Resiliensi Kota dan Pergerakan Masyarakat dalam Menghadapi Covid-19
Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc.
Di masa yang penuh dengan ketidakpastian ini, di mana pandemi Covid-19 menggerogoti kesehatan dan ragam aspek kehidupan masyarakat hampir di seluruh dunia, adalah hal yang penting bagi setiap kota memiliki upaya dan strategi dalam rangka memaksimalkan kemampuannya untuk bertahan di situasi sulit ini. Hal tersebut sering diasosiasikan dengan kemampuan kota untuk menahan kejatuhan/kemunduran dan bangkit kembali. Resiliensi suatu kota kerap dijadikan buah bibir dan dipertanyakan keabsahannya ketika terjadi krisis atau bencana. Keberlangsungan sistem yang terdapat di suatu kota menjadi sorotan banyak mata, dan menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “akankah kota ini bangkit setelah krisis?”.
Berbicara tentang hal tersebut, menarik untuk dibahas mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan resiliensi? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensinya? Hal-hal apa yang perlu ditingkatkan agar sebuah kota dapat bertahan dan beradaptasi di tengah carut-marut pandemi? Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai resiliensi kota, khususnya di masa krisis kesehatan seperti yang terjadi sekarang ini.
Mendefinisikan Resiliensi
Pada dasarnya, belum ada definisi resmi terkait apa itu resiliensi. Banyak yang berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan suatu individu atau kelompok untuk bangkit kembali, atau lebih familiar dengan istilah bounce back, dari sebuah tekanan atau krisis yang terjadi (Walace and Walace, 2008). Kendati demikian, Martin dan Sunley (2014), mencoba mengelompokkan definisi resiliensi ke dalam tiga kategori, antara lain:
Tipe/Definisi dari Resiliensi
Definisi/Tipe | Interpretasi |
Resiliensi sebagai upaya bangkit kembali dari tekanan | Kondisi ketika suatu sistem kembali bangkit ke posisi semula setelah sebelumnya mengalami tekanan. Proses ini menekankan pada kecepatan dan tingkatan pemulihan. |
Resiliensi sebagai kemampuan untuk menyerap tekanan | Kondisi yang menekankan pada stabilitas, fungsi, dan identitas sistem ketika menghadapi tekanan. Berkaitan dengan cakupan tekanan yang bisa ditoleransi, sebelum sistem tersebut berpindah ke tingkatan yang baru. |
Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dalam rangka antisipasi atau merespon tekanan | Kondisi yang menekankan pada kapasitas suatu sistem untuk mengendalikan performa inti mereka dengan cara beradaptasi, baik dalam hal struktur, fungsi dan organisasinya. Lebih dikenal dengan istilah bounce forward. |
Sumber: Martin dan Sunley (2014)
Berangkat dari penjelasan di atas, resiliensi kota kini dilihat sebagai cara untuk mencegah, memulihkan, dan beradaptasi ketika terjadi ancaman atau krisis dengan tetap mempertahankan fungsi inti dari perkotaan itu sendiri. Melihat tren demografis kota-kota di dunia, terdapat kecenderungan terjadinya tekanan yang akan berimplikasi pada setiap aspek perkotaan. Namun demikian, hanya sedikit kota yang dilengkapi dengan alat yang memadai untuk menyikapi hal-hal tersebut
Faktor-Faktor Resiliensi
Setelah memiliki gambaran mengenai definisi resiliensi secara general, maka penting bagi kita untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat membentuk resiliensi itu sendiri. Berdasarkan paper yang disusun oleh de Boer, et.al (2016), diketahui terdapat 7 faktor utama yang mempengaruhi resiliensi sebuah kota secara umum. Tujuh faktor tersebut antara lain:
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Kota
Sumber: de Boer et.al, 2016
Kesetaraan penghasilan dan status sosial antarmasyarakat di dalam suatu kota telah terbukti menjadi salah satu faktor terpenting untuk membentuk resiliensi. Hal tersebut menstimulasi terbentuknya pemerintahan yang inklusif dan akuntabel sehingga berupaya meningkatkan kapasitas beradaptasi dan bertahan ketika dilanda krisis atau tekanan.
Selanjutnya, terdapatnya transparansi dalam mekanisme kebijakan dan peradilan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan itu sendiri. Kepercayaan publik kerap dikorelasikan dengan besarnya kontribusi dan kerja sama masyarakat dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Hal tersebut tentu saja menjadi faktor yang penting dalam meningkatkan resiliensi suatu kota.
Faktor yang ketiga adalah terdapatnya keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial ketika terjadi krisis. Dengan adanya jaminan sosial berupa bantuan sembako maupun suntikan uang tunai, masyarakat kecil dapat mengakses kebutuhan sehari-hari dan menikmati pelayanan kesehatan sebagai mana mestinya.
Keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial tersebut beriringan dengan faktor selanjutnya yaitu ketersediaan infrastruktur dasar yang berperan sebagai garda terdepan bagi masyarakat untuk melawan krisis atau tekanan serta menstimulasi fase pemulihan yang lebih cepat.
Faktor selanjutnya adalah kohesi sosial. Terdapatnya kohesi sosial yang terjalin baik antarkelompok masyarakat membuat tekanan menjadi lebih mudah diserap, mengurangi dampak negatif dari krisis, serta menciptakan upaya mitigasi dampak krisis itu sendiri. Lalu, terdapatnya jaringan dan dukungan sosial yang baik akan menciptakan kerja sama yang kolektif di dalam suatu kelompok masyarakat. Kemampuan anggota masyarakat untuk mengatur perilaku individu lain di dalam komunitasnya terbukti dapat meningkatkan ketahanan kelompok dalam menghadapi krisis atau tekanan.
Faktor yang terakhir adalah koneksi yang kuat antara masyarakat-pemerintah dan pemerintah pusat-pemerintah lokal. Terdapatnya pola komunikasi baik akan menstimulasi terciptanya kepercayaan di antara masyarakat – pemerintah lokal – pemerintah pusat yang tentu akan meningkatkan kerjasama di antara ketiganya.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan krisis kesehatan seperti pandemi Covid-19 yang sedang hangat-hangatnya terjadi, terdapat beberapa faktor utama yang sekiranya mempengaruhi tingkat resiliensi suatu kota. Yang pertama adalah alur komunikasi yang terdapat di dalam jaringan sosial masyarakat. Jika jaringan sosial masyarakat memiliki cakupan yang luas dan disertai dengan sistem komunikasi yang baik, tidak terkecuali komunikasi dua arah masyarakat kepada sistem politik, maka informasi akan mengalir dengan cepat. Selanjutnya hal tersebut akan menciptakan tindakan-tindakan yang mengedepankan kepentingan publik demi meminimalkan jumlah pasien terdampak pandemi.
Sebaliknya, jika jaringan sosial masyarakat cenderung kecil dan terisolasi, maka arus informasi akan jauh lebih lambat. Informasi kepada masyarakat yang terisolasi mungkin tidak akan diterima karena dianggap berasal dari pihak yang bertanggung jawab (pemerintah) atas kondisi lingkungan mereka yang buruk. Longstaff dan Yang (2008) menggambarkan peran kepercayaan dan transparansi dalam komunikasi selama bencana pandemi adalah sebuah hal yang sangat fundamental.
Dalam sebuah laporan yang berjudul “Pandemic Preparedness: The Need for a Public Health, Not Law Enforcement/National Security, Approach” disebutkan bahwa pengambilan keputusan oleh pemerintah selama masa pandemi harus didasari oleh prinsip keadilan dan transparansi. Prinsip keadilan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan serta distribusi yang merata untuk setiap individu. Sedangkan transparansi berkaitan dengan komunikasi yang terbuka dan akurat mengenai informasi pandemi.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi resiliensi kota di masa pandemi adalah kesiapan pelayanan kesehatan yang disediakan, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Faktor tersebut juga berkaitan dengan tersedianya tenaga medis yang mumpuni, tentu saja dengan kesiapan jasmani maupun rohani. Pemerintah harus dapat memastikan terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan para tenaga medis selama menangani pasien di masa pandemi ini.
Dari paparan singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat faktor-faktor penting yang menstimulasi kemampuan suatu kota untuk beresiliensi. Kendati demikian, dua faktor utama yang mau tidak mau harus dipenuhi dan diusahakan oleh seluruh pihak di masa pandemi ini adalah adanya alur komunikasi yang baik dan transparan sehingga terciptanya kepercayaan antar pihak serta tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang mumpuni sehingga penanggulangan pandemi bisa berjalan maksimal.
Lebih lanjut dalam jurnalnya, Wallace dan Wallace (2008) mengemukakan hal-hal yang dapat meningkatkan resiliensi suatu kota, antara lain:
- Menerapkan teknik dan strategi untuk menguatkan ikatan sosial yang lemah antarmasyarakat;
- Mendorong adanya integrasi antargolongan sosial – ekonomi di dalam suatu lingkungan;
- Menyediakan fasilitas kesehatan dan tenaga medis dengan jumlah yang mencukupi, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta;
- Memastikan tersedianya pelayanan yang mencukupi untuk masyarakat marginal perkotaan.
Pergerakan Masyarakat Peningkat Resiliensi
Terkadang, upaya yang dilakukan pemerintah dan negara belum dapat memenuhi kriteria resiliensi sehingga menyebabkan lambatnya proses pemulihan sebuah kota setelah terdampak krisis. Tak jarang, pergerakan dan perjuangan justru muncul dari masyarakat sipil itu sendiri sebagai upaya untuk beradaptasi, bangkit, dan pulih.
