Efisiensi Penyemprotan Tanaman Anda Dengan T20P

Oleh: Arszandi Pratama, S.T., M.Sc., Tike Aprillia S.T, dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T.,

Efisiensi Penyemprotan Tanaman Anda Dengan T20P

Teknologi drone selalu update setiap tahun untuk menawarkan performa terbaik dalam memenuhi kebutuhan survei maupun penyemprotan tanaman. Kali ini, PT KHS meningkatkan performa di bidang penyemprotan tanaman dengan bantuan teknologi DJI Agras T20P. apa keunggulan dari drone tersebut? Mampukah drone tersebut bekerja lebih efektif dalam mendukung pekerjaan spraying lahan anda? Yuk kita simak!

DJI AGRAS T20P drone terbaru dari DJI Agriculture yang ringan dan gesit, mampu membawa spray load (muatan penyemprotan) hingga 20 kg dan spread load 35 L , Lebar semprotan 7 m, efisiensi operasi lapangan 12 hektar /jam, efisiensi operasi kebun 2,67 hektar /jam, efisiensi penyebaran pupuk 1 ton /jam.

Drone ini dilengkapi dengan Dual Atomized Spraying System, DJI Terra, Active Phased array Radar, dan Binocular Vision. Penggunaan drone ini mendukung banyak misi mulai dari survei, pemetaan, hingga penyemprotan dan penyebaran, membantu Anda mencapai presisi tertinggi dalam operasi pertanian anda.

Specifications:

  1. Operating Efficiency (Per Hour) : 12 Ha/jam (pertanian), 2,6 Ha/jam (kebun), 1 ton pupuk/ jam
  2. Spray Tank Volume : 20L
  3. Max Spray Rate : 12 L/min (with 2 double-atomizing centrifugal nozzles) memastikan penyemprotan yang merata dan penggunaan pestisida yang lebih efisien. Katup sentrifugal eksklusif mencegah kebocoran, menghindari pemupukan berlebihan, polusi, dan mengurangi penggunaan pestisida sekaligus melindungi lingkungan.

Keunggulan:

  1. Peningkatan Efisiensi dan Performa Hebat

Dengan lebar semprotan 7m, DJI Agras T20P mencapai efisiensi operasi lapangan yang mengesankan sebesar 12 ha/jam, efisiensi operasi kebun sebesar 2,67 ha/jam dan proses menyebarkan air dll dapat secara efektif sebesar 1 ton/jam. Efisiensi ini dimungkinkan karena memiliki Dual Atomized Spraying System, DJI Terra, Active Phased Array Radar, dan Binocular Vision. Teknologi tersebut yang memungkinkan drone untuk mendukung banyak operasi mulai dari survei dan pemetaan hingga penyemprotan dan penyebaran dengan kinerja optimal.

  1. Teknologi Canggih Untuk Peningkatan Fungsi Yang Optimal

T20P dilengkapi dengan dual atomized centrifugal nozzles yang menghasilkan penyemprotan lebih merata, memastikan cakupan penyemprotan yang lebih baik dan penetrasi bahan kimia ke dalam tanaman, yang pada akhirnya mencegah penyumbatan. Drone T20P dapat mengatur ukuran penyemprotan dari jarak jauh menggunakan pengontrol, memungkinkan beradaptasi dengan berbagai jenis dan kondisi tanaman. Drone’s magnetic drive impeller pump memisahkan motor pompa dari bahan kimia yang dipompa, mencegah korosi dan memperpanjang umur peralatan.

  1. Pengontrol Yang Mudah Digunakan

Dapat memetakan 6,67 hektar (16,48 acre) hanya dalam 10 menit dengan layar besar 7 bright large screen dan octa-core processor. Perencanaan jalur penerbangan yang cerdas membantu menghindari kelebihan atau kekurangan muatan, memastikan tingkat aplikasi yang optimal untuk berbagai tugas pertanian. Controller’s intuitive interface memungkinkan pengoperasian yang lebih lancar, memungkinkan Anda untuk fokus pada tugas yang ada.

  1. Peningkatan Keselamatan Keamanan Penerbangan

DJI Agras T20P memiliki fitur penghindaran rintangan dengan Active Phased Array Radar dan Binocular Vision, yang memungkinkannya mendeteksi dan menghindari rintangan secara real-time. Penginderaan rintangan segala arah 360°, dikombinasikan dengan medan yang cerdas, memastikan bahwa drone dapat menavigasi lingkungan yang kompleks dengan aman. Jangkauan deteksi radar mencapai hingga 50 m (164 kaki), dan medan 3D berikut menyediakan penerbangan mulus di berbagai lanskap, mengurangi risiko kecelakaan dan kerusakan tanaman.

  1. Tingkat Penyemprotan Yang Optimal

Desain T20P menawarkan laju pengeluaran 12 L/mnt (3,17 gal/mnt) dengan desain penggerak magnetnya, mencegah korosi bahan kimia dan memastikan aplikasi yang konsisten dan presisi. Dual atomized centrifugal sprinklers dapat memastikan penyemprotan merata, sementara proprietary centrifugal valve mencegah kebocoran, mengurangi limbah, dan potensi dampak lingkungan. Pemantauan tingkat pestisida secara real-time membantu memperkirakan kapan pengisian ulang diperlukan, mengoptimalkan alur kerja, dan mengurangi waktu henti.

  1. Sangat Multiguna Untuk Melakukan Survei dan Penyemprotan

Drone ini dilengkapi dengan kamera FPV ultra-HD 12MP dan adjustable gimbal angles yang dapat disesuaikan untuk akuisisi data secara real-time, Teknologi tersebut memberikan wawasan berharga untuk pengelolaan tanaman dan pengambilan keputusan. Hal tersebut juga dapat melakukan rekonstruksi peta tanpa koneksi internet penuh, sehingga ideal untuk digunakan di daerah terpencil. Teknologi canggih drone secara otomatis mendeteksi batas dan rintangan, memastikan pengoperasian yang aman dan efisien.

  1. Hemat Energi dan Pengisian Cepat

DJI Agras T20P menampilkan generator multifungsi frekuensi variabel 6kW, yang mengoptimalkan penggunaan energi sambil mempertahankan kinerja. Modul pengisian daya yang dapat dilepas dapat dihubungkan ke daya utilitas untuk menambah kenyamanan, dan Intelligent 13.000 mAh.

Demi meningkatkan performa dan keunggulan kami dalam jasa penyemprotan dan pemetaan. PT.KHS melakukan peningkatan teknologi drone spraying terbarukan dengan pengadaan drone DJI Agras T20P. Dengan teknologi ini, kami terus konsisten untuk mewujudkan mekanisasi pada pertanian, perkebunan, dan kehutanan Indonesia. Kami yakin dapat meningkatkan efisiensi penyemprotan tanaman lebih Cepat, Merata, Mudah, dan Aman. Yuk bermitra dengan kami!!

REFERENSI

  1. https://talosdrones.com/products/dji-agras-t20p-sprayer-drone
  2. https://www.dji.com/id/t20p

Pertanian Indonesia Terancam Fenomena El Nino

Oleh: Arszandi Pratama, S.T., M.Sc., Akhmad Abrar A.H. S.T., Tike Aprillia S.T, Warid Zul Ilmi, S.P.W.K., dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T.

Pertanian Indonesia Terancam Fenomena El Nino

Indonesia di prediksi akan terjadi fenomena perubahan cuaca ekstrem di tahun 2023. Dalam prediksi Badan Meteorologi Klmatologi dan Geofiisika (BMKG), musim kemarau akan berlangsung kering karena El Nino di Tahun 2023. Fenomena tersebut terjadi karena aliran masa udara bergerak ke Samudera Pasifik. Bagaimana prediksi El Nino di Indonesia? Sektor apa yang paling berdampak? Yuk kita bahas.

El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 2-7 tahun dan bertahan hingga 12-15 bulan. Ciri-ciri terjadi El Nino adalah meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Taufiq & Marnita, 2011)

Beberapa faktor penyebab terjadinya El Nino dan La Nina diantaranya anomali suhu yang mencolok di perairan samudera pasifik, melemahnya angin passat (trade winds) di selatan pasifik yang menyebabkan pergerakan angin jauh dari normal, kenaikan daya tampung lapisan atmosfer yang disebabkan oleh pemanasan dari perairan panas dibawahnya. Hal ini terjadi di perairan peru pada saat musim panas, serta adanya perbedaan arus laut di perairan samudera pasifik (Tjasyono, 2002).

Lebih lengkapnya, El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru, Equador (Amerika Selatan) yang mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu air permuakaan laut di daerah dingin, karena adanya ”up welling” arus dari dasar laut menuju permukaan. Proses Terjadinya El Nino Indonesia adalah pada saat-saat tertentu air laut yang panas dari perairan Indonesia bergerak ke arah timur menyusuri equator, hingga sampai ke pantai barat Amerika Selatan (Peru-Bolivia). Pada saat yang bersamaan, air laut yang panas dari pantai Amerika Tengah bergerak ke arah selatan, hingga sampai ke pantai barat Peru, Equador. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pertemuan antara air laut yang panas dari Indonesia dengan air laut yang panas dari Amerika Tengah di pantai barat Peru-Equador. 

Selanjutnya, dengan berkumpulnya massa air laut panas dalam jumlah yang besar dan menempati daerah yang luas. Permukaan air laut yang panas tersebut, kemudian menularkan panasnya pada udara di atasnya, sehingga udara di daerah itu memuai ke atas (konveksi), dan terbentuklah daerah bertekanan rendah, di pantai barat Peru, Equador. Akibatnya angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air, sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang.

Lalu, sektor apa yang sangat rentan dengan fenomena iklim ini?

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Global Information and Early Warning System on Food and Agriculture (GIEWS) memprediksi kondisi kering di Indonesia akan berlangsung dari Juni 2023 hingga Januari 2024. Mereka juga memperingatkan Indonesia untuk segera menyusun rencana penanggulangan fenomena El Nino yang akan berdampak besar terhadap sektor pertanian.

Fenomena tersaebut diperparah dengan dengan kemunculan Indian Ocean Dipole (IPD) positif, menghangatnya muka air barat Samudra Hindia, yang diperkirakan muncul sepanjang Juni-September 2023. Kombinasi keduanya berpotensi menurunkan curah hujan secara ekstrem hingga 200 milimeter (mm) per bulan dan dapat berdampak kepada pertumbuhan produksi padi lebih dari minus lima persen.

Fenomena iklim yang mengelilingi kepulauan Indonesia ini menyimpan bahaya laten terhadap resiliensi pertanian ke depan. Kemarau yang berkepanjangan akan mengganggu produksi musim tanam padi pada April-Juli dan menggeser awal musim tanam utama November-Maret.

Hal yang harus diwaspadai petani dari fenomena el nino

  1. Kekeringan: El Nino sering dikaitkan dengan peningkatan suhu permukaan laut dan penurunan curah hujan di beberapa wilayah. Hal ini dapat menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan, mengurangi ketersediaan air untuk pertanian. Tanaman membutuhkan air yang cukup untuk tumbuh dengan baik, dan kekurangan air dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan mengurangi hasil panen.
  2. Gangguan Musim Tanam: El Nino dapat mengganggu musim tanam dan mengubah pola cuaca yang biasanya terjadi. Perubahan ini dapat menyebabkan penundaan dalam penanaman tanaman, penurunan luas tanam, atau bahkan kegagalan panen. Petani perlu memperhatikan perubahan cuaca yang terkait dengan El Nino agar dapat menyesuaikan jadwal tanam mereka.
  3. Penyakit dan Hama: El Nino dapat mempengaruhi persebaran penyakit dan hama tanaman. Perubahan kondisi cuaca dapat menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi beberapa penyakit dan hama. Ini dapat menyebabkan penyebaran yang lebih cepat dan lebih luas dari serangan penyakit dan hama, yang dapat merusak tanaman dan mengurangi hasil panen.
  4. Penurunan Kualitas Tanaman: Kondisi cuaca yang ekstrem yang terkait dengan El Nino, seperti suhu yang tinggi dan kekurangan air, dapat menyebabkan penurunan kualitas tanaman. Buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dalam kondisi yang tidak ideal cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil, rasa yang kurang enak, dan kualitas yang buruk secara keseluruhan.
  5. Ketidakstabilan Pasar: Perubahan dalam produksi pertanian akibat El Nino dapat menyebabkan ketidakstabilan pasar. Jika panen berkurang atau gagal, pasokan dapat berkurang, yang dapat menyebabkan kenaikan harga dan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Hal ini dapat mempengaruhi petani, pedagang, dan konsumen secara keseluruhan.

