PPP Series #2 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Mancanegara
Oleh : Annabel Noor Asyah
Pembahasan mengenai public-private partnership akan berlanjut kepada contoh-contoh pengimplementasian skema kerjasama PPP di mancanegara. Sudah terdapat ratusan proyek dengan skema PPP di berbagai penjuru dunia sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, beberapa negara telah membentuk lembaga yang mengatur dan mengkoordinir kegiatan PPP di negaranya. Skema PPP banyak dilakukan di berbagai sektor seperti properti, transportasi, infrastruktur lingkungan dan lain sebagainya. PPP tidak hanya terpaku pada proyek yang bersifat nasional namun juga pada proyek-proyek yang sifatnya regional. Pembahasan kali ini akan fokus kepada tiga contoh pengimplementasian skema PPP di Filipina, Jepang dan Skotlandia. Berikut uraian lebih lengkapnya:
Filipina: Pasar San Jose de Buenavista, Antique
Filipina merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang sangat mendorong penerapan PPP dalam pembangunan infrastrukturnya. Hal ini terlihat dari dibentuknya sebuah lembaga pemerintahan bernama Public-Private Partnership Center (PPP Center) yang menjadi koordinator dan memonitor penerapan PPP dalam pembangunan infrastruktur publik. PPP Center bertugas untuk memberikan pendampingan teknis kepada pihak pemerintah maupun swasta dalam hal pengembangan dan pembangunan infrastruktur publik.
Salah satu pengembangan infrastruktur publik di bidang properti yang menerapkan skema PPP di Filipina adalah pembangunan pasar di San Jose de Buenavista, ibukota dari provisi Antique. Pada tahun 1993, pasar tersebut terbakar dan sekitar 200 pedagang harus direlokasi. Berbagai cara telah dipikirkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya dengan kerjasama PPP melalui skema BOT. Pembiayaan melalui skema BOT pada saat itu sangatlah menarik bagi Local Government Unit (LGU) karena tidak membutuhkan anggaran dari pemerintah lokal. Namun demikian, pada saat itu terdapat beberapa pertimbangan yang memberatkan diantaranya: a) Membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengadopsi skema tersebut karena pemerintah pusat juga akan mengambil peran di dalamnya; b) Proses penawaran publik yang mengharuskan adanya pemilihan partner BOT juga kerap membuthkan waktu yang tidak sebentar; c) Pada saat itu BOT merupakan konsep baru sehingga terdapat beberapa pertimbangan tentang cara kerja dan persyaratan yang harus dilalui. LGU mencari solusi yang lebih sederhana, cepat dan lebih murah. Setelah melakukan konsultasi, LGU memutuskan akan mengadopsi skema BOT dengan penyempurnaan yang tidak mengikutsertakan penawaran publik dan persetujuan dari pemerintah pusat. Di bawah skema Build-Lease-Transfer (BLT), para pedagang akan menyediakan dana untuk membangun kios mereka sendiri dengan spesifikasi yang sesuai dengan rencana induk kawasan pasar baru. Para pedagang akan dianggap sebagai pemilik kios dan membayar pajak properti rill yang semestinya selama periode kontrak yaitu 20 tahun. Mereka juga akan membayar biaya sewa untuk ruang yang mereka tempati di gedung, Pedagang yang tidak mampu untuk membangun kiosnya sendiri dapat menyewa kios yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun peran dari pemerintah lokal adalah dengan merancang rencana induk dari pasar di San Jose de Buenavista yang berkordinasi dengan kementerian pekerjaan umum. Pemerintah daerah juga mengatur pembangunan kios mandiri maupun kios yang disediakan oleh pemerintah.
Jepang: Bandar Udara Sendai
Setelah munculnya keputusan dari pemerintah untuk mendorong kerjasama PPP pada tahun 1999, jumlah maupun cakupan lingkup proyek pembangunan dengan skema PPP meningkat tajam di Jepang. Diketahui terdapat 527 proyek PPP yang sudah diimplementasikan per tanggal 31 Maret 2017. Hal tersebut didasari oleh tekanan untuk mereduksi anggaran pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Melalui skema kerjasama PPP, dimana pihak swasta akan menanamkan modal, melakukan proses kontruksi maupun mengatur operasional infrastruktur, tentu akan meringankan beban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang berkualitas bagi masyarakat. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2017, diketahui bahwa pada tahun 2016 sekitar 60% kerjasama PPP menggunakan skema Build-Transfer-Own (BTO), dimana pada masa konstruksi kepemilikan akan berada di pihak swasta untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah ketika proses konstruksi selesai.
