Konsep Co-Housing: Sebagai Solusi Permasalahan Permukiman di Indonesia
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota /by adminhandalOleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc
Mungkin belum banyak yang mengetahui serta familiar dengan konsep pembangunan rumah secara kolaboratif atau yang biasa disebut dengan konsep co-housing. Konsep ini disebut-sebut dapat menjadi alternatif permasalahan penyediaan perumahan khususnya bagi masyarakat perkotaan, dimana lahan yang tersedia akan semakin sedikit dan semakin mahal seiring berjalannya waktu. Konsep ini dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan permukiman kumuh dan juga sebagai alternatif lain bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah. Lantas apa itu co-housing sebenarnya?
Definisi Co-Housing
Co-housing adalah konsep dimana sebuah grup/komunitas merencanakan, membiayai dan membangun rumah mereka secara bersama-sama di suatu lahan/persil yang sama dan memiliki ruang-ruang komunal di dalamnya. Proyek Co-housing didasari kebersamaan kolektif yang kuat antar anggotanya dan memberikan kesempatan bagi setiap individu anggota untuk berpartisipasi dalam merancang tempat tinggal mereka. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa implementasi co-housing lebih dari sekedar tinggal dalam suatu gedung yang sama, melainkan adanya proses interaksi dari masa perancangan bangunan sampai masa menjalani kehidupan sehari-hari yang didukung dengan keberadaan ruang atau aktivitas komunal seperti dapur, ruang makan, ruang serbaguna, tempat parkir, tempat main anak dan lain sebagainya.
Lahirnya konsep co-housing pada akhir abad 19 di negara-negara di Eropa, juga dipengaruhi oleh kebutuhan dari penduduk kelas menengah dalam mencari solusi atas mahalnya tarif kerja seorang asisten rumah tangga (ART) yang dapat memasak. Pada saat itu, tercetuslah ide konsep ‘ART kolektif’ yang dapat melayani keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan. Konsep ART kolektif ini kemudian diimplementasikan dalam pembangunan co-housing yang diinisiasi oleh Otto Fick, di Copenhagen pada tahun 1903. Co-housing tersebut bernama Einküchenhaus (bangunan dengan satu dapur). Bangunan ini berada dalam satu persil yang sama terdiri dari beberapa rumah warga, dimana di tengah-tengah bangunan tersebut terdapat sebuah dapur besar tempat ART bekerja dan menyiapkan makanan untuk seluruh warga. Konsep co-housing seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dianggap sebagai sebuah opsi untuk mendukung adanya kesetaraan gender, bahwa kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dikarenakan urusan rumah tangga sudah ditangani oleh ART kolektif tersebut. Namun saat ini, rumah kolaboratif sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga setiap unit/rumah memiliki dapur pribadi.
Rumah kolaboratif dapat berupa rumah tapak maupun rumah vertikal. Hal tersebut diputuskan melalui kesepakatan bersama antar anggota. Jumlah unit rumah terbaik untuk mengimplementasikan konsep co-housing adalah 12-36 unit rumah. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah area/bangunan co-housing memiliki unit yang lebih sedikit atau lebih banyak dari angka tersebut. Jika jumlah lebih sedikit dari 12 unit, maka dikhawatirkan komunitas tersebut menjadi terlalu intim dan membutuhkan pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Namun jika jumlah unit lebih banyak dari 36, dikhawatirkan akan menyulitkan sesama anggotanya untuk bersosialisasi dan menstimulus proses administratif yang sulit (pembagian proporsi iuran listrik, air, dsbg) (Scotthanson, 2005).
Konsep co-housing disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Seorang Arsitek penggiat co-housing, Grace Kim, mengatakan bahwa rumah kolaboratif dapat meminimalisir tingkat stress seseorang. Rasa kesepian karena hidup terisolasi kerap membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani. Tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, co-housing juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam mensiasati harga tanah di kawasan perkotaan yang semakin mahal. Para anggota dapat membeli tanah dan membangun rumah secara kolektif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak ketika membangun rumah atau membeli apartemen secara swadaya.
Co-Housing Sebagai Jawaban Masalah Perumahan di Indonesia
Bila dikaitkan dengan permasalahan perumahan yang terdapat di Indonesia, konsep co-housing dapat menjadi salah satu alternatif yang layak diperhitungkan oleh seluruh stakeholder perumahan. Konsep co-housing dirasa relevan bila diterapkan di Indonesia melihat tren ketersediaan lahan yang semakin sulit untuk diakses dan semakin mahalnya harga properti khususnya di kawasan perkotaan. Penerapan co-housing juga sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu suka bergotong-royong. Kekuatan modal sosial tersebut sejalan dengan nyawa dari konsep co-housing itu sendiri yakni, kolaboratif. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk mengatasi permasalahan permukiman informal yang kumuh dan juga sebagai jawaban atas terbatasnya akses serta kemampuan kaum milenial untuk memiliki rumah.
Saat ini, kota-kota besar di Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mengentaskan kekumuhan yang terdapat di kawasan permukiman informal. Pemerintah daerah beserta masyarakat ramai-ramai mempercantik dan merehabilitasi permukiman tersebut dengan harapan dapat menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan sehat bagi warganya. Namun, masih sedikit yang mempertimbangkan pengimplementasian konsep co-housing pada penataan kawasan permukiman kumuh tersebut, padahal co-housing sejalan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan permukiman informal yang memiliki modal sosial yang tinggi.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asyah (2014), masyarakat di permukiman kumuh memiliki rasa kebersamaan dan tenggang rasa yang kuat. Hal tersebut terlihat dari kehidupan bertetangga yang saling bahu membahu. Para pemukim di kawasan kumuh tersebut mengaku jika suatu saat terjadi penggusuran, mereka berharap dapat tetap tinggal bersama dengan tetangga-tetangganya terdahulu. Mereka juga mengakui bahwa salah satu faktor yang kerap mempengaruhi kegagalan program pemerintah dalam merelokasi permukiman kumuh adalah kemungkinan terputusnya modal sosial yang sudah dimiliki oleh warga. Mereka berharap kemungkinan relokasi dapat diminimalisir dan digantikan dengan konsep rehabilitasi permukiman kumuh agar mereka tetap bisa bersama dan hidup bertetangga.
Melihat fakta tersebut, konsep co-housing dalam rehabilitasi permukiman kumuh berperan sebagai salah satu alternatif yang mumpuni dan layak untuk dicoba. Dengan konsep rumah kolaboratif, pemerintah tidak perlu menyediakan lahan baru untuk relokasi, melainkan dapat mendayagunakan lahan eksisting dengan desain dan fungsi yang lebih baik. Walaupun mungkin agak berbeda dengan prinsip rumah kolaboratif dimana anggotanya akan secara kolektif membiayai pembangunan rumah, pemerintah dapat memberikan subsidi untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Pemerintah juga dapat memberdayakan masyarakat dalam mendesain rumah mereka sehingga tercipta perencanaan partisipatif dimana hasil yang diharapkan akan lebih sesuai dengan ekspektasi dari user atau dalam hal ini masyarakat di permukiman kumuh.
Rumah kolaboratif juga dapat menjadi strategi pemerintah dalam menangani kawasan permukiman kumuh dan informal yang status kelegalan tanahnya biasanya dipertanyakan. Aspek legalitas pada co-housing nantinyasama dengan legalitas pada model properti lainnya. Untuk membangun, dibutuhkan IMB dari pemerintah. Untuk kepemilikan dari rumah tapak sama dengan prosedur kepemilikan dari rumah tapak pada umumnya. Sedangkan untuk kepemilikan rumah vertikal, skemanya sama dengan skema kepemilikan apartemen yaitu sang pemilik mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam jangka waktu tertentu.
Tidak hanya sebagai salah satu opsi penataan permukiman kumuh, konsep rumah kolaboratif juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi kaum milenial untuk memenuhi kebutuhan papannya. Saat ini sering didengungkan bahwa akan sangat sulit bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah pribadi. Hal tersebut didasari oleh semakin melambungnya harga properti yang tidak diimbangi dengan ability to pay atau kemampuan untuk membayar dari para milenial. Ditambah lagi dengan kondisi tidak tersedianya lahan kosong di daerah perkotaan yang kerap menjadi sasaran milenial untuk memiliki rumah tinggal.
Dilansir dari MIPIM World Blog, co-housing akan menarik perhatian para milenial karena harganya yang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan apartemen pada umumnya di lokasi yang sama. Konsep co-housing dianggap sebagai solusi mengingat kaum milenial dapat berkolaborasi dengan komunitasnya sehingga modal sosial yang mereka miliki bisa semakin terjalin. Konsep co-housing ini lebih fleksibel dan sesuai dengan sifat dan ciri khas kaum milenial yang suka berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Para milenial dapat merencanakan tempat tinggal mereka bersama dengan keluarga, kerabat, atau bahkan teman yang memiliki nilai visi dan misi yang sama mengenai kebutuhan akan rumah. Mereka dapat secara kolektif membeli sebidang tanah dan menyepakati bersama desain dan tata letak fungsional ruang publik yang mereka kehendaki.
Masih menurut MIPI World Blog, diketahui bahwa saat ini terdapat pergeseran pola pikir yang dimiliki oleh milenial mengenai kepemilikan properti dan aset. Milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan secara general. Sudah banyak keluarga muda yang tidak berniat untuk memiliki rumah pribadi di atas lahan yang luas atau memiliki kendaraan sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah kota mengingat konsep co-housing akan meningkatkan kepadatan kawasan permukiman dalam kondisi yang lebih baik dan meminimalisir pergerakan.
Tren Perubahan Pola Pikir Kepemilikan Rumah di Indonesia
Pada bagian sebelumnya, sempat dibahas mengenai tren perubahan pola pikir generasi milenial terhadap kepemilikan rumah. Generasi milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan properti/aset dan banyak mengalihkan pilihannya kepada rumah sewa. Hal ini sesuai dengan konsep besar dari co-housing dalam bentuk vertical building, dimana tidak terdapat satu anggota pun yang memegang sertifikat kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengimplementasikan konsep vertikal co-housing di Indonesia mengingat sudah terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Namun apakah lapisan masyarakat lainnya di Indonesia sudah mengarah kepada tren tersebut?
Dilansir dari laman kompas.com pada tahun 2017, terjadi penurunan tren pembelian rumah karena terdapatnya preferensi masyarakat untuk menyewa terutama di daerah perkotaan. Kecenderungan preferensi terlihat dari keengganan masyarakat kota pada umumnya yang masih memiliki mobilitas tinggi. Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Lana Winayanti, tren dan perilaku seperti yang dijelaskan di atas termasuk gaya hidup yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.
Tren perubahan pola pikir kepemilikan rumah juga terjadi pada masyarakat kelas menengah ke bawah secara perlahan. Menurut Asyah (2014), diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tidak keberatan jika harus direlokasi ke hunian vertikal, dengan catatan memiliki akses kepada transportasi publik dan juga tidak mengganggu ikatan sosial yang sudah terbangun antar sesama warga di permukiman bantaran sungai tersebut. Tren perubahan pola pikir juga didukung oleh kondisi kekinian bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sedang gencar untuk mengikuti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digalakkan oleh pemerintah dimana sebagian jenis rumah yang ditawarkan oleh program subsidi tersebut adalah hunian vertikal.
Dengan memahami terjadinya tren perubahan pola pikir terhadap kepemilikan rumah pada masyarakat Indonesia, maka dapat dilihat bahwa konsep co-housing khususnya dalam bentuk hunianvertikal dapat diimplementasikan di Indonesia.
Program Pemerintah yang Mendukung Penyelenggaraan Co-Housing
Setelah didapatkannya gambaran mengenai alternatif pemanfaatan konsep co-housing di Indonesia, perlu diketahui juga program-program pemerintah yang dapat mendukung terselenggaranya konsep tersebut sehingga akan semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya. Salah satu program yang dapat mendukung terselenggaranya konsep co-housing, yang pada dasarnya merupakan rumah dengan konsep swadaya, adalah program rintisan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bernama Program Penyelenggaraan Perumahan Berbasis Komunitas. Program perumahan berbasis komunitas ini dilatarbelakangi oleh urgensi adanya inovasi kebijakan, strategi dan program penyelenggaraan di Indonesia.
Nantinya komunitas yang berpartisipasi dalam program tersebut akan mendapatkan dua jenis bantuan dari pemerintah. Yang pertama adalah bantuan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dan bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Dalam pelaksanaan pembangunan rumah berbasis komunitas tersebut akan dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh satuan kerja yang ditunjuk oleh menteri. Sedangkan proses pemantauan dan evaluasi akan dilakukan oleh direktorat teknis pada kementerian.
Adapun persyaratan bagi komunitas yang akan berpartisipasi adalah komunitas yang berbadan hukum atau ditetapkan oleh walikota/bupati; MBR dengan desil 1 s.d 4; tidak memiliki fixed income; belum pernah memiliki rumah; lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing; sudah berkeluarga; memiliki kemampuan berswadaya dan memiliki kelompok; dan jumlah minimal unit rumah adalah 50 unit. Hal ini cukup berbeda dengan penerapan konsep co-housing yang ideal dimana jumlah unit rumah yang dibangun sebaiknya berkisar antara 12-36 unit. Selanjutnya mengenai lokasi pelaksanaan bantuan harus memenuhi persyaratan berupa: lokasi sesuai dengan RTR sebagai kawasan perumahan; legalitas kepemilikan tanah jelas; tanah tidak bersengketa; aksesibilitas lokasi baik dan kualitas medan atau lapangan sesuai. Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah/pemda adalah memberi bantuan infrastruktur dasar untuk menunjang berfungsinya perumahan komunitas; mempermudah proses perizinan dan memfasilitasi penyusunan rencana. Sedangkan peran akademisi adalah mengembangkan konsep framework kolaborasi dan memfasilitasi penyusunan rencana.
Saat ini, sudah terdapat sekitar 24 komunitas yang akan melaksanakan program perumahan berbasis komunitas yang tersebar di 22 lokasi dengan unit pembangunan rumah mencapai sekitar 7.472 unit. Salah satu implementasi program yang sudah berjalan adalah Pengembangan Perumahan Berbasis Komunitas untuk Persaudaraan Pemangkas Rambut di Garut. Setelah memahami jenis program perumahan berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh pemerintah, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya konsep co-housing sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia melalui program tersebut yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah
Penutup
Setelah mengetahui dan memahami definisi, peluang pengimplementasian konsep Co-housing, tren perubahan pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan rumah, dapat disimpulkan bahwa konsep tersebut tampak sebagai sebuah peluang emas dan keniscayaan di tengah-tengah tantangan perkotaan yang menyebabkan sedikitnya lahan yang bisa diakses dan mahalnya harga properti saat ini. Konsep rumah kolaboratif juga sesuai dan sejalan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia dimana kekuatan modal sosial menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi. Baik masyarakat di permukiman kumuh maupun kaum milenial dapat menentukan dimana dan dengan siapa mereka ingin tinggal serta jenis-jenis fasilitas publik yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas tersebut. Pergeseran pola pikir mengenai kepemilikan aset bagi kaum milenial juga menjadikan co-housing sebagai salah satu opsi yang patut dipertimbangkan. Namun demikian, untuk mewujudkan konsep co-housing dibutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder khususnya pemerintah daerah menyusun regulasi terkait permukiman. Saat ini sudah terdapat sebuah program bernama Perumahan Berbasis Komunitas yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sasaran dari program tersebut adalah komunitas masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan diadakannya program pemerintah tersebut, kita dapat melihat arah kebijakan dan inovasi yang mendukung terimplementasikannya konsep co-housing di Indonesia. Namun belum familiarnya masyarakat luas terhadap konsep ini juga dapat menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Jadi, apakah konsep rumah kolaboratif ini akan berkembang di Indonesia dalam waktu dekat?
Daftar Pustaka
Vestbro, et al. 2012. Design for gender Equality – The History of Cohousing Ideas and Realities. Aalto University
Tummers, L. 2016. The Re-emergence of Co-Housing in Europe. New York
Aziz, F. 2017. Cohousing Concept: Commercial Business Model Development For Millenials in Urban Area of Indonesia. Institut Teknologi Bandung
Scotthanson, et al. 2005. The Cohousing Hanbook. Canada: New Society Publishers
Asyah, AN. 2014. Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta Selatan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Gentrifikasi, Sebuah Fenomena Perkotaan dengan Dua Sisi
/1 Comment/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Fenomena gentrifikasi mungkin sudah lama teridentifikasi dan menjadi perbincangan di negara-negara belahan dunia ke-satu seperti di Amerika dan Eropa. Banyak sudut pandang yang menyuarakan pro dan kontranya terhadap fenomena ini karena memang gentrifikasi ibarat sebuah koin dengan dua sisi mata uang yang berbeda. Perdebatan mengenai dampak positif maupun dampak negatif dari gentrifikasi terus didengungkan hingga sekarang. Fenomena gentrifikasi yang menyangkut banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat kelas menengah ke atas serta masyarakat kelas bawah menjadikan hal tersebut sebagai suatu hal yang rumit dan membutuhkan banyak pendekatan. Saat ini fenomena gentrifikasi sudah mulai merambah negara-negara di Asia termasuk di Indonesia.
Apa itu Gentrifikasi?
Istilah gentrifikasi pertama kali muncul pada tahun 1964 dengan pencetus pertama Ruth Glass yang merupakan seorang ahli perkotaan. Belum ada definisi pasti mengenai apa itu gentrifikasi, sehingga banyak opini dan pendapat ahli yang mencoba untuk menerjemahkan maksud dari fenomena tersebut. Menurut Lees et.al (2007), gentrifikasi merupakan sebuah proses transformasi kelas sosial atau sebidang lahan kosong di kawasan perkotaan yang tadinya dihuni oleh masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial. Sehingga gentrifikasi seringkali diasosiasikan sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan kelas menengah atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan-kawasan yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri, 2013), dekat dengan pusat kota (Helms 2003), kawasan yang dilalui oleh layanan transportasi massal (Helms, 2003), dan pada kawasan yang memiliki stok perumahan lama (Kolko, 2007). Gentrifikasi juga berpotensi menyebabkan perpindahan masyarakat kelas bawah ketika kelompok ekonomi menengah atas datang dan menetap di sebuah kawasan yang mengakibatkan peningkatan harga sewa, harga bahan baku dan harga jasa sehingga secara tidak langsung akan membuat masyarakat kelas bawah tidak sanggup untuk bertahan dan pindah dari kawasan tersebut (Atkinson, 2000). Namun demikian, gentrifikasi juga disebut-sebut sebagai alat bantu yang dapat membawa perkembangan positif ekonomi kota ke arah yang lebih baik, walau terkadang dampak negatifnya lebih banyak terasa (Feagin et.al, 1990).
Secara garis besar, terdapat dua pihak yang terlibat pada setiap proses gentrifikasi. Yang pertama adalah stakeholder yang melakukan gentrifikasi (gentrifier), dan yang kedua adalah pihak yang tergentrifikasi (gentrified people). Gentrifier biasanya diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah dan datang dari kalangan profesional. Menurut Ley (1996), terdapat dua tahapan gentrifikasi yang dilakukan oleh gentrifier, yang pertama gentrifier sebagai pioner atau yang juga disebut sebagai pihak yang tidak menyadari kemungkinan risiko yang akan terjadi (risk-oblivious). Mereka memilih lokasi di pusat kota karena nilai-nilai kultural, gaya hidup dan nilai sejarah yang terdapat pada lokasi tersebut. Yang kedua adalah kelompok yang menghindari risiko (risk-averse) yang memilih lokasi di pusat kota karena adanya peluang investasi di sana.