Pencegahan yang tepat untuk sektor pertanian

Untuk mengurangi dampak El Nino, penting bagi petani dan pemangku kepentingan dalam sektor pertanian untuk memantau perkembangan cuaca dan mengambil langkah-langkah tindakan pencegahan yang tepat, antara lain: 

  1. Pemantauan Cuaca: Penting untuk terus memantau perkembangan cuaca dan memperhatikan peringatan dini terkait El Nino. Dengan memahami perubahan pola cuaca yang terkait dengan El Nino, petani dapat mengatur jadwal penanaman, irigasi, dan pemeliharaan tanaman secara lebih efektif.
  2. Konservasi Air: Mengingat El Nino dapat menyebabkan kekeringan, konservasi air menjadi sangat penting. Petani perlu mengadopsi teknik irigasi yang efisien, seperti tetes air atau irigasi berkebun yang tepat sasaran, untuk menghemat air. Mereka juga dapat mempertimbangkan pengumpulan air hujan atau penggunaan sumber air alternatif jika memungkinkan.
  3. Diversifikasi Tanaman: Pertanian yang lebih beragam dapat membantu mengurangi risiko terhadap gangguan iklim. Petani dapat mempertimbangkan menanam varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi kering atau panas. Diversifikasi tanaman juga dapat membantu mengurangi risiko kegagalan panen total jika satu jenis tanaman terpengaruh oleh El Nino.
  4. Manajemen Penyakit dan Hama: El Nino dapat mempengaruhi persebaran penyakit dan hama tanaman. Petani perlu memperhatikan peningkatan risiko serangan penyakit dan hama selama periode El Nino. Langkah-langkah pengendalian yang tepat, seperti penggunaan pestisida yang efektif dan penerapan praktik pertanian yang baik, dapat membantu mengurangi kerugian yang disebabkan oleh serangan tersebut.
  5. Penggunaan Teknologi dan Informasi: Pemanfaatan teknologi pertanian dan informasi cuaca dapat membantu petani dalam mengatasi dampak El Nino. Misalnya, penggunaan sensor tanah untuk mengukur kelembaban tanah, penggunaan aplikasi cuaca untuk memantau perubahan cuaca, atau memanfaatkan sistem peringatan dini dapat membantu petani mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi El Nino.
  6. Dukungan Pemerintah dan Lembaga Terkait: Penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan kepada petani dalam menghadapi dampak El Nino. Ini dapat meliputi penyediaan informasi, bantuan keuangan, pelatihan, atau bantuan teknis dalam pengelolaan pertanian yang berkelanjutan.

Referensi

  1. https://tanamanpangan.pertanian.go.id/detil-konten/iptek/152. Diakses pada 16 Mei 2023.
  2. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230127145744-199-905682/bmkg-prediksi-el-nino-hampiri-ri-bikin-kemarau-2023-lebih-kering. Diakses pada 16 Mei 2023.
  3. Sani Safitri. 2015. EL NINO, LA NINA Dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Di Indonesia. Jurnal Criksetra Volume 4 No.8. FKIP Universitas Sriwijaya.
  4. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/15/menjaga-asa-petani-menghadapi-el-nino. Diakses pada 16 Mei 2023.

Penggunaan Drone Dalam Pengawasan Jalan

Oleh: Arszandi Pratama, S.T., M.Sc., Akhmad Abrar A.H. S.T., Tike Aprillia S.T, Dandy Muhamad Fadilah, S.T., dan Warid Zul Ilmi, S.P.W.K.

Pembangunan infrastruktur jalan yang ada di Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak dilakukan karena masalah kemacetan dan kebutuhan akan peningkatan ekonomi yang  semakin meningkat. Makin tinggi arus lalu lintas, semakin besar dimensi yang diperlukan. (Koloway 2009 dalam Dhia Kamal Irfan dkk 2020)  Dengan adanya pengembangan dan pembangunan jalan secara terus-menerus, diperlukan pengawasan jalan untuk  memastikan kondisi jalan tetap dalam keadaan baik.

Pengawasan jalan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan sesuai dengan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Pengawasan Jalan harus dilakukan secara teratur untuk memastikan bahwa kondisi jalan tetap terjaga, sehingga dapat meminimalkan risiko terjadinya kecelakaan, kemacetan serta melakukan pengawasan dan perbaikan kondisi jalan yang sudah rusak.

Pengawasan jalan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara manual, survei langsung ke lapangan, maupun menggunakan berbagai teknologi masa kini. Seperti yang telah dilakukan oleh Polisi Daerah Jawa Tengah seperti yang Dilansir dari kontan.co.id, beberapa waktu lalu mereka telah melakukan uji coba tilang menggunakan teknologi drone. Adapun manfaat lainnya dari penggunaan teknologi drone yang berkaitan dengan pengawasan jalan adalah sebagai berikut:

  1. Pengawasan Titik Kemacetan

Drone dapat lebih efektif dalam pengawasan lalu lintas yang dapat menjangkau wilayah lebih luas. Pengawasan lalu lintas biasanya dilakukan dengan menggunakan kamera statis yang ditempatkan di sudut jalan dan kamera ponsel yang dioperasikan oleh anggota secara mobile. Saat ini penggunaan drone menjadi salah satu alternatif pengawasan lalu lintas. Metodenya adalah dengan menyebar beberapa drone di titik-titik kemacetan sehingga petugas penanganan akan langsung dikerahkan ke titik macet tersebut. 

  1. Tilang Elektronik

Saat ini kepolisian dalam melakukan kegiatan tilang elektronik telah melakukan uji coba penggunaan teknologi drone. Penggunaan drone ini memiliki sejumlah kelebihan yaitu 1. Memantau jenis pelanggaran orang yang melawan arus lalu lintas. Pada pelanggaran ini, drone bisa melihat lebih jelas pelanggaran yang terjadi karena memantau secara keseluruhan dari ketinggian yang cukup untuk melihat satu kawasan. 2. Pelanggaran terkait penggunaan sabuk pengaman (seat belt) Karena kamera drone dapat menangkap dengan jelas pelanggar yang tidak mengenakan seatbelt. Selain itu penggunaan drone untuk pengawasan pelanggaran lalu lintas ini juga memiliki keunggulan terkait jarak pantaunya. Di mana jarak pantau drone bisa mencapai 1 kilometer.

  1. Perawatan Jalan

Pada proses perawatan jalan, drone dapat membantu menghasilkan data foto udara, di mana secara lebih jelas dapat diketahui data titik kerusakan jalan dan tingkat kerusakan jalannya. Dengan menggunakan drone, pengambilan keputusan akan jauh lebih cepat, dan penanganannya dapat segera ditindaklanjuti.

  1. Evaluasi Geometri Jalan

Berdasarkan penelitian Evaluasi Geometri Jalan Menggunakan UAV Dengan Aplikasi Agisoft Photoscanner Pada Jalan Meranti Kampus IPB Dramaga yang dilakukan oleh Dhia Kamal Irfan. dkk. tahun 2020, dengan penggunaan drone, pekerjaan evaluasi geometri jalan dapat dilakukan. Caranya adalah dengan pemanfaatan data foto udara, lebar jalan, dan koordinat serta elevasi dari titik kontrol tanah (Ground Control Point). Dengan informasi data DEM (Digital Elevation Model) dari LiDAR tersebut akan dicari perbedaan kesamaan elevasinya dengan kondisi eksisting jalan.

Dengan perkembangan teknologi saat ini, semua industri mulai mengembangkan penggunaan teknologi-teknologi terbaru untuk membuat pekerjaan lebih efektif dan efisien. Pengawasan jalan menggunakan teknologi drone, dapat membuat pekerjaan lebih cepat selesai dengan hasil data yang jauh lebih akurat. 

Sumber:

  1. Dhia Kamal Irfan. dkk. 2020. Evaluasi Geometri Jalan Menggunakan UAV Dengan Aplikasi Agisoft Photoscanner Pada Jalan Meranti Kampus IPB Dramaga. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Vol. 05 No. 02, Agustus 2020. DOI: 10.29244/jsil.5.2.101-114
  1. Muhammad Fadli. 2023. Uji Coba Tilang Elektronik Pakai Drone: 10 Menit Jaring 9 Pengendara. https://www.asumsi.co/post/76778/uji-coba-tilang-elektronik-pakai-drone-10-menit-jaring-9-pengendara/.
  2. Barratut Taqiyyah Rafie. 2022. Ini Jenis Pelanggaran Tilang yang Dipantau dengan Drone, Pengemudi Harus Tahu. https://regional.kontan.co.id/news/ini-jenis-pelanggaran-tilang-yang-dipantau-dengan-drone-pengemudi-harus-tahu. Diakses 10 April 2022.

Pembentukan Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama & Galuh Shita

Pembentukan Desa Tangguh Bencana tertuang dalam Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Secara umum, pembentukan desa ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas desa dalam menghadapi bencana. Keterlibatan seluruh stakeholder terkait, khususnya masyarakat desa, sangat penting untuk dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan masyarakat desa merupakan pemeran utama dari desa tangguh bencana sehingga mereka harus memahami dan mampu terlibat langsung dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Upaya penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama seluruh stakeholder, yakni pemerintah, lembaga non-pemerintah, dunia usaha, dan yang terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, sesuai dengan definisi yang tertuang di dalam Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Kemampuan mandiri memiliki arti serangkaian upaya yang dilakukan sendiri dengan memberdayakan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki masyarakat desa untuk mengenali ancaman dan risiko bencana yang dihadapi, meliputi juga evaluasi dan monitoring kapasitas yang dimilikinya.

Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat selama proses kegiatan berlangsung. Selain itu, melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota setempat, sebagai pengelola kegiatan secara menyeluruh yakni dari awal hingga akhir pembentukan serta komitmen untuk melakukan replikasi destana di desa/kelurahan lainnya. BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menjadikan masyarakat dan fasilitator desa tangguh bencana sebagai aset daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Terdapat beberapa prinsip utama dalam pembentukan Desa Tangguh Bencana. Berdasarkan Perka BNPB, prinsip tersebut terdiri atas: bencana merupakan urusan bersama; berbasis pengurangan risiko bencana; pemenuhan hak masyarakat; masyarakat menjadi pelaku utama; dilakukan secara partisipatoris; mobilisasi sumber daya lokal; inklusif; berlandaskan kemanusiaan; keadilan dan kesetaraan gender; keberpihakan pada kelompok rentan; transparansi dan akuntabilitas; kemitraan; multi ancaman; otonomi dan desentralisasi pemerintahan; pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan; dan diselenggarakan secara lintas sektor. Pemerintah juga mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 8357-2017 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana dimana di dalamnya terdapat prinsip Desa Tangguh Bencana secara lebih ringkas, yakni:

  • Menggunakan pendekatan multi bahaya
  • Berlandaskan asas perlindungan masyarakat dan berfokus pada upaya pengelolaan risiko
  • Berpusat pada masyarakat
  • Pelibatan seluruh stakeholder
  • Berbasis ilmu pengetahuan dan kearifan lokal
  • Dilakukan berkala dan berkesinambungan
  • Akuntabilitas sosial
  • Integrasi ke dalam perencanaan pembangunan

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, dapat digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana melalui pembentukan desa bencana sebagian besar menekankan pada peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama. Masyarakat didorong untuk dapat terlibat aktif dalam seluruh proses, meliputi pengkajian, analisis, pemantauan, hingga evaluasi sehingga diharapkan akan dapat mengurangi risiko bencana yang terdapat pada wilayahnya dengan mampu memaksimalkan sumber daya lokal.

Secara umum, Desa Tangguh Bencana memiliki komponen-komponen pembentuk seperti berikut:

  • Legislasi, merupakan komponen penyusunan peraturan desa yang mengatur pengurangan risiko dan penanggulangan bencana di tingkat desa
  • Perencanaan, merupakan komponen penyusunan rencana penanggulangan bencana desa; rencana kontijensi bila menghadapi ancaman tertentu; serta rencana aksi pengurangan risiko bencana komunitas (yang menjadi bagian terpadu dari rencana pembangunan)
  • Kelembagaan, merupakan komponen pembentukan forum penanggulangan bencana desa/kelurahan yang berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat, kelompok/tim relawan penanggulangan bencana di dusun, RT dan RW, serta pengembangan Kerjasama antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya dalam mendorong upaya pengurangan risiko bencana
  • Pendanaan, merupakan komponen rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari APBD Kabupaten/Kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektor swasta atau pihak-pihak lain bila dibutuhkan)
  • Pengembangan kapasitas, merupakan komponen pelatihan, pendidikan, dan penyebaran informasi kepada masyarakat, khususnya kelompok relawan dan para pelaku penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan berperan aktif sebagai pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana
  • Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, merupakan komponen kegiatan-kegiatan mitigasi fisik struktural dan non fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuk tanggap darurat; serta segala upaya pengurangan risiko melalui intervensi pembangunan dan program pemulihan, baik yang bersifat structural-fisik maupun non-struktural.