Seperti contoh yang terjadi di Iran. Menjadi salah satu epicenter pandemi Covid-19 pada Maret 2020, memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi masyarakat Iran. Hal tersebut diperparah dengan tersumbatnya aliran informasi yang akurat dari pemerintah kepada masyarakat tentang penyebaran Covid-19 di negara yang kaya akan minyak dan gas bumi tersebut. Jengah dengan sistem komunikasi yang tidak dapat dipercaya, masyarakat Iran akhirnya membentuk sebuah gerakan resistensi yang mereka sebut dengan “grassroots broadcasting”. Masyarakat menyebarkan informasi mengenai wabah coronavirus dan saling mengingatkan satu sama lain melalui platform pengirim pesan seperti WhatsApp, Telegram, dan Viber, serta beberapa situs media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Hal-hal yang tidak dapat pemerintah sajikan di media, seperti kondisi faktual di rumah sakit dan informasi terkait seberapa membahayakannya virus ini, dibagikan langsung oleh dokter dan perawat dalam bentuk rekaman suara dan video.
Jenis pergerakan lainnya yang terdapat di Iran adalah adanya inisiatif dari beberapa perusahaan untuk memproduksi alat kesehatan berupa masker dan disinfektan untuk didistribusikan kepada fasilitas kesehatan dan masyarakat. Untuk dapat melakukan hal tersebut, perusahaan harus menghentikan pekerjaan reguler mereka sementara waktu. Hal tersebut menjadi sebuah solusi dari absennya kemampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya.
Saat ini, dunia sedang mengalami krisis pangan karena panjangnya rantai suplai dari produsen ke konsumen. Pada hari-hari biasa, hal tersebut tentu tidak menjadi masalah. Namun setelah mewabahnya Covid-19, banyak kebijakan yang mendistraksi panjangnya rantai suplai tersebut seperti kebijakan lockdown dan lain sebagainya.
Bentuk pergerakan lainnya yang datang dari masyarakat adalah upaya untuk memperpendek rantai suplai pangan dari produsen ke konsumen. Masyarakat menyadari bahwa untuk bertahan hidup, mereka tidak dapat mengandalkan distribusi bahan pangan dengan alur yang panjang. Pergerakan tersebut diinisiasi oleh Community Supported Agriculture (CSA). CSA merupakan sebuah sistem yang menghubungkan produsen dan konsumen pangan untuk dapat berinteraksi lebih dekat dengan cara memperbolehkan konsumen untuk berlangganan kepada salah satu kelompok produsen. CSA mengubah sistem pemesanan dan pembayaran menjadi online untuk meminimalisir kontak antarmanusia. Pada masa pandemi ini, petani yang tergabung ke dalam CSA akan mengantarkan pesanan sekelompok konsumen pada satu titik lokasi, untuk selanjutnya diambil dan didistribusikan kembali oleh perwakilan konsumen tersebut kepada setiap anggota. Hal tersebut menjadi opsi yang masuk akal dibanding konsumen harus antre dan berdesak-desakan di pasar untuk membeli hasil pangan dari CSA seperti yang biasa mereka lakukan. Sistem seperti ini sudah diterapkan di beberapa negara, salah satunya adalah Spanyol.
Contoh lain pergerakan sosial masyarakat dalam rangka meningkatkan resiliensi kota datang dari India. Skenario lockdown yang dipilih oleh pemerintah India menyisakan banyak konflik di dalamnya. Banyak buruh migran di Delhi berusaha melarikan diri ke luar kota. Lockdown juga membuat buruh migran dan keluarganya kehabisan bahan pangan. Akibatnya banyak protes yang terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menyiasati hal tersebut, gabungan tokoh masyarakat di Delhi melakukan dua aksi pergerakan sosial. Yang pertama adalah membentuk asosiasi yang terdiri dari LSM dan relawan individu untuk fokus berkoordinasi dengan pemerintah lokal dalam membentuk jaringan sosial yang dapat dengan cepat mendistribusikan bahan pangan kepada masyarakat miskin yang terisolasi. Sedangkan gerakan yang kedua adalah berusaha mengumpulkan data kolektif melalui grup WhatsApp, Facebook, dan website terkait suplai pangan, untuk kemudian melakukan distribusi informasi kepada masyarakat.
Dari beberapa cerita mengenai pergerakan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berperan penting dalam mewujudkan kota dengan resiliensi yang baik. Absennya peran pemerintah, secara wajar akan menstimulasi pergerakan masyarakat untuk dapat bertahan hidup di tengah situasi yang tidak menentu ini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!