Berdasarkan penelitian mengenai gentrifikasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun, pada umumnya kawasan-kawasan yang tergentrifikasi memiliki karakteristik yang mirip antara satu dan yang lainnya. Dari segi lokasi, kawasan yang tergentrifikasi cenderung berada di pusat kota. Adapun para gentrifier biasanya berasal dari kalangan profesional dan tidak terkecuali berasal dari kepemerintahan. Status sosial para gentrifier cenderung beragam namun pada umumnya datang dari kelas menengah ke atas. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman dari karakteristik fenomena gentrifikasi yang terjadi di berbagai negara:
Sisi Negatif Gentrifikasi
Setelah memahami definisi, karakteristik serta pelaku dalam fenomena gentrifikasi, selanjutnya akan dibahas mengenai dampak negatif dari fenomena tersebut. Walaupun masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak ahli perkotaan yang berpendapat bahwa gentrifikasi pada umumnya akan merugikan sebagian unsur masyarakat perkotaan yaitu masyarakat marginal. Gentrifikasi kerap disebut sebagai kolonialisme di era modern. Mengapa demikian?
Sama halnya dengan kolonialisme, gentrifikasi tidak hanya merampas kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan melemahkan kondisi ekonomi mereka, tetapi juga menyangkut ketidakseimbangan kondisi sosial dan rasial. Gentrifikasi mendorong terjadinya kapitalisme melalui permintaan pasar (pembangunan real estate), namun sekaligus membuat masyarakat yang tinggal lebih dulu di kawasan tersebut angkat kaki (Wharton et.al, 2008). Perpindahan masyarakat kelas bawah kemudian dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan karakteristiknya. Yang pertama, perpindahan karena adanya paksaan (involuntary). Dan yang kedua adalah proses perpindahan yang dilakukan secara swadaya atau sering disebut dengan voluntary.
Pada jenis perpindahan yang pertama (involuntary), biasanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kejelasan terhadap status lahan sehingga ketika terdapat pembangunan properti (untuk komersial atau residensial) yang berlokasi di lahan huniannya, mau tidak mau masyarakat harus menyerahkan lahannya untuk keberlangsungan pembangunan. Walaupun biasanya hal tersebut juga disertai dengan biaya kompensasi. Sedangkan pada jenis perpindahan yang kedua (voluntary), biasanya didahului oleh naiknya harga sewa properti di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan ketidakmampuan membayar uang sewa bagi penghuni kontrak dan memutuskan untuk melakukan perpindahan. Jenis perpindahan yang kedua ini juga dapat diinisiasi oleh meningkatnya harga jual properti, sehingga masyarakat penghuni eksisting melihat peluang untuk menjual propertinya dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Meningkatnya harga sewa dan harga jual ini biasanya terjadi secara perlahan sehingga fenomena gentrifikasi terkesan tidak kasat mata.
Sisi Positif Gentrifikasi
Meskipun banyak penelitian yang mengatakan bahwa gentrifikasi akan merugikan masyarakat marginal dan merampas hak-hak kehidupan mereka, tidak sedikit pula hasil penelitian dan pendapat ahli yang mengatakan bahwa gentrifikasi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi perkembangan kawasan perkotaan kedepannya. Menurut Atkinson (2002), gentrifikasi merupakan suatu proses yang mendukung upaya revitalisasi dan perbaikan kawasan perkotaan. Gentrifikasi oleh sebagian orang dianggap sebagai pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Dilansir dari laman money.howstuffworks.com dengan direvitalisasinya sebuah kawasan perkotaan, tentu akan meningkatkan ketertarikan untuk berinvestasi bagi para investor. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kondisi ekonomi perkotaan ke arah yang lebih baik. Selain itu dengan meningkatnya perputaran uang di kawasan yang tergentrifikasi melalui revitalisasi kota, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang berpotensi terkena dampak positif. Seperti, bangunan dan ruang hijau yang direnovasi akan menambah keindahan dan nilai estetis suatu kawasan; banyaknya peluang kerja baru yang tersedia setelah meningkatnya konstruksi pembangunan pusat perbelanjaan dan perkantoran; menurunnya tingkat kriminal pada suatu kawasan karena menjadi sebuah kawasan yang lebih ramai; dan kualitas lingkungan yang lebih baik juga lebih bersih dapat dinikmati oleh masyarakat eksisting melalui kehadiran dari masyarakat kelas menengah. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari University of Colorado, University of Pittsburgh dan Duke University pada tahun 2008 yang meneliti tentang pendapatan total pada kawasan yang tergentrifikasi pada rentang waktu tertentu. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok masyarakat yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah masyarakat kelas bawah dengan jenjang pendidikan minimal SMA. Hal tersebut menjadi salah satu contoh bahwa fenomena gentrifikasi tidak selamanya memarjinalkan masyarakat kelas bawah.
Ellen dan O’Regan (2011) juga menemukan bahwa tidak adanya peningkatan intensitas atas berpindahnya masyarakat marginal yang terjadi dalam periode pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an. Hasil penelitian ini patut dipertimbangkan mengingat ciri utama dari gentrifikasi adalah terjadinya aktivitas eksodus oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau kalangan minoritas yang tergentrifikasi. Selain itu, Vidgor (2010), menggunakan data dari American Housing Survey dan menemukan bahwa revitalisasi sebenarnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat melalui peningkatan harga, melalui peningkatan harga sewa maupun harga beli properti. Hal tersebut berbanding lurus dengan perubahan yang disebabkan oleh proses revitalisasi kota.
Kesimpulan
Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di kawasan perkotaan, baik yang prosesnya disadari maupun tidak. Perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan proses revitalisasi kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap perkembangan suatu kota. Gentrifikasi sendiri awalnya dikenal di negara-negara di belahan dunia ke-satu, yang disadari setelah meningkatnya harga sewa perumahan setelah masyarakat menengah ke atas bermukim di suatu kawasan marjinal. Saat ini, gentrifikasi juga kerap ditemui di negara-negara global south, tidak terkecuali di Indonesia. Lantas, bagaimanakah bentuk fenomena gentrifikasi yang terlihat di kota-kota di Indonesia? Bagaimanakah seharusnya peran pemerintah menyikapi fenomena ini mengingat banyaknya kepentingan yang ikut andil dalam satu proses gentrifikasi?
Daftar Pustaka
Pratiyudha, P.P. 2019. Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial. Reka Ruang
Uzun, C.N. 2002. The Impact of Urban Renewal and Gentrification on Urban Fabric: Three Cases in Turkey. Middle East Technical University Ankara.
Ley, D. 1996. The New Middle Class and the Remaking of the Central City. New York: Oxford University Press.
Mathema, S. 2013. Gentrification An Updated Literature Review. Poverty & Race Research Action Council.
Wharton, J.L. 2008. Gentrification: The New Colonialism in the Modern Era. Stevens Institute of Technology.
PPP Series #3 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Indonesia
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota, Uncategorized /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Kondisi PPP di Indonesia
Skema public-private partnership sudah mulai diadaptasi di Indonesia sejak tahun 2005. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh urgensi pembangunan infrastruktur dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan pelayanan publik yang baik. Di Indonesia, PPP diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Adapun yang menjadi definisi dari PPP berdasarkan perpres tersebut adalah, kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh penanggung jawab proyek kerjasama, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak.
Di Indonesia, PPP dilakukan dalam tiga tahapan yaitu Perencanaan, Persiapan dan Transaksi. Adapun skema PPP dibedakan menjadi dua yaitu skema solicited dan unsolicited. Solicited adalah kondisi dimana proyek pembangunan diinisiasi oleh pemerintah, sedangkan unsolicited diinisiasi oleh pihak swasta. Terkait skema pengembalian modal, PPP di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
- Dibayarkan oleh pengguna infrastruktur, dimana pada skema ini pihak swasta menerima pengembalian modal dari harga yang dibayarkan oleh pengguna infrastruktur;
- Dibayarkan oleh pemerintah, pada skema ini proyek pembangunan biasanya bukanlah proyek yang menghasilkan keuntungan maka pemerintah akan membayarkan sejumlah pembayaran tahunan kepada pihak swasta sebagai pemasukan pokok; dan
- Jenis pembayaran lainnya, selama hal tersebut sesuai dengan hukum dan regulasi.
Adapun jumlah proyek PPP yang berhasil ditender hingga tahun 2018 berjumlah 68 proyek pembangunan infrastruktur yang terdiri dari berbagai macam sektor. Beberapa diantaranya adalah pembangunan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II; Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo; dan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan. Berikut ulasannya:
Implementasi PPP: Jalan Tol Layang Jakarta – Cikampek II
Maksud dari pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek II adalah untuk mensiasati kemacetan yang sering terjadi di jalan tol non-layang Jakarta-Cikampek akibat jumlah kendaraan yang sudah melebihi kapasitas jalan. Proyek ini dibangun di atas jalan tol eksisting yang direncanakan akan memiliki panjang 36,4 km. Berdasarkan data yang dihimpun dari laman PT Penjaminan dan Infrastruktur (PT PII), diketahui bahwa proyek yang memiliki nilai invetsasi sebesar 14,7 triliun rupiah ini merupakan bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dengan skema build-operate-transfer atau BOT. Dengan skema ini, kepemilikan infrastruktur akan dialihkan kepada pemerintah setelah pihak swasta mengoperasikan infrastuktur dalam jangka waktu tertentu (estimasi 45 tahun) dan sudah mendapatkan pengembalian investasinya.
Pihak swasta yang bertanggungjawab terhadap proyek pembangunan ini adalah PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek yang terdiri dari dua perusahaan yaitu PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan PT Ranggi Sugiron Perkasa. Sedangkan dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang merupakan bagian dari Kementerian PUPR. Pendanaan dari proyek pembangunan infrastruktur ini berasal dari pinjaman bank dan ekuitas. Adapun yang menjadi wewenang dari pemerintah adalah menanggung risiko penyesuaian tarif, menanggung risiko politis dan menanggung risiko penghentian proyek. Berikut jadwal estimasi pengimplementasian proyek pembangunan infrastruktur Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II:
Adapun skema PPP dalam proyek Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II adalah sebagai berikut:
Implementasi PPP: Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo
Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama dengan pihak swasta yaitu PT Jabar Bersih Lestari telah menandatangani kontrak kerjasama untuk pembangunan infrastruktur Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo. Setiap harinya, teknologi di TPPAS Nambo akan mampu mengakomodir 1500-1800 ton sampah. Salah satu maksud dari pembangunan TPPAS Nambo adalah untuk memproduksi produk daur ulang seperti kompos dan Refuse Derived Fuel (RDF) yang nantinya akan dijual kepada konsumen yaitu PT Indocement. Nantinya TPPAS Nambo ini akan melayani wilayah Kota Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Bogor.
Proyek yang memiliki periode konsesi selama 25 tahun ini menggunakan skema PPP dalam bentuk BOOT atau Build-Own-Oepration-Transfer. Pihak swasta, dalam hal ini PT Jabar Bersih Letari berkewajiban melakukan pembangunan dan pengelolaan TPPAS Regional Nambo. Sebagai kompensasinya, pihak swasta akan memperoleh pendapatan berupa pembayaran jasa pengolahan sampah (tipping fee) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sesuai tarif yang telah ditentukan. Pihak swasta juga berhak memperoleh pendapatan dari hasil produk olahan sampah yaitu penjualan RDF seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan peran Pemprov Jabar adalah memastikan dan menjamin ketersediaan anggaran untuk membayar tipping fee. Pembangunan TPPAS Nambo dijadwalkan selesai pada tahun 2019. Berikut adalah skema kerjasama dalam pembangunan TPPAS Nambo:
Contoh Implementasi PPP 3: Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan
Proyek pengembangan infrastruktur Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan yang terletak di Jawa Timur dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemenuhan penyediaan air minum di Jawa Timur khususnya di lima lokasi yaitu, Kabupaten Paurusan, Kota Pasuruan, Kota Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kota Gresik. Adapun sumber mata air Umbulan yang menjadi lokasi pengembangan SPAM berada di 17 km dari Kota Pasurusan, tepatnya di Desa Umbulan. Sumber mata air Umbulan dapat dimanfaatkan sebanyak ± 4.000 liter/detik yang mampu menyediakan air minum yang berkualitas utuk 1,3 juta jiwa penduduk. Pengembangan SPAM Umbulan menggunakan skema kerjasama PPP dalam bentuk BOT. Adapun pihak pemerintah yang bertanggungjawab dalam pembangunan infrastruktur ini adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kementerian Keuangan juga berperan untuk memberikan bantuan dana kepada pihak swasta untuk menstabilkan tarif yang nantinya akan diberlakukan. Bantuan dana tersebut dikenal juga dengan istilah Viability Gap Fun (VGF). Proyek ini juga mendapatkan bantuan finansial dari Kementerian PUPR dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta diawasi oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Sedangkan pihak swasta yang juga berperan sebagai investor adalah konsorsium PT Bangun Cipta Kontraktor dan PT Medco Energy International. Nantinya pihak swasta tersebut akan mendapatkan pemasukan dari BUMD air minum di Jawa Timur sebagai konsumen dari penyediaan air minum tersebut. Diketahui bahwa periode konsesi pada proyek ini adalah 25 tahun. Proyek ini ditargetkan dapat mulai operasionalnya pada tahun 2020 setelah sembilan tahun memulai tahap persiapan. Untuk memahami skema kerjasama pada proyek pengembangan SPAM Umbulan, dapat melihat diagram di bawah ini:
Kesimpulan
Penerapan skema PPP di Indonesia sudah mulai terlihat sejak munculnya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Sebagian besar skema PPP yang dilakukan di Indonesia distimulus karena terbatasnya anggaran pemerintah untuk dapat mengakomodir pembangunan infrastruktur publik. Skema PPP ini dirasa sangat meringankan beban pemerintah karena selain menyederhanakan kebutuhan anggaran juga dapat memperbaiki kualitas infrastruktur publik itu sendiri. Bentuk PPP yang paling sering diterapkan di Indonesia adalah build-operate-transfer (BOT), dimana nantinya infrastruktur yang dibangun dan dioperasikan oleh pihak swasta akan dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah dalam jangka waktu yang ditentukan (masa konsesi). Skema kerjasama pemerintah dan swasta ini telah merambah beberapa sektor pembangunan, terutama di sektor infrastruktur transportasi dan jalan, infrastruktur persampahan dan infrastruktur air minum. Lantas, bagaimana jika PPP diterapkan pada sektor pembangunan lainnya seperti sektor properti, pariwisata, perumahan rakyat dan lain sebagainya? Akankah memiliki proses dan manfaat yang sama dengan penerapan PPP di sektor-sektor lainnya?
Daftar Pustaka
Bappenas. 2015. Sustaining Partnership: Kelembagaan TPPAS Nambo Pastikan Sinergitas Empat Pemerintah. Jakarta.
Bappenas. 2016. Sustaining Partnership: Proses Panjang Penyiapan Proyek TPPAS Nambo. Jakarta.
Bappenas. 2018. Public-Private Pertnership Infrastructure Project Plan in Indoensia. Jakarta.
Putra, A.P. 2016. Model Public Private Partnership Pada Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan di Jawa Timur dalam Konteks Open Government. Universitas Airlangga. Surabaya
PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. 2017. Acuan Alokasi Risiko KPBU di Indonesia. Jakarta.
https://www.iigf.co.id/id/project/project-monitoring
PPP Series #2 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Mancanegara
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota, Uncategorized /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Pembahasan mengenai public-private partnership akan berlanjut kepada contoh-contoh pengimplementasian skema kerjasama PPP di mancanegara. Sudah terdapat ratusan proyek dengan skema PPP di berbagai penjuru dunia sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, beberapa negara telah membentuk lembaga yang mengatur dan mengkoordinir kegiatan PPP di negaranya. Skema PPP banyak dilakukan di berbagai sektor seperti properti, transportasi, infrastruktur lingkungan dan lain sebagainya. PPP tidak hanya terpaku pada proyek yang bersifat nasional namun juga pada proyek-proyek yang sifatnya regional. Pembahasan kali ini akan fokus kepada tiga contoh pengimplementasian skema PPP di Filipina, Jepang dan Skotlandia. Berikut uraian lebih lengkapnya:
Filipina: Pasar San Jose de Buenavista, Antique
Filipina merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang sangat mendorong penerapan PPP dalam pembangunan infrastrukturnya. Hal ini terlihat dari dibentuknya sebuah lembaga pemerintahan bernama Public-Private Partnership Center (PPP Center) yang menjadi koordinator dan memonitor penerapan PPP dalam pembangunan infrastruktur publik. PPP Center bertugas untuk memberikan pendampingan teknis kepada pihak pemerintah maupun swasta dalam hal pengembangan dan pembangunan infrastruktur publik.
Salah satu pengembangan infrastruktur publik di bidang properti yang menerapkan skema PPP di Filipina adalah pembangunan pasar di San Jose de Buenavista, ibukota dari provisi Antique. Pada tahun 1993, pasar tersebut terbakar dan sekitar 200 pedagang harus direlokasi. Berbagai cara telah dipikirkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya dengan kerjasama PPP melalui skema BOT. Pembiayaan melalui skema BOT pada saat itu sangatlah menarik bagi Local Government Unit (LGU) karena tidak membutuhkan anggaran dari pemerintah lokal. Namun demikian, pada saat itu terdapat beberapa pertimbangan yang memberatkan diantaranya: a) Membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengadopsi skema tersebut karena pemerintah pusat juga akan mengambil peran di dalamnya; b) Proses penawaran publik yang mengharuskan adanya pemilihan partner BOT juga kerap membuthkan waktu yang tidak sebentar; c) Pada saat itu BOT merupakan konsep baru sehingga terdapat beberapa pertimbangan tentang cara kerja dan persyaratan yang harus dilalui. LGU mencari solusi yang lebih sederhana, cepat dan lebih murah. Setelah melakukan konsultasi, LGU memutuskan akan mengadopsi skema BOT dengan penyempurnaan yang tidak mengikutsertakan penawaran publik dan persetujuan dari pemerintah pusat. Di bawah skema Build-Lease-Transfer (BLT), para pedagang akan menyediakan dana untuk membangun kios mereka sendiri dengan spesifikasi yang sesuai dengan rencana induk kawasan pasar baru. Para pedagang akan dianggap sebagai pemilik kios dan membayar pajak properti rill yang semestinya selama periode kontrak yaitu 20 tahun. Mereka juga akan membayar biaya sewa untuk ruang yang mereka tempati di gedung, Pedagang yang tidak mampu untuk membangun kiosnya sendiri dapat menyewa kios yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun peran dari pemerintah lokal adalah dengan merancang rencana induk dari pasar di San Jose de Buenavista yang berkordinasi dengan kementerian pekerjaan umum. Pemerintah daerah juga mengatur pembangunan kios mandiri maupun kios yang disediakan oleh pemerintah.
Jepang: Bandar Udara Sendai
Setelah munculnya keputusan dari pemerintah untuk mendorong kerjasama PPP pada tahun 1999, jumlah maupun cakupan lingkup proyek pembangunan dengan skema PPP meningkat tajam di Jepang. Diketahui terdapat 527 proyek PPP yang sudah diimplementasikan per tanggal 31 Maret 2017. Hal tersebut didasari oleh tekanan untuk mereduksi anggaran pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Melalui skema kerjasama PPP, dimana pihak swasta akan menanamkan modal, melakukan proses kontruksi maupun mengatur operasional infrastruktur, tentu akan meringankan beban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang berkualitas bagi masyarakat. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2017, diketahui bahwa pada tahun 2016 sekitar 60% kerjasama PPP menggunakan skema Build-Transfer-Own (BTO), dimana pada masa konstruksi kepemilikan akan berada di pihak swasta untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah ketika proses konstruksi selesai.