Pembentukan Desa Tangguh Bencana sangat mungkin untuk dilakukan, dengan syarat masyarakat mau dan mampu terlibat aktif. Diharapkan desa akan memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana dan memahami langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risikonya. Pembentukan Desa Tangguh Bencana dimulai dengan melakukan analisis terhadap desa sasaran. Analisis dilakukan dengan menjawab beberapa kuesioner yang terdapat pada lampiran Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Nantinya, hasil kuesioner akan menghasilkan skoring yang akan menentukan kelas Desa Tangguh Bencana yang akan ditetapkan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
  • Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 8357-2017 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana
  • BNPB. 2017. “524 Desa Tangguh Bencana”. Diakses 19 Juli 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/524-desa-tangguh-bencana
  • Antaranews. 2020. “Memperkuat mitigasi lewat desa tangguh bencana”. Diakses 19 Juli dari https://www.antaranews.com/berita/1850900/memperkuat-mitigasi-lewat-desa-tangguh-bencana

Sekolah Siaga Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Upaya pengurangan bencana perlu untuk diimplementasikan pada berbagai bidang, mengingat upaya pengurangan risiko bencana memang tidak dapat dilakukan hanya melalui satu pihak saja. Hal ini juga termasuk di dalamnya adalah sektor pendidikan. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana yang cukup beragam. World Bank menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko ancaman bencana yang tinggi. Dilansir dari data yang dikeluarkan oleh United Nation International Strategy For Disaster, sebanyak 60% anak-anak di dunia bahkan merupakan korban bencana alam. Dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana, anak-anak termasuk ke dalam golongan kelompok rentan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di Indonesia. Dampak negatif akibat bencana tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalisir dampaknya dengan melakukan rencana mitigasi yang matang. Hal ini bertujuan untuk dapat meminimalisir dampak negatif yang mungkin saja terjadi. Sebagian besar anak umumnya akan menghabiskan sebagian harinya di sekolah. Seperti diketahui sekolah merupakan salah satu jenis fasilitas umum yang memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas masyarakat di Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa satuan pendidikan masih rentan terhadap bencana. Dalam satu dekade terakhir, terdapat 12 juta anak di 60 ribu sekolah yang terdampak akibat bencana. Sekitar 70% satuan pendidikan berada di lokasi rawan bencana. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan mitigasi bencana melalui sektor pendidikan, salah satunya adalah peningkatan kewaspadaan terhadap bencana melalui penyelenggaraan sekolah siaga bencana dengan meluncurkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) merupakan salah satu upaya mitigasi bencana pada sektor pendidikan yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan menggandeng berbagai pemangku kebijakan untuk terlibat dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat, salah satunya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Program SPAB didukung oleh pemerintah melalui Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana). Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa penyelenggaraan program SPAB bertujuan untuk:

  • meningkatkan kemampuan sumber daya di Satuan Pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi Risiko Bencana;
  • meningkatkan kualitas sarana dan prasarana Satuan Pendidikan agar aman terhadap Bencana;
  • memberikan perlindungan dan keselamatan kepada Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dari dampak Bencana di Satuan Pendidikan;
  • memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada Satuan Pendidikan yang terdampak Bencana;
  • memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik Risiko Bencana dan kebutuhan Satuan Pendidikan;
  • memulihkan dampak Bencana di Satuan Pendidikan; dan
  • membangun kemandirian Satuan Pendidikan dalam menjalankan Program SPAB.

Dilansir dari indobalinews, Direktur Mitigasi Bencana BNPB, Jhony Sumbung, mengatakan bahwa tujuan diadakannya SPAB ialah untuk memberikan edukasi dan membangun kesiapsiagaan masyarakat secara signifikan dimulai pada satuan pendidikan yaitu lingkungan sekolah mulai dari siswa, guru dan orang tua siswa. Satuan Pendidikan Aman Bencana merupakan salah satu pilar dari pengurangan risiko bencana yang ada di Indonesia.

Pilar Kebijakan Dan Perencanaan Sektor Pendidikan Yang Disesuaikan Dengan Manajemen Bencana

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Prinsip utama program SPAB:

  • Berpusat pada anak, dimana anak dilibatkan sesuai dengan kemampuan dan minatnya serta seluruh tindakan berdasarkan kebutuhan spesifik anak
  • Kegiatan dimulai dengan melakukan kajian risiko yang melibatkan seluruh tindakan pihak sekolah, termasuk anak-anak
  • Sejalan dengan kebijakan dan perencanaan sektor pendidikan serta selaras dengan rencana penanggulangan bencana di daerah setempat

Meski begitu, berdasarkan data dari Kemendikbud, masih terdapat beberapa permasalahan yang selama ini menjadi kendala terhambatnya kegiatan SPAB di Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

Pengetahuan, regulasi, dan pendanaan

Ketidakpahaman warga satuan pendidikan dalam mengenal lingkungannya yang berada dalam area/zona bahaya bencana, sehingga tidak ada kepedulian untuk menjadikan satuan pendidikannya siap dalam menghadapi bencana. Selain itu, umumnya kegiatan SPAB dianggap sebagai beban tambahan kepala satuan pendidikan dan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tugas utama mereka mengajar menjadi berkurang. SPAB juga dianggap hanya sebatas program yang hanya bisa bertahan 1- 3 tahun, setelah waktu berakhir, maka berakhir pula programnya. Belum adanya regulasi yang kuat terkait SPAB serta belum masuknya program SPAB pada semua satuan Pendidikan terutama Pendidikan di SKB/PKBM dan Madrasah membuat satuan pendidikan menganggap tidak penting kegiatan tersebut.

Kelembagaan

Berdasarkan Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019, pengelolaan SPAB di tingkat pusat dilakukan oleh Sekretariat Nasional (Seknas) SPAB, dan di tingkat provinsi serta kabupaten/kota dilakukan oleh Sekretariat Bersama (Sekber) SPAB. Sejak diterbitkannya Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019, permasalahan yang masih ditemui tentang kelembagaan pengelola SPAB adalah:

  1. Belum semua provinsi dan kabupaten/kota membentuk Sekber SPAB.
  2. Provinsi dan kabupaten/kota yang telah membentuk Sekber SPAB belum melibatkan semua pihak yang ikut serta dalam implementasi SPAB di wilayahnya.
  3. Mekanisme pengelolaan Sekber SPAB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019.
  4. Belum ada keselarasan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi implementasi SPAB dengan menggunakan perangkat yang sama.

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dalam implementasi SPAB meliputi pengelola, fasilitator, dan pelaku. Masih belum terdapat upaya yang nyata untuk meningkatkan kapasitas pelaksana SPAB di sekolah pasca pembentukan SPAB serta belum adanya mekanisme penghargaan untuk meningkatkan motivasi bagi para pelaku SPAB di satuan pendidikan, baik pendidik, tenaga kependidikan, dan Tim Siaga Bencana.

Peran Serta Masyarakat

Keberhasilan implementasi SPAB ikut ditentukan oleh adanya peran serta masyarakat. Permasalahan pada sektor ini adalah berupa minimnya peran serta masyarakat terlembaga seperti Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Forum Tutor Pendidikan Kesetaraan Nasional dalam mendukung implementasi SPAB secara merata di seluruh wilayah serta masih belum adanya sinkronisasi antara SPAB dengan upaya-upaya PRB yang lain seperti Keluarga Tangguh Bencana (KATANA) dan Desa Tangguh Bencana (DESTANA).


Bahan Bacaan

  • BNPB. 2020. “SPAB, Cara BNPB Tingkatkan Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://www.bnpb.go.id/berita/SPAB-Cara-BNPB-Tingkatkan-Kesiapsiagaan-Bencana-di-Sekolah
  • Pardede, Mariana. 2020. “Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Itu Mudah”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://www.siagabencana.com/post/mewujudkan-satuan-pendidikan-aman-bencana-itu-mudah
  • Indobalinews. 2020. “Simulasi Siaga Bencana Perlu Dilakukan Berkala di Sekolah, Kata BNPB”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://indobalinews.pikiran-rakyat.com/lifestyle/pr-881126465/simulasi-siaga-bencana-perlu-dilakukan-berkala-di-sekolah-kata-bnpb
  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
  • Sekretariat Nasional SPAB Kemendikbud (spab.kemdikbud.go.id/)
  • Peta Jalan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana Tahun 2020-2024 (Kemendikbud)

Penetapan dan Revisi RTR dalam PP Nomor 21 Tahun 2021

Galuh Shita

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang masih terus melakukan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang seiring dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Salah satu terobosan yang dimunculkan dalam peraturan ini adalah penetapan rencana tata ruang yang semakin dipermudah. Hal ini dilakukan untuk dapat mendorong ketersediaan dokumen rencana tata ruang di lapangan. Seperti diketahui bahwa masih terdapat beberapa daerah yang belum memiliki kelengkapan dokumen rencana tata ruang.

Dilansir dari rumah.com, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki menyatakan bahwa proses penyusunan dan penetapan RTR pada saat sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, umumnya memiliki jangka waktu yang sangat lama dan penyelesaiannya bergantung pada kecepatan penyelesaian di daerah tersebut. Setelah diterbitkannya peraturan ini, maka jangka waktu untuk penyusunan dokumen RTR telah ditetapkan. Seperti untuk dokumen RTRW paling lama 18 bulan sementara RDTR paling lama 12 bulan. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa hal ini dilakukan pemerintah pusat sebagai dorongan untuk pemerintah daerah supaya setiap daerah memiliki RTR masing-masing dan dapat melaksanakan mekanisme KKPR. Dengan begitu daerah bisa mendorong dan mempercepat investasi yang masuk ke daerah tersebut dan mempercepat pergerakan perekonomian daerah.

Proses Bisnis Penetapan RTRW

Terkait dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, terobosan yang dilakukan diantaranya adalah jangka waktu penyusunan dan penetapan RTRW yang kini dibatasi hanya maksimal 18 bulan terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RTRW. Selain itu kajian terkait lingkungan hidup strategis diintegrasikan ke dalam materi teknis RTRW dan tidak lagi disusun dalam dokumen terpisah guna menghindari terjadinya tumpang tindih kebijakan. Khusus bagi RTRW provinsi, materi teknis muatan perairan pesisir yang telah diintegrasikan haruslah sudah mendapatkan persetujuan teknis dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara untuk RTRW Kabupaten/Kota, evaluasi Ranperda RTRW sebelum penetapan dilakukan oleh Gubernur dan bukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Adapun pada tahap awal penyusunan RTRW, di dalamnya turut memuat substansi pengaturan wilayah perairan pesisir (khusus RTRW Provinsi), berita acara pembahasan dari Pemerintah Provinsi (khusus bagi RTRW Kabupaten/Kota), validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan rekomendasi peta dasar dari Badan Informasi Geospasial. Khusus bagi validasi dokumen kajian lingkungan hidup serta rekomendasi peta dasar harus dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 10 hari. Apabila persyaratan persetujuan tidak diterbitkan hingga batas waktu, maka dokumen yang diajukan oleh pemerintah daerah dianggap telah disetujui dan dapat langsung melanjutkan ke tahapan selanjutnya.

Tahapan pembahasan lintas sektor dilakukan dengan mengintegrasikan program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Tahapan ini dilakukan bersama dengan ATR, Pemprov/Pemkab/Pemkot, DPRD, dan Kementerian/Lembaga/Dinas terkait lainnya. Kegiatan pembahasan lintas sektor dan penerbitan persetujuan dilakukan dalam kurun waktu maksimal 20 hari.

Alur Proses Penetapan RTRW Kabupaten/Kota

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Proses penetapan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lama 2 bulan sejak mendapat persetujuan substansi. Namun apabila rancangan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota belum ditetapkan, maka Gubernur/Bupati/Walikota menerapkan rancangan Perda RTRW paling lama 3 bulan sejak mendapat persetujuan substansi. Dan jika Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota belum ditetapkan, maka Menteri menetapkan Peraturan Menteri paling lama 4 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi, yang wajib ditindaklanjuti oleh Gubernur/Bupati/Walikota melalui penetapan Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

Proses Bisnis Penetapan RDTR

Sementara berkaitan dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, jangka waktu penyusunan dan penetapan RDTR dibatasi paling lama 12 bulan, terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RDTR. Beberapa proses yang dihilangkan adalah tahapan penyusunan dan validasi KLHS dan rekomendasi BIG dalam penyusunan RDTR, serta proses evaluasi Kementerian Dalam Negeri pada penetapan RDTR. Pada tahap pembahasan lintas sektor, dilakukan pengintegrasian program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Tahapan ini dilakukan bersama dengan ATR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, dan Kementerian/Lembaga/Dinas terkait lainnya. Kegiatan pembahasan lintas sektor dan penerbitan persetujuan dilakukan dalam kurun waktu maksimal 20 hari, sementara tahapan penetapannya dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 bulan. Adapun alur proses penetapan RDTR dapat dilihat lebih jelas pada gambar berikut:

Alur Proses Penetapan Proses RDTR Kabupaten/Kota

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Proses Penetapan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) RDTR Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lama 1 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi. Jika Perkada RDTR Kabupaten/Kota belum ditetapkan paling lama 2 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi, maka Menteri menetapkan Peraturan Menteri yang wajib ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dengan penetapan Perkada RDTR Kabupaten/Kota.

