan Kota

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Krisis ekonomi yang diakibatkan baik oleh kemunculan pandemi Covid-19 ataupun tidak, membuat banyak pemangku kebijakan di segala penjuru dunia berpikir ulang tentang bagaimana model ekonomi yang paling tepat untuk diterapkan. Saat ini aspek growth atau pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menjadi tolok ukur keberhasilan. Sebuah konsep ekonomi bertajuk Doughnut Economy kian sering disebut-sebut sebagai model ekonomi baru di mana terdapat elemen lain yang diperhitungkan, seperti pondasi sosial dan limitasi ekologi, selain pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Saat ini Amsterdam menjadi kota pertama yang mencoba menerapkan konsep tersebut dalam visi jangka panjangnya. Menarik untuk dibahas?   

Memahami Konsep Doughnut Economy

Konsep Doughnut Economy atau yang lebih mudah disebut dengan ekonomi donat pertama kali dicetuskan oleh Kate Raworth pada tahun 2012. Kate merupakan seorang ekonom lulusan Oxford yang juga merangkap sebagai Senior Associate di Cambridge Institute for Sustainability Leadership di samping mengajar sebagai professor dalam program Environmental Change and Management.

Untuk dapat memahami apa itu sebetulnya ekonomi donat, ada baiknya dilakukan perbandingan terlebih dahulu dengan model ekonomi klasik. Model ekonomi klasik adalah model ekonomi yang diperkenalkan oleh beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Max Weber, Joseph Schumpeter, William Ashley dan lain sebagainya. Model ekonomi klasik berpegang teguh pada konsep growth alias pertumbuhan. Dalam konsep ini, idealnya keuntungan dan produksi tahun depan haruslah lebih baik dari tahun sekarang. Intinya, ‘keberhasilan’ suatu unit bisnis hari ini ditandai dengan pertumbuhan dan kondisi finansial yang lebih baik dari hari kemarin.

Hal tersebut sedikit agak berbeda dengan konsep ekonomi donat. Kate Raworth mempertimbangkan aspek lainnya seperti kelestarian lingkungan dan peradaban manusia yang nyatanya memiliki keterbatasan. Pada satu waktu, keterbatasan itu akan mencapai tipping point. Tipping point adalah kondisi epidemiologi di mana satu perubahan kecil akan membawa kita ke sebuah perubahan yang masif. Perubahan tersebut bisa berupa krisis iklim maupun krisis sosial. Dunia tidak bisa terus menerus bergantung pada konsep ekonomi klasik jika ingin menuntaskan krisis-krisis tersebut. Sudah saatnya beralih ke model ekonomi donat. Konsep ekonomi donat tidak mengenal istilah ‘membuang sampah akhir’. Setiap produk, di akhir hidupnya, akan berubah bentuk menjadi materi dasar (raw material) untuk produk-produk selanjutnya.

Model Ekonomi Donat

Sumber: Weforum.org, 2017

Sekarang mari kita bayangkan bentuk kue donat seperti diagram yang tertera di atas. Diagram tersebut terdiri dari dua lingkaran. Lingkaran yang pertama adalah lingkaran yang berada di bagian dalam yang menggambarkan sumber daya yang cukup bagi manusia untuk memiliki kehidupan yang baik. Adapun yang menjadi elemen dalam lingkaran dalam tersebut adalah makanan, air bersih, tempat tinggal, sanitasi, energi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan demokrasi. Lingkaran yang kedua berada di bagian terluar donat. Lingkaran tersebut menggambarkan batasan-batasan alam yang dimiliki oleh bumi seperti potensi terjadinya krisis perubahan iklim, polusi air, penipisan ozon, punahnya spesies dan serangan-serangan lingkungan lainnya.

Ruang yang terdapat di antara kedua lingkaran tersebut, yang mana adalah donat itu sendiri, adalah ruang yang aman secara ekologis dan adil secara sosial. Di ruang tersebutlah umat manusia harus berjuang untuk dapat hidup. Tujuan ekonomi seharusnya dapat membantu manusia untuk memasuki ruang tengah dan tinggal di sana. Model ekonomi donat memungkinkan kita untuk melihat secara komprehensif dan menemukenali di mana posisi kita berada. Kecenderungan saat ini adalah umat manusia yang telah melampaui kedua lingkaran, baik dalam maupun luar. Miliaran orang masih hidup di lingkaran dalam, dan tentu aktivitas sehari-hari telah membawa kita melampaui lingkaran terluar dan membahayakan kelestarian bumi. 

Contoh lain yang membedakan ekonomi klasik dengan ekonomi donat adalah bagaimana kedua konsep tersebut melihat dan menangani persoalan inequality atau ketidaksetaraan yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Pada abad ke-20, waktu di mana konsep ekonomi klasik diterapkan, kebijakan-kebijakan hampir selalu mempromosikan agenda redistribusi ekonomi dengan fokus meredistribusikan pendapatan. Sebagai contoh, melalui penerapan pajak, penerapan transfer pendapatan antara si kaya dan si miskin, atau pemberlakuan upah minimum. Memang hal tersebut dilakukan bersamaan dengan investasi dalam pelayanan publik, seperti peningkatan layanan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, sesungguhnya pendekatan tersebut masih belum memberantas akar ketidaksetaraan ekonomi karena hanya berfokus pada pendapatan, bukan sumber kekayaan yang menghasilkannya.