Namun belakangan ini, skema concession sering digunakan di Jepang, salah satunya ketika proses privatisasi operasional bandar udara Sendai dilakukan pada tahun 2015. Pemerintah pusat Jepang kala itu berkeinginan untuk menjual 30-50 tahun hak konsesi bandar udara yang semula dimiliki oleh pemerintah lokal. Privatisasi didorong oleh meningkatnya permintaan akan manajemen bandara yang efisien. Saat itu pemerintah harus mengatur kondisi fasilitas bandara di bawah kondisi fiskal yang berantakan, persaingan maskapai yang tidak sehat dan permintaan atas jasa bandara yang lebih fleksibel dan murah. Sebelum terjadinya konsesi, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah Jepang memiliki fasilitas dasar yang berhubungan dengan aeronotika, sedangkan pihak swasta memiliki dan berhak atas pengelolaan fasilitas non-aeronotika seperti terminal bandara dan tempat parkir kendaraan. Namun pembagian tersebut dirasa menghalangi bandara Jepang untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Maka setalah konsesi, pihak swasta akan mengelola baik operasional yang berhubungan dengan aeronotika maupun yang tidak.
Setelah skema konsesi tersebut dilakukan, maka bandar udara Sendai yang sempat menghadapi bencana gempa bumi hingga perlu untuk direvitalisasi, dapat diperbaiki dengan cepat dan tidak memberatkan pihak pemerintah. Setelah diperbaiki banda Sendai juga menjadi lebih kompetitif dan dapat melayani masyarakat dengan baik.
Skotlandia: Pengolahan Air Limbah Skotlandia Timur
Negara selanjutnya yang mengadaptasi skema kerjasama PPP adalah Skotlandia. Skema PPP menjadi tren dalam pengadaan infrastruktur setelah dilakukannya evaluasi yang menunjukkan bahwa opsi PPP menawarkan lebih banyak keuntungan bagi seluruh pihak relevan dibandingkan dengan skema tradisional pembiayaan oleh pemerintah. Sehubungan dengan semakin banyaknya pengimplementasian PPP di Skotlandia, maka dibentuklah Private Finance Unit (PFU) yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan dukungan baik bagi pemerintah maupun pihak swasta yang menerapkan skema kerjasama PPP di Skotlandia.
Salah satu sektor infrastruktur publik yang banyak menggunakan skema kerjasama PPP adalah sektor pengolahan air limbah. Di bagian timur Skotlandia sendiri terdapat dua perusahaan swasta yang bertanggungjawab dalam pengolahan air limbah yaitu, Stirling Water dan Celedonian Environmental Services (CES). Stirling Water merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu Thames Water, MJ Gleeson, dan Montgomery Watson. Skema kerjasama PPP yang diadaptasi dalam pengolahan air limbah adalah BOT. Stirling Water bertanggungjawab atas design, building, operating dan mantaining fasilitas pengolahan air limbah, hingga kemudian setelah konstruksinya rampung akan ditransfer kepada pihak operator yaitu Thames Water International, yang akan mengoperasikan fasilitas tersebut selama 30 tahun. Sedangkan CES merupakan 50/50 joint venture dari perusahaan Northumbrian Water dan Scottish Power. Kontrak antara CES dengan Skotlandia Timur berlangsung selama 40 tahun utuk meningkatkan kualitas air antara kota Kelty dan Leven.
Dalam penyelenggaraan skema kerjasama PPP, pihak pemerintah berperan sebagai regulator yang mengontrol kualitas dan performa dari fasilitas pengolahan air limbah. Pemerintah juga berperan untuk menetapkan tarif pelayanan setelah sebelumnya melakukan konsultasi kepada pihak-pihak terkait pengelolaan air di Skotlandia. Untuk pemahaman yang lebih rinci dapat dilihat skema PPP di bawah ini:
Kesimpulan
Banyaknya jenis dari skema PPP menjadikan kerjasama pihak pemerintah dan pihak swasta sebagai bentuk kerjasama yang fleksibel dan efisien. Pembagian kerja dan tanggungjawab antar pihak yang revelan dapat menstimulus lahirnya infrastruktur publik dengan kualitas terbaik, kompetitif dan mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Berbagai contoh penerapan PPP mancanegara di atas menunjukan bahwa skema kerjasama PPP dapat menyelesaikan ketiadaan infrastruktur publik secara lebih cepat dan efisien, terutama bagi kawasan-kawasan yang habis tertimpa bencana seperti contoh kasus Filipina dan Jepang. Lantas, bagaimanakah kondisi penerapan skema PPP itu sendiri di Indonesia? Apakah regulasi dan sistem kepemerintahan di Indonesia mendukung adanya kerjasama PPP dalam pembangunan infrastruktur publik?
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. 2016. Philippines: Public-Private Partnership By Local Government Units. Manila.
European Commission. 2004. Resourse Book on PPP Case Studies. European Commission. Brussels.
The World Bank. 2017. Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs): Contract and Procurement The Case of Japan. The World Bank. Washington, DC.
Sato, M et.al. 2016. Recent Developments in Public-Private Partnership in Japan. Mori Hamada & Matsumoto. Tokyo.
PPP Series #1 Skema Public-Private-Partnership: Sebuah Opsi Pembangunan Infrastruktur Publik
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota, Uncategorized /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Definisi Infrastruktur Publik
Demi tercapainya tujuan Indonesia Emas 2045, saat ini Indonesia sedang melakukan pembangunan masif di segala bidang, khususnya pembangunan infrastruktur publik. Anggaran serta target-target lokasi pembangunan infrastruktur kerap menjadi headline di berbagai media mengingat pembangunan infrastruktur sedang gencar dilakukan di berbagai daerah. Namun apakah yang dimaksud dengn infrastruktur publik itu sendiri? Menurut Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, diketahui bahwa infrastruktur memiliki arti fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi sosial masyarakat dapat berjalan baik. Dari definisi tersebut, dapat diambil benang merah bahwa penyediaan infrastruktur publik berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Menurut Yescombe (2007), infrastruktur publik dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu:
- Infrastruktur ‘ekonomi’, seperti fasilitas transportasi dan jaringan utilitas (air, drainase, listrik dll), atau infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi sehari-harinta; dan
- Infrastruktur ‘sosial’, seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan. Atau dengan kata lain infrastruktur yang membentuk struktur sosial masyarakat.
Seyogyanya, pemerintahlah yang harus menyediakan seluruh infrastruktur publik demi menjaga persaingan dan stabilitas harga namun demikian terdapat beberapa risiko yang riskan terjadi. Salah satunya adalah terbatasnya anggaran pemerintah untuk mendanai pembangunan infrastruktur publik yang berpotensi memakan waktu yang lama. Proyek infrastruktur publik dapat berhenti di tengah jalan dan pemerintah tentu saja akan mengalami kerugian. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan skema pendanaan dan pengelolaan infrastruktur publik melalui kerjasama pemerintah dengan pihak kedua, yaitu swasta. Skema tersebut dikenal dengan skema Public-Private Partnership (PPP).
Public-Private Partnership (PPP)
Istilah PPP pertama kali muncul di Amerika ketika terdapat sebuah program pengembangan pendidikan dan pengadaan utilitas dengan skema pendanaan pemerintah dan swasta pada tahun 1950. Kemudian skema ini dikembangkan untuk program-program penataan kota pada tahun 1960. Adapun yang menjadi definisi dari PPP menurut Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 adalah kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah/ BUMN/ BUMD yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Adapun unsur penting yang melekat pada skema PPP adalah sebagai berikut:
- Terdapatnya kontrak jangka panjang (kontrak PPP) antara pihak pemerintah dengan pihak swasta;
- Desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dari infrastruktur publik dilakukan oleh pihak swasta;
- Pembayaran selama kontrak PPP berlangsung akan diterima oleh pihak swasta yang merupakan hasil dari operasional infrastruktur itu sendiri, dibayarkan oleh pihak pemerintah atau oleh pengguna infrastruktur tersebut; dan
- Kepemilikan infrastruktur dapat tetap berada di tangan swasta atau ditransfer ke pemerintah pada akhir kontrak PPP.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama PPP tentu saja adalah pemerintah dan pihak non-pemerintah. Pihak pemerintah bisa berupa pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau lembaga negara lainnya. Sedangkan pihak non-pemerintah biasanya sebuah perusahaan yang dirancang oleh investor swasta, yang memiliki misi khusus untuk memenuhi kontrak PPP dengan pemerintah.
Penerapan PPP dalam penyediaan infrastruktur publik, merupakan skema kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemerintah maupun swasta. Pihak swasta akan memberikan modal serta bertanggungjawab untuk membangun dan mengelola sarana prasarana infrastruktur, sedangkan pihak pemerintah merupakan pihak yang akan memayungi dengan kebijakan dan peraturan pelayanan.
PPP juga dikenal dengan banyak istilah. World Bank kerap kali menggunakan istilah Private Participation in Infrastructure (PPI) atau Private-Sector Participation (PSP). Australia menggunakan istilah Privately-Finaced Projects (PFP). Sedangkan Inggris, Jepang dan Malaysia menggunakan istilah Private Finance Initiative (PFI).
Tujuan dan Manfaat PPP
Adapun yang menjadi tujuan penyelenggaraan skema kerjasama PPP adalah sebagai berikut:
- Menjadi alternatif pendanaan yang berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;
- Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat;
- Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur; dan
- Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Terjalinnya skema kerjasama PPP akan memberikan beberapa manfaat terkait penyelenggaran infrastruktur publik, seperti:
- Mengurangi risiko kegagalan proyek akibat kurang maksimalnya anggaran penyediaan infrastruktur oleh pemerintah;
- Menstimulus keikutsertaan penawar (perusahaan swasta) yang telah berpengalaman dan berkualitas baik dalam bidang penyelenggaraan infrastruktur;
- Jaminan harga pasar yang rendah dan stabil;
- Mempercepat pembangunan infrastruktur publik sehingga dapat mendorong investasi yang menciptakan pertumbuhan ekonomi;
- Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah; dan
- Mencegah keungkinan terjadinya praktik KKN
Jenis-Jenis PPP
Terdapat beberapa jenis skema kerjasama pemerintah dan swasta yang termasuk ke dalam PPP diantaranya:
- Concession
Kondisi dimana pihak swasta (the Concessionaire) berhak untuk mengambil keuntungan dari operasional infrastruktur publik yang digunakan oleh masyarakat. Sebagai contoh pembayaran atas penggunaan jalan tol atau jembatan. Pemasukan tersebut akan menggantikan biaya konstruksi dan operasional yang sebelumnya ditanggung oleh pihak swasta. Sedangkan peran dari pemerintah adalah menentukan kebijakan tentang penunjukan penugasan dan SOP pihak swasta, serta menentukan kebijakan rinci mengenai pembangunan dan operasionalisasi dari fasilitas itu sendiri.
- Franchise
Kondisi dimana pihak swasta berhak untuk memanfaatkan infrastruktur publik yang telah terbangun. Dalam hal ini, pihak swasta akan melakukan pembayaran kepada pihak pemerintah sebagai imbalan atas hak pemanfaatan infrastruktur.
- Design – Build – Finance – Operate (DBFO)
Kondisi dimana kepemilikan fasilitas berada di tangan pemerintah, namun pihak yang bertanggungjawab untuk mengoperasikan fasilitas tersebut adalah pihak swasta. Pihak swasta juga akan menerima keuntungan dari hasil operasional fasilitas tersebut.
- Build – Transfer – Operate (BTO)
Kondisi dimana pihak swasta mendanai dan membangun fasilitas dan selanjutnya kepemilikan fasilitas akan diserahterimakan kepada pemerintah ketika proses konstruksi sudah selesai dilakukan. Selanjutnya pihak swasta akan mengoperasikannya untuk suatu periode yang telah ditentukan di kontrak.
- Build – Operate – Transfer (BOT)
Kondisi dimana pihak swasta sebagai investor menyediakan sarana infrastruktur mulai dari pembebasan lahan sampai dengan pembangunan fisik, dilanjutkan dengan pengoperasiannya untuk mendapatkan pengembalian investasinya dan profit sampai batas waktu tertentu kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk pengelolaan selanjutnya.
- Build – Own – Operate (BOO)
Kondisi dimana pihak swasta mendanai, membangun da mengoperasikan suattu fasilitas, dengan memperoleh insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut namun pihak pemerintah mengatur harga dan kualitas layanan. Skema ini banyak digunakan untuk menyediakan fasilitas baru yang dapat diantisipasi agar permintaan pasar akan selalu ada.
Untuk lebih memahami beragam jenis skema PPP, dapat dilihat tabel di bawah ini:
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPP merupakan sebuah alternatif kerjasama yang dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan kuantitas serta kualitas infrastruktur publik. Terdapatnya berbagai jenis skema PPP yang dapat diadaptasi untuk mewujudkan infrastruktur publik yang berdaya saing, menjadikan PPP sebagai pilihan skema kerjasama yang fleksibel, yang sesuai degan kebutuhan pihak pemerintah. Lantas, apakah penerapan skema PPP selama ini terbukti efektif dalam menyediakan infrastruktur untuk publik? Adakah best practice penyelenggaraan PPP baik di Indonesia maupun di mancanegara?
Daftar Pustaka
Yescombe, E.R. 2007. Public-Private Partnership Principles of Policy and Finance. Elsevier Ltd.
Anggaanarsati, K. 2017. Pembiayaan Pembangunan dengan Skema “Build-Operate-Transfer”. https://www.kompasiana.com/krismi/5a332c3acf01b42c2229bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot
Thoengsal, J. 2014. Pendanaan & Kerjasama Kontrak Konstruksi. https://www.kompasiana.com/krismi/5a332c3acf01b42c2229bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot
Cerita Tentang Ibukota: ‘Tetap Bertahan Meski Problematik’
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh: Annabel Noor Asyah
Belum lama ini, Indonesia sedang dihebohkan dengan keputusan presiden untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta dianggap sudah ‘terlalu lelah’ untuk berperan sebagai ibukota ditengah segala problematika yang dihadapinya. Tak perlu dijelaskan lebih detail, kita semua tahu bahwa Jakarta adalah biang kemacetan yang memiliki kualitas udara sangat buruk. Dalam sebuah survei Quality of Living Ranking 2019 yang dilakukan oleh lembaga Mercer, diketahui bahwa kualitas keidupan di Jakarta menempati peringkat 142 dari 231 kota. Tertarik untuk menelaah hasil survei ini lebih dalam, ternyata terdapat pula ibukota dari beberapa negara yang peringkatnya tidak jauh dari Jakarta. Ibukota negara mana sajakah itu? Simak ulasannya!
Hanoi, Vietnam
Hanoi, ibukota negara Vietnam yang memiliki karakteristik cukup mirip dengan ibukota lainnya di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Hanoi menempati peringkat 155 dalam Quality of Living City Ranking atau sekitar 13 peringkat di bawah Jakarta. Hanoi sudah menjadi Ibukota Vietnam selama kurang lebih 1000 tahun. Dahulu kala, letaknya yang strategis kerap dijadikan sebagai political centre oleh para kasiar Cina. Hanoi juga merupakan wilayah dengan aksesibilitas air bersih yang baik karena letaknya yang berdekatan dengan Red River. Kini, Hanoi telah bertransformasi dari kota perdagangan dan jasa menjadi kota industri dan pusat pertanian. Kendati demikian, Hanoi tetap menghadapi permasalahan layaknya kota-kota di negara berkembang lainnya.
Masalah utama yang dihadapi kote Hanoi adalah kemacetan. Hanoi dijuluki kota dimana sepeda motor lebih banyak jumlahnya ketimbang jumlah kepala keluarga yang tinggal di kota tersebut. Akibatnya, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas sudah menjadi hal yang wajar di Hanoi. Berdasarkan data Departemen Kepolisian, pada tahun 2015 terdapat 50.682.934 kendaraan bermotor di Hanoi. Diprediksi pada tahun 2020, jumlah kendaraan bermotor di Hanoi akan bertambah sebanyak 843.000 unit mobil dan 6,1 juta unit sepeda motor. Fakta tersebut membawa Hanoi ke persoalan lainnya yaitu buruknya pencemaran lingkungan. Berdasarkan laporan dari Department of Environmental Protection, dikatakan bahwa 70% dari polusi udara yang terjadi di Hanoi disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Menurut perhitungan kualitas udara di dua kota besar di Vietnam, yaitu Hanoi dan Ho Chi Minh, diketahui bahwa 95% kendaraan yang menyebabkan kemacetan adalah sepeda motor yang hanya mengkonsumsi 56% bahan bakar namun mengeluarkan 94% hidrokarbon (HC), 87% karbon monoksida (CO), 57% nitrogen oksida (Nox).
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Kota Hanoi sudah mempersiapkan beberapa strategi, diantara: mempromosikan penanaman 1 juta pohon sejak tahun 2018-2020; Memperbaharui manajemen transportasi kota dengan cara melarang penggunaan sepeda motor per 2030; membatasi usia kendaraan; dan mengimplementasikan rencana pengembangan transportasi piblik berupa BRT dan metro berdasarkan masterplan 2030-2050. Semangat berbenah, Hanoi!
New Delhi, India
Ibukota selanjutnya yang memiliki problematika mirip dengan Jakarta adalah New Delhi yang merupakan Ibukota dari negara India. New Delhi menempati peringkat 162 dalam Quality of Living City Ranking. Berdasarkan website worldpopulationreview.com diketahui bahwa New Delhi menempati peringkat kedua sebagai kota dengan popluasi terbanyak dengan jumlah penduduk sebanyak 29.399.141 jiwa. New Delhi berlokasi di India Utara dan merupakan salah satu kota dengan perkembangan tercepat di dunia. New Delhi menjadi ibukota India sejak tahun 1931 setelah kolonial Inggris memiliki rencana memindahkan Ibukota India dari Kalkuta pada tahun 1911. Nampaknya, butuh waktu selama 20 tahun bagi New Delhi untuk berbenah sebelum benar-benar dinobatkan sebagai ibukota negara. Kendati demikian, meskipun merupakan ibukota baru, perkembangan New Delhi juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan perkotaan.
Sama halnya dengan Vietnam dan Jakarta, New Delhi juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kotanya merupakan biang kemacetan. Dilansir dari delhi.com, diketahui bahwa rata-rata orang yang berkendara dengan kendaraan pribadi di National Capital Territory atau New Delhi adalah sebesar 95% dari total populasi. Berdasarkan cseindia.org, diketahui bahwa di 13 jalan arteri di New Delhi yang didesain untuk kecepatan 40-55 km/jam hanya mampu menampung kendaraan dengan kecepatan 26-27 km/jam atau 50-60% lebih lambat dari yang seharusnya. Tidak pula ada perbedaan antara waktu-waktu peak hours dan bukan peak hours, tingkat kemacetan di New Delhi tetap sama. Pelebaran jalan justru semakin menstimulus masyarakat Delhi untuk menggunakan kendaraan pribadinya. Dampak lain dari kemacetan yang masif di New Delhi adalah polusi udara yang membahayakan kesehatan masyarakat. CSE India juga menganalisis data kualitas udara tiap jam yang menunjukan bahwa ketika rata-rata kecepatan kendaraan bermotor adalah 28 km/jam pada pagi hari dan 25 km/jam pada sore hari, maka tingkat nitrogen dioksida (NO2) meningkat dari 69 mikrogram/m2 ke 94 mikrogram/m2 (38%).
Untuk mensiasati masalah ini, pemerintah kota Delhi telah mengambil langkah untuk mengembangkan pembangunan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di dalam kota New Delhi. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong masyarakat Delhi berjalan kaki dan bersepeda agar tingkat kemacetan dan polusi udara dapat berkurang. Ide lainnya adalah dengan mengembangkan pemberhentian dan perempatan di bawah tanah.