Proses Peninjauan Kembali dan Revisi RTR

Ketentuan peninjauan kembali serta revisi rencana tata ruang dilakukan 1 kali dalam periode 5 tahun. Peninjauan kembali terhadap dokumen RTR dapat dilakukan lebih dari 1 kali dalam periode 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, perubahan batas daerah, atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Peninjauan kembali terhadap Perkada kabupaten/kota tentang RDTR akibat adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis dapat direkomendasikan oleh Forum Penataan Ruang berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Alur Proses Peninjauan Kembali dan Revisi Dokumen RTR

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Permohonan peninjauan kembali dan revisi terhadap dokumen rencana tata ruang dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni pengajuan permohonan peninjauan kembali oleh pemerintah daerah kepada Menteri ATR atau pengajuan rekomendasi peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang akibat ketidaksesuaian yang diajukan oleh Menko Perekonomian kepada Menteri ATR. Adapun Menko Perekonomian dapat menetapkan rekomendasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan apabila terjadi ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dengan batas daerah, dengan kawasan hutan, atau ketidaksesuaian RTRW Provinsi dengan RTRW Kabupaten/Kota. Revisi rencana tata ruang yang dilakukan, dilaksanakan dengan tetap menghormati hak kepemilikan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN

Muatan Substansi pada Pembahasan Lintas Sektor dalam PP 21 Tahun 2021

Galuh Shita

Dokumen rencana tata ruang, khususnya RTRW, mengalami perubahan muatan substansi sesuai dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Seperti diketahui bahwa dokumen rencana tata ruang tersebut kini mengintegrasikan tata ruang darat dan laut dalam satu kesatuan dokumen. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menghindari adanya tumpang tindih kebijakan terkait penataan ruang. Dalam pengintegrasian tersebut, diperlukan suatu pembahasan lintas sektor guna membahas hal-hal yang berkaitan dengan proses pengintegrasian sektor-sektor tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, pembahasan lintas sektor dilaksanakan untuk mengintegrasikan program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Adapun ketiga aspek tersebut merupakan aspek penting yang perlu untuk diintegrasikan ke dalam muatan substansi rencana tata ruang. Pembahasan lintas sektor sendiri ditetapkan untuk dapat diselesaikan dalam kurun waktu paling lama 20 hari sampai dengan diterbitkannya persetujuan substansi oleh Menteri.

Batas Daerah

Pengintegrasian batas daerah diatur pada Pasal 64, Pasal 78, dan Pasal 87 yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pada peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa pengintegrasian menggunakan batas daerah yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Adapun proses penyelesaian sengketa terhadap batas daerah dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan batas daerah paling lama yaitu 5 bulan. Apabila pemerintah daerah tidak bersepakat terhadap ketentuan batas daerah yang telah ditetapkan, maka menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri berwenang memutuskan dan menetapkan penegasan batas daerah paling lama 1 bulan.

Garis Pantai

Pengintegrasian garis pantai diatur dalam Pasal 65, pasal 79, dan Pasal 88. Disebutkan bahwa proses pengintegrasian garis pantai menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh BIG. Apabila terdapat perbedaan dengan kebutuhan rencana tata ruang atau kepentingan Hak Atas Tanah (HAT), maka persetujuan substansi oleh Menteri perlu mencantumkan garis pantai dalam peta RBI dan garis pantai sesuai kebutuhan yang digambarkan dengan simbol atau warna khusus.

Penyelesaian ketidaksesuaian antara garis pantai dengan Hak Atas Tanah (HAT) atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, yaitu:

  • Dalam hal terjadi dinamika perubahan garis pantai, maka titik dasar dan garis pangkal di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) tetap diakui dan berlaku, serta pemerintah wajib memulihkan kondisi fisik lahan menjadi daratan
  • HAT/HPL yang ada di laut akibat dinamika perubahan garis pantai sebelum ditetapkannya unsur garis pantai dalam peta RBI pertama, HAT/HPL tetap diakui

Kawasan Hutan

Pengintegrasian kawasan hutan diatur dalam Pasal 66, Pasal 80, dan Pasal 89. Dalam pasal-pasal tersebut disesebutkan bahwa proses pengintegrasian kawasan hutan dilakukan dengan menggunakan delineasi kawasan hutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri LHK, atau menggunakan delineasi kawasan hutan yang disepakati paling lama 10 hari sejak dimulainya pembahasan lintas sektor.

Penyelesaian ketidaksesuaian antara kawasan hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, yaitu:

  • Melakukan revisi RTRW P/K dengan mengacu pada kawasan hutan yang ditetapkan terakhir, apabila kawasan hutan ditetapkan lebih awal
  • Melakukan tata batas dan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW P/K, apabila RTRW P/K ditetapkan lebih awal

Bahan Bacaan

  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Alur Proses Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut

Galuh Shita

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah disahkan beberapa waktu lalu. Di dalam peraturan perundangan ini telah diamanatkan bahwa dokumen rencana tata ruang perlu mengintegrasikan tata ruang darat dan laut. Seperti diketahui bahwa sebelumnya rencana tata ruang darat dan laut berada dalam dokumen yang terpisah sehingga menimbulkan potensi terjadinya tumpang tindih kebijakan terkait ketentuan pemanfaatan ruang. Setelah diintegrasikan, nantinya keseluruhan dokumen rencana tata ruang akan dimuat dalam sebuah platform digital guna mendukung One Spatial Planning Policy. Hal ini dilakukan supaya masyarakat dapat mengetahui poin-poin penting terkait perencanaan penataan ruang serta untuk mewujudkan proses transparansi data kepada publik.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disebutkan pula bahwa RTR sebagai hasil dari perencanaan tata ruang akan menjadi acuan bagi:

  • penerbitan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
  • pemanfaatan ruang untuk seluruh kegiatan pembangunan sectoral dan pengembangan wilayah dan kawasan yang memerlukan ruang
  • penerbitan perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut serta pemberian hak atas tanah dan hak pengelolaan

Selain itu, disebutkan bahwa proses perencanaan rencana tata ruang dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni tahapan persiapan penyusunan rencana tata ruang, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, perumusan konsepsi rencana tata ruang, serta penyusunan rancangan peraturan tentang rencana tata ruang. Penyusunan rencana tata ruang akan menghasilkan beberapa dokumen turunan yakni konsepsi Rencana Tata Ruang, konsepsi Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), konsepsi Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW), rancangan peraturan tentang Rencana Tata Ruang, rancangan peraturan tentang RZ KSNT, dan rancangan peraturan tentang RZ KAW.

Berkaitan dengan proses pengintegrasian tata ruang darat dan laut, terutama dalam penyusunan rencana tata ruang, maka dilakukan dengan tahapan persiapan penyusunan (penyusunan kerangka acuan kerja dan penetapan metodologi), pengumpulan data (wilayah administrasi, data dan informasi kependudukan, pertanahan, kebencanaan, kelautan dan peta dasar serta peta tematik yang dibutuhkan).

Alur Proses Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Seperti dapat dilihat pada gambar di atas, bahwa alur proses integrasi tata ruang darat dan laut sejatinya mencakup berbagai hal. Pengolahan data dan analisis yang dilakukan tidak hanya mencakup kondisi eksisting darat maupun laut, tetapi juga mencakup analisis terhadap potensi dan permasalahan regional dan global serta analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis.

Pengumpulan data dasar baik berdasarkan materi teknis darat dan materi teknis laut, akan dituangkan ke dalam sebuah peta dasar baru, baik berupa peta dasar rupabumi Indonesia ataupun peta dasar lainnya. Perlu diingat bahwa ketentuan bagi peta dasar rupabumi Indonesia merupakan peta termutakhir yang telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial, yakni Badan Informasi Geospasial (BIG). Dalam rangka percepatan penyusunan RDTR, daerah yang belum memiliki Peta Rupabumi Indonesia dapat menggunakan Peta Dasar Lainnya sesuai ketentuan tingkat ketelitian RTR yang disertai oleh rekomendasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

Ilustrasi Penggunaan Peta Dasar

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan One Spatial Planning Policy, maka RTR darat dan laut yang telah terintegrasi kemudian akan ditetapkan ke dalam satu produk hukum, yaitu berupa Peraturan Presiden RTR KSN, Perda/Pergub RTRW Provinsi, Perda/Peraturan Kepala Daerah RTRW Kabupaten/Kota, dan Peraturan Kepala Daerah RDTR.


Bahan Bacaan

  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Kelautan dan Perikanan dalam PP Nomor 27 Tahun 2021

Galuh Shita

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Disahkannya peraturan ini secara otomatis mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Bangunan dan Instalasi Laut. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 ini diharapkan mempu memberikan dampak positif bagi pelaku usaha perikanan di Indonesia. Peraturan ini juga hadir sebagai pembaharuan beberapa ketentuan yang lama sebagai imbas dari lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun perubahan tersebut mencakup perubahan dan penyempurnaan dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perubahan status zona inti, kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan dan instalasi di laut, pengelolaan sumber daya ikan, standar mutu hasil perikanan, penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan bukan untuk tujuan komersial, kapal perikanan, kepelabuhanan perikanan, standar laik operasi, pengendalian impor komoditas perikanan dan impor komoditas pergaraman.

Dilansir dari wartaekonomi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa keberadaan peraturan ini merupakan solusi dari tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Diharapkan sektor kelautan dan perikanan dapat berperan penting terhadap pemulihan ekonomi nasional yang terganggu akibat adanya pandemi Covid-19.

Terkait dengan ruang laut, peraturan ini juga mengatur beberapa hal pokok yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Pertama, dalam pemanfaatan ruang laut diatur kewajiban untuk melindungi sumber daya kelautan dan perikanan seperti tidak merusak terumbu karang sehingga sumber daya kelautan dan perikanan dapat tetap terjaga dan juga berkelanjutan. Kedua terkait penataan ruang laut, adanya peraturan ini maka diharapkan akan dapat mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan keselarasan pengelolaan ruang darat dan laut.

Peraturan ini mengatur pembaharuan terkait perubahan zona inti pada kawasan konservasi. Di mana kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan melalui penetapan proyek strategis nasional. Perubahan status zona inti atau kategori kawasan konservasi tidak mengubah alokasi ruang untuk kawasan konservasi yang ada di dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Adapun maksud dari perubahan zona inti adalah sebagai dasar dalam perubahan rencana zonasi kawasan konservasi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengemukakan bahwa perubahan zona inti hanya dapat dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih besar atau bersifat strategis nasional selama tetap memperhatikan keberlanjutan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Proses perubahan zona inti dilakukan dengan membentuk tim peneliti terpadu yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian/lembaga terkait, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perguruan Tinggi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Masyarakat yang ada di daerah sekitar kawasan konservasi dan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Tim kemudian akan bertugas menyampaikan rekomendasi perubahan status zona inti dan/atau kategori kawasan konservasi kepada Menteri.

Dilansir dari laman bisnis.com, terdapat beberapa kelebihan yang dapat dirasakan manfaat sebagai imbas dari dikeluarkannya peraturan ini, diantaranya adalah:

  • Kemudahan perizinan terkait kapal perikanan. Jika selama ini perizinan terkait kapal perikanan tersebar di berbagai kementerian dan instansi, kini hanya berada pada satu pintu yaitu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Hal ini sesuai dengan amanah Presiden untuk mempermudah masyarakat yang ingin berusaha dan mempercepat transformasi ekonomi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
  • Adanya jaminan sosial bagi Anak Buah Kapal (ABK) perikanan. Pemilik kapal perikanan, operator kapal perikanan, agen awak kapal perikanan, atau nakhoda harus memberi jaminan sosial terhadap ABK. Jaminan ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
  • Terkait dengan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, khususnya yang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, penyusunan distribusi alokasi impor perikanan kini menggunakan neraca komoditas perikanan dan pergaraman yang disusun oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk kemudian disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hal ini dilakukan agar penyerapan garam produksi dalam negeri dapat diserap dengan lebih maksimal.
  • Pengawasan dan sanksi yang selama ini berorientasi pada pemidanaan, kini akan mengedepankan sanksi administratif.

Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan
  • Bisnis.com. 2021. “Ini Kelebihan PP 27/2021, Ada Aspek Keberlanjutan hingga Jaminan Sosial ABK”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210303/99/1363364/ini-kelebihan-pp-272021-ada-aspek-keberlanjutan-hingga-jaminan-sosial-abk
  • Wartaekonomi. 2021. “Peraturan Pemerintah Nomor 27 Diharapkan Dongkrak Investasi Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://www.wartaekonomi.co.id/read330383/peraturan-pemerintah-nomor-27-diharapkan-dongkrak-investasi-perikanan
  • Infopublik. 2021. “KKP Siapkan Aturan Turunan PP 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://infopublik.id/kategori/nasional-ekonomi-bisnis/517047/kkp-siapkan-aturan-turunan-pp-27-2021-tentang-penyelenggaraan-bidang-kelautan-dan-perikanan

Wilayah Pengelolaan Perikanan di Perairan Darat

Galuh Shita

Pengelolaan perikanan darat perlu untuk dimaksimalkan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Seperti diketahui bahwa potensi perikanan di Indonesia sangatlah besar. Tak hanya di laut, namun juga di darat. Perairan umum daratan memegang peranan penting bagi industri perikanan nasional. Salah satunya, karena perairan tersebut bisa menghasilkan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi dan disukai masyarakat. Dilansir dari Trubus, dosen IPB Dr. Gatot Yulianto menyebutkan bahwa bahwa pengelolaan perikanan darat di Indonesia harus berbasis wilayah. Setiap daerah memiliki keragaman ekosistem dan spesies serta kondisi sosial ekonomi yang berbeda.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di Perairan Darat memberikan definisi bagi wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat sebagai wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan. Wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat mencakup sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya, yang juga meliputi kolong atau bekas galian, situ, dan embung.

Adapun 14 wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat terdiri atas:

  1. WPPNRI PD 411, meliputi Pulau Papua bagian utara, Kepulauan Yapen, Pulau Numfor, Pulau Biak dan Pulau Yerui
  2. WPPNRI PD 412, meliputi Pulau Papua bagian selatan, Kepulauan Romang, Kepulauan Letti, Kepulauan Damer, Kepulauan Babar, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Kur, Kepulauan Tayando, Kepulauan Kai, Kepulauan Aru, Pulau Kisar, Pulau Nuhuyut, Pulau Kolepom, dan Pulau Komolom.
  3. WPPNRI PD 413, meliputi Pulau Papua bagian barat, Kepulauan Sula, Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom, Kepulauan Watubela, Kepulauan Obi, Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, Pulau Bacan, Pulau Mandioli, Pulau Buru, Pulau Ambalau, Pulau Seram, dan Pulau Ambon.
  4. WPPNRI PD 421, meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Talaud, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Sitaro, Kepulauan Banggai, Kepulauan Selayar, Kepulauan Wakatobi, Pulau Unauna, Pulau Togian, Pulau Batudaka, Pulau Walea Besar, Pulau Menui, Pulau Wawonni, Pulau Buton, Pulau Muna, dan Pulau Kabaena.
  5. WPPNRI PD 422, meliputi Pulau Timor (bagian wilayah Indonesia), Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Sumba, Kepulauan Solor, Kepulauan Alor, Pulau Sabu, Pulau Wetar, dan Pulau Rote.
  6. WPPNRI PD 431, meliputi Pulau Jawa bagian timur, Kepulauan Kangean, Pulau Madura, Pulau Giliraja, Pulau Puteran, Pulau Giligenting, Pulau Sapudi, Pulau Raas, Pulau Nusabarong, Pulau Bali, dan Pulau Nusapenida.
  7. WPPNRI PD 432, meliputi Pulau Jawa bagian selatan, Pulau Panaitan, dan Pulau Tinjil.
  8. WPPNRI PD 433, meliputi Pulau Jawa bagian barat-utara, Kepulauan Seribu, Pulau Sangiang, Pulau Panjang, dan Pulau Tunda.
  9. WPPNRI PD 434, meliputi Pulau Jawa bagian tengah-utara, Kepulauan Karimun Jawa, dan Pulau Bawean.
  10. WPPNRI PD 435, meliputi Pulau Kalimantan bagian barat-selatan, Kepulauan Karimata, Pulau Maya, Pulau Laut, dan Pulau Sebuku.
  11. WPPNRI PD 436, meliputi Pulau Kalimantan bagian timur dan Kepulauan Derawan.
  12. WPPNRI PD 437, meliputi Pulau Kalimantan bagian utara, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Pulau Nunukan, dan Pulau Sebatik (bagian wilayah Indonesia).
  13. WPPNRI PD 438, meliputi Pulau Sumatera bagian timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kepulauan Meranti, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna, dan Pulau Rupat.
  14. WPPNRI PD 439, meliputi Pulau Sumatera bagian barat-utara, Kepulauan Banyak, Kepulauan Batu, Kepulauan Mentawai, Kepulauan Pagai, Pulau Weh, Pulau Bateeleblah, Pulau Simeuleu, Pulau Nias, dan Pulau Enggano.

Terdapat beberapa potensi besar yang dimiliki perairan darat Indonesia. Pertama, Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah spesies ikan air tawar terbesar ke-3 di dunia, yaitu sebanyak ± 1.400 jenis ikan. Kedua, terdapat 9 jenis spesies dan subspecies ikan sidat yang berada di Indonesia, dari 18 jenis spesies dan subspecies yang ada di dunia. Ketiga, ikan hias perairan darat yang mendunia merupakan jenis asli dari Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki ragam kuliner khas nusantara yang berasal dari perairan darat. Beberapa contohnya adalah ikan belida yang menjadi kuliner khas Palembang, ikan baung, ikan lais, ikan patin, serta ikan tapah yang juga menjadi kuliner khas wilayah Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, terdapat pula beberapa kontribusi perikanan perairan darat terhadap pembangunan nasional, diantaranya adalah:

  • Sumber protein dan ketahanan pangan. Ikan produksi perikanan tangkap di perairan darat merupakan sumber protein hewani yang terjangkau dan digemari oleh masyarakat. Ikan produksi perikanan tangkap perairan darat umumnya lebih segar dan bebas bahan pengawet, karena sistem penangkapan dilakukan pada jarak yang dekat dan waktu dan tidak lama.
  • Sumber devisa dan pendapatan asli daerah. Adanya potensi perputaran ekonomi yang besar per tahunnya. Selain itu, terdapat potensi pemasaran ikan sidat dan ikan hias perairan darat ke mancanegara, serta potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan TPU dan sistem lelang/sewa kawasan penangkapan ikan.
  • Sumber ekonomi rakyat. Terdapat sejumlah masyarakat yang mencari nafkah dengan menangkap ikan di perairan daray serta banyaknya unit usaha kuliner yang memiliki bahan baku yang berasal dari produksi perikanan tangkap di perairan darat.
  • Obyek pariwisata. Terdapat beberapa lokasi perairan darat di Indonesia yang mendunia, seperti Danau Toba, Danau Kerinci, Danau Matano, serta Danau Sentarum. Selain itu, terdapat pula potensi sport fishing atau recreational yang dapat dikembangkan di Indonesia.

Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di Perairan Darat
  • Bahan paparan Kementerian Kelautan dan Perikanan. “PELUANG, TANTANGAN DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN DARAT YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA. Juni 2020
  • Trubus. 2020. “Pengelolaan Perikanan Darat Berbasis Masyarakat Kedepankan Keberlanjutan Ekologi”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://m.trubus.id/baca/37364/pengelolaan-perikanan-darat-berbasis-masyarakat-kedepankan-keberlanjutan-ekologi

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Galuh Shita

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, wilayah perairan Indonesia terbagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan. Dasar penentuan wilayah pengelolaan perikanan mengacu pada kondisi fisik, ekologi dan oseanografi perairan Indonesia. Selain itu WPP RI dalam kodefikasinya juga mengacu pada kodefikasi Food and Agriculture Organization (FAO) untuk dapat digunakan secara regional dan internasional. Secara internasional, perairan untuk perikanan dibagi menjadi dua yaitu perairan umum dan perairan darat. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan untuk pembagian kode statistic kawasan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Batas alami wilayah dan pembagian alami lautan dan laut
  • Kawasan yang dikembangkan oleh badan-badan perikanan yang dibentuk berdasarkan konvensi dan perjanjian antar negara
  • Praktek-praktek umum yang berlaku secara nasional
  • Batas-batas maritim negara
  • Sistem grid bujur dan lintang
  • Distribusi fauna aquatik
  • Distribusi sumberdaya dan kondisi lingkungan di kawasan tersebut

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia mendefinisikan WPP RI sebagai wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, danpengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Keseluruhan wilayah pengelolaan perikanan tersebut kemudian dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia

Adapun 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Indonesia yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

  1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman
  2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda
  3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat
  4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan
  5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa
  6. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali
  7. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
  8. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau
  9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera
  10. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik
  11. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur

Dilansir dari publikasi milik Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, perairan Indonesia berada pada dua area berdasarkan pembagian wilayah statistik perikanan FAO, yaitu area 57 kawasan Samudera Hindia bagian timur (Eastern Indian Ocean) dan area 71 (the Western Central Pacific) kawasan Indo-Pasifik bagian barat. Satuan penomoran yang digunakan dalam kodesifikasi WPP RI mengikuti kedua area tersebut dengan kode lokal berurutan dari nomor 1 dan seterusnya dimulai dari arah barat ke timur.

Potensi erikanan utama yang berada di area 57 adalah shad, catfish, ponyfishes, croackers, mullets, carangids, sarden, anchovies, tuna dan spesies mirip tuna, makarel, hiu, prawns, udang, lobster, cockles, dan cephalopoda. Sementara perikanan pada area 71 sangat kaya akan sumberdaya demersal, termasuk udang bungkuk (penaeid shrimp), dan sumberdaya pelagis kecil. Sementara pada kawasan lepas pantai yang meliputi perluasan pulau-pulau Samudera Pasifik, adalah kawasan yang sangat kaya akan ikan tuna.

Dengan wilayah laut Indonesia yang begitu luas, sangat dimungkinkan bahwa dengan pengelolaan yang baik maka akan dapat mensejahterakan hidup masyarakat Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan membenarkan potensi Indonesia yang sangat kaya dengan hasil laut. Hal ini dibuktikan dengan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia yang jumlahnya cukup besar. Pada triwulan 1 tahun 2020, pemerintah mencatat nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada Maret 2020 yang mencapai USD427,71 Juta atau meningkat 3,92% dibandingkan dengan Maret 2019. Sedangkan volume ekspor hasil perikanan pada Maret 2020 mencapai 105,20 ribu ton atau meningkat 4,89% dibandingkan dengan Maret 2019. Adapun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, Tiongkok, beberapa negara di ASEAN, Jepang, dan Uni Eropa. Dari sisi komoditas, udang mendominasi ekspor ke negara-negara tersebut dengan nilai mencapai USD466,24 juta (37,56%). Disusul tuna-tongkol-cakalang (TTC) dengan nilai USD 176,63 juta (14,23%), cumi-sotong-gurita dengan nilai USD 131,94 juta (10,63%), rajungan-kepiting dengan nilai USD105,32 Juta (8,48%) dan rumput laut dengan nilai USD53,75 Juta (4,33%).


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang WPP RI
  • KKP. 2020. “TRIWULAN I 2020, NILAI EKSPOR PERIKANAN CAPAI USD1,24 MILIAR”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://kkp.go.id/artikel/18769-triwulan-i-2020-nilai-ekspor-perikanan-capai-usd1-24-miliar#:~:text=Berdasarkan%20data%20Badan%20Pusat%20Statistik,34%25%20dibanding%20ekspor%20Februari%202020.&text=%E2%80%9CVolume%20ekspor%20hasil%20perikanan%20Indonesia,37%25%20dibanding%20ekspor%20Februari%202020
  • Pelakita. 2020. “Apa itu WPP dan dari mana sumber penomoran itu?”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://pelakita.id/2020/07/26/apa-itu-wpp-dan-dari-mana-sumber-penomoran-itu/
  • Publikasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya

Galuh Shita

Sebagai negara yang sangat luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang sangat banyak, seluruh rakyat Indonesia tentu berharap agar kondisi ini dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah memiliki regulasi dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada UU tersebut, disebutkan bahwa pemerintah mengizinkan penanaman modal asing dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang dapat diperoleh melalui izin menteri.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km². Terbitnya peraturan ini tentu sangatlah menunjukkan sikap kepedulian pemerintah untuk mengatur pemanfaatan pulau kecil dan perairan sekitarnya menjadi lebih baik.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib untuk memperhatikan pemanfaatan sumber daya hayati dan/atau pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan, kerentanan dan kelestarian ekosistem pulau-pulau kecil, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, keberadaan situs budaya tradisional, teknologi yang digunakan, dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun pemanfaatan pulau-pulau kecil juga wajib untuk menyediakan akses publik, memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan pulau-pulau kecil dan perairan, serta wajib untuk mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota yang berwenang.

Sementara persyaratan yang harus dipenuhi berkaitan dengan penanaman modal asing yaitu wajib untuk bekerja sama dengan peserta Indonesia, pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, dan pengalihan teknologi. Hal ini dilakukan pemerintah agar negara dapat turut berperan dan terlibat langsung dalam pemanfaatannya. Terkait dengan pengalihan saham, ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebanyak minimal 20% dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak diterbitkannya izin usaha.