Lain halnya dengan pendekatan yang dilakukan oleh ekonomi donat yang bertujuan untuk meredistribusikan ‘sumber kekayaan’. Ekonomi donat akan memikirkan bagaimana tanah dan sumber daya dapat didistribusikan secara merata. Apakah melalui reformasi tanah, pemberlakuan pajak nilai tanah, atau dengan mengakui tanah sebagai hak Bersama? Ekonomi donat juga akan berfokus untuk mencari jawaban atas pertanyaan: model bisnis seperti apa yang dapat memastikan bahwa pekerja pekerja yang berkomitmen menuai bagian yang jauh lebih besar dari nilai yang mereka hasilkan? Ekonomi donat juga akan memikirkan tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa didistribusikan secara global melalui sumber terbuka yang tidak dipungut biaya serta penyediaan lisensi gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.

Dari penjelasan di atas tentang bagaimana perbedaan ekonomi klasik dan ekonomi donat dalam menangani ketidaksetaraan, dapat ditarik satu benang merah bahwa konsep ekonomi donat lebih mengedepankan distribusi sumber kekayaan ketimbang redistribusi pendapatan yang banyak dilakukan pada masa ekonomi klasik. Berikut adalah gambar yang merepresentasikan perbedaan tersebut:

Perbedaan Ekonomi Klasik dan Ekonomi Donat dalam Menangani Ketidaksetaraan

Sumber: Weforum.org, 2017

Lalu bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat? Pada dasarnya kondisi ekonomi sangatlah ditentukan oleh hukum dan kebijakan yang berlaku. Ekonomi adalah tentang bagaimana kebijakan supply & demand diberlakukan, tentang bagaimana kinerja hukum pasar, dan lain sebagainya. Ekonomi adalah sebuah sistem dinamis yang secara konstan terus berkembang, jadi tidak ada yang namanya ‘kepastian’ dalam ekonomi, yang ada hanyalah bagaimana ‘desain’ dari kondisi ekonomi tersebut. Jadi jawaban dari bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat adalah dengan mengatur desain ekonomi yang berlaku.

Pada intinya, harus terdapat perubahan yang transformatif terkait dengan dasar-dasar produksi. Hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara meminta perusahaan untuk mengoptimalkan pajak mereka terhadap beberapa regulasi pajak baru atau mekanisme harga. Melainkan dengan memaksa para perancang di perusahaan tersebut untuk meninjau Kembali core atau inti dari proses yang mereka miliki. Sebagai contoh, seperti hal-hal yang sudah dilakukan oleh negara-negara di Eropa untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai adalah sebuah peraturan yang jelas dan akan mempengaruhi inti proses dari industri plastik ke depannya. Para pemain industri tidak bisa hanya mempertimbangkan pengeluaran dan keuntungan mereka, namun mereka juga harus mendesain dan mengatur ulang bagaimana rantai pasokan mereka bekerja. Perubahan hukum dan kebijakan dapat membawa perubahan jangka panjang yang fundamental, jauh lebih mendasar dari apa yang dapat dilakukan oleh mekanisme harga dan pasar.

Penerapan Doughnut Economy di Amsterdam

Konsep ekonomi donat lambat laun sudah mulai diimplementasikan dalam skala perkotaan. Adalah beberapa organisasi yang mensiasati hal tersebut seperti the Doughnut Economics Action Lab, Circle Economy, C40 Cities dan Biomimicry 3.8. Pilot project penyelenggaraan ekonomi donat bertempat di Amsterdam, Belanda dan menyasar para perencana kota dan pemangku kebijakan perkotaan. The Amsterdam City Doughnut mengangkat konsep ekonomi donat menjadi suatu alat untuk melakukan aksi yang transformatif. Amsterdam menempatkan ekonomi donat sebagai visi jangka panjang mereka dan menjadi dasar atas setiap pengambilan keputusan. Adapun yang menjadi visi dari kota yang terkenal dengan wisata kanalnya tersebut adalah “menjadi kota yang berkembang, beregenerasi dan inklusif bagi seluruh warganya, dengan tetap memperhatikan limitasi planet bumi”.  