Tidak berhenti disitu, masalah lainnya yang terjadi di kota New Delhi adalah tingginya angka kriminalitas. Setengah dari tindakan kriminalitas yang terjadi di New Delhi dipacu oleh pelecehan seksual kepada wanita. Hal tersebut telah menyebabkan banyaknya nyawa yang telah hilang di New Delhi. Dilansir dari data yang dipublikasikan oleh Departemen Kepolisian Delhi, diketahui bahwa per tanggal 31 Agustus 2019, telah terajdi sekurangnya 200.485 tindak kriminal di New Delhi. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tingkal kriminal per tanggal 311 Agustus tahun 2018 yaitu sekitar 157.462 kasus. Angka tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan tingkat kriminalitas di DKI Jakarta yang pada tahun 2017 mencapai angka 34.767 kasus (BPS, 2018).
Kairo, Mesir
Kairo yang terletak di Mesir, menempati peringkat 177 dalam Quality of Living City Ranking. Sama halnya dengan Indonesia, saat ini Mesir sedang dalam proses untuk memindahkan Ibukotanya. Ya, rencananya pada musim gugur tahun ini Kairo akan pensiun menjadi ibukota dari negara Mesir. Rencana pemindahan ibukota Mesir pertama kali muncul pada tahun 2015 yang merupakan usulan dari Presiden Mesir, yaitu Abdel-Fattah al-Sisi. Lokasi baru tersebut letaknya hanya 45 km dari Kairo dan 60 km dari Sungai Suez. Lokasi baru yang belum memiliki nama tersebut sering disebut sebagai ‘New Cairo’ oleh masyarakat dan media. Nantinya seluruh gedung pemerintahan, kedutaan besar dan rumah dinas akan direlokasi ke lokasi baru tersebut. Ibukota baru Mesir dibangun di atas tanah seluas 69.000 hektar atau setara dengan dua kali luas Kairo yang mana pembangunannya memakan biaya sebesar 40,75 miliyar euro. Lantas, apakah yang menyebabkan dicabutnya Kairo sebagai ibukota Mesir?
Pemerintah Mesir berpendapat bahwa Kairo akan tumbuh menjadi sebuah kota yang sangat padat penduduknya. Pertumbuhan penduduk Kairo akan mencapai 40 juta penduduk pada tahun 2050. Kairo tidak hanya kota terbesar di Arab dan Afrika Utara melainkan juga kota dengan kepadatan penduduk tertinggi. Tingginya angka populasi di Kairo ini memiliki dua dampak yang berbeda. Di satu pihak hadirnya Kairo sebagai megacity menjadi penggerak bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi Mesir. Namun di sisi lain, hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya kemiskinan dan juga degradasi lingkungan. Pemerintah Mesir percaya bahwa tingginya angka populasi di Kairo merupakan kontributor terbesar terhadap permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihadapi oleh Kairo saat ini. Kairo juga menghadapi persoalan kemacetan yang tidak kunjung reda. The World Bank menyatakan bahwa setidaknya terdapat 1.000 nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas, dimana setengah dari jumlah tersebut adalah pejalan kaki. Kemacetan tidak hanya berbahaya bagi keselamatan publik tetapi juga merugikan pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari wikipedia, kemacetan yang terjadi di Kairo selama 1 tahun akan memberikan kerugian sebesar 7,24 triliyun euro atau setara dengan 4% PDB Mesir. Selain masalah kemacetan, Kairo juga mengalami masalah polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Polusi udara di Kairo disebabkan oleh jarangnya turun hujan, tingginya gedung pencakar langit dan keberadaan jalan-jalan yang sempit yang mengakibatkan terjadinya bowl effect sehingga ventilasi kota tidak bekerja dan polusi seolah tertahan di dalam kota. Selain itu polusi udara juga disebabkan oleh membludaknya kendaraan bermotor. Sedangkan untuk polusi suara, faktor yang mempengaruhinya adalah klakson kendaraan bermotor yang terus terjadi selama 24 jam sehari. Kehidupan di tengah kota Kairo, dimana tingkat kebisingan rata-rata mencapai 90 desibel dan tidak pernah turun di bawah 70 desibel, menjadikan masyarakat layaknya tinggal di sebuah pabrik .
Refleksi Terhadap Jakarta
Melihat resiliensi dari Hanoi, New Delhi dan Kairo yang sampai saat ini masih menjadi ibukota dari negaranya masing-masing, mengajak kita untuk merefleksikan kembali kondisi di Jakarta. Jika ditelaah, kita dapat melihat bahwa sebetulnya kota-kota tersebut memiliki permasalahan yang cukup mirip dengan apa yang dihadapi oleh Jakarta. Sebagian besar permasalahan muncul akibat padatnya jumlah penduduk yang tentu saja akan merembet ke persoalan lain seperti kemacetan, polusi udara, tingkat kriminalitas yang tinggi dan lain sebagainya. Kemiripan lainnya adalah permasalahan transportasi yang terjadi di ketiga kota di atas salah satu faktor penyebabnya adalah belum tersedianya angkutan umum massal yang bisa diandalkan. Akibatnya banyak masyarakat kota yang menggunakan kendaraan pribadi sehingga menciptakan kemacetan dan permasalahan polusi.
Namun seperti yang kita ketahui bersama bahwa sejak beberapa tahun silam Jakarta tengah berbenah untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih humanis. Perwujudan rencana transpotasi massal mulai terlihat dengan keberadaan MRT, LRT serta pembukaan koridor baru Bus Transjakarta. Kebutuhan akan ruang terbuka hijau sedikit demi sedikit juga mulai dipenuhi dengan upaya-upaya seperti merevitalisasi taman kota. Para pejalan kaki pun sudah mulai dimanusiakan dengan pelebaran jalur pedestrian. Dan masih banyak lagi upaya pembenahan diri yang dilakukan oleh Jakarta.
Melihat progres ini lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu status ibukota angkat kaki dari Jakarta? Apakah setelah tidak menjadi ibukota seluruh permasalahan di Jakarta akan terselesaikan? Atau apakah ibukota baru selamanya akan terbebas dari permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta saat ini?
Daftar Pustaka
Petsko, E (2016). Transformaing a Motorcycle City: The Long Wait for Hanoi’s Metro. https://www.theguardian.com/cities/2016/jul/18/long-wait-hanoi-metro-vietnam-motorbike. The Guardian. The Guardian.
Quinn, L (2014). Hanoi: Is it Possibble to Grow a City Without Slums?. https://www.theguardian.com/cities/2014/aug/11/hanoi-slums-vietnam-urban-planning-. construction. The Guardian.
Nguyen, DT et.al (2018). Traffic Congestion and Impact on the Environment in Vietnam: Development of Public Transport System – Experience from Actual Operation of Bus in Hanoi. Tokai University, Japan.
Briney, A (2018). Geographic Facts About New Delhi, India. https://www.thoughtco.com/geography-of-new-delhi-1435049. Tought.Co.
Centre for Science and Environment (2017). Congestion on Delhi Roads has Worsenend- says new analysis by CSE of Latest Google Map Data. https://www.cseindia.org/congestion-on-delhi-roads-has-worsened–6994
Ritter, M (2018). As Egypt Builds New Capital, What Becomes of Cairo?. https://learningenglish.voanews.com/a/as-egypt-builds-new-capital-what-becomes-of-cairo-/4665409.html. VOA
Midolo, E (2019). Inside Egypt’s New Capital. https://www.propertyweek.com/insight/inside-egypts-new-capital/5101721.article. Property Week
Michaelson, R (2018). Cairo has Started to Become Ugly: Why Egypt is Building a New Capital City. https://www.theguardian.com/cities/2018/may/08/cairo-why-egypt-build-new-capital-city-desert. The Guardian.
https://en.wikipedia.org/wiki/Environmental_issues_in_Egypt
Potret Kehidupan Kota Modern Di Antara Hutan
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota, Perencanaan Wilayah dan Kota /by AuthorOleh: Galuh Shita Ayu Bidari
Rencana pemindahan ibukota negara yang telah lama menjadi pembahasan dan pengkajian, kini telah menemui titik terang. Kalimantan Timur, sebagai lokasi Ibu Kota baru yang terpilih dan memiliki kekayaan alam berupa bentang hutan yang sangat luas, akan mengusung konsep City in The Forest. Kota baru ini juga akan mengkolaborasikan konsep kota modern, smart, beautiful, dan sustainable dengan kekayaan hutan tropis.
Konsep kota hutan tidak sama dengan hutan kota. Idealnya, konsep kota hutan mengusung upaya restorasi hutan di tengah pembangunan kebutuhan kota yang masif. Terlebih, kebutuhan untuk pembangunan ibu kota negara yang cukup kompleks. Berlokasi di jantung hutan terbesar di Indonesia, perencanaan ibu kota baru dengan konsep kota hutan perlu sangat berhati-hati.
Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur nantinya direncanakan terdiri dari minimal 50% ruang terbuka hijau dan akan diharmonisasikan secara maksimal dengan keaslian alamnya. Proses pembangunan yang direncanakan di dalam masterplan akan meminimalisasi intervensi terhadap alam dan banyak mengintegrasikan ruang hijau dan biru. Selain itu, ibu kota baru juga akan mengadopsi new urbanism yang bertemakan bangunan dan infrastruktur hijau (green building/infrastructure). Salah satu kebijakan yang menarik, kompleks pemerintahan yang akan dibangun di ibu kota baru dilakukan secara vertikal, namun akan diatur ketinggian bangunannya agar tidak melebihi tinggi pohon di hutan.
Konsep kota hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pengembangan kota hutan diharapkan akan dapat mereduksi polusi udara dan menambah jumlah udara bersih. Dalam skema yang lebih besar, kota hutan juga diharapkan akan mampu memerangi fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi. Terdapat beberapa contoh kota hutan, baik di dalam maupun di luar negeri. Terdapat kota hutan yang telah ada sejak beratus tahun lamanya dan terdapat pula contoh kota hutan yang masih menjadi konsep. Berikut merupakan ulasan mengenai kota-kota hutan tersebut:
Kuala Kencana, Indonesia
Kuala Kencana adalah sebuah kota megah yang berada di tengah belantara Papua. Kota ini pertama kali diresmikan pada tahun 1995 oleh Presiden Soeharto dan merupakan kota yang sepenuhnya dikelola oleh PT Freeport Indonesia, sebagai komplek permukiman karyawan. Secara administratif Kota Kuala Kencana termasuk ke dalam Kabupaten Mimika, dengan Timika sebagai ibukota daerah. Hanya warga yang memiliki kartu akses pegawai PT Freeport yang diperbolehkan masuk ke kota ini.
Kota ini diklaim sebagai kota pertama di Indonesia yang memiki sistem utilitas (listrik, air, komunikasi) bawah tanah. Selain itu, kota ini juga diklaim sebagai kota pertama yang memiliki sistem pengolahan air kotor. Air kotor akan disalurkan ke pusat pengelolaan limbah sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar. Air keran yang disalurkan ke rumah-rumah juga berstandar tinggi dan aman untuk langsung diminum.
Kualitas udara di Kuala Kencana tergolong sangat bersih. Hal ini dikarenakan penduduk di kota ini sebagian besar menggunakan sepeda untuk beraktifitas sehari-hari. Mudah untuk menemukan fasilitas parkir sepeda yang dilengkapi dengan besi pengaman, tak lupa juga dengan jalur pejalan kaki yang rapi. Kota ini ditata dengan baik sehingga kota ini dapat menjadi rujukan bagi pembanguna kota-kota lain di Indonesia.
Manaus, Brazil
Brazil memiliki kota yang berada di tengah belantara Amazon, yaitu Manaus. Kota Manaus telah ada sejak tahun 1669. Kota ini memiliki luas sebesar 11.455,38 km² dan terletak di sepanjang tepi utara Sungai Negro. Manaus merupakan kota metropolitan yang terbesar di Amazon dan memiliki pelabuhan utama yang berjarak 1500 km dari laut serta sebuah bandar udara internasional. Kota ini menjadi pelabuhan utama dan merupakan pusat pengumpulan dan distribusi utama untuk wilayah sungai di seluruh lembah Amazon. Pada awal perkembangannya, Manaus merupakan kota pertama di Brazil yang dialiri oleh listrik. Kegiatan industri yang terdapat di Manaus adalah pembuatan bir, pembuatan kapal, pembuatan sabun, produksi bahan kimia, pembuatan peralatan elektronik, dan pemurnian minyak bumi. Pariwisata telah menjadi bagian dari ekonomi di kota ini. Kota ini juga memiliki kebun raya dan kebun binatang, serta taman hutan alami di pinggirannya.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1,8 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,5% sementara rata-rata pertumbuhan penduduk Brazil adalah sebesar 1,17% di tahun yang sama. Tantangan besar yang dihadapi kota ini adalah peningkatan populasi, pembangunan informal yang menyebar luas, pembuangan limbah informal di lingkungan permukiman berkualitas rendah, kualitas air dan lainnya. Tingginya pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan perkembangan hunian illegal di pinggiran sungai. Ancaman terhadap kondisi hutan hujan sangat parah. Masyarakat yang tinggal di area Monte Horebe menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan yang luar biasa sebagai akibat dari tingginya kebutuhan akan hunian yang terjangkau. Sebagai pusat ekonomi di Amazon, Manaus berhasil menarik ribuan pendatang setiap tahunnya dan meningkatkan kekhawatiran akan permasalahan kota yang lebih besar.
Liuzhou Forest City, China
Di negara lain, China telah lebih dulu menjadi pionir dengan terlebih dulu memproklamirkan konsep kota hutan pertama di dunia yang diklaim mampu mereduksi polusi udara. Konsep ini telah dilontarkan pada tahun 2017 dan sedang dalam masa persiapan konstruksi. Pengembangan kota dengan nama Liuzhou Forest City ini mengambil lokasi di area pegunungan Guangxi. Dirancang oleh Stefano Boeri Architetti, kota hutan ini akan mampu mengakomodasi sekitar 30 ribu orang di lingkungan yang sebagian besar tertutup oleh tanaman dan pohon.
Kota hutan ini diperkirakan akan dapat menyerap 10.000 ton karbon dioksida dan 57 ton polutan per tahun dan juga menyediakan 900 ton oksigen per tahunnya, serta mengurangi suhu udara dan menyediakan habitat baru bagi satwa liar terlantar. Bangunan yang ada dirancang untuk ditanami tanaman pada bagian fasad dan disesain untuk swasembada energy dengan dilengkapi dengan panel surya. Transportasi ke pusat kota juga direncanakan akan mengefisiensikan sumber daya yang ada, yaitu berupa jalur kereta berkecepatan tinggi dan kendaraan listrik.
Forest City Johor, Malaysia
Di sisi lain, Malaysia juga tengah mengembangkan kota hutan di salah satu pulau buatan yang dimilikinya. Kota ini berlokasi di kawasan ekonomi khusus Iskandar, yang berada di ujung paling selatan Semenanjung Malaysia yang berbatasan langsung dengan Singapura. Proses pengembangannya memakan waktu sekitar 25-30 tahun berdasarkan oleh Rencana Transformasi Ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2006.
Terletak sekitar 2 km dari Singapura, kota ini dirancang untuk dapat mengakomodasi 700 ribu orang pada lahan seluas 14 km² (sekitar 4 kali luas Central Park di New York). Kota ini juga mengusung konsep Smart City, dimana mobil tidak diperbolehkan berada di area ini, selain itu bangunan dan gedung pencakar langit akan dirancang untuk ditumbuhi tanaman pada bagian fasadnya untuk mengurangi polusi suara dan polusi udara. Kota ini direncanakan akan selesai dikembangkan pada tahun 2035 dan diklaim menciptakan sebanyak 220.000 lapangan pekerjaan.
Video interaktif untuk melihat perkembangan pembangunan kota hutan dapat dilihat pada link berikut https://720yun.com/t/5emn6w7mwnh4mz78fw?pano_id=NjxV6DlGaeDzje8Z
Yang menarik, dilansir dari media straitstimes.com, perdana menteri Malaysia sempat mengungkapkan bahwa hunian yang terdapat di kota ini tidak akan dijual kepada orang asing. Ungkapan ini dikeluarkan atas kekhawatiran bahwa warga lokal tidak akan dapat membeli hunian dengan harga yang terjangkau apabila sebagian hunian diperjualbelikan kepada warga negara asing.
Atlanta, Amerika Serikat
Atlanta terletak di Georgia, Amerika Serikat, dan dikenal sebagai ‘City in the Forest’. Kota ini dikelilingi oleh banyak pepohonan besar dan banyak jenis tanaman lainnya yang menyelimuti sebagian besar insfrastruktur buatan manusia. Atlanta memiliki sekitar 500 ribu penduduk. Populasi terus bertambah dan pemerintah mengkhawatirkan kebutuhan akan rumah yang kemungkinan meningkat. Namun yang terjadi, kepadatan penduduk tidak bertambah tetapi rumah yang semula berukuran kecil berubah menjadi lebih luas dan menghabiskan lahan yang lebih besar.
Sebuah studi menyatakan bahwa Georgia masuk ke dalam 5 negara bagian yang mengalami kehilangan tutupan pohon perkotaan terbesar dan menyimpulkan bahwa wilayah metropolitan Amerika Serikat kehilangan sekitar 36 juta pohon setiap tahunnya (sekitar 175.000 hektar tutupan pohon). Pada tahun 2008, sekitar 48% wilayah perkotaan Atlanta berhasil ditutupi oleh pepohonan yang ditanami baik oleh sukarelawan maupun organisasi non-profit yang bekerja sama dengan pemerintah. Sejak saat itu, pemerintah menetapkan terget untuk terus menaikkan presentase tutupan pohon di Atlanta.
Departmen Perencanaan Kota Atlanta tengah membantu mengembangkan Urban Ecologi Framework atau Kerangka Kerja Ekologi Perkotaan, dengan melakukan penilaian terhadao kanopi, daerah aliran sungai, dan ruang hijau yang ada. Kerangka kerja tersebut diharapkan akan dapat menghasilkan lebih banyak perubahan kebijakan yang diperlukan untuk melindedungi tutupan pohon.
DAFTAR PUSTAKA
- forestcityjohor.com/
- www.prnewswire.com/news-releases/forest-city-malaysia-completes-new-homes-introduces-connected-smart-city-experience-300883306.html
- www.straitstimes.com/asia/se-asia/johors-forest-city-project-off-limits-to-foreign-buyers-says-malaysian-pm-mahathir
- www.weforum.org/agenda/2018/08/smart-cities-forest-city-belmont/
- edition.cnn.com/style/article/china-liuzhou-forest-city/index.html
- www.archdaily.com/874364/worlds-first-vertical-forest-city-breaks-ground-in-china
- www.liputan6.com/regional/read/4045591/melihat-konsep-forest-city-ibu-kota-baru-ri-bakal-di-tengah-hutan-kaltim
- www.liputan6.com/bisnis/read/4032532/dibangun-di-kalimantan-ibu-kota-baru-akan-menyatu-dengan-hutan
- ekonomi.bisnis.com/read/20190906/45/1145246/ibu-kota-negara-ahli-perencanaan-dunia-akan-bahas-konsep-forest-city
- nasional.kompas.com/read/2019/08/29/08572681/usung-konsep-forest-city-50-persen-ibu-kota-baru-akan-jadi-rth?page=all
- www.kompasiana.com/gigih98582/5d63da33097f3606b12c9222/melihat-konsep-forest-city-untuk-ibu-kota-baru-indonesia?page=all
- www.forbes.com/sites/trevornace/2017/06/30/chinas-new-forest-city-will-make-you-rethink-urban-cities/#1f6aa15cdabd
- www.britannica.com/place/Manaus
- www.visitbrasil.com/destinations/manaus.html
- atlasbrasil.org.br/2013/en/perfil_m/5017/#educacao
- lcluc.umd.edu/hotspot/urbanization-manaus-brazil
- www.theguardian.com/cities/2019/jul/23/the-jungle-metropolis-how-sprawling-manaus-is-eating-into-the-amazon
- intisari.grid.id/read/03910384/mengintip-kota-kuala-kencana-milik-pt-freeport-di-papua-modern-canggih-dan-bersih?page=all
- backpackerjakarta.com/kota-kuala-kencana-kota-paling-rapi-di-indonesia/
- www.atlantamagazine.com/news-culture-articles/saving-the-city/
- ww.gpbnews.org/post/inside-fight-keep-atlanta-city-forest
Masa Depan Transportasi Umum Massal di Jabodetabek
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jabodetabek merupakan sebuah akronim dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Jabodetabek idealnya merupakan sebuah kawasan yang terintegrasi dengan baik mengingat ribuan perjalanan dilakukan antar region setiap harinya. Bukanlah hal ganjil seorang pekerja di tengah kota Jakarta memiliki rumah di Kota Bogor yang jaraknya 60 km dan ia harus melakukan pegerakan ulang alik setiap harinya. Saat ini rute dan moda pergerakan yang mendukung kegiatan ulang alik tersebut masih terbatas. Dapat kita perhatikan setiap jam masuk ataupun pulang kantor, stasiun-stasiun transit di Jakarta seperti Stasiun Manggarai dan Tanah Abang selalu padat dan tumpah ruah oleh para komuter. Kadang, kapasitas kereta juga tidak mampu menampung beban banyaknya penumpang, akibtanya banyak yang berdesak-desakan sehingga membayahakan keselamatan.