Prioritas Kegiatan dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Jenis serta luasan lahan yang akan dimanfaatkan haruslah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Pulau-pulau kecil yang akan dimanfaatkan oleh penanaman modal asing juga diarahkan untuk berada pada pulau-pulau yang tidak memiliki penghuni dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Alokasi pemanfaatan ruang di pulau kecil diatur dengan kriteria sebagai berikut:

  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau dikuasai langsung oleh Negara (digunakan untuk area publik, kepentingan masyarakat, dan lainnya)
  • paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh Pelaku Usaha. Atau luasan dapat disesuaikan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota
  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau atau kawasan lindung

Ilustrasi Alokasi Pemanfaatan Ruang di Pulau-Pulau Kecil

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Izin pemanfaatan pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing perlu mendapat persetujuan menteri, yang diberikan kepada pelaku usaha berbadan hukum yang berbentuk perseroan terbatas. Sebelumnya, pelaku usaha harus mengajukan permohonan terlebih dahulu melalui Lembaga Online Single Submission (OSS). Adapun dokumen rencana yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut:

  • surat rekomendasi dari bupati/walikota
  • rencana usaha, yang harus memuat:
    • penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
    • peta lokasi pemanfaatan tanah dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
    • rencana pemberian akses publik
    • rencana pengalihan teknologi
    • rencana kerja sama dengan peserta Indonesia
    • rencana pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia
    • pertimbangan aspek ekologi, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi dalam pelaksanaan usaha

Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km²

Pemerintah juga memberikan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km² melalui peraturan menteri yang sama. Disebutkan bahwa persyaratan permohonan untuk izin pemanfaatan juga dilakukan dengan melalui sistem OSS. Izin rekomendasi ini dikecualikan bagi masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pelaku usaha perorangan dan badan hukum koperasi atau korporasi dapat mengajukan rekomendasi pemanfaatan, dengan memenuhi beberapa persyaratan dokumen seperti:

  1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
  2. Rencana usaha yang paling sedikit memuat:
  3. penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
  4. peta lokasi pemanfaatan lahan dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
  5. data daya dukung lingkungan dan kerentanan pulau
  6. mengikuti aturan luasan lahan di Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  7. Bukti pemilikan dan/atau penguasaan tanah yang sah dan menyatakan bahwa sudah tidak terdapat permasalahan dengan pihak lain.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km

Izin Lokasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Setiap investasi dan pemanfaatan ruang di wilayah laut haruslah mengantongi izin lokasi. Pengaturan terhadap izin lokasi ini menjalankan amanat yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut (RTRL). Seperti diketahui bahwa peraturan terkait RTRL merupakan acuan serta alat kendali pemerintah untuk memastikan keberlanjutan di wilayah perairan. Hal ini dikarenakan PP ini menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan zonasi untuk kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, kawasan antarwilayah, serta wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai acuan penyusunan kebijakan kelautan nasional, dan acuan pemberian izin di laut.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut, disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan ruang atau pemanfaatan sumber daya di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi secara menetap dan terus menerus selama paling singkat 30 hari diwajibkan untuk memiliki izin lokasi, izin pengelolaan, atau izin lokasi di laut. Di mana disebutkan bahwa wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial. Sementara cakupan wilayah yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Sementara pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.

Izin Lokasi

Izin lokasi merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Izin lokasi berupa dokumen kesesuaian ruang atau zonasi yang dipersyaratkan dalam perizinan sektor lain sesuai dengan ketentuan perundangan. Izin lokasi juga menjadi dasar untuk pemberian izin pengelolaan atau izin usaha sektor lain yang memanfaatkan ruang laut secara menetap di sebagian perairan pesisir dan izin pelaksanaan reklamasi.

Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi, yang meliputi rencana zonasi KSN, KSNT, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi. Namun, pemberian izin juga dapat diberikan berdasarkan data RTRL, seperti:

  • pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bernilai strategis nasional dan belum dimuat dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana zonasi KSN, rencana zonasi KSNT, atau rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi
  • pendirian atau penempatan bangunan dan instalasi di laut berupa pipa dan/atau kabel bawah laut, dan instalasi minyak dan gas bumi yang melintasi perairan pesisir

Izin Pengelolaan

Izin pengelolaan merupakan izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Izin pengelolaan dapat diberikan berdasarkan izin lokasi. Pelaku usaha dapat melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan produksi garam, wisata bahari, pemanfaatan laut selain energi, pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi, pengangkatan BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam), biofarmakologi laut, dan bioteknologi laut.

Izin Lokasi di Laut

Izin lokasi di laut merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup permukaan laut, kolom air, permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, dan dapat diberikan berdasarkan rencana zonasi kawasan antarwilayah atau data RTRL. Izin lokasi di laut TIDAK DAPAT diberikan pada zona inti di kawasan konservasi dan kawasan konservasi untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara dengan metode terbuka, dumping, dan reklamasi.

Tidak hanya kepada pelaku usaha, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, pemerintah memberikan fasilitasi perizinan terhadap masyarakat lokal untuk kegiatan perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis, perikanan budidaya menetap, pergaraman, wisata bahari, dan permukiman di atas air. Masyarakat lokal memperoleh fasilitasi perizinan yang ditetapkan oleh bupati atau walikota. Berbeda dengan pelaku usaha yang dapat mengajukan pengurusan izin lokasi melalui Lembaga OSS (Online Single Submission). Luasan izin lokasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan dan skala usaha, daya dukung dan daya tamping/ketersediaan ruang perairan, kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan, pemanfaatan perairan yang telah ada, teknologi yang digunakan, serta potensi dampak yang lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan yang diusulkan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang kepulauan yang sangat luas memiliki wilayah pesisir serta keberadaan pulau-pulau kecil yang membentang luas dan tersebar di seluruh penjuru. Hal ini tentu berbanding lurus dengan potensi yang dimilikinya untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diatur pengelolaannya.

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dinilai strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dilansir dari penjelasan Undang-Undang tersebut, dikatakan bahwa dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Pemerintah kemudian melakukan perubahan pada Undang-Undang tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Definisi dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk:

  • melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan
  • menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
  • memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan
  • meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

Lingkup Perencanaan dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K)

RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)

RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, yang memiliki muatan sebagai berikut:

  • pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut
  • keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion
  • penetapan pemanfaatan ruang laut
  • penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K)

Dokumen rencana ini berisikan muatan sebagai berikut

  • kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang
  • skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan
  • mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses
  • ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K)

RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis.

Setiap warga negara Indonesia, badan hukum, ataupun masyarakat adat pesisir dapat melakukan pemanfaatan pengusahaan di perairan pesisir dengan sebelumnya perlu untuk mengantongi hak pengusahaan terlebih dahulu. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) merupakan hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap juga wajib memiliki izin lokasi yang diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil mencakup kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan. Sementara pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industry perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan pertahanan dan keamanan negara. Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, maka pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tata Ruang Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang RTRL

Galuh Shita

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan memiliki garis pantai yang panjang membentang berbanding lurus dengan hasil kekayaan laut Indonesia begitu melimpah, sehingga diperlukan suatu tata ruang khusus agar tidak disalahgunakan. Dilansir dari antaranews, direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan alasan perlunya dilakukan sebuah perencanaan tata ruang laut di Indonesia, yakni dikarenakan adanya pandangan bahwa laut merupakan properti bersama, berbeda dengan daratan yang dapat dimiliki sehingga diperlukan suatu peraturan zonasi. Hal ini untuk menghindari adanya penyalahgunaan aktivitas di laut. Sehingga kemudian berbagai hal tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan berkaitan dengan laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut.

Sebelumnya, peraturan mengenai kelautan sendiri telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan, yakni:

  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang Wilayah Yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang Laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyebutkan bahwa pengelolaan ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyebutkan bahwa perencanaan tata ruang Laut merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan Rencana Tata Ruang Laut

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa ruang lingkup perencanaan tata ruang laut terbagi mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Dimana wilayah perairan mencakup perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan Laut teritorial yang di dalamnya negara memiliki kedaulatan dan dapat memberlakukan yurisdiksinya berdasarkan ketentuan perundangundangan dan hukum internasional. Sedangkan wilayah yurisdiksi mencakup wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen, dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Laut menjadi pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional bidang kelautan; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional bidang kelautan; perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan serta kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah dalam memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang laut; penetapan lokasi dan fungsi ruang laut untuk kegiatan yang bernilai strategis nasional; perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; perencanaan zonasi kawasan laut; dan arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta di laut.

Muatan Rencana Tata Ruang Laut

Wilayah PerairanWilayah Yurisdiksi
Kebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah perairanRencana struktur ruang laut wilayah perairanRencana pola ruang laut wilayah perairanPenetapan kawasan pemanfaatan umum yang memiliki nilai strategis nasionalKebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah yurisdiksi;Rencana struktur ruang laut wilayah yurisdiksiRencana pola ruang laut wilayah yurisdiksi.

Tata ruang laut memiliki ketentuan terhadap rencana struktur dan pola ruang. Pada rencana struktur ruang wilayah, muatan substansi menitikberatkan pada 2 hal yakni susunan pusat pertumbuhan kelautan (mencakup pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan; serta pusat industri kelautan) dan sistem jaringan prasarana dan sarana laut yang berupa tatanan kepelabuhanan nasional dan perikanan. Sedangkan pada rencana pola ruang, muatan substansi mencakup kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan KSNT (Kawasan Strategis Nasional Tertentu). Adapun rencana pola ruang laut wilayah perairan wajib untuk memenuhi:

  • ketentuan daya dukung dan daya tamping lingkungan
  • persyaratan pengelolaan lingkungan
  • penggunaan teknologi ramah lingkungan
  • pelaksanaan hak dan kewajiban negara pantai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum internasional

Seperti diketahui bahwa pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa dokumen RTRW akan turut mencakup tata ruang laut sehingga tidak terjadi tumpeng tindih kebijakan. Dilansir dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan per Februari 2021, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengumumkan status perencanaan ruang laut Indonesia/Indonesia’s Marine Spatial Planning (MSP) pada laman MSP Global, Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) – UNESCO. MSP Indonesia yang dimuat pada laman MSP Global menggambarkan status MSP per Juni 2020. Pada laman ini memuat informasi dan status Rencana Tata Ruang Laut yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 32 Tahun 2019 dan seluruh Rencana Zonasi di tingkat nasional yang meliputi Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), dan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT) maupun di tingkat provinsi yang terdiri dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Disebutkan pula bahwa status MSP Indonesia dalam laman ini akan dimutakhirkan lagi pada pertengahan tahun 2021 dan akan menyesuaikan dengan perkembangan Undang-Undang Cipta Kerja, lalu setiap tahun akan dimutakhirkan Kembali sesuai dengan status perkembangannya.


Bahan Bacaan

  • Antaranews. 2019. “Alasan Perlunya Perencanaan Tata Ruang Laut”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/926055/alasan-perlunya-perencanaan-tata-ruang-laut#mobile-src
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021. “KKP Umumkan Status Perencanaan Ruang Laut Indonesia di UNESCO”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://kkp.go.id/djprl/artikel/27203-kkp-umumkan-status-perencanaan-ruang-laut-indonesia-di-unesco
  • Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut

Muatan RTRW dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Pemerintah telah mengesahkan dan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Peraturan tersebut dikeluarkan sebagai bentuk melengkapi amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Seperti diketahui bahwa secara garis besar penataan ruang menjadi salah satu pasal yang dituangkan dalam UU Cipta Kerja dan semua pihak dari Kementerian ATR/BPN untuk dapat pro aktif mendukung pemerintah daerah dalam mempercepat penataan ruang.

Seperti diketahui bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah sebagian muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Di mana peraturan perundangan tersebut merupakan landasan hukum penyelenggaraan penataan ruang secara nasional, sehingga perlu untuk mensinergikan serta mengintegrasikan perubahan tersebut ke dalam suatu peraturan baru, sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Di dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengamanatkan penyederhanaan hirarki produk penataan ruang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Penyederhanaan Hirarki Produk Rencana Tata Ruang

Sumber: diolah dari Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Penghapusan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan untuk menghindari tumpeng tindih antar produk rencana tata ruang. Muatan substansi kawasan strategis kemudian diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Seperti dapat dilihat pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa penyederhanaan dokumen perencanaan ruang dilakukan dengan memangkas Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Namun sebagai gantinya substansi dalam dokumen tersebut diintegrasikan ke dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam PP 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang ditujukan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan rencana tata ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Pengintegrasian Muatan Teknis Ruang Laut ke dalam Dokumen Tata Ruang Wilayah

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Melalui peraturan pemerintah ini, maka substansi yang berkaitan dengan elemen ruang udara, ruang darat, ruang laut, dan ruang dalam bumi akan terintegrasi menjadi satu dalam dokumen rencana tata ruang wilayah, sehingga diharapkan tidak akan terjadi tumpang tindih kebijakan. Untuk dapat mengetahui substansi muatan RTRW dapat dilihat pada tabel berikut:

Substansi RTRW dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang


Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Dirancang dan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Pemerintah pada beberapa waktu lalu memberikan beberapa pengaruh pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya adalah sektor tata ruang. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai amanat dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengubah sebagian muatan dalam UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Kelautan. Sehingga dengan kata lain, UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan penataan ruang secara nasional.

Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berikut merupakan beberapa perubahan terkait penataan ruang yang terdapat di dalam UU tersebut.

Pokok Perubahan dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja

Sumber: Paparan Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang oleh Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota ITB

UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 dinilai oleh pemerintah sebagai salah satu langkah strategis dalam mengatasi permasalahan investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang salah satunya diakibatkan oleh tumpang tindih pengaturan penataan ruang. Peraturan ini juga dikeluarkan guna memberikan kemudahan investasi melalui perwujudan pemanfaatan ruang yang strategis. Selama ini proses penataan ruang dianggap rumit dan berbelit-belit sehingga dengan dikeluarkannya peraturan perundangan ini dapat memutus permasalahan yang ada dan memberikan kemudahan dalam konteks iklim investasi. Hal ini sesuai dengan aspirasi Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo, yang dilansir dari hukumonline, bahwa sektor penataan ruang sangatlah penting untuk dimaksimalkan agar dapat mendukung kegiatan ekonomi, khususnya tentang kesesuaian kegiatan pemanfataan ruang dalam perizinan berusaha.

Dampak Perubahan Dikeluarkannya UU CK dan PP Nomor 21 Tahun 2021

Sumber: Bahan Paparan Sosialiasi Kebijakan Penataan Ruang oleh Kementerian ATR BPN

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Dilansir dari kontan, Direktur Jenderal Tata Ruang, Abdul Kamarzuki, menyatakan bahwa tata ruang menjadi prasyarat dasar pedoman usaha maupun perusahaan yang akan berdiri. Dalam UU Cipta Kerja, persyaratan dasar perizinan investasi dan usaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan.

Kini pemerintah tengah gencar mensosialisasikan PP Nomor 21 Tahun 2021 secara luas agar masyarakat dapat memahami dan menyesuaikan hal-hal yang berkaitan dengan penataan ruang. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2021 adalah dengan mengubah susunan muatan substansi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun dokumen RTRW kini mengintegrasikan tata ruang laut, darat, udara, dan dalam bumi ke dalam satu kesatuan dokumen. Adapun muatan yang terkandung dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang secara garis besar mengatur berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penataan ruang, seperti:

  • Perencanaan tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
  • Pemanfaatan ruang yang mengatur ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
  • Pengendalian pemanfaatan ruang, yang mengatur penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian perwuiudan rencana tata ruang, pemberian insentif dan disinsentif, pengenaan sanksi, dan penyelesaian sengketa penataan ruang.
  • Pengawasan penataan ruang, yang meliputi pemantauan evaluasi, dan pelaporan, yang merupakan upaya untuk menjaga kesesuaian penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pembinaan penataan ruang yang diselenggarakan secara sinergis oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang juga mencakup pengaturan mengenai pengembangan profesi perencana tata ruang untuk mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan penataan ruang.
  • Kelembagaan penataan ruang yang mengatur mengenai bentuk, tugas, keanggotaan, dan tata kerja forum penataan ruang.

Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Indrajati, RM Petrus Natalivan. 2020. “Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang”. Diperoleh 23 April 2021 dari http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2020/12/20201211-Implikasi-UU-CK-terhadap-Penyelenggaraan-Penataan-Ruang.pdf
  • Rizki, Januar Mochamad. 2020. “Ini Pokok Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja Soal Tata Ruang, Industri dan Perdagangan Peraturan”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang–industri-dan-perdagangan/
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Pengurusan Perubahan Pajak Bumi dan Bangunan

Galuh Shita

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pungutan atas tanah dan bangunan yang memiliki nilai sosial dan ekonomi yang dibebankan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki hak atau memperoleh hak di atasnya. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan, dengan kata lain besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek pajak tersebut yaitu bumi, tanah, dan bangunan, sedangkan keadaan subyeknya tidak ikut menentukan besarnya barang. Seperti diketahui, Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pembangunan daerah maupun nasional guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, objek PBB-P2 dibagi menjadi 2, yakni objek pajak umum dan objek pajak khusus. Objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Sedangkan objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memilki arti yang khusus, seperti jalan tol, galangan kapal, dermaga, lapangan golf, pabrik semen/pupuk, tempat rekreasi, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, stasiun pengisian bahan bakar, dan menara.

Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan kewenangan dalam pemungutan pajak di sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penentuan pajak dilakukan berdasarkan NJOP yang juga berdasarkan pada luasan persil tanah atau bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi persil sendiri berarti sebidang tanah dengan ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kewenangan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk ke dalam persyaratan dan tata caranya.

Pembaharuan terhadap informasi pemetaan dan pendataan data persil obyek PBB-P2 merupakan salah satu cara untuk meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dari tahun ketahun untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan public. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat kelompok masyarakat yang melakukan perubahan terhadap persil PBB yang dimilikinya sehingga pembaharuan data obyek PBB menjadi sangat penting.

Berikut merupakan persyaratan serta langkah yang harus ditempuh dalam melakukan pengurusan perubahan PBB.

 (Kab. Gunung Kidul)  
Syarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2 (secara peseorangan)
(Karanganyar)
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung dan Kesalahan Penerapan Ketentuan PBB
(Kabupaten Kutai Barat)  
1. Pendaftaran Data Baru PBB 2. Mutasi Objek, Subjek Pajak 3. Pemecahan 4. Pembetulan,lt,lb & nama Wajib Pajak 5. Keberatan NJOP 6. Keterangan NJOP 7. Duplikat SPPT PBB
Persyaratan– Mengajukan Surat Permohonan
– Mengisi formulir SPOP (Surat Permohonan Objek Pajak)
– Mengisi formulir LSPOP (Lampiran SPOP)
– Melampirkan Fotokopi KTP
– Melampirkan fotokopi bukti kepemilikan tanah (akta/sertifikat/letter C/Model D/Surat Ukur)
– Melampirkan print out pelunasan PBB P2 tahun sebelumnya
– Surat permohonan Wajib Pajak yang telah diisi lengkap
– Fotokopi SPPT PBB tahun pajak sebelumnya
– Fotokopi bukti pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya
– Pengisian SPOP/LSPOP
– Formulir permohonan
– FC KTP /KK pemohonSertifikat, PPAT
– Akta jual beli/hibah/warisSurat keterangan kepala Kampung /lurah
– Foto copy surat bangunan antara lain, IMB, IPB, HGU
– Dokumen lainnya dari wajib pajak
Sistem, Mekanisme, Prosedur– Pengguna Layanan mengambil nomor antrian
– Pengguna Layanan mengisi formulir dan menyerahkan berkas persyaratan
– Petugas Layanan memeriksa dan meneliti kelengkapan dan kelengkapan berkas persyaratan
– Petugas me- register permohonan
– Pengguna Layanan menerima bukti pengajuan permohonan
– Pengguna Layanan menunggu proses pelayanan (catatan: pengguna layanan memberikan nomor yang bisa dihubungi untuk klarifikasi dan atau untuk memberitahukan selesainya permohonan sebelum batas waktu yang ditentukan)
– Wajib Pajak mendatangi langsung Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan mengambil nomor antrian
– Petugas TPT memanggil nomor antrian
– Wajib Pajak mendatangi Loket TPT dan menyerahkan Formulir pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kesalahan penerapan ketentuan PBB Sektor Lainnya
– Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen
– Dalam hal berkas permohonan belum lengkap, petugas mengembalikan berkas permohonan Wajib Pajak dan menginformasikan apa saja yang masih harus dilengkapi
– Dalam hal berkas permohonan telah lengkap, petugas TPT menerbitkan Bukti Penerimaan Surat dan disampaikan kepada Wajib Pajak
– Dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah tanggal BPS, Pelaksana Layanan mencetak SPPT PBB pembetulan dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui pos dengan bukti pengiriman surat
– Wajib Pajak mengurus pendaftaran objek pajak pada Badan Pendapatan Daerah
– Pendaftaran objek pajak meliputi: – Identifikasi objek pajak – Verifikasi data objek pajak; dan – Pengukuran bidang objek pajak
– Pendaftaran objek pajak dituangkan dalam formulir SPOP dan/atau LSPOPSPOP dan/atau LSPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Badan Pendapatan Daerah atau tempat-tempat lain yang ditunjuk dan diisi dengan jelas, benar,lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak dan dikembalikan ke Badan Pendapatan Daerah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP dan/atau LSPOP oleh subjek pajak atau kuasanya dengan melengkapi persyaratan pendaftaran PBB
– Pendataan objek pajak di lakukan oleh Badan Pendapatan daerah dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP dan/atau LSPOP berdasarkan hasil pendataan terhadap objek pajak di berikan NOP.Penilaian objek pajak dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat atas nama Bupati menerbitkan SPPT/SKPD/SKPDNSPPT dicetak/diterbitkan berdasarkan data yang telah tersedia pada basis data Pemerintah Daerah dan/atau berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak
– SPPT/SKPD/SKPDN dapat diterbitkan melalui; – Pencetakan missal; – Pencetakan biasa dalam rangka; 1. Pembuatan salinan SPPT/SKPD 2. Penerbitan SPPT/SKPD/SKPDN sebagai tindak lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan; 3. Tindak lanjut pendaftaran objek pajak baru; dan 4. Mutasi objek dan/atau subjek pajak
Waktu Penyelesaian1 Minggu5 hari kerja10 Hari kerja (sejak permohonan diterima PPID dapat memperpanjang waktu paling lama 7 hari kerja)
Biaya/TarifTidak dipungut biayaTidak dipungut biayaTidak dipungut biaya
Produk PelayananSyarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan BangunanSPPT PBB

Sumber: sipp.menpan.go.id


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/di-yogyakarta/kabupaten-gunung-kidul/syarat-perubahanpembetulan-data-sppt-pbb-p2-secara-peseorangan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kementerian-keuangan/direktorat-jenderal-pajak/kantor-wilayah-direktorat-jenderal-pajak-jawa-tengah-ii/upp-kpp-pratama-karanganyar/pembetulan-kesalahan-tulis-kesalahan-hitung-dan-kesalahan-penerapan-ketentuan-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-timur/kabupaten-kutai-barat/1pendaftaran-data-baru-pbb–2mutasi-objeksubjek-pajak–3pemecahan–4pembetulanltlb–nama-wajib-pajak–5keberatan-njop–6keterangan-njop—7duplikat-sppt-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-selatan/kota-banjar-baru/pembuatan-pbb

Agrowisata dan Potensinya

Galuh Shita A.B.

Indonesia diketahui merupakan negara agraris yang memiliki dataran yang luas dan sangat lekat dikenal dengan kondisi alamnya yang indah, termasuk di dalamnya adalah area pertanian. Hal ini tentu menjadi sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Terlebih, kondisi pariwisata di Indonesia juga sangat baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia, baik lokal maupun internasional. Pengembangan wisata berbasis agro tentu akan dapat memaksimalkan 2 hal, ketersediaan bahan pangan yang terjamin serta meningkatnya berbagai hal yang berkaitan dengan pariwisata.

Definisi dari agrowisata sendiri adalah rangkaian kegiatan wisata yang memanfaatkan sektor pertanian atau perkebunan sebagai objek utamanya, sehingga tentu saja pemandangan alam yang khas dengan kawasan pertanian serta beragam aktivitas terkait akan menjadi objek utama yang ditonjolkan. Adanya kegiatan agrowisata juga diharapkan akan dapat memperluas wawasan serta pengalaman wisata yang berbeda bagi para pengunjungnya.

Pengelolaan kawasan agrowisata perlu dilakukan dengan baik dan matang. Hal ini ditujukan agar pengembangan kawasan agrowisata dapat memberikan manfaat yang maksimal. Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari pengembangan agrowisata adalah:

  1. Meningkatkan konservasi lingkungan
  2. Meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam
  3. Memberikan nilai rekreasi
  4. Meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan
  5. Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar

Di negara lain, agrowisata bahkan dapat menjadi salah satu faktor dalam mempromosikan negaranya, seperti salah satunya adalah New Zealand yang dikenal memiliki hasil pertanian seperti buah apel, kiwi, pear, dan lainnya. Lalu contoh lainnya adalah Thailand yang cukup terkenal dengan buah durian, jeruk, apel, dan lainnya. Di Indonesia sendiri telah berkembang banyak sekali kawasan agrowisata yang tersebar di berbagai provinsi dengan berbagai keunikannya yang menjadi ciri khas bagi setiap destinasi wisata. Salah satu contohnya, Indonesia kini tengah menggarap konsep agrowisata yang dapat berpotensi memiliki daya saing tinggi, seperti pengembangan agrowisata kopi. Dilansir dari Kumparan, Kemenparekraf saat ini tengah menyusun travel pattern untuk pengembangan coffee yard di Indonesia. Hal ini diupayakan untuk dapat mendukung Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia dan diharapkan akan dapat menjadi ikon utama yang menjadi ciri khas Indonesia.