Untuk mewujudkan visi tersebut, Amsterdam telah meluncurkan Circular 2020-2025 Strategy, yang menitikberatkan aksi nyata untuk mengurangi separuh dari penggunaan bahan baku baru pada tahun 2030. Pemerintah kota Amsterdam bertujuan untuk mengimplementasikan circular economy secara menyeluruh pada tahun 2050. Amsterdam akan memberlakukan penggunaan kembali (reusing) bahan baku untuk menghindari timbulnya limbah dan mengurangi emisi CO2. Amsterdam juga akan mengembangkan alat untuk memantau dan melacak keberadaan bahan baku serta menilai inisiatif mana yang memberikan kontribusi terbesar untuk mencapai tujuan strategi circular. Hal tersebut didukung oleh pernyataan pemerintah kota Amsterdam yang mengatakan bahwa, “Kami melihat kondisi ekonomi kita dari perspektif yang berbeda: tentang bagaimana kita memproduksi, memproses, dan mengkonsumsi. Untuk para konsumer di Amsterdam, kita harus menggunakan suatu produk atau barang secara lebih lama, berbagi produk tersebut dengan orang lain, dan memperbaiki produk itu ketika terjadi kerusakan lagi dan lagi.”

Dilansir dari The Guardian, walikota Amsterdam, Marieke van Doorninck mengatakan bahwa pendekatan ekonomi donat dapat membantu kota untuk pulih kembali dari dampak yang ditimbulkan oleh coronavirus. Marieke berpendapat bahwa ekonomi donat dapat mencegah pemerintah Amsterdam untuk kembali ke mekanisme awal. Ekonomi donat adalah salah satu solusi paling baik yang dapat diambil ketika secara tiba-tiba seluruh kota di dunia diharuskan untuk mempertimbangkan masalah krisis iklim, kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, stok rumah, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.  

Melalui strategi ini, Amsterdam bertujuan untuk memotong limbah makanan hingga 50% pada tahun 2030, dari 41 kilogram limbah makanan per orang saat ini, dengan surplus dialihkan ke penduduk yang paling membutuhkan. Amsterdam juga akan menerapkan persyaratan keberlanjutan yang lebih ketat dalam kegiatan tender konstruksi. Sebagai contoh, bangunan akan mendapatkan ‘materials passport’ sehingga perusahaan pembongkaran dapat menentukan apakah bahan masih dapat digunakan di kemudian hari dan di mana bahan dapat digunakan kembali. Buiksloterham merupakan area pertama di mana konsep ekonomi donat ini akan diterapkan.

Pemerintah kota juga akan mengurangi penggunaan bahan baku baru sebesar 20% dan pada tahun 2030 hanya akan melakukan pembelian dengan skema melingkar. Skema melingkar sendiri adalah konsep alternatif dari ekonomi linear (produksi – penggunaan – pembuangan) yang bertujuan untuk menggunakan potensi setiap material semaksimal mungkin serta untuk memulihkan material yang telah sampai pada usia akhirnya. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk pengadaan produk seperti perlengkapan kantor dan komputer, tetapi juga untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan. Amsterdam sudah bekerjasama dengan pelaku usaha bisnis dan organisasi penelitian di lebih dari 200 proyek ekonomi donat. Kerja sama tersebut termasuk kerja sama dengan industri cat dan toko barang bekas di mana cat lateks bekas dikumpulkan dan diproses untuk dijual kembali.

Kendati demikian, pemerintah kota Amsterdam mengakui bahwa proses transformasi dari ekonomi klasik ke ekonomi donat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan kepada para pelaku usaha bisnis. Dan hal tersebut pastilah memakan waktu yang lama. Efek positif dari ekonomi donat tidak dapat dilihat secara instan. Namun pemerintah kota Amsterdam sangat yakin bahwa mereka sangat siap dalam menghadapi tantangan tersebut. Amsterdam adalah kota yang progresif yang tidak takut bereksperimen atau berinvestasi di masa depan. Lantas bagaimana dengan kota-kota lain di dunia? Jakarta, misalnya?

REFERENSI

Monbiot, G. 2017. Finally, a breakthrough alternative to growth economics – the doughnut. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2017/apr/12/doughnut-growth-economics-book-economic-model

Raworth, K. 2017. Meet the doughnut: the new economic model that could help end inequality. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2017/04/the-new-economic-model-that-could-end-inequality-doughnut/

Putri, A.R. 2017. Waste4Change Menyelenggarakan Circular Economy Forum di Indo Waste 2017. Waste4Change. https://waste4change.com/waste4change-circular-economy-forum-indo-waste-2017/#:~:text=Circular%20economy%20adalah%20konsep%20alternatif,telah%20sampai%20pada%20usia%20akhirnya.

Raworth, K. 2019. Doughnut Economics for Thriving 21st Century. Green European Journal. https://www.greeneuropeanjournal.eu/doughnut-economics-for-a-thriving-21st-century/

Xue, J.M. 2020. Ekonomi Biasa vs Ekonomi Donat. https://www.jenniexue.com/ekonomi-biasa-vs-ekonomi-donat/#:~:text=Ekonomi%20donat%20adalah%20ekonomi%20terbarukan,planet%20lagi%20sebagai%20tempat%20tinggal%3F

Wray, S. 2020. Amsterdam adopts first ‘city doughnut’ model for circular economy. SmartCitiesWorld. https://www.smartcitiesworld.net/news/news/amsterdam-adopts-first-city-doughnut-model-for-circular-economy-5198#:~:text=The%20city%20aims%20to%20have,contribution%20to%20circular%20economy%20goals.