Untuk mensiasati hal tersebut, maka diterbitkanlah Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018. RITJ merupakan sebuah pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan, serta pengawasan dan evaluasi transportasi di wilayah perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. RITJ akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2018-2029. Adapun yang menjadi sasaran dalam penyelenggaran RITJ ini adalah sebagai berikut:
Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan di atas, terdapat dua kebijakan mengenai pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan dan berbasis rel yang sangat menarik untuk diulas. Mari kita simak seperti apa wajah sistem transportasi perkotaan Jabodetabek 10 tahun mendatang!
Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Jalan
Kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan memiliki strategi pembentukan jaringan pelayanan transportasi angkutan umum perkotaan yang meliputi jaringan trayek angkutan orang dan jaringan lintas angkutan barang. Strategi tersebut memiliki 5 program unggulan, yaitu:
- Pengembangan rute Transjabodetabek Ekspres
Terdapat 37 rute baru dalam pengembangan Transjabodetabek Ekspres. Rute akan menghubungkan 8 kota/kabupaten di luar provinsi Jakarta dengan titik-titik transit strategis di Jakarta seperti Pasar Senen, Blok M, Lebak Bulus, Manggarai dan lain sebagainya. Pengembangan rute-rute ini akan dilakukan selama 10 tahun masa berlaku RITJ.
- Pengembangan Rute Transjabodetabek Reguler
Terdapat 37 rute dalam pengembangan Transjabodetabek Reguler. Origin dan destinasi dari ke-37 rute ini hampir sama dengan rute Transjabodetabek Ekspres. Yang membedakan hanyalah akan terdapat lebih banyak pemberhentian sebelum mencapai destinasi akhir. Pengembangan rute-rute ini juga akan dilakukan selama 10 tahun masa berlaku RITJ.
- Pengembangan Angkutan Pengumpan (Feeder) yang melayani Transjabodetabek
Rencana pengembangan angkutan pengumpan akan berlokasi di seluruh wilayah Jabodetabek. Angkutan ini nantinya akan memudahkan pelaku pergerakan untuk berpindah dari rumah menuju stasiun/halte jaringan transportasi utama. Pengembangan angkutan pengumpan akan berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2026.
- Pengembangan Angkutan Pemadu Moda
Rencana pengembangan angkutan pemadu moda akan difokuskan pada tiga Kota/Kabupaten, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Nantinya akan terdapat angkutan umum massal yang mengakomodir pegerakan menuju/dari bandar udara dan pelabuhan laut. Rencana ini akan diimplementasikan dalam kurun waktu 2018-2019.
- Penataan Angkutan tidak Dalam Trayek
Penataan angkutan tidak dalam trayek terdiri dari penataan angkutan taksi, angkutan dengan tujuan tertentu (angkutan permukiman), angkutan pariwisata, dan angkutan kawasan tertentu. Penataan ini akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2021.
Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Rel
Selain pengembangan sistem transportasi perkotaan berbasis jalan, terdapat pula rencana pengembangan berbasis rel. Pengembangan sistem transportasi berbasis rel memiliki strategi yaitu melalui pembangunan dan pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan berbasis rel yang menghubungkan wilayah Jabodetabek dengan program-program berupa:
- Pembangunan Jalur Kereta Api Ringan (Light Rail Transit/LRT) baik di wilayah Jakarta maupun di luar wilayah Jakarta (Bodetabek)
Dalam RITJ, terdapat 25 rencana pengembangan jalur LRT. Pengembangan tersebut terdiri dari 13 rute yang berada di dalam Jakarta, dan 12 rute yang menghubungkan Jakarta dengan kota/kabupaten lain termasuk di dalamnya Bandara Internasional Soekarno dan Hatta. Pengembangan seluruh jalur LRT tersebut akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2029.
- Pembangunan jalur Automated People Mover (APM)/ Automated Guideway Transit (AGT)/ Tram
Terdapat 9 lintasan yang akan direncanakan sebagai jalur tram pada kawasan Jabodetabek. Jalur-jalur tersebut pada umumnya merupakan jalur istimewa seperti jalur kawasan industri, jalur kawasan wisata dan jalur bandara-kemayoran. Pengembangan tram difokuskan pada kawasan-kawasan di luar Jakarta. Pengembangan seluruh jalur tram ini juga akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2029.
- Pembangunan jalur kereta api massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT)
Pengembangan jalur MRT akan dilakukan pada dua koridor yaitu koridor Utara-Selatan (Kampung Bandan-Bundaran HI-Lebak Bulus) dan koridor Timur-Barat (Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja). Pengembangan jalur MRT ditargetkan akan rampung pada tahun 2029.
- Pembangunan kereta api bandara
Pengembangan kereta api bandara terdiri dari dua program yaitu pembangunan express line Bandara Soekarno-Hatta (Manggarai-Sudirman-Tanah Abang-Angke-Pluit-Bandara SHIA) dan pembangunan commuter line (Soedirman-Duri-Batu Ceper- Bandara SHIA). Pengembangan kereta bandara ini akan rampung pada tahun 2020.
- Pembangunan loop line railway (Jakarta elevated loop line railway)
Pembangunan loop line railway akan memakan waktu 6 tahun, terhitung sejak tahun 2018 hingga 2023. Adapun program yang terdapat di dalamnya adalah Penyusunan DED dan pembangunan Jakarta Elevated Loop Line Railway.
- Pembangunan jalur ganda (Double Track)
Pembangunan jalur ganda yang merupakan rencana dari periode sebelumnya memiliki 4 jalur yang akan menghubungkan Tangerang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Program ini akan memakan waktu selama 4 tahun hingga tahun 2021.
Ketika sudah diimplementasikan, kedua kebijakan tersebut akan menjadi wajah baru sistem transportasi Jabodetabek yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Dengan adanya RITJ ini kian memberikan optimisme bahwa di masa mendatang sistem transportasi di Indonesia akan setara dengan sistem pergerakan di negara maju seperti Singapura dan Jepang. Namun disamping itu, banyak hal yang harus disiapkan dan diperhatikan oleh seluruh stakeholders, terutama oleh pemerintah, dalam upaya mewujudkan kedua kebijakan yang terkandung dalam RITJ tersebut.
Selain menyiapkan sumberdaya dan anggaran, ke depannya pemerintah juga perlu menyiapkan hal-hal teknis terkait pengimplementasian RITJ. Sebagai contoh, dalam pengimplementasian rencana interkoneksi antarjaringan, pemerintah perlu menyiapkan rencana yang lebih detail dan rinci untuk mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD). Pemerintah juga perlu mensiasati tentang bagaimana mewujudkan sistem kerjasama yang baik dan sistematis antara pemerintah dan pihak swasta melalui skema kerjasama public-private partnership (PPP) demi terciptanya sistem jaringan transportasi Jabodetabek yang berkelanjutan dan mengakomodir kebutuhan masyarakat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus menyiapkan jenis kebijakan lain untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi sehingga sasaran penyelenggaraan transportasi Jabodetabek dapat tercapai. Kebijakan tersebut dapat berupa pemberlakukan kawasan 3 in 1, pembatasan usia kendaraan, peningkatan pemberlakuan pajak kendaraan, pembatasan area parkir kendaraan pribadi, dan penerapan syarat kepemilikan kendaraan pribadi.
Apakah pemerintah dan seluruh pihak yang relevan mampu mewujudkan RITJ dan menertibkan para pengguna kendaraan pribadi?
Daftar Isi
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek
Pesona Jalur Pejalan Kaki
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Galuh Shita Ayu Bidari
Jalur pejalan kaki merupakan salah satu aspek kota yang esensial. Keberadaannya memiliki peran penting dalam menhubungkan berbagai titik antara satu dengan yang lainnya. Namun sayangnya, keberadaan jalur pejalan kaki seringkali tidak diindahkan, bahkan dilupakan. Padahal, dengan adanya jalur pejalan kaki yang nyaman akan dapat membuat suatu wilayah menjadi hidup.
Dengan adanya jalur pejalan kaki yang memadai, masyarakat dapat menikmati suasana kota dengan lebih leluasa. Jika jalur pejalan kaki mampu dibuat lebih nyaman bagi penggunanya, bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih memilih untuk menggunakan sarana tersebut dibandingkan dengan menggunakan moda transportasi. Tentu saja hal tersebut harus didukung dengan tersedianya prasarana transportasi yang juga memadai, dalam arti, nyaman dari segi kualitas dan mencukupi dari segi kuantitas.
Di Indonesia sendiri, ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman dan memadai masih tergolong minor. Keberadaan jalur pejalan kaki seringkali hanya sebatas formalitas dan tidak memperhatikan standar-standar yang seharusnya tersedia. Sebagai contoh, adanya tiang listrik di tengah jalur pejalan kaki, tidak adanya jalur bagi penyandang disabilitas, tinggi antar undakan yang tidak sama, dan bahkan yang lebih menyedihkan, jalur pejalan kaki juga seringkali dirampas oleh para pengguna kendaraan bermotor.
Padahal, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengeluarkan prinsip umum penyediaan fasilitas pejalan kaki, yakni:
- memenuhi aspek keterpaduan sistem, dari penataan lingkungan, sistem transportasi, dan aksesilibitas antar kawasan;
- memenuhi aspek kontinuitas, yaitu menghubungkan antara tempat asal ke tempat tujuan, dan sebaliknya
- memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan;
- memenuhi aspek aksesibilitas, dimana fasilitas yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik.
Penyediaan ruang bagi pejalan kaki memberikan banyak dampak positif, baik bagi individu maupun bagi perkembangan kota. Di statu sisi, adanya jalur pejalan kaki akan memberikan dampak baik bagi kesehatan individu. Dari sudut pandang kota, kehadiran ruang publik berupa jalur pejalan kaki akan mampu menarik beragam aktivitas sehingga akan menciptakan suatu titik atraksi yang menarik bagi para pejalan kaki.
Ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman akan menarik masyarakat untuk terus menggunakan fasilitas tersebut. Ada beberapa manfaat serta nilai tambah yang bisa diperoleh dari pembangunan jalur pejalan kaki, yaitu:
- memberikan lebih banyak lagi ruang publik bagi warga kota
- mengurangi kemacetan kota
- membantu penciptaan kesehatan lingkungan kota dengan penurunan tingkat polusi dan meningkatkan kualitas udara kota.
- salah satu infrastruktur penting bagi pengembangan pariwisata di pusat kota
- dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi
- merangsang kegiatan publik seperti penyelenggaraan pameran, periklanan, dan lain sebagainya.
- dapat menarik beragam kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.
Beberapa kota besar di Indonesia kini mulai berbenah. Sebagian besar telah menyadari pentingnya kehadiran jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman. Komitmen dan niat baik para pemerintah daerah terkait penyediaan jalur pejalan kaki perlu diapresiasi dan didukung dengan baik.
DKI JAKARTA
Kota Jakarta mulai berbenah sejak penyelenggaraan ASEAN GAMES di tahun 2018 silam. Selain pembenahan transportasi melalui pembangunan jalur MRT (Mass Rapid Transit), berbagai ruas jalan juga turut diperlebar dan ditambah dengan berbagai fasilitas penunjang yang membuat nyaman penggunanya.
Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan anggaran khusus untuk penataan jalur pejalan kaki melalui APBD (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah). Wacana penataan jalur pejalan kaki telah dicanangkan sejak era pemerintahan Ahok, dengan target penataan sepanjang 2.600 km yang tersebar pada 48 lokasi. Namun, apabila hanya mengandalkan anggaran APBD maka penyelesaian target penataan jalur pejalan kaki diperkirakan bari akan selesai dalam 50 tahun kemudian sehingga pemerintah mempertimbangkan opsi penggunaan kompensiasi koefisien lantai bangunan (KLB) oleh pihak swasta. Dilansir dari jakarta.bisnis.com, penataan jalur pejalan kaki yang berada di sepanjang ruas Sudirman hingga MH Thamrin telah menggunakan skema pengenaan denda terhadap kelebihan koefisien KLB yang dibiayai oleh PT Kepland Investama dan PT Mitra Panca Persada, dengan dibantu oleh PT MRT Jakarta. Dengan beragam skema tersebut, kini Jakarta telah memiliki wajah-wajah baru yang kian mempercantik ibu kota negara ini. Hal ini turut didukung dengan antusias masyarakat yang semakin banyak menggunakan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, jalur pejalan kaki yang membentang diantara Stasiun Kereta Api Sudirman dengan Stasiun MRT Dukuh Atas yang ramai dilewati oleh masyarakat, mampu menarik sebagian pihak untuk menyelenggarakan suatu pameran seni dalam waktu singkat namun efektif.
SOLO
Kota Solo adalah salah satu kota yang menyadari akan pentingnya ketersediaan jalur pedestrian. Jalur pejalan kaki di Kota Solo awalnya diperuntukkan sebagi tempat berkumpul bagi para warga sembari duduk santai menikmati Kota Solo tanpa terganggu oleh kendaraan yang melintas. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah pengunjung yang datang tak kunjung bertambah. Hal ini membuat Pemerintah Kota Solo mengubah konsep penataan jalur pejalan kaki. Beberapa titik ruas jalan di kota ini mulai dibenahi dan direvitalisasi secara total mulai dari standarisasi jalur pejalan kaki, tata artistik, serta material yang dibuat menjadi lebih baik. Pemerintah menginginkan Kota Solo dapat dikenal sebagai kota yang sangat ramah untuk para pejalan kaki. Tak hanya ramah untuk para pejalan kaki, namun juga dapat dimanfaatkan warga tempat interaksi warga untuk aktivitas warga Kota Solo.
Pada tahun 2011, Kota Solo pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan ajang ASEAN Para Games, sebuah pesta olahraga bagi para atlet berkebutuhan khusus. Pemerintah Kota Solo membenahi kota dengan membangun seluruh fasilitas publik yang ramah pada pengguna berkebutuhan khusus. Kota Solo bahkan menjadi yang pertama dalam menyusun regulasi terkait warga berkebutuhan khusus. Hasilnya Kota Solo kini menjadi salah satu kota yang memiliki jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia.
SURABAYA
Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan penataan jalur pejalan kaki. Hingga akhir 2018, penataan jalur pejalan kaki diklaim telah mencapai 52.700 meter. Penataan jalur pejalan kaki dibangun dengan lebar 2 hungga 3 meter dan dilengkapi dengan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Selain pelebaran dan penggantian material, tiap tahun berbagai pembenahan terus dilakukan, seperti pengecatan agar lebih berwarna dan pemasangan hiasan. Penataan jalur pejalan kaki juga dibangun untuk mengatasi banjir di tengah kota dengan membangun saluran tepat di bawah jalur pejalan kaki agar tidak terjadi genangan air saat musim hujan tiba.
Dengan klaim sebagai kota dengan jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia, selain upaya revitalisasi yang dilakukan secara terus menerus, Pemerintah Kota Surabaya juga terus berupaya menjaga dan melakukan perawatan terhadap jalur pejalan kaki yang ada. Beberapa strategi perawatan yang utama adalah menjaga keamanan pejalan kaki, baik dari tindak kriminal maupun aman dari kendaraan bermotor. Selain itu, pemerintah kota juga rutin menjaga kebersihan jalur pejalan kaki dengan selalu membersihkannya dengan air bertekanan tinggi dan air sabun setiap hari. Dalam satu hari, tim satgas melakukan perawatan di 3 hingga 5 titik sehingga ja;ur pedestrian di Surabaya tampak selalu bersih dan rapi. Penempatan tampat sampah yang estetik juga tak luput dari perhatian. Lalu, penggantian material dan elemen yang sudah tak layak pakai juga selalu dilakukan. Jalur pejalan kaki umumnya rusak karena berlubang atau adanya keramik yang rusak dan pecah-pecah yang disebabkan oleh lapisan atas jalur yang tidak mampu menahan beban yang melintas.
BANDUNG
Kota Bandung pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada tahun 2015. Dari keseluruhan ruas jalan yang ada, Jalan Asia Afrika adalah jalur pejalan kaki terbaik yang ada di Kota Bandung. Kelengkapan fasilitas jalan yang apik, kualitas bahan yang baik, badan trotoar yang berukuran lebar, disediakan pula fasilitas lain berupa halte dan tempat duduk untuk bersantai.
Terdapat pula pot bunga berukuran besar, hiasan bola batu dan juga lampu hias, membuatnya menjadi sangat instagramable. Ruas jalan ini sangat diminati baik bagi warga lokal maupun bagi wisatawan. Pemerintah Kota Bandung telah menganggarkan APBD sebesar Rp 163 milyar dan ditambah dengan Rp 52 milyar dari bantuan Pemerintah Provinsi untuk mempercantik jalur pejalan kaki di kawasan ini.
Diharapkan, kota-kota lain dapat segera berbenah untuk dapat menyediakan jalur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan ramah terhadap disabilitas. Tugas kita sebagai warga kota yang baik adalah dengan mendukung dan ikut menjaga fasilitas kota yang ada.
Sumber:
- Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Kementerian PUPR, Tahun 2018
- Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
- news.okezone.com/read/2018/11/30/512/1985283/menengok-upaya-keras-solo-ciptakan-kota-ramah-pejalan-kaki
- www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/22/kriteria-trotoar-yang-baik-dan-kota-di-indonesia-yang-memilikinya
- jakarta.bisnis.com/read/20180306/77/746543/penataan-trotoar-habiskan-rp360-miliar-berasal-dari-denda-klb-era-ahok-djarot-
- www.cnnindonesia.com/nasional/20170804114007-20-232439/bangun-80-km-trotoar-pemprov-dki-siapkan-rp412-miliar
- surabayastory.com/2018/08/27/strategi-merawat-pedestrian-surabaya/
Hal Yang Harus Diperhatikan Ketika Melakukan Permohonan Penerbitan Imb Untuk Bangunan Non Hunian Di DKI Jakarta
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota, Perencanaan Wilayah dan Kota /by AuthorOleh : Galuh Shita Ayu Bidari
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah setempat dan wajib dimiliki oleh pemilik bangunan. Kehadiran IMB berlaku bagi pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi bangunan. Proses mengurus IMB tidaklah rumit, namun terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan dalam pembuatannya.