Keberadaan agrowisata lantas memiliki peran yang penting bagi sebuah negara. Lantas, aspek dan faktor apa saja yang dapat mendukung agrowisata untuk dapat menjadi lebih berkembang?

  • Kualitas sumber daya manusia tentu menjadi faktor utama dalam perkembangan agrowisata. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan SDM yang baik untuk dapat menciptakan, mengelola, mengemas, dan menyajikan kawasan agrowisata yang unik dan tepat sasaran akan dapat membawa agrowisata ke arah yang lebih baik. Tak hanya pengelola, namun peran stakeholder pendukung seperti investor, pemasaran, pemandu wisata, hingga tenaga petani juga dinilai sangat penting. Untuk dapat mendukung hal ini, maka pemerintah perlu menyediakan beragam tempat pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata, terutama wisata agro. Sehingga diharapkan ke depannya akan dapat berkembang kawasan agrowisata yang memiliki daya saing tinggi.
  • Kedua, peran kelembagaan. Peran kelembagaan yang dimaksud adalah pemerintah, pihak swasta, lembaga terkait (perjalanan wisata, perhotelan, lainnya), perguruan tinggi, serta masyarakat. Seperti diketahui bahwa pemerintah memiliki beragam wewenang yang dapat mendukung berkembangnya suatu kawasan wisata, salah satunya adalah wewenang dalam hal regulasi, sehingga hal ini diharapkan akan dapat menciptakan perkembangan agrowisata yang berkualitas serta kompetitif. Selain itu, dukungan kerja sama yang baik dengan dengan stakeholder lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan kawasan agrowisata juga turut menjadi sebuah faktor penting.
  • Dukungan aspek 3A (atraksi, aksesbilitas, akomodasi) yang merupakan elemen dasar dari ketersediaan destinasi wisata tentu perlu menjadi perhatian khusus. Ketersediaan kualitas dan kuantitas dari aspek 3A beserta elemen pendukungnya akan menjadi kunci bagi tingkat kenyamanan yang mampu ditawarkan oleh destinasi wisata terhadap para pengunjungnya.
  • Selanjutnya adalah hospitality atau keramah-tamahan. Keseluruhan industri pariwisata sebagian besar berkecimpung pada bidang jasa, sehingga faktor ini juga termasuk ke dalam salah satu kunci keberhasilan berkembangnya suatu kawasan pariwisata.
  • Tingkat keunikan yang mampu ditawarkan. Pengunjung lokasi wisata cenderung menyenangi hal-hal yang bersifat unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Keunikan yang ditawarkan oleh kawasan agrowisata dapat berupa berbagai hal, seperti budaya, tradisi, teknologi, ataupun kelangkaan tanaman yang disediakan. Keunikan suatu kawasan agrowisata akan menjadi nilai tambah bagi kawasan tersebut dan dapat menjadi daya saing yang tinggi.

Berbicara pengembangan pariwisata tentunya dapat meluas kepada berbagai aspek, hal ini dikarenakan perkembangan wisata sangat dinamis sehingga diperlukan berbagai upaya untuk dapat bertahan dan beradaptasi di tengah tren yang terus menerus berganti. Di lain sisi, pengembangan pariwisata, khususnya agrowisata juga perlu untuk diperhatikan dampaknya. Hal utama perlu ditekankan adalah, pengembangan agrowisata mengutamakan pertanian sebagai objek utamanya, hal ini tentu perlu disertai dengan tujuan agar dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat lokal seperti petani atau peternak, memperluas lapangan kerja, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Pengembangan pariwisata juga perlu menjaga keterpaduan, keselarasan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan kawasan agrowisata masih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga penyediaan agrowisata juga diharapkan dapat menunjang daya saing produk wisata di bidang pertanian dan menjaga stabilitas ketersediaan pangan.

Bahan Bacaan

  • Kumparan. 2020. “Menilik Potensi Agrowisata di Indonesia”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://kumparan.com/kumparantravel/menilik-potensi-agrowisata-di-indonesia-1uhesNwda6u/full
  • Utama, Rai. 2011. “Agrowisata sebagai Pariwisata Alternatif”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.researchgate.net/publication/277074027_AGROWISATA_SEBAGAI_PARIWISATA_ALTERNATIF
  • Astuti, Marhanani Tri. 2014. “Potensi Agrowisata dalam Meningkatkan Pengembangan Pariwisata”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.kemenparekraf.go.id/asset_admin/assets/uploads/media/old_all/JDP%20Vol_1%20No_1%202014%20Potensi%20Agrowisata%20Dalam%20Meningkatan%20Pengembangan%20Pariwisata.pdf

Drone PPK dan RTK: Apa Bedanya?

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Bagi sebagian orang, istilah-istilah dalam pemetaan dengan utilisasi drone mungkin sedikit membingungkan. Banyak yang terkecoh dengan istilah-istilah seperti PPK dan RTK karena gagal memahami perbedaan di antara keduanya. Memang, pada dasarnya kedua istilah tersebut berada di landasan yang sama dalam dunia pemetaan drone. Baik PPK maupun RTK memiliki fungsi untuk mengoreksi lokasi dari data pemetaan drone dan mengeliminasi fungsi GCP. Keduanya menghasilkan tingkat akurasi yang absolut sampai ke rentang centimeter (cm).

Kendati demikian, memilih satu di antara keduanya kadang memiliki dampak yang signifikan terhadap data yang dihasilkan atau bagaimana keduanya mempengaruhi  kelancaran proses survei. Pada kegiatan survei udara, faktor-faktor seperti hambatan dan kondisi lingkungan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dengan memilih metode koreksi yang tepat tentu akan menghemat proses pekerjaan dan biaya pengeluaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penting rasanya untuk mengulik lebih dalam perbedaan di antara keduanya.

Eliminasi Fungsi GCP

Sebelum melanjutkan perjalanan dan membahas lebih jauh mengenai PPK dan RTK, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu fungsi dari GCP atau Ground Control Points. Pada proses pemetaan menggunakan drone, GCP merupakan titik yang terletak di permukaan bumi yang berfungsi sebagai penanda suatu lokasi. GCP biasanya sengaja dibuat atau merupakan objek eksisting yang koordinatnya sudah diketahui atau mudah diamati. Sebelum dilakukan rektifikasi, atau proses transformasi data dari sebuah sistem grid menggunakan transformasi geometrik mengacu pada sistem koordinat tertentu, GCP digunakan sebagai titik referensi koordinat.

Dalam proses pemetaan digital, persiapan GCP dilakukan sebelum eksekusi pengambilan gambar udara. Tidak ada patokan jumlah GCP yang harus tersedia pada pemetaan dalam luasan tertentu. Banyak pendekatan yang dapat digunakan pada penentuan jumlah dan lokasi GCP, namun yang terpenting adalah GCP dapat terpotret dan dikenali dengan baik pada produk foto maupun video. Pemasangan GCP pada dasarnya akan memakan waktu yang lama, apalagi jika site yang akan diamati memiliki luasan yang besar.

Contoh GCP

Sumber: Internet, 2020

Untuk itu, melalui kecanggihan teknologi masa kini, pemetaan secara digital dengan utilisasi drone dapat menjadi lebih sederhana dan efisien. Salah satunya adalah dengan mentransformasi penggunaan GCP menjadi penggunaan GPS Correction Technology.

GPS Correction Technology meningkatkan kualitas lokasi data dengan memanfaatkan  global position system receivers untuk menghasilkan sebuah data yang akurat. Teknologi ini sudah difungsikan dengan menggunakan beragam alat beberapa tahun belakangan. Hanya saja hal tersebut tergolong baru di dunia pemetaan dengan utilisasi drone. Fungsi dari GCP dan GPS Correction Technology ada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah GPS Correction Technology tidaklah memakan waktu yang lama untuk persiapan. GPS Correction Technology dapat meningkatkan proses pengumpulan data sebesar 75%. Dan dapat menghasilkan alur pekerjaan yang lebih lancar dikarenakan adanya efisiensi waktu. Saat ini terdapat dua teknologi yang mendominasi pembicaraan mengenai GPS Correction Technology, yaitu Post Processing Kinematic (PPK) dan Real Time Kinematic (RTK) yang akan menjadi inti pembahasan artikel ini.

Post Processing Kinematic (PPK)

PPK merupakan teknologi koreksi data lokasi setelah pengambilan data berupa pemotretan selesai dilaksanakan kemudian data tersebut haruslah diunggah ke dalam cloud. Drone PPK akan terbang bersama dengan GNSS PPK receiver  yang berfungsi mengumpulkan data dari satelit dan mencatatnya untuk kebutuhan pengambilan data setelah penerbangan.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi data maksimal sekitar satu meter. Data satelit dari GNSS receiver dikumpulkan pada stasiun pangkalan dan setelah penerbangan berakhir data-data tersebut dikumpulkan dengan data drone untuk mengkoreksi sinyal error satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter.

Dalam teknologi PPK, baik komunikasi data GNSS ke data drone, atau komunikasi data drone ke data koreksi drone sangatlah dibutuhkan. Ketika drone mendarat, proses koreksi harus diaplikasikan pada software yang sesuai. Data dengan akurasi yang absolut selanjutnya tersedia untuk tahap selanjutnya dan menghasilkan hasil survey pemetaan.

Proses PPK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

PPK membutuhkan komunikasi yang konstan untuk mengoreksi lokasi data satelit.

1.    Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS

2.    Garis antara satelit dan drone

Real Time Kinematic (RTK)

RTK merupakan teknologi koreksi data lokasi yang memungkinkan untuk dilakukan secara real time pada saat drone menjalankan fungsi pemotretannya. Drone RTK membawa serta GNSS RTK receiver pada armada drone yang berfungsi untuk mengumpulkan data dari satelit dan stasiun pangkalan untuk secara akurat mengoreksi gambar lokasi bersamaan saat armada drone tersebut terbang.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi maksimal sekitar satu meter. Data dari pangkalan stasiun darat diperhitungkan untuk mengoreksi kesalahan sinyal satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter (cm). Dalam perihal teknologi RTK, lancarnya jaringan komunikasi yang tidak terinterupsi merupakan sebuah persyaratan dari stasiun pangkalan GNSS, melalui stasiun pangkalan drone ke drone itu sendiri. Ketika drone mendarat, jika seluruh sinyal konstan dan stabil, data dengan akurasi yang absolut akan tersedia untuk proses selanjutnya yaitu hasil survey pemetaan.

Pada dasarnya akan sangat menguntungkan jika data dapat dikoreksi secara bersamaan ketika waktu terbang. Kendati demikian, pada kondisi sesungguhnya, terdapat hambatan-hambatan yang dapat mengganggu sinyal dan penerbangan. Hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan utilisasi teknologi RTK pada survei pemetaan. Di waktu lain, ketika koneksi antara stasiun pangkalan dan drone stabil, RTK dapat mencapai tingkat akurasi yang setara dengan PPK.

Proses RTK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

RTK membutuhkan empat garis komunikasi yang konstan untuk mengkoreksi data lokasi satelit.

  1. Garis antara satelit dan drone
  2. Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS
  3. Garis antara pangkalan GNSS atau CORS/VRS dan stasiun drone
  4. Garis antara stasiun drone dan drone  

Perbandingan PPK dan RTK

Setelah mendapatkan gambaran mengenai apa itu PPK dan RTK, maka dapat dilakukan perbandingan di antara keduanya seperti pada tabel yang tertera di bawah ini:

Perbandingan PPK dan RTK

Sumber: heliguy.com, 2019

Setelah mengetahui karakteristik PPK dan RTK serta perbandingannya, maka teknologi mana yang sesuai dengan kebutuhan Anda?

Daftar Referensi

Wingtra. 2020. What’s the Difference Between PPK and RTK Drones, and Which One is Better?. https://wingtra.com/ppk-drones-vs-rtk-drones/?utm_campaign=Facebook%20paid%20ads%202020&utm_source=facebook&utm_medium=paidsocial&utm_content=ppk-vs-rtk&hsa_acc=187616638541841&hsa_cam=23846058559280553&hsa_grp=23846094172900553&hsa_ad=23846094172890553&hsa_src=fb&hsa_net=facebook&hsa_ver=3

Rabkin, B. 2020. GCP Vs. PPK/RTK: Which is Best to Receive Fast and Accurate Data?. https://www.identifiedtech.com/blog/drone-technology/gcps-ppk-rtk-best-receive-fast-accurate-data/

Willoughby, J. 2019. Is RTK The Future of Drone Mapping?. https://www.heliguy.com/blog/2019/01/24/is-rtk-the-future-of-drone-mapping/