Namun belakangan ini, skema concession sering digunakan di Jepang, salah satunya ketika proses privatisasi operasional bandar udara Sendai dilakukan pada tahun 2015. Pemerintah pusat Jepang kala itu berkeinginan untuk menjual 30-50 tahun hak konsesi bandar udara yang semula dimiliki oleh pemerintah lokal. Privatisasi didorong oleh meningkatnya permintaan akan manajemen bandara yang efisien. Saat itu pemerintah harus mengatur kondisi fasilitas bandara di bawah kondisi fiskal yang berantakan, persaingan maskapai yang tidak sehat dan permintaan atas jasa bandara yang lebih fleksibel dan murah. Sebelum terjadinya konsesi, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah Jepang memiliki fasilitas dasar yang berhubungan dengan aeronotika, sedangkan pihak swasta memiliki dan berhak atas pengelolaan fasilitas non-aeronotika seperti terminal bandara dan tempat parkir kendaraan. Namun pembagian tersebut dirasa menghalangi bandara Jepang untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Maka setalah konsesi, pihak swasta akan mengelola baik operasional yang berhubungan dengan aeronotika maupun yang tidak.
Setelah skema konsesi tersebut dilakukan, maka bandar udara Sendai yang sempat menghadapi bencana gempa bumi hingga perlu untuk direvitalisasi, dapat diperbaiki dengan cepat dan tidak memberatkan pihak pemerintah. Setelah diperbaiki banda Sendai juga menjadi lebih kompetitif dan dapat melayani masyarakat dengan baik.
Skotlandia: Pengolahan Air Limbah Skotlandia Timur
Negara selanjutnya yang mengadaptasi skema kerjasama PPP adalah Skotlandia. Skema PPP menjadi tren dalam pengadaan infrastruktur setelah dilakukannya evaluasi yang menunjukkan bahwa opsi PPP menawarkan lebih banyak keuntungan bagi seluruh pihak relevan dibandingkan dengan skema tradisional pembiayaan oleh pemerintah. Sehubungan dengan semakin banyaknya pengimplementasian PPP di Skotlandia, maka dibentuklah Private Finance Unit (PFU) yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan dukungan baik bagi pemerintah maupun pihak swasta yang menerapkan skema kerjasama PPP di Skotlandia.
Salah satu sektor infrastruktur publik yang banyak menggunakan skema kerjasama PPP adalah sektor pengolahan air limbah. Di bagian timur Skotlandia sendiri terdapat dua perusahaan swasta yang bertanggungjawab dalam pengolahan air limbah yaitu, Stirling Water dan Celedonian Environmental Services (CES). Stirling Water merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu Thames Water, MJ Gleeson, dan Montgomery Watson. Skema kerjasama PPP yang diadaptasi dalam pengolahan air limbah adalah BOT. Stirling Water bertanggungjawab atas design, building, operating dan mantaining fasilitas pengolahan air limbah, hingga kemudian setelah konstruksinya rampung akan ditransfer kepada pihak operator yaitu Thames Water International, yang akan mengoperasikan fasilitas tersebut selama 30 tahun. Sedangkan CES merupakan 50/50 joint venture dari perusahaan Northumbrian Water dan Scottish Power. Kontrak antara CES dengan Skotlandia Timur berlangsung selama 40 tahun utuk meningkatkan kualitas air antara kota Kelty dan Leven.
Dalam penyelenggaraan skema kerjasama PPP, pihak pemerintah berperan sebagai regulator yang mengontrol kualitas dan performa dari fasilitas pengolahan air limbah. Pemerintah juga berperan untuk menetapkan tarif pelayanan setelah sebelumnya melakukan konsultasi kepada pihak-pihak terkait pengelolaan air di Skotlandia. Untuk pemahaman yang lebih rinci dapat dilihat skema PPP di bawah ini:
Kesimpulan
Banyaknya jenis dari skema PPP menjadikan kerjasama pihak pemerintah dan pihak swasta sebagai bentuk kerjasama yang fleksibel dan efisien. Pembagian kerja dan tanggungjawab antar pihak yang revelan dapat menstimulus lahirnya infrastruktur publik dengan kualitas terbaik, kompetitif dan mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Berbagai contoh penerapan PPP mancanegara di atas menunjukan bahwa skema kerjasama PPP dapat menyelesaikan ketiadaan infrastruktur publik secara lebih cepat dan efisien, terutama bagi kawasan-kawasan yang habis tertimpa bencana seperti contoh kasus Filipina dan Jepang. Lantas, bagaimanakah kondisi penerapan skema PPP itu sendiri di Indonesia? Apakah regulasi dan sistem kepemerintahan di Indonesia mendukung adanya kerjasama PPP dalam pembangunan infrastruktur publik?
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. 2016. Philippines: Public-Private Partnership By Local Government Units. Manila.
European Commission. 2004. Resourse Book on PPP Case Studies. European Commission. Brussels.
The World Bank. 2017. Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs): Contract and Procurement The Case of Japan. The World Bank. Washington, DC.
Sato, M et.al. 2016. Recent Developments in Public-Private Partnership in Japan. Mori Hamada & Matsumoto. Tokyo.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!