Ketahui Peruntukkan Lahannya
Sebelum mengajukan permohonan IMB, penting untuk mengetahui terlebih dahulu peruntukkan ruang yang ada pada lokasi yang diinginkan. Jangan sampai ketika semua sudah dikerjakan, ternyata tanah yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukkan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, selalu cek peruntukkan ruang di dalam Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang telah disahkan. Untuk wilayah DKI Jakarta, dokumen RDTR dapat diakses melalui website resmi milik Pemerintah DKI Jakarta yakni:
- https://dcktrp.jakarta.go.id/beranda/rdtr.html untuk mengakses dokumen Perda RDTR
- http://smartcity.jakarta.go.id/maps/ untuk mengakses peta interaktif. Pilih ‘Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan’ pada menu, lalu pilih wilayah yang diinginkan, pada bagian kanan akan muncul tautan peta yang dapat diunduh untuk melihat peraturan zonasi pada lokasi yang diinginkan.
Ketahui Persyaratan atau Perizinan yang Harus Dimiliki
Terdapat beberapa jenis perizinan yang harus dimiliki oleh pemohon sebelum melakukan permohonan penerbitan IMB. Secara umum jenis perizinan yang diatur oleh setiap daerah tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lainnya. Sebaiknya pemohon melakukan kunjungan terlebih dahulu ke dinas terkait untuk mengetahui jenis perizinan apa saja yang perlu ditempuh sebelum melakukan permohonan penerbitan IMB. Pada beberapa kasus, terdapat beberapa perizinan yang dipersyaratkan sebelum mendapatkan IMB, yakni:
- Izin lingkungan
- Izin dewatering (jika terdapat basement)
- Izin peil lantai bangunan
- Izin kelayakan lingkungan hidup
- Izin membangun prasarana (IMP)
- Izin instalasi pengolahan air limbah
- dan lainnya
Kenali Prosesnya dan Ajukan Permohonan ke Dinas Setempat
Proses pembuatan IMB di DKI Jakarta dapat dilakukan di Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PM & PTSP). Proses komunikasi dengan staff dinas dapat dilakukan secara daring maupun luring, bahkan disediakan pula layanan melalui telepon dan video call. Dilansir dari website dinas yakni pelayanan.jakarta.go.id terdapat lebih dari 500 izin yang dapat diurus melalui PTSP.
Terkait dengan pengurusan IMB untuk bangunan non hunian, terdapat 3 jenis permohonan pengajuan IMB yang dilayani oleh PTSP DKI Jakarta berdasarkan lama waktu penerbitan, yakni:
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas A
Permohonan IMB bangunan kelas A diperuntukkan untuk bangunan non hunian yang memiliki tinggi lebih dari 8 lantai dengan luas bangunan diatas 2.000 m², dan pondasi dalam lebih dari 2 meter.
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas B
Permohonan IMB bangunan kelas B diperuntukkan untuk bangunan non rumah tinggal dengan jumlah lantai kurang dari 8 lantai, rumah tinggal pemugaran cagar budaya golongan A, IMB reklame, dan IMB menara.
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Khusus (Paket IMB 3 Jam)
Dinas PTSP DKI Jakarta menyediakan layanan permohonan IMB yang dapat dikeluarkan dalam jangka waktu 1 hari, namun pelayanan tersebut terbatas pada bangunan yang memiliki tinggi tidak lebih dari 2 lantai dengan luas bangunan paling luas sebesar 1.300 m².
Demikian hal-hal mendasar yang penting untuk diperhatikan sebelum mengurus IMB. Semoga bermanfaat!
TOD Series #2: Praktik Penerapan Konsep TOD di Berbagai Kota di Dunia
/2 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Setelah membahas tentang definisi, prinsip dan manfaat konsep TOD pada artikel sebelumnya, kali ini akan dibahas mengenai implementasi konsep TOD di beberapa kota di dunia. Sejak konsep ini digaungkan pada akhir 1980an, sudah banyak kota yang mengadopsi konsep tersebut dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan pergerakan masyarakat di dalamnya. TOD sudah banyak diterapkan di Amerika seperti di Kota Sacramento dan Evanston. Di Eropa pun konsep ini dirasa pas untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi seperti yang terlihat di Kota Rotterdam. Baru-baru ini, DKI Jakarta juga mulai berbenah dan mencoba untuk menerapkan konsep TOD dengan memutakhirkan jaringan transportasi publik yang mereka miliki. Simak praktik-praktik penerapan konsep TOD di bawah ini:
- Rotterdam, Belanda
Penerapan konsep TOD di negeri kincir angin, Belanda, terlihat dari fungsi sebuah kawasan yang berada di jantung hati kota Rotterdam yaitu kawasan Blaak. Blaak merupakan pusat kota Rotterdam dimana di dalamnya terdapat fungsi kawasan campuran, baik fungsi komersil, residensial maupun perkantoran. Di kawasan ini juga terdapat stasiun kereta yang menghubungkan Rotterdam dengan kota lain yaitu Kota Delft. Jalur kereta pada stasiun Blaak juga difungsikan sebagai jalur metro atau kereta bawah tanah yang menjadi jaringan antara area di dalam kota Rotterdam. Kawasan Blaak juga dilengkapi dengan ruang publik berupa plaza dan taman yang kerap digunakan oleh masyarakat untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Setiap hari Selasa dan Sabtu, plaza tersebut digunakan sebagai pop-up market atau pasar dadakan yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif terjangkau. Untuk mendukung banyaknya aktivitas yang terdapat di Blaak, disediakan pula tempat parkir sepeda yang mampu menampung ribuan sepeda, terutama bagi pengguna sepeda yang transit dan hendak menlanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kawasan Blaak telah memiliki segala komponen yang merupakan unsur utama pengembangan konsep TOD terutama jalur pedestrian dan sepeda yang memudahkan pergerakan dengan tanpa menggunakan kendaraan bermotor.
- Sacramento, Amerika Serikat
Konsep TOD juga menjadi arah perencanaan di Kota Sacramento, Amerika Serikat. Dilansir dari website pemerintah Kota Sacramento, diketahui bahwa konsep yang termasuk rencana jangka panjang daerah ini sudah mulai diterapkan pada tahun 2018 yang lalu. Pemerintah Kota Sacramento mempertimbangkan untuk mendukung pergerakan transit dengan menggunakan moda kereta ringan namun tetap membatasi pembangunan di sekitar area transit pengimplementasian konsep TOD terarah. Pemerintah Sacramento berpendapat bahwa penerapan TOD akan mengurangi efek rumah kaca dan menciptakan komunitas yang lebih sehat dengan mendukung pergerakan tanpa moda bermotor. TOD dianggap akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi pemilik tanah ke depannya dan akan memberikan kemudahan akses terhadap kebuuhan sehari-hari bagi kaum lansia yang tidak bisa berkendara secara mandiri. Pemerintah akan memberikan insentif terhadap developer yang dapat mengembangkan bangunan residensial dengan minimum unit berjumlah 25 unit atau lebih. Pemerintah juga berencana untuk mereduksi lahan parkir kendaraan bermotor di dekat stasiun transit.
- Evanston, Illinois, Amerika Serikat
Evanston merupakan sebuah kota transit bagi komunitas di pinggir kota North Shore dan merupakan tempat bagi perusahaan-perusahaan besar bernaung. Evanston merupakan kota yang stabil dan ideal untuk kegiatan residensial dan bisnis, kendati populasi di Evanston sangat beragam dari segi ekonomi maupun ras. Pada tahun 1986, pemerintah kota Evanston memiliki rencana untuk menciptakan kawasan dengan kepadatan yang tinggi di sepanjang Chicago Avenue dan sekitar empat stasiun kereta yang mereka miliki serta jalur pedestrian yang mumpuni. Kemudian puluhan tahun selanjutnya, Pemerintah Kota Evanston merevisi rencana tersebut dengan detail-detail yang menjadi nyawa dari konsep TOD.
Evanston memperbaharui peraturan zonasinya dengan mengurangi alokasi tempat parkir kendaraan bermotor pada area residensial multi-keluarga dan gedung-gedung bertingkat. Hal ini diperkirakan akan menstimulus kebiasaan masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika hendak melakukan pergerakan. Pemerintah Evanstom juga mendukung pembangunan area residensial kepadatan tinggi yang dikelilingi kawasan peruntukkan campuran dengan pusat transportasi. Peraturan zonasi tersebut berhasil meningkatkan frekuensi bus dan memperbanyak rute pergerakan dan destinasi. Peraturan tersebut juga menstimulus munculnya jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di kota Evanston.
- DKI Jakarta, Indonesia
Tidak hanya kota-kota di belahan benua Amerika dan Eropa saja yang telah menerapkan konsep TOD, Indonesia pun sudah mulai bergerak untuk mengimplementasikan konsep yang dapat menstimulus pergerakan masyarakat tanpa kendaraan pribadi bermotor ini. Salah satu kota yang menjadi pioner dalam pengembangan TOD adalah DKI Jakarta bersamaan dengan kota-kota besar di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek, telah direncanakan beberapa titik yang akan dikembangkan menjadi kawasan TOD. Berikut adalah lokasi potensial pengembangan TOD di Jabodetabek yang tertuang dalam perpres tersebut:
Adapun yang menjadi titik lokasi pengembangan TOD di Jakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pengembangan kawasan berorientasi transit di Jakarta ini akan dimulai dengan pengembangan sistem jaringan transportasi umum yang mumpuni berupa MRT, LRT, dan Bus Rapid Transit. Pada April 2019, telah diresmikan kawasan TOD pertama di Jakarta yaitu Kawasan TOD Dukuh Atas dimana terdapat titik-titik transit seperti Stasiun Kereta Api Sudirman, Stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun BNI City (Kereta Bandara), dan Stasiun Trans Jakarta dalam suatu kawasan yang sama.
Dilansir dari website jakartamrt.co.id (2019), dalam pengimplementasiannya, Pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan PT. MRT Jakarta untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD Dukuh Atas. Dalam mengembangkan perencanaan TOD, PT MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip TOD, yaitu Fungsi Campuran; Kepadatan Tinggi; Peningkatan Kualitas Konektivitas; Peningkatan Kualitas Hidup; Keadlian Sosial; Keberlanjutan Lingkungan; Ketahanan Infrastruktur; dan Pembaruan Ekonomi. Diharapkan pengembangan konsep TOD di Jabodetabek khususnya di Jakarta dapat menuai manfaat dan mendorong berbagai keuntungan seperti:
- Mengurangi penggunaan kendaraan, kemacetan jalan, dan polusi udara;
- Pembangunan yang mendukung berjalan kaki serta gaya hidup sehat dan aktif;
- Meningkatkan akses terhadap kesempatan kerja dan ekonomi;
- Berpotensi menciptakan nilai tambah melalui peningkatan nilai properti;
- Meningkatkan jumlah penumpang transit; dan
- Menambah pilihan moda pergerakan kawasan perkotaan
Dari ulasan di atas dan contoh pengimplementasian konsep TOD di mancanegara, dapat diketahui bahwa sistem transit akan membuat pergerakan menjadi lebih efektif dan efisien. TOD dapat diimplementasikan dengan baik apabila terdapat dukungan dari pemangku kebijakan yang secara serius mengupayakan agar terwujudnya manfaat-manfaat TOD itu sendiri. Dari contoh di atas terlihat bahwa upaya mengurangi alokasi lahan untuk tempat parkir dapat mempengaruhi kebiasaan pergerakan masyarakat dan dapat menjadi satu langkah kecil untuk menerapkan konsep TOD di masa mendatang.
Daftar Isi
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek
Gorewitz, et al (2006). Communicating the Benefits of TOD: The City of Evanston’s Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System. Center for TOD.
Zimbabwe, S et al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for Transit-Oriented Development.
Institute for Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/
Transit Oriented Development Institute (2019). Transit Oriented Development. http://www.tod.org/
www.cityofsacramento.org/Community-Development/Planning/Major-Projects/TOD-Ordinance
www.jakartamrt.co.id/konektivitas/transit-oriented-development-tod/
metro.sindonews.com/read/1400864/171/kawasan-tod-dukuh-atas-terkendala-integrasi-moda-1556802229
TOD Series #1: Transit Oriented Development, Sebuah Konsep Untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Annabel Noor Asyah
Definisi dan Prinsip Konsep TOD
Transit Oriented Development (TOD) atau yang dalam bahasa disebut Kawasan Berorientasi Transit merupakan sebuah konsep yang kian populer dan mendunia dalam bidang perencanaan serta penataan kota. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh seorang arsitek yang juga perancang kota yaitu Peter Calthorpe pada akhir 1980-an. TOD kian manjadi sorotan dalam bidang perencanaan modern ketika Calthorpe mempublikasikan buku yang berjudul “The New American Metropolis” pada tahun 1993. Lantas apakah sebenarnya yang menjadi definisi dari TOD itu sendiri?
Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), TOD memiliki arti sebagai sebuah kawasan yang didesain untuk menyatukan masyarakat kota, kegiatan perkotaan, gedung dan bangunan, serta ruang publik secara bersamaan dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang memadai, serta dekat dengan lokasi transit untuk menjangkau bagian kota lainnya.
Penerapan konsep TOD berpotensi untuk menciptakan kualitas lingkungan perkotaan dengan kualitas yang baik dengan mereduksi penggunaan kendaraan pribadi. Pengimplementasian konsep TOD akan menstimulus terbentuknya lingkungan masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang beragam serta dapat mengurangi dampak negatif dari degradasi lingkungan, serta memberikan alternatif-alternatif nyata untuk menyelesaikan masalah kemacetan (Ditmarr dkk, 2004).
Pengembangan kawasan TOD hendaknya memperhatikan beberapa prinsip yang menjadi nayawa dari konsep tersebut. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
Manfaat Konsep TOD
Dalam penerapannya, konsep TOD memiliki beragam manfaat bagi kawasan perkotaan baik dalam hal lingkungan, sosial maupun ekonomi. Dalam hal lingkungan, TOD akan mereduksi penggunaan bahan bakar, mengurangi polusi udara dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor. Penerapan TOD juga akan meminimalisir kemungkinan terjadinya kemacetan dan kecelakaan lalu lintas akibat banyaknya jumlah kendaraan bermotor pribadi yang melintas.
Dari sisi sosial, pengembangan konsep TOD akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota dengan tersedianya tempat tinggal, tempat kerja dan tempat rekreasi yang lebih kompak dan mudah diakses. Selain itu masyarakat kota juga dapat hidup lebih sehat mengingat kebiasaan berjalan kaki yang akan terbangun ketika konsep ini diterapkan. Rutinitas berjalan kaki diketahui juga dapat mereduksi tingkat stress pada masyarakat perkotaan. Hal itu juga berlaku bagi penggunaan sepeda.
Dari kacamata ekonomi, penerapan konsep TOD akan meningkatkan daya saing suatu kawasan seiring dengan meningkatnya peluang investasi pada kawasan tersebut. TOD juga berperan dalam mengurangi biaya pergerakan yang dikeluarkan oleh masyarakat sehari-harinya. Hal tersebut akan berpengaruh kepada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di luar kebutuhan transportasi. TOD juga memberikan dampak pada stabilitas harga properti di sekitar kawasan tersebut.
Daftar Isi
Gorewitz, et al (2006). Communicating the Benefits of TOD: The City of Evanston’s Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System. Center for TOD.
Zimbabwe, S et al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for Transit-Oriented Development.
Institute for Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/
Transit Oriented Development Institute (2019). Transit Oriented Development. http://www.tod.org/
Peran Pengembangan Intermediate Treatment Facility (ITF) dalam Pengelolaan Sampah di Jakarta Utara
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota, Uncategorized /by AuthorOleh : Tsurayya Zahirah Jufri, Golda Veronica Pohan, Thia Prahesti
Provinsi DKI Jakarta dihadapi dengan masalah persampahan yang makin menjadi masalah serius. Dimana, setiap tahunnya masyarakat di Provinsi DKI Jakarta menghadapi bencana banjir karena sungai tidak mampu lagi menampung air akibat dampak masalah persampahan yang sebagian besar berasal dari rumah tangga. Bencana banjir dapat mengakibatkan banyak kerugian seperti terjangkitnya penyakit saluran pencernaan, kerusakan benda maupun kerugian ekonomi.
Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Provinsi DKI Jakarta diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencakup 3 kelurahan yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Sumur Batu. Pada ketiga kelurahan tersebut terdapat pemukiman warga, sehingga menyebabkan warga sekitar lokasi merasakan dampak yang ditimbulkan oleh TPST Bantar Gebang. Kerja sama antar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi sudah tercantum dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan TPST Bantar Gebang. TPST Bantar Gebang terletak di atas lahan seluas 110,216 hektar yang kemudian sampah-sampah yang berasal dari DKI Jakarta diangkut ke TPST Bantar Gebang oleh petugas kebersihan dengan 1.200 hingga 1.300 truk sampah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengurangan jumlah produksi sampah. Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menentukan berbagai upaya, diantaranya yaitu pengurangan sampah dengan kerja sama dari masyarakat DKI Jakarta melalui Program Bank Sampah. Lalu, upaya lainnya yaitu pembangunan tempat pengolahan sampah untuk pembangkit listrik atau Intermediate Treatment Facility (ITF) yang telah direncanakan sejak tahun 2011 berdasarkan Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032.
Dilansir dari laman resmi Dinas Ligkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta (upst.dlh.jakarta.go.id, 2019), sesuai dengan Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032, fasilitas pengelolaan sampah dengan model ini akan dibangun di 4 (empat) lokasi berbeda di DKI Jakarta, antara lain di Marunda, Cakung, Duri Kosambi, dan juga di Sunter, sehingga apabila fasilitas ini dibangun, maka akan dapat mengurangi ketergantungan dengan TPST Bantar Gebang.
ITF Sunter saat ini berada dalam tahap pembangunan yang berlokasi di Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara. Dari lokasi yang terlihat di peta, diambil dua kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Priok dan Kecamatan Pademangan. Terdapat sejumlah TPS yang tersebar dari dua kecamatan tersebut yang nantinya akan dicanangkan menjadi TPS yang akan menyetorkan sampah dari masyarakat sekitar, lalu diangkut ke ITF Sunter. Sehingga, sampah yang biasanya diangkut ke TPST Bantar Gebang mengalami pengurangan dari jumlah biasanya.
Sampah yang angkut ke ITF akan melalui proses incineration yaitu pengolahan sampah dengan cara dibakar pada suhu tinggi. Sampah-sampah tersebut dimasukkan ke dalam sebuah ruang (chamber) dan diaduk agar panas yang diberikan merata secara keseluruhan. Suhu yang digunakan sangatlah tinggi, yakni sekitar 2200 Fahrenheit atau kurang lebih 1200 derajat Celcius. Dari skema diatas, salah satu produk yang dihasilkan dari proses yang dilakukan oleh ITF berupa tenaga listrik. Sesuai dengan fasilitas pengolahan sampah berupa Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang pada akhirnya menghasilkan aliran listrik sehingga dapat memperkecil faktor pengurang biaya jasa pengolahan sampah.
Pembangunan fasilitas ITF membutuhkan waktu sekitar tiga tahun hingga rampung secara keseluruhan atau diperkirakan dapat diuji coba dan dioperasikan pada tahun 2021-2022. Dilansir dari laman berita daring www.goodnewsfromindonesia.id (2018), kapasitas ITF Sunter mencapai 2.200 ton/hari atau 726.000/tahun dengan teknologi termal, sehingga residunya berupa abu hanya 20% dari total sampah yang diolah dan mereduksi volume sampah 80% hingga 90%. Dari hasil reduksi sampah tersebut, ITF tersebut mampu mengkonversi energi termal menjadi energi listrik sebesar 35 megawatt/jam atau setara dengan 280.000 megawatt/tahun. Dapat ditinjau juga mengenai efisiensi penggunaan ITF, jika pengolahan sampah dilakukan tanpa ITF bisa mencapai sebesar Rp 362.122/ton, maka dengan menggunakan ITF Sunter dapat mencapai sebesar Rp 246.596/ton. Sehingga didapatkan hasil efisiensi ekonomi pengolahan sampah dengan ITF sebesar Rp 115.526/ton.
Namun energi listrik yang dihasilkan oleh ITF belum dapat memenuhi kebutuhan listrik secara merata, akan tetapi kembali lagi ke tujuan utama bahwa fasilitas pengolahan sampah modern ini untuk ditujukan hanya untuk pengelolaan sampah, bukan sebagai pembangkit listrik utama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa jumlah energi listrik yang dihasilkan oleh ITF hanya sebesar 280.000 megawatt/tahun. Jumlah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan listrik di permukiman yang terdapat di Kecamatan Sunter, sehingga pemerintah menginstruksikan listrik yang dihasilkan oleh ITF dialokasikan hanya untuk fasilitas umum. Dilansir dari laman berita detik.com (2019), energi listrik tersebut akan difungsikan kepada Stadion Jakarta Bersih Manusiawi dan Berwibawa (BMW) atau Jakarta International Stadium (JIS) yang pembangunannya berada dekat dengan lokasi ITF Sunter. Lokasi Stadion BMW yang akan mendapat aliran listrik dari hasil pengolahan sampah di ITF termasuk dalam radius dua kilometer dari lokasi ITF Sunter. Sehingga, dengan adanya pasokan listrik dari ITF ke Stadion BMW akan menambah elemen penilaian terhadap stadion sebagai gedung ramah lingkungan. Dikarenakan listrik yang digunakan berasal dari pengolahan sampah yang berperan untuk mereduksi sampah yang mencemari lingkungan. ITF Sunter dapat menjadi langkah awal dalam perencanaan pengelolaan sampah modern di DKI Jakarta yang mempunyai perencanaan cukup matang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setelah rampungnya pembangunan ITF Sunter dan berjalan sesuai rencana yang diprediksi pemerintah, maka akan dibangun pula ITF lainnya di lokasi yang berbeda. Lokasi yang direncanakan tersebut berada di daerah Marunda, Cakung, dan Duri Kosambi. Setiap ITF diharapkan mampu mengolah sampah yang dikumpulkan dari limbah rumah tangga masyarakat DKI Jakarta. Sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang diangkut langsung ke TPST Bantar Gebang dan mengatasi masalah persampahan yang saat ini tengah dihadapi oleh masyarakat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sumber :
Dheevanadea. 2017. Konflik Antara Pemerintah Provinsi Dki Jakarta Dan Pemerintah Kota Bekasi Dalam Pengelolaan Sampah Bantar Gebang. Tugas Akhir. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Dewi, Monica. 2016. Kebijakan Spasial Sistem Pengelolaan Sampah Studi Kasus: TPA Sekoto Kabupaten Kediri. Tesis. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. 2018. Dokumen Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018. Jakarta.
Hermawan, Fahmi. 2018. Optimization of Tran Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro sportation of Municipal Solid Waste from Source to Intermediate Treatment Facility Using The Nearest Neighbor Method (Study on Six Sub-Districts in DKI Jakarta Province). Journal of Environmental Science and Sustainable Development, 1, 86-99.
Info Geospasial. 2015. Data Shp (Shapefile) Seluruh Indonesia. http://www.info-geospasial.com/2015/10/data-shp-seluruh-indonesia.html diakses pada 4 Agustus 2019.
Jakarta Open Data. 2018. Data Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu. http://data.jakarta.go.id/dataset/data-tps diakses pada 4 Agustus 2019.
OpenStreetMap Indonesia. 2019. https://openstreetmap.id/data-openstreetmap-indonesia/ diakses pada 4 Agustus 2019.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012. Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
Pusparani, Indah Gilang. 2018. Canggihnya Teknologi Insinerasi Sampah di ITF Sunter. Dipublikasikan dalam https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/12/21/canggihnya-teknologi-insinerasi-sampah-di-itf-sunter yang diakses pada 4 Agustus 2019.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Tentang Pengelolaan Sampah.
Unit Pengelola Jakarta Smart City. 2018. Efisien Mengolah Sampah dengan Intermediate Treatment Facility (ITF). Dipublikasikan dalam https://kumparan.com/jakarta-smart-city/efisien-mengolah-sampah-dengan-intermediate-treatment-facility-itf-1540519566294776990 yang diakses pada 3 Agustus 2019. Yuliani, Putri Anisa. 2019. ITF Sunter Akan Salurkan Listrik ke Stadion BMW. Dipublikasikan dalam https://mediaindonesia.com/read/detail/249832-itf-sunter-akan-salurkan-listrik-ke-stadion-bmw.html yang diakses pada 4 Agustus 2019
Solusi Mengatasi Kemacetan Akibat Tidak Adanya Lahan Parkir Ojek Online Di Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota, Uncategorized /by AuthorOleh: Ayu Ratna Sari, Devana Tsintaniarsy Iskandar, Nabila Rahmawati
Sepeda motor merupakan salah satu moda transportasi roda dua yang dapat mendorong segala bentuk aktivitas masyarakat. Saat inipun, sepeda motor telah banyak digunakan sebagai alat pendukung perekonomian masyarakat seperti dijadikan alat untuk mengantar dan menjemput penumpang atau yang kita kenal dengan ojek. Kemajuan teknologi telah membentuk alat transportasi sepeda motor ini lebih mudah untuk membantu perekonomian masyarakat yang bekerja pada bidang transportasi. Contoh kemajuan transportasi yang digunakan untuk membantu perekonomian masyarakat yakni ojek online. Dalam menjalani rutinitas harian, beberapa di antara masyarakat menggunakan moda transportasi berupa bus, kereta, kendaraan pribadi, atau bahkan ojek online tersebut. Saat ini, Ojek online menjadi moda transportasi alternatif populer karena dapat mempercepat waktu perjalanan terutama di Ibukota yang seringkali dilanda kemacetan, serta ojek online lebih nyaman untuk digunakan. Namun meskipun adanya ojek online yang dianggap lebih nyaman dan lebih cepat, nyatanya tidak sepenuhnya dapat mengurangi kemacetan. Kemacetan masih terjadi di beberapa titik di Ibukota. Sayangnya, kemacetan yang terjadi juga dikarenakan oleh ojek online itu sendiri yang seringkali menggunakan bahu jalan untuk menunggu penumpang. Tingginya jumlah ojek online yang berhenti di pinggir-pinggir jalan menyebabkan ruas-ruas jalan tersumbat dan kemacetan tidak dapat terhindarkan. Salah satunya yaitu di Stasiun Palmerah dimana pangkal utama kemacetan terjadi akibat ojek online yang mengambil lebih dari setengah badan jalan. Pemandangan kemacetan di Stasiun Palmerah kerap terjadi pada pagi hari dan sore hari yang merupakan jam-jam keberangkatan dan pulang kerja.
Titik kemacetan terjadi di Jalan Palmerah Timur dan Jalan Tentara Pelajar, dimana posisi kedua jalan tersebut mengapit Stasiun Palmerah, tepatnya di samping kompleks DPR/MPR dan kantor Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Kendaraan datang dari dua arah yang mengakibatkan kendaraan-kendaraan menumpuk di satu jalan dan bertemu di Jalan Palmerah Timur. Sementara di sisi lain dari Jalan Tentara Pelajar, kemacetan juga terjadi dari arah seberangnya. Kemacetan di Jalan Tentara Pelajar diperparah karena bahu jalan dipenuhi oleh pedagang kaki lima, parkir ojek pangkalan, dan ojek online yang memenuhi badan jalan. Sementara itu, pada Jalan Palmerah Timur ojek online telah memenuhi jalan sepanjang 130 meter. Hal ini terjadi akibat tidak tersedianya tempat bagi ojek online untuk menurunkan maupun mengambil penumpang. Dalam mengatasi masalah kemacetan ini, perlu adanya solusi untuk ojek online agar tidak memakan banyak badan jalan. Sementara ini, Dishub, Polisi, Satpol PP telah memberikan solusi jangka pendek yang bisa dilakukan yaitu dengan mengatur para pengemudiojek online agar tidak terlalu memakan banyak badan jalan dengan cara menilang ojek pangkalan dan ojek online yang tidak mematuhi peraturan. Namun solusi tersebut dirasa kurang efektif, sehingga diperlukan solusi jangka panjang seperti pembentukan halte bagi para ojek online untuk area drop-off dan pick-up. Berdasarkan tulisan yang disampaikan oleh Fransiscus dalam laman berita Detik (2019), Kasatpel Dishub Tanah Abang Hendra Hernawan mengatakan bahwa untuk solusi jangka panjang seharusnya terdapat space kosong seperti parkir. Namun, Menurut Hendra sendiri hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan karena tidak adanya lahan yang dapat menampung ojek online tersebut.
Kemacetan di Stasiun Palmerah terjadi pada kedua sisi yakni pada bagian Barat dan bagian Timur. Berikut peta eksisting dan gambar kemacetan kedua sisi di Stasiun Palmerah.
Melihat permasalahan akibat keberadaan ojek online yang terdapat di Stasiun Palmerah, maka artikel ini akan membahas terkait solusi yang dapat diterapkan di Stasiun Palmerah agar keberadaan ojek online tidak mengganggu aktivitas pergerakan di Stasiun Palmerah. Setiap stasiun tentunya memiliki dua pintu keluar dan/atau pintu masuk yakni pintu Barat dan pintu Timur, begitupun dengan Stasiun Palmerah. Setiap pintu masuk dan/atau pintu keluar Stasiun Palmerah terdapat ojek online yang siap untuk melakukan pick-up ataupun drop-off. Berikut peta rencana pick-up dan drop-off ojek online di Stasiun Palmerah.
Pada gambar peta di atas, dapat dilihat bahwa pada bagian Barat bawah akan direncanakan sebagai area pick-up dan drop-off yang terletak di lahan parkir eksisting Stasiun Palmerah. Sementara itu pada bagian pintu Timur Stasiun Palmerah, area rencana pick-up dan drop-off berada tepat di bahu Jalan Palmerah Timur. Kedua rencana area pick-up dan drop-off ojek online di ilustrasikan dan dijelaskan sebagai berikut.
Rencana Pick-up dan Drop-off Ojek Online Pintu Barat Stasiun Palmerah
Pintu Barat Stasiun Palmerah berada di sebelah Barat Stasiun Palmerah. Pada pintu Barat ini terdapat lahan parkir yang cukup luas. Pintu Barat Stasiun Palmerah sendiri memiliki lebar trotoar bagian kiri kurang lebih sebesar 3 m dan bagian kanan kurang lebih sebesar 2 m, sementara itu lebar jalan pintu Barat sebesar kurang lebih 9 m. Hal ini ditunjukkan pada ilustrasi ukuran jalan pintu Barat Stasiun Palmerah, sebagai berikut.
Jika diperhatikan, ukuran jalan pintu Barat Stasiun Palmerah memiliki lebar yang terbilang mencukupi untuk menampung kendaraan dan pejalan kaki. Meskipun ukuran jalan pintu Barat Stasiun Palmerah terbilang lebar, namun nyatanya ukuran jalan ini tidak dapat menampung seluruh pergerakan yang terdapat di Stasiun Palmerah. Hal ini terjadi akibat menumpuknya ojek online yang menempati bahu jalan untuk mengambil pesanan. Penumpukan akibat ojek online ini menyebabkan kemacetan yang panjang di Stasiun Palmerah.
Melihat hal tersebut, maka direncanakannya area pick-up dan drop-off ojek online di Stasiun Palmerah ini yang berada di pintu Barat yang akan direncanakan pada lahan parkir motor eksisting yang terdapat di Stasiun Palmerah. Lahan parkir motor yang terdapat di Stasiun Palmerah melalui pengukuran yang dilakukan dengan dasar citra satelit memiliki panjang bagian Barat kurang lebih 100 meter dan lebar bagian Utara kurang lebih 10 meter serta lebar bagian Selatan kurang lebih 6 meter. Lahan parkir motor yang cukup luas ini akan direncanakan dengan membagi dua bagian area. Pada bagian depan dekat dengan jalan raya akan direncanakan sebagai area pick-up dan drop-off ojek online dengan jalur satu arah. Sementara itu, pada bagian belakang akan direncanakan sebagai area parkiran motor Stasiun Palmerah dengan jalur satu arah. Agar lebih jelasnya, rencana pada pintu Barat ini diilustrasikan sebagai berikut.
Dari rencana pick-up dan drop-off tersebut, tidak akan dilakukan pelebaran jalan karena dalam perencanaan tersebut tidak memakan jalan eksisting yang ada. Selain itu, penulis juga menambahkan lampu merah yang telah di setting selama kurang lebih 10 menit agar ojek online yang melakukan pemberhentian tidak memenuhi area pick-up dan drop-off. Area pick-up dan drop-off ini juga tidak memakan banyak lahan, area pick-up dan drop-off ini hanya memakan lahan selebar 2 m dengan panjang 40 m. Sementara untuk area parkir tetap merupakan sisa dari area pick-up dan drop-off tersebut.
Rencana Pick-up dan Drop-off Ojek Online Pintu Timur Stasiun Palmerah
Pintu Timur Stasiun Palmerah memiliki lebar trotoar bagian kiri kurang lebih sebesar 3 m dan bagian kanan kurang lebih sebesar 2 m yang mencakup kurang lebih 0,75 m sebagai jalur hijau di kedua sisi serta pada bagian tengah terdapat saluran drainase selebar kurang lebih 0,5 m, sementara itu lebar jalan pintu Timur kurang lebih sebesar 7 m. Hal ini ditunjukkan pada ilustrasi ukuran jalan pintu Timur Stasiun Palmerah, sebagai berikut.
Pintu Timur Stasiun Palmerah juga memiliki permasalahan dalam kemacetan akibat menumpuknya ojek online yang mengambil pesanan. Terlebih lagi, pintu Timur Stasiun Palmerah memiliki ukuran jalan yang lebih kecil dari pintu Barat Stasiun Palmerah.
Melihat hal tersebut, maka setelah melalui penelusuran jalan melalui google earth penulis berpendapat bahwa terdapat suatu jalur cukup besar yang dapat dijadikan sebagai area pick-up dan drop-off. Jalur tersebut merupakan area bekas perencanaan monorel. Jalur yang merupakan bekas perencanaan monorel ini masih memiliki tiang-tiang monorel, menurut penulis sendiri jalur ini dapat dijadikan suatu alternatif solusi sebagai area pick-up dan drop-off ojek online karena memiliki lahan yang cukup luas yaitu sekitar 3 m. Melihat potensi tersebut, maka penulis memberikan solusi tersebut dengan merencanakan jalur tersebut diubah menjadi jalan, sehingga pada bagian Timur jalan memiliki luas kurang lebih 11 m yang kemudian dibagi menjadi 2 m untuk area pick-up dan drop-off dan 9 m untuk jalan umum. Berikut keadaan eksisting area bekas monorel.
Jalur yang merupakan bekas perencanaan monorel ini, menurut pendapat penulis dapat dijadikan sebagai area pick-up dan drop-off ojek online dengan membuat jalur tersebut menjadi jalan raya dan menempatkan area pick-up dan drop-off ojek online pada bahu jalan. Berikut ilustrasi rencana pada bagian Timur Stasiun Palmerah.
Tentunya dalam perencanaan pada bagian Timur ini perlunya pengurusan izin terlebih dahulu karena dengan mengubah jalur yang merupakan bekas area perencanaan monorel tersebut tentunya tidak mudah untuk dialihfungsikan. Oleh karena itu, perlunya kerja sama yang terintegrasi antara pihak perusahaan ojek online dengan pemerintah daerah setempat.
Kedua rencana tersebut merupakan solusi yang diberikan oleh penulis untuk mengatasi permasalahan kemacetan di Stasiun Palmerah akibat ojek online yang tidak memiliki lahan untuk melakukan pick-up maupun drop-off. Pada rencana bagian Barat Stasiun Palmerah, perusahaan ojek online dapat melakukan kerja sama dengan PT KAI dalam perencanaan area pick-up dan drop-off ojek online dengan tetap tersedianya lahan parkir motor Stasiun Palmerah. Sementara itu pada bagian Timur Stasiun Palmerah, perusahaan ojek online dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Jakarta Pusat untuk menyediakan lajur khusus ojek online dengan tetap memerhatikan ketertiban pengemudi ojek online. Ketertiban pada bagian Timur ini harus dilakukan secara seksama, yang mana apabila ditemukannya pelanggaran oleh pengemudi ojek online, petugas keamanan harus tegas untuk memberikan penilangan, selain itu perusahaan ojek online juga harus tegas untuk memberikan sanksi kepada pengemudi ojek online yang tidak mematuhi ketertiban di Jalan Palmerah Timur.
Pada dasarnya kemacetan yang disebabkan karena ojek online yang terparkir di bahu jalan juga mengakibatkan kendaraan-kendaraan umum lainnya seperti taksi, angkutan kota, dan ojek pangkalan juga terhambat dalam pergerakan ataupun juga ikut berhenti di bahu-bahu jalan yang menyebabkan jalanan semakin terhambat. Selain itu, kemacetan di Stasiun Palmerah juga semakin diperparah karena terdapat PKL-PKL yang memakan trotoar bahkan bahu jalan. Berikut solusi-solusi yanng dapat diterapkan dan dikaji lebih lanjut karena keterbatasan penulis yang hanya memfokuskan pada ojek online.
Pengaruh Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Terhadap Tata Ruang Kota Tangerang Selatan
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan Kota, Perencanaan Wilayah dan kota /by AuthorOleh : Devana Tsintaniarsy Iskandar
Penerimaan Peserta Didik Baru yang kemudian disingkat menjadi PPDB merupakan penerimaan peserta didik mulai dari tingkat sekolah. Tata cara pelaksanaan PPDB telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 terdapat tiga jalur pendaftaran PPDB yang meliputi jalur zonasi, jalu prestasi, dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali. Artikel ini akan difokuskan pada jalur pendaftaran melalui jalur zonasi.
Jalur zonasi merupakan jalur pendaftaran PPDB yang mengharuskan calon peserta didik untuk mendaftarkan diri di sekolah terdekat dengan domisilinya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menegaskan dalam berita yang disampaikan Kominfo (2019), bahwa PPDB tahun 2019 adalah bentuk penyempurnaan dari sistem zonasi sebelumnya, sistem zonasi juga dilakukan sebagai upaya pemerataan akses dan kualitas pendidikan nasional.
Berdasarkan berita yang dilansir dari Palapa News (2019), Dindikbud Tangerang Selatan telah membagi empat faktor kriteria penilaian untuk calon peserta PPDB. Pembagian empat faktor penilaian tersebut meliputi 30% berdasarkan jarak rumah dengan sekolah, 50% berdasarkan nilai USBN, 10% untuk siswa berprestasi, dan 10% untuk zonasi luar atau perpindahan orang tua/wali. Meskipun begitu, terdapat perbedaan rencana kebijakan antara Wakil Wali Kota Tangerang Selatan dengan Dindikbud Kota Tangerang Selatan. Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie menyampaikan bahwa sistem zonasi di Tangerang Selatan akan ditetapkan per kelurahan. Sementara menurut Kepala Dindikbud Tangerang Selatan, Taryono mengatakan bahwa untuk sistem zonasi per kelurahan tetap akan mempertimbangkan hasil ujian. Sehingga adanya kombinasi antara hasil ujian dengan jarak yang akan menjadi pertimbangan kelulusan.
Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB tentunya berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Dampak yang terjadi akibat sistem zonasi terutama dengan mengutamakan peserta didik yang berjarak lebih dekat dari sekolah akan memengaruhi pergerakan yang terjadi. Pergerakan dapat diartikan sebagai suatu keadan berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Pergerakan juga dapat diartikan sebagai perjalanan yang memiliki definisi yaitu gerakan keluar dari titik asal ke titik tujuan. Rao dan Mathew (2007) mengklasifikasikan perjalanan menjadi tiga kelompok yakni perjalanan berdasarkan tujuan, perjalanan berdasarkan waktu pada hari itu, dan perjalanan berdasarkan tipe orang. Perjalanan berdasarkan tujuan terdiri dari berbagai macam tujuan, bisa perjalanan untuk bekerja, perjalanan untuk sekolah, perjalanan untuk berekreasi, dan perjalanan lainnya dengan tujuan tertentu. Dari seluruh tujuan perjalanan yang disebutkan sebelumnya, tujuan perjalanan untuk bekerja dan bersekolah merupakan perjalanan yang wajib karena menjadi dasar kebutuhan manusia, sementara perjalanan lainnya disebut sebagai perjalanan bebas.
Penerapan sistem zonasi PPDB tentunya dapat memengaruhi tata ruang suatu daerah. Pada artikel ini akan dibahas mengenai sistem zonasi pada Kota Tangerang Selatan untuk melihat pengaruhnya terhadap pergerakan. Adanya perubahan pergerakan akibat penerapan sistem zonasi tentunya menjadi faktor utama yang memengaruhii tata ruang Kota Tangerang Selatan. Sistem zonasi PPDB telah memengaruhii perubahan pergerakan terutama untuk tujuan bersekolah yang merupakan perjalanan wajib. Hal ini juga pernah diteliti oleh Prasetyo (2018) dalam tulisannya yang berjudul “Evaluasi Dampak Kebijakan Sistem Zonasi PPDB Terhadap Jarak Tempat Tinggal dan Biaya Transportasi Pelajar SMA di DIY”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jarak tempat tinggal dengan sekolah dan biaya transportasi pelajar SMA di DIY mengalami penurunan yang signifikan setelah dilakukannya kebijakan sistem zonasi. Prasetyo juga menemukan bahwa waktu tempuh perjalanan pelajar juga mengalami penurunan, sehingga secara tidak langsung hal ini telah berdampak dalam pengurangan kemacetan di DIY.
Dari hasil penelitian Prasetyo, dapat kita ketahui bahwasannya penerapan sistem zonasi PPDB sangat berdampak dalam hal pergerakan yang akan ditempuh. Dari perubahan pergerakan tersebut dapat menjadi suatu kunci utama perubahan tata ruang akibat penerapan sistem zonasi PPDB. Kota Tangerang Selatan sendiri telah membagi zona PPDB menjadi 7 zona, dengan pembagian zona sebagai berikut
Berdasarkan hasil olahan peta zonasi PPDB Kota Tangerang Selatan di atas, dapat dilihat bahwa Kota Tangerang Selatan telah membagi wilayah zonasi ke dalam 7 zona per kecamatan. Setiap zona dibagi lagi pembagiannya per kelurahan dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Siswa dapat mendaftarkan diri dan memilih sekolah-sekolah yang terdekat dengan domisili mereka, sehingga hal ini dapat mengurangi pergerakan yang dilakukan oleh siswa. Penerapan sistem zonasi ini menyebabkan siswa tidak perlu lagi melakukan perjalanan jauh ke sekolah, baik yang berada di luar kecamatannya atau bahkan keluar dari Kota Tangerang Selatan.
Penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan menyebabkan pergerakan siswa akan memusat pada fasilitas pendidikan yang berada di area kelurahan sesuai dengan domisili para siswa. Kalaupun ada siswa yang berasal dari Kelurahan, Kecamatan, ataupun Kabupaten/Kota lainnya hanyalah sedikit pergerakannya. Hal ini disebabkan karena penerimaan siswa diprioritaskan bagi siswa dengan jarak terdekat dengan nilai persentase sebesar 30% berdasarkan jarak rumah dengan sekolah.
Sedikitnya persentase bagi siswa dari zonasi luar atau perpindahan orang tua/wali yaitu hanya sebesar 10%, menyebabkan sedikit pula pergerakan dari luar zonasi. Oleh karena itu secara tidak langsung, penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan juga dapat memengaruhii perubahan tata ruang di Kota Tangerang Selatan akibat terpusatnya pergerakan para siswa yang hanya terjadi di tiap zona yang telah ditentukan, terlebih lagi perjalanan bersekolah yang merupakan perjalanan wajib juga hanya akan terjadi dalam jarak yang dekat akibat kebijakan sistem zonasi.
Dari tabel 1 di atas, Kecamatan Pondok Aren memiliki luas wilayah lebih besar dari kecamatan lainnya. Luasnya wilayah di Pondok Aren ternyata menunjukkan bahwa fasilitas pendidik tingkat SD dan SMP serta jumlah peserta didik di Pondok Aren memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Sementara itu, Kecamatan Setu memiliki luas wilayah lebih kecil dari kecamatan lainnya dengan sebaran fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik yang lebih sedikit juga dari kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik di Kota Tangerang Selatan berdasarkan kecamatan memiliki persebaran yang terbilang merata, karena telah sesuai dengan luas wilayah yang dimiliki tiap-tiap kecamatan.
Meskipun begitu, tabel 1 yang didapat dari BPS Kota Tangerang Selatan Dalam Angka (2017) tidak membagi fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik tingkat SD dan SMP antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Sementara, kebijakan sistem zonasi hanya berlaku untuk sekolah negeri. Terlebih lagi jumlah peserta didik tingkat SD masih merupakan total jumlah siswa dari kelas 1 hingga kelas 6, sementara peserta didik tingkat SMP hanyalah dari kelas 1 hingga kelas 3. Sehingga, adanya perbedaan jumlah peserta yang tinggi antara jumlah peserta didik tingkat SD dengan SMP. Dindikbud Kota Tangerang Selatan melalui berita yang dilansir dari beberapa portal berita daring, menjelaskan bahwa Dindikbud Kota Tangerang Selatan telah menetapkan kuota bagi calon siswa SMP negeri yang akan diterima yakni sebanyak 7.300 siswa dari 22 SMP negeri yang ada di Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, artikel ini akan memberikan suatu perhitungan dengan menggunakan asumsi untuk mengetahui jumlah peserta didik SD kelas 6 atau calon peserta didik SMP.
Adapun perhitungan yang dilakukan oleh penulis, jika jumlah total peserta didik tingkat SD sebesar 130.211 siswa (lihat tabel 1), kemudian diasumsikan SD memiliki jumlah tingkatan kelas yaitu 6 kelas (100%), maka untuk mengetahui jumlah total peserta didik kelas 6 SD yaitu 100% dibagi 6 kelas yakni sebesar 16,667% atau dibulatkan menjadi 17%. Sehingga, 17% dari jumlah total peserta didik tingkat SD yaitu 130.211 adalah sebesar 22.136 siswa kelas 6 SD. Sementara itu, Dindikbud Kota Tangerang Selatan telah menetapkan calon SMP negeri hanya akan diterima sebesar 7.300 siswa, maka sebanyak 14.836 siswa kelas 6 SD atau calon siswa SMP yang perlu diakomodir. Perhitungan ini juga diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Palapa News (2019) yang menyebutkan bahwa dengan ketetapan Dindikbud yang hanya menerima 7.300 siswa di SMP negeri tidak sebanding dengan lulusan SD di Kota Tangerang Selatan sebanyak 23.000 siswa.
Hasil perhitungan dengan asumsi di atas menunjukkan bahwa dengan tingginya jumlah calon peserta didik SMP negeri dan rendahnya persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP di setiap kecamatan, serta Kota Tangerang Selatan yang hanya mengakomodir 7.300 calon siswa SMP, maka hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Karena persebaran fasilitas pendidikan SMP tidak dapat menampung lulusan-lulusan dari tingginya calon peserta didik SMP negeri. Tidak meratanya persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP dengan tingginya jumlah calon peserta didik SMP negeri mengakibatkan banyaknya kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama dengan adanya penerapan kebijakan sistem zonasi saat ini. Selain persebaran fasilitas pendidikan, kekecewaan masyarakat terhadap sistem zonasi juga karena dirasa masih kurangnya kualitas pendidikan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan agar kualitas pendidikan di Kota Tangerang Selatan dapat segera ditingkatkan dan disetarakan. Berdasarkan pembahasan di atas, penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan dapat memengaruhi tata ruang kota karena akan terpusatnya pergerakan siswa dengan jarak terdekat dari domisili mereka. Dengan terpusatnya pergerakan siswa, maka akan mengurangi kemacetan akibat pergerakan ke arah luar zonasi terlebih lagi biasanya pergerakan siswa dilakukan bersamaan dengan pergerakan para pekerja. Selain pergerakan, Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih memiliki tantangan yang cukup besar untuk menambah persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP, serta meningkatkan dan menyetarakan kualitas pendidikan di Kota Tangerang Selatan. Kendati demikian, Pemerintah Kota Tangerang Selatan dapat melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah swasta untuk mengakomodir calon peserta didik SMP negeri yang belum mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di SMP negeri. Sekolah negeri juga dapat menambah kapasitas kelas agar dapat menampung lebih banyak calon peserta didik. Selain itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan perlu menghimbau masyarakat agar tidak hanya mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri namun juga bisa ke sekolah swasta. Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga perlu meningkatkan dan menyetarakan kualitas pendidikan baik tingkat SD maupun SMP di Kota Tangerang Selatan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan seleksi tenaga pengajar yang berkualitas di setiap sekolah. Hal ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan akses kualitas pendidikan yang sama di setiap sekolah, selain itu juga sebagai suatu solusi agar penerapan kebijakan sistem zonasi dapat berjalan dengan lancar.
Daftar Pustaka
BPS. (2018). Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2018. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan.
Deniansyah, R. (2019, April 9). PPDB 2019, Tangsel Berlakukan Sistem Zonasi per Kelurahan. Retrieved from Tangerangnews.com: http://tangerangnews.com/tangsel/read/26677/PPDB-2019-Tangsel-Berlakukan-Sistem-Zonasi-per-Kelurahan
Ihsanuddin. (2019, Juni 20). Ombudsman: Sistem Zonasi Ditolak karena Fasilitas dan Mutu Sekolah Belum Merata. Retrieved from nasional.kompos.com: https://nasional.kompas.com/read/2019/06/20/07393221/ombudsman-sistem-zonasi-ditolak-karena-fasilitas-dan-mutu-sekolah-belum
Kominfo. (2019, Februari 8). Kemendikbud Imbau Pemda Segera Tetapkan Zona Persekolahan dan Juknis PPDB 2019. Retrieved from Kominfo.go.oid: https://palapanews.com/2019/05/13/ini-4-faktor-penilaian-sistem-zonasi-ppdb-2019/
Palapa News. (2019, Mei 13). Ini 4 Faktor Penilaian Sistem Zonasi PPDB 2019. Retrieved from palapanews.com: https://palapanews.com/2019/05/13/ini-4-faktor-penilaian-sistem-zonasi-ppdb-2019/
Palapa News. (2019, Mei 19). Kuota SMP di Tangsel Tak Sebanding Jumlah Murid Lulusan SD. Retrieved from palapanews.com: https://palapanews.com/2019/05/19/kuota-smp-di-tangsel-tak-sebanding-jumlah-murid-lulusan-sd/
Permendikbud. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menngah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permendikbud. (2019). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Prasetyo, J. (2018). EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN SISTEM ZONASI PPDB TERHADAP JARAK TEMPAT TINGGAL DAN BIAYA TRANSPORTASI PELAJAR SMA DI DIY. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Retrieved from etd.repository.ugm.ac.id.
Rao, K. K., & Tom, V. M. (2007). Introduction to Transportation Engineering. Mumbai: Indian Institute of Technology Bombay.
Perencanaan Partisipatif dan Perannya dalam Pembangunan
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota /by adminhandalEndah Septianingrum
Perencanaan parsipatif kini menjadi salah satu pendekatan yang populer dikalangan masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir banyak berbagai campaign, research, dan berbagai proyek pemerintah mengklaim dirinya menggunakan pendekatan perencanaan partisipatif dalam proses pembuatannya. Namun sebenarnya apakah yang dimaksud dengan perencanaan partisipatif? Apakah yang selama ini kita ‘’klaim’’ sebagai perencanaan partisipatif merupakan perencanaan partisipatif yang sesungguhnya? Pentingkah perancanaan partisipatif diterapkan dalam pembangunan?
Definisi Perencanaan Partisipatif
Perencanaan partisipatif adalah sebuah pendekatan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan terkait urusan-urusan publik agar keputusan yang diambil memiliki dasar informasi yang mendekati sempurna (Quasi-Perfect Information) dengan tingkat penerimaan masyarakat yang tinggi.
Berdasarkan definisi diatas dapat dilihat seberapa penting peran masyarakat dalam mengambil keputusan terutama dalam konteks keputusan-keputusan untuk kepentingan publik. Kini bahkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, perencanaan, dan pembuatan kebijakan sudah dijamin dalam konstitusi negara maupun dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu implementasi perencanaan partisipatif di Indonesia dalam pembangunan adalah dengan diadakannya Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).
Perencanaan Partisipatif dalam Konteks Urban
Kawasan perkotaan merupakan ruang lingkup wilayah yang memiliki komplektisitas masalah yang cukup tinggi. Kondisi ini memberikan imbas perencanaan partisipatif langsung dari dan untuk masyarakat menjadi lebih rumit dan panjang. Apakah sebenarnya perencanaan partisipatif sudah diterapkan dengan baik dalam kawasan perkotaan? Apakah solusi yang ditawarkan telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat?
Membangun kota serupa dengan membangun sebuah peradaban perlu penanganan yang komprehensif dan bersifat terpadu. Masyarakat bukan hanya berperan sebagai objek pembangunan
namun juga subjek yang menjalankan proses pembangunan secara masif. Peran masyarakat yang besar terhadap pembangunan menjadikan masyarakat memiliki fleksibitas yang tinggi terhadap ide-ide baru dalam pemecahan berbagai permasalahan perkotaan.
Pembangunan melalui partisipasi masyarakat di kawasan perkotaan dapat digunakan dengan memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumber daya lokal berdasarkan kajian musyawarah pengumpulan ide-ide maupun gagasan baru. Salah satu cara untuk memecahkan masalah menggunakan perencanaan partisipatif diantaranya dapat dilakukan dengan peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran-serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang disusun untuk kawasan perkotaan nantinya.
Sumber
- Abady, P Aryati. 2013. Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan Daerah. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan
- Johana Feri. 2011. Membangun Perencanaan Wilayah Partisipatif Di Kabupaten Aceh Barat.
- ANFISIPUSU.BLOGSPOT.CO.ID/2014/10/JENIS-JENIS-PERENCANAAN
- EEQBAL.BLOGSPOT.CO.ID/2007/12/METODE-PERENCANAAN-PARTISIPATIF-DALAM
Implementasi Konsep Kota Pintar untuk Mengatasi Permasalahan Perkotaan
/0 Comments/in Perencanaan Wilayah dan kota /by adminhandalOleh Tanuda Pedro
Perkembangan perkotaan di Indonesia dewasa kini sangat kompleks. Kompleksitas ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan pola hidup manusia yang tinggal dalam kawasan tersebut. Perkembangan pola hidup masyarakat ini apabila tidak ditangani dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan perkotaan. Salah satunya adalah kemacetan. Kemacetan terjadi karena mobilitas yang tinggi dari warga kota, namun tidak dapat diimbangi oleh penyediaan infrastruktur pergerakan yang memadai baik oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, masih terdapat permasalahan-permasalahan lain yang terjadi karena pengaruh perkembangan pola kehidupan manusia. Apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segara ditangani dengan baik, permasalahan tersebut akan membawa kota-kota di Indonesia pada kondisi pelayanan kota kepada masyarakat yang tidak berjalan dengan efektif dan efisien.
Salah satu gagasan yang dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah dengan konsep kota pintar atau Smart City. Konsep ini sangat mengandalkan teknologi informasi dalam implementasinya. Perkembangan dunia teknologi informasi menjadi latar belakang munculnya konsep kota pintar. Dengan menggunakan konsep ini, kota akan didukung oleh teknologi informasi yang terintegrasi di segala sektor sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan tepat guna dan tepat sasaran.
Sebenarnya konsep kota pintar bukan merupakan konsep yang asing di Indonesia. Sudah banyak kota-kota besar di Indonesia yang mulai menerapkan konsep ini dalam penataan ruangnya. Salah satu contohnya adalah Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Meskipun dalam pelaksanaanya masih belum optimal. Menurut laporan internasional dari Ovum Analysis, kunci kesuksesan Smart Cities ada dua, yaitu Digital City Strategies yang melibatkan inisiatif formal pemerintah kota, serta Digital Society Initiative yang melibatkan gerakan kolaboratif dari masyarakat kota.
Sementara itu, Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat M.Eng memberikan definisi mengenai Smart City yaitu kota yang dapat mengelola semua sumberdaya secara efektif dan efisien dalam menyelesaikan berbagai tantangan, menggunakan solusi inovatif, terintegrasi dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, menurut Suhono, terdapat tiga model yang dapat dijalankan untuk mengimplementasikan konsep kota pintar. Ketiga model tersebut adalah Smart Economy, Smart Society dan Smart Environment. Smart Economy meliputi pengembangan industri, usaha kecil dan menengah, turisme, hingga perbankan. Smart Society meliputi pengembangan kesehatan, pendidikan, layanan publik dan keamanan. Smart Environment meliputi sektor energi, pengelolaan air, lahan dan udara, pengolahan limbah dan manajemen tata ruang.
Aspek-aspek tersebut dapat tercapai apabila terjadi hubungan yang baik antara tiga komponen yakni resources, enabler dan process. Resources merupakan sesuatu yang tersedia dan dapat digunakan oleh kota tersebut. Enabler adalah teknik atau metode apapun yang memungkinkan terlaksananya suatu proses atau aktivitas. Sedangkan Process adalah inisiatif atau kegiatan yang dilakukan oleh Enabler.
Implementasi konsep kota pintar memang membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Hal ini berkaitan dengan penyiapan infrastruktur penunjang. Dalam penyiapan infrastruktur tersebut, pemerintah perlu dukungan dari sektor swasta yang dapat menjadi pelaksana atau investor dalam penyediaan infrastruktur penunjang kota pintar. Selain infrastruktur, hal penting lainnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah perubahan mental masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam pelaksanaan konsep ini. Karena pada banyak kasus ketika pemerintah sudah siap menjalankan konsep penataan kota dengan membangun berbagai infrastruktur pendukung, tetapi masyarakat belum siap menerima perkembangan teknologi yang diterapkan untuk kehidupan perkotaan. Sehingga tidak terjadi kesinkronan dalam pelaksanaan, atau bahkan infrastruktur yang sudah dibangun baik oleh pemerintah maupun oleh swasta akan rusak akibat kurangnya kesadaran untuk menjaga infrastruktur oleh masing-masing stakeholder.
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat merupakan tiga komponen utama keberhasilan penataan suatu kota. Pemerintah sebagai inisiator dapat membuat forum-forum mengenai kota pintar atau membuat dewan kota pintar dimana sektor swasta dan masyarakat dapat terlibat aktif tidak hanya dalam penyampaikan suara, tetapi dalam memutuskan kebijakan. Sehingga akan menciptakan rasa memiliki oleh ketiga komponen utama ini. Sehingga apabila masing-masing komponen sudah memiliki rasa saling memiliki dan tanggung jawab, maka pelaksanaan kota pintar akan berjalan tepat guna dan tepat sasaran.
Ada Pertanyaan?
- Layanan Tanya